Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN THALASEMIA

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak
dosen pengampu Eva Supriatin, S.Kp., M.Kep

Oleh :
Ayu Siti Nurparidah (118052)
Dina Herlina (118061)
Fannisa Syafiyah (118063)
Hani Seftiani (118066)
Indah Ayu Andriani (118068)
Ines Oktaviani (118069)
Mira Tamara (118074)
Peby Octaviani (118078)
Rediana (118082)
Rina Anggraeni (118084)
Rodiah Ahwatul Hasanah (118085)
Widia Julia Purnamah (118096)

Kelompok 2

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN TINGKAT 2B


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang telah
diberikan baik berupa kesehatan, waktu, dan segala kemudahan dalam penyusunan
makalah ini, sehingga makalah ini dapat disusun sebagaimana mestinya dan selesai
tepat pada waktunya. Berkat rahmat beserta karunia-Nya saya dapat menyelesaikan
makalah yang tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Thalasemia.
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
yang diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah keperawatan anak.
Harapan kami semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman, juga membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga untuk ke depannya saya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini dengan lebih baik.
Akhir kata kami megucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
mendukung dan melancarkan penyusunan makalah ini.

Bandung, 21 Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii

BAB 1...................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang....................................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................................1

BAB 2...................................................................................................................................................2

TINJAUAN TEORI.............................................................................................................................2

2.1 Pengertian Thalasemia........................................................................................................2

2.2 Penyebab Thalasemia..........................................................................................................2

2.3 Gejala Thalasemia...............................................................................................................3

2.4 Pemeriksaan.........................................................................................................................4

2.5 Terapi...................................................................................................................................4

2.6 Pathway dan Patofisiolofi....................................................................................................5

BAB 3...................................................................................................................................................8

ASUHAN KEPERAWATAN..............................................................................................................8

3.1 Pengkajian............................................................................................................................8

3.2 Diagnosa Keperawatan......................................................................................................10

3.3 Intervensi Keperawatan....................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................iii

ii
iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Distribusi utama meliputi daerah- daerah perbatasan Laut Mediterania,
sebagian besar Afrika, Timur Tengah, Sub Benua India, dan Asia Tenggara. Dari 3 %
sampai 8 % orang Amerika keturunan Itali atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam
Amerika membawa gen untuk thalasemia β.
Di beberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai
satu atau lebih gen thalasemia (Kliegam,2012). Berdasarkan catatan rekam medik di
RS Dr. Moewardi Surakarta menunjukkan angka kejadian thalasemia pada tahun
2012- 2013 sebanyak 520 orang, khususnya di ruang Melati II ditemukan pasien
dengan thalasemia terutama pada anak- anak yang berusia 5-14 tahun yaitu sekitar
359 orang.
Gangguan pertumbuhan merupakan komplikasi yang cukup banyak terjadi
pada anak yang menderita thalasemia β-mayor. Anemia kronis, transfusi darah yang
tidak adekuat, penumpukan besi pada organ-organ endokrin dan efek samping dari
penggunaan terapi kelasi besi merupakan penyebab terjadinya gangguan pertumbuhan
pada pasien thalasemia β-mayor.

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa diharapkan mampu :
a. Menjelaskan kembali apa itu thalasemia
b. Mengetahui dampak thalasemia pada anak
c. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien thalasemia

1
BAB 2

TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian Thalasemia
Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitikdimana terjadi kerusakan
sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi
pendek (kurang dari 100 hari) ( Williams, 2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang disebabkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak berbentuk sempurna.
Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal sehingga sel
darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan
terjadilah anemia (Herdata.N.H 2008 dan Tamam.M. 2009).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai
oleh defisiensi produk rantai globin pada hemoglobin (Suriadidan
yuniani,2010).

2.2 Penyebab Thalasemia


Penyakit thalasemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan. Banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalasemia dalam sel–sel/factor genetic (Suardi,2010). Thalasemia bukan
penyakit menular melaikan penyakit yang diturunkan secara genetic dan
resensif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin
beta yang terletak pada gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak
pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan.
Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen
berbentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami
kelainan disebut pembawa sifat thalasemia beta.
Seorang pembawa thalasemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalasemia jarang memerlukan pengobatan. Bila

2
kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalasemia (homozigot/mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal
dari kedua orang tua yang masing–masing membawa sifat thalasemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya
dan sebelah lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing–masing pembawa sifat thalasemia
maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang
berubah( gen thalasemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita
thalasemia. Sedangkan jika anak mendaptkan gen sebelah dari ibu atau ayah
maka anak hanya pembawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak
mendapat gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suardi,2010) penyakit thalasemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan. Banyak diturunkan oleh pasangan
suami isteri yang mengidap thalasemia dalam sel–selnya/factor genetic. Jika
kedua orangtua tidak menderita thalasemia trait/pembawa sifat thalasemia atau
thalasemia mayor kepada anak–anak mereka. Semua anak–anak meraka
mempunyai darah yang normal.
Apabila salah satu dari orang tua menderita thalasemia trait/pembawa
sifat thalasemia sedangkan yang tidak, maka satu banding dua (50%)
kemungkinan bahwa setiap anak–anak mereka akan mengalami thalassemia
trait/pembawa sifat thalasemia mayor. Orang dengan thalasemia
trait/pembawa sifat thalasemia adalah sehat, mareka dapat menurunkan sifat–
sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orangtua menderita thalasemia trait/pembawa sifat
thalasemia, maka anak–anaknya mereka mungkin akan menderita thalasemia
trait/pembawa sifat thalasemia atau mungkin juga memiliki darah yang
normal, atau mereka mungkin juga menderita thalasemia mayor. (Hoffbrand
dkk,2013)

2.3 Gejala Thalasemia


Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis
rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian

3
besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik
(Tamam.M.2009).
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami
anemia karena kegagalan pembentukan sel darah merah, penderita tampak
pucat karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat bunci tkarena
hepatomegaly dan splenomegaly sebagai akibat terjadinya iketerus karena
produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di
otot jantung.

2.4 Pemeriksaan
1) Darah tepi :Hb, gambangan morfologi eritrosit dan retikulosit
meningkat
2) Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)
3) Pemeriksaan khusus :
a. Hb F meningkat : 20-90% Hb total
b. Elektroforesis Hb : hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb
F
c. Pemeriksaan Pedigree : kedua orang tua pasien Thalasemia mayor
merupakan trait (carrier) dengan Hb A2 meningkat (>3,5% dari Hb
total).
4) Pemeriksaan lain :
a. Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end , korteks
menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus pada
korteks.
b. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan sumsum
tulang sehingga trabekula tampak jelas.

2.5 Terapi
Terapi diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb diatas
10 g/dL. Regimen hipertransfusi ini mempunyai keuntungan klinis yang nyata
memungkinkan aktivitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum
tulang dan masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-
tulang muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis.

4
Transfusi dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah (PRC) biasanya
diperlukan setiap 4-5 minggu. Uji silang harus di kerjakan untuk mencegah
alloimunisasi dan mencegah reaksi transfuse. Lebih baik digunakan PRC yang
relative segar (kurang dari 1 minggu dalam antikoalgulan CPD) walaupun
dengan kehati-hatian yang tinggi, reaksi demam akibat trasfusi lazim ada. Hal
ini dapat diminimalkan dengan penggunaan eritrosit yang direkonstitusi dari
darah beku atau penggunaan filter leukosit, dan dengan pemberian antipiretik
sebelum transfuse. Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka
panjang, yang tidak dapat dihindari karena setiap 500 ml darah membawa
kira-kira 200 mg besi ke jaringan yang tidak dapat diekskresikan secara
fisiologis.
Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan
dalam kematian awal penderita.Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan
dicegah dengan pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating
drugs) deferoksamin yang membentuk kompleks besi yang dapat
diekskresikan dalam urin.Kadar deferoksamin darah yang dipertahankan tinggi
adalah perlu untuk ekresi besi yang memadai. Obat ini diberikan subkutan
dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portable kecil (selama
tidur), 5 atau 6 malam/minggu penderita yang menerima regimen ini dapat
mempertahankan kadar ferritin serum kurang dari 1000 mg/mL yang benar-
benar di bawah nilai toksik. Komplikasi mematika siderosis jantung dan hati
dengan demikian dapat dicegah atau secara nyata tertunda. Obat pengkhelasi
besi peroral yang efektif, deferipron, telah dibuktikan efektif serupa dengan
deferoksamin. Karena kekhawatiran terhadap kemungkinan toksisitas
(agranulositosis, artritis, arthralgia) obat tersebut kini tidak tersedia di
Amerika Serikat.
Terapi hipertransfusi mencegah splenomegaly massif yang disebabkan
oleh eritropoesis ekstra medular.Namun splenektomi akhirnya diperlukan
karena ukuran organ tersebut atau karena hipersplenisme sekunder.
Splenektomi meningkatkan resiko sepsis yang parah sekali, oleh karena itu
operasi harus dilakukan hanya untuk indikasi yang jelas dan harus ditunda
selama mungkin.Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah meningkatkan
kebutuhan transfusi yang menunjukkan unsur hipersplenisme.Kebutuhan
transfusi melebihi 240 ml/kg PRC/tahun biasanya merupakan bukti

5
hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk mempertimbangkan
splenektomi. Imunisasi pada penderita ini dengan vaksin hepatitis B, vaksin
H.influensa tipe B, dan vaksin polisakarida pneumokokus diharapakan, dan
terapi profilaksis penisilin juga dianjurkan.Cangkok sumsus tulang (CST)
adalah kuratif pada penderita yang telah menerima transfusi sangat banyak.
Namun, prosedur ini membawa cukup resiko morbiditas dan mortalitas dan
biasanya hanya digunakan untuk penderita yang mempunyai saudara kandung
yang sehat (yang tidak terkena) yang histokompatibel.

2.6 Pathway dan Patofisiolofi

6
Hemoglobin pasca kelahiran yang normal terdiri dari dua rantai alfa dan beta
polipeptide. Dalam betathalasemia, ada penurunan sebagian atau keseluruhan
dalam proses sintesis molekul hemoglobin rantai beta,Konsekuensi adanya
peningkatan compensatory dalam proses pensintesisan rantai alfa dan produksi
rantaigamma tetap aktif, dan menyebabkan ketidaksempurnaan formasi
hemoglobin. Polipeptida yang tidak seimbangini sangat tidak stabil, mubah
terpisah dan merusak sel darah merah yang dapat menyebabkan anemia
yangparah. Untuk menanggulangi proses hemolitik, sel darah merah dibentuk
dalam jmlah yang banyak, atausetidaknya sumsum tulang ditekan dengan
proses trannfusi. Kelebihan Fe dari penambahan RBCs dalamtransfusi serta
kerusakan yang cepat dari sel defectif disimpan dalam berbagai organ
( hemosiderosis )

7
BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Asal keturunan/kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah (mediterania).
Seperti Turki, Yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri, thalassemia cukup
banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling
banyak diderita.
2) Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada thalasemia
minor yang gejalanyalebih ringan, biasanya anak baru datang berobat pada
umur sekitar 4– 6tahun.
3) Riwayat kesehatan anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi
sebagai alat transport.
4) Pertumbuhan dan perkembangan

8
Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia
jaringan yangbersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia
mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada
keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan
rambut pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapatmengalami penurunan.
Namun pada jenis thalasemia minor sering terlihat pertumbuhandan
perkembangan anak normal.
5) Pola makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga berat
badananak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
6) Pola aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur /
istirahat karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
7) Riwayat kesehatan keluarga
Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalasemia,
maka anaknya berisiko menderita thalasemia mayor. Oleh karena itu,
konseling pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk
mengetahui adanya penyakit yang mungkindisebabkan karena keturunan.
8) Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalasemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila
diduga faktor resiko,maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang
mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan
diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.
9) Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan diantaranya
adalah:
a. Keadaan umum
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah
anak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk
khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid,

9
yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar, dan
tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
e. Dada
Pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
f. Perut
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati (hepatosplemagali).Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk
umurnya dan BB nya kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat
lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
g. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia
kronik.
h. Kulit
Warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti
besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).

3.2 Diagnosa Keperawatan


1) Intoleransi aktivitas b.d berkurangnya suplai O2/ Na ke jaringan d.d merasa
lemah.
2) Resiko defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan.
3) Kerusakan integritas kulit b.d nutrisi tidak adekuat d.d gangguan integritas
kulit .
4) Resiko infeksi b.d gangguan integritas kulit.
3.3 Intervensi Keperawatan

DIAGNOSIS TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI YANG UTAMA


Intoleransi Toletansi Aktivitas Manajemen Energi

10
aktivitas b.d Tujuan: setelah dilakukan
berkurangnya intervensi selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi gangguan fungsi
suplai O2/ Na Maka : tubuh yang mengakibatkan kelelahan
ke jaringan d.d 2. Lakukan latihan rentang gerak
merasa lemah 1. Saturasi oksigen (4) pasif dan/atau aktif
2. Kemudahan dalam 3. Anjurkan tirah baring
melakukan aktivitas sehari-hari 4. Anjurkan melakukan aktivitas
(4) secara bertahap
3. Keluhan lelah (5) 5. Kolaborasi dengan ahli gizi
4. Perasaan lemah (5) tentang cara meningkatkan asupan
makanan
Resiko defisit Status Nutrisi Manajemen Gangguan Makanan
nutrisi b.d Tujuan : setelah dilakukan 1. Monitor asupan dan keluarnya
ketidakmampua intervensi selama 3 x 24 jam makanan dan cairan serta kebutuhan
n mencerna Maka : kalori
makanan 1. Porsi makanan yang 2. Timbang berat badan secara
dihabiskan (5) rutin
2. Pengetahuan tentang 3. Lakukan kontrak perilaku (mis.
standar asupan nutrisi yang target berat badan, tanggung jawab
tepat (4) perilaku)
3. Berat badan (5) 4. Berikan penguatan positif
4. Indeks massa tubuh terhadap keberhasilan target dan
(IMT) (5) perubahan prilaku
5. Bising usus (4) 5. Berikan konsekuensi jika tidak
mencapai target sesuai kontrak
6. Ajarkan keterampilan koping
untuk penyelesaian masalah perilaku
makan
7. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan, kebutuhan
kalori dan pilihan makanan
Kerusakan Integritas Kulit Perawatan Luka
integritas kulit Tujuan :Setelah dilakukan 1. Monitor karakteristik luka,
berhubungan intervensi selama 3 x 24 jam termasuk drainase, warna, ukuran, dan

11
dengan nutrisi maka: bau
tidak adekuat 1. Integritas kulit sedikit 2. Bersihkan dengan normal
ditandai dengan terganggu (4) saline atau pembersih yang tidak
gangguan 2. Suhu kulit tidak terganggu beracun,
integritas kulit (5) 3. Berikan perawatan ulkus pada
3. Wajah pucat (Ringan) kulit, yang diperlukan
4. Pengerasan (kulit) ringan 4. Oleskan salep yang sesuai
(4) dengan kulit/lesi
5. Pertahankan teknik balutan
steril ketika melakukan perawatan
luka, dengan tepat
6. Ganti balutan sesuai dengan
jumlah eksudat dan drainase
7. Periksa luka setiap kali
perubahan balutan
8. Bandingkan dan catat setiap
perubahan luka
Risiko Infeksi Kontrol risiko : proses Pengajaran : Proses infeksi
berhubungan infeksi
dengan Tujuan : Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat pengetahuan
gangguan intervensi selama 3 x 24 jam pasien terkait dengan proses penyakit
integritas kulit maka : yang spesifik
1. Sering secara 2. Jelaskan patofisiologi penyakit
menunjukan Mencari dan bagaimana hubungannya dengan
informasi terkait anatomi dan fisiologi, sesuai
kontrol infeksi (4) kebutuhan
2. Secara konsisten 3. elaskan tanda dan gejala yang
mengidentifikasi faktor umum dari penyakit, sesuai kebutuhan
risiko infeksi (5) 4. Identifikasi kemungkinan
3. Secara konsisten penyebab, sesuai kebutuhan
mencuci tangan (5) 5. sesuai kebutuhan Beri
4. Secara konsisten informasi kepada keluarga/orang yang
melakukan tindakan penting bagi pasien mengenai
segera untuk perkembangan pasien, sesuai

12
mengurangi risiko (5) kebutuhan
5. Secara konsisten 6. Jelaskan komplikasi kronik
mengidentifikasi risiko yang mungkin ada, sesuai ke butuhan
infeksi dalam sehari- 7. Instruksikan pasien mengenai
hari (5) tindakan untuk mencegah/
meminimalkan efek samping
penanganan dari penyakit, sesual
kebutuhan
8. Edukasi pasien mengenai
tindakan untuk mengkontrol/memi-
nimalkan gejala, sesuai kebutuban

13
14
DAFTAR PUSTAKA
Hoffbrand.dkk,(2013). Kapita Selekta Hematologi .Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.
Sullivan, Amanda. 2009. Panduan Pemeriksaan Antenatal. Jakarta : EGC.

iii

Anda mungkin juga menyukai