Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN THALASSEMIA PADA


ANAK

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pembimbing: Ibu Hj. Henny Cahyaningsih, S.Kp., MKes AIFO

Disusun oleh:
Kelompok 2
Tingkat 2A

1. Agus Tardin Rohiman (P17320122005) 9. Mesti Nurlani (P17320122057)


2. Anas Tasyha (P17320122009) 10. Muhammad Syamil (P17320122067)
3. Carissa Sandra Amelia (P17320122015) 11. Nadiyah Hanifah Y (P17320122073)
4. Enok Siti Fatimah (P17320122025) 12. Nurfitri (P17320122083)
5. Erni Fuji Rismawati (P17320122029) 13. Shifa Fauziah (P17320122101)
6. Fitri Maryam (P17320122035) 14. Tasya Amelia S (P17320122109)
7. M. Anggara Juliansyah (P17320122051) 15. Wulan Sari Rahayu (P17320122115)
8. Maheswari Sasikirana (P17320122053)

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyusun
dan menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah Konsep Asuhan
Keperawatan Thalassemia Pada Anak” dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini
guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak.

Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca maupun bagi penulis. Penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya
kepada, Ibu Hj. Henny Cahyaningsih, S.Kp., MKes AIFO selaku dosen
pembimbing Mata Kuliah Keperawatan Anak, yang senantiasa memberi arahan
dan masukan dalam penyelesaian makalah ini.

Kami menyadari bahwa banyak sekali kekurangan dalam pembuatan


maupun penyusunan makalah. Oleh karena itu, dalam keterbatasan kemampuan
kami, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun
pembacanya.

Bandung, 04 Agustus 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3

1.3 Tujuan.............................................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................4

2.1 Konsep Penyakit Thalassemia........................................................................4

a. Definisi Thalassemia...................................................................................5

b. Patofisiologi................................................................................................9

c. Etiologi......................................................................................................10

d. Manifestasi Klinis.....................................................................................10

e. Gejala Thalassemia...................................................................................11

f. Klasifikasi Thalassemia............................................................................12

g. Komplikasi Thalassemia...........................................................................12

h. Pemeriksaan Penunjang............................................................................13

i. Penatalaksanaan ........................................................................................13

j. Pencegahan Thalassemia...........................................................................14

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Penyakit Thalassemia..........................16

a. Pengkajian...............................................................................................17

b. Diagnosa.................................................................................................17

c. Intervensi................................................................................................20
BAB III PENUTUP..............................................................................................33

3.1 Kesimpulan...................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................35

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Di Indonesia sudah cukup banyak penyakit yang berasal dari


keturunan, diantaranya yaitu penyakit Thalassemia. Thalasemia adalah suatu
penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah
satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga
hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel
darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau
berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Yuyun Rahayu,
et al 2015).

Thalasemia diturunkan dari orang tua kepada anaknya melalui gen.


Jika kedua orang tua adalah pembawa sifat thalasemia ada kemungkinan
50% anak pembawa sifat thalasemia (minor) sedangkan 25% menderita
thalasemia mayor dan 25% lagi anak akan normal. Namun, bila salah satu
dari orang tua pembawa sifat, dan satunya lagi normal, maka kemungkinan
50% anak menjadi pembawa sifat thalassemia sedangkan 50% lagi
kemungkinan anak akan normal (E. Sri Indiyah, S. Meri Rima M, 2019).

Gen thalasemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini


merupakan penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama
meliputi daerah- daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika,
timur tengah, sub benua India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 %
orang Amerika keturunan Italia atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam
Amerika membawa gen untuk thalasemia β. Dibeberapa daerah Asia
Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu atau lebih gen
thalasemia.(Kliegam,2012).

Ada dua jenis thalassemia yaitu alpha dan beta. Kedua jenis
thalassemia ini diwariskan dengan cara yang sama. Penyakit ini diturunkan
oleh orangtua yang memiliki mutated gen atau gen mutasi thalasemia.
Seorang anak yang mewarisi satu gen mutasi disebut pembawa atau carrier,
atau yang disebut juga dengan thalassemia trait (sifat thalassemia).
Kebanyakan pembawa ini hidup normal dan sehat. Anak yang mewarisi dua
sifat gen, di mana satu dariibu dan satu dari ayah, akan mempunyai penyakit
thalassemia. Jika baik ibu maupun ayah adalah pembawa, kemungkinan
anak mewarisi dua sifat gen.(Williams,2005)

Anak dari pasangan pembawa juga mempunyai 50 persen


kemungkinan lahir sebagai pembawa. Jenis paling berbahaya dari alpha
thalassemia yang terutama menimpa keturunan Asia Tenggara, Cina dan
Filipina menyebabkan kematian pada jabang bayi atau bayi baru lahir.
Sementara itu, anak yang mewarisi dua gen mutasi beta thalassemia akan
menderita penyakit beta thalassemia. (Williams,2005) Anak ini memiliki
penyakit thalasemia ringan yang disebut dengan thalassemia intermedia
yang menyebabkan anemia ringan sehingga si anak tidak memerlukan
transfusi darah.

Jenis thalassemia yang lebih berat adalah thalassemia major atau


disebut juga dengan Cooley's Anemia. Penderita penyakit ini memerlukan
transfusi darah dan perawatan yang intensif. Anak-anak yang menderita
thalassemia major mulai menunjukkan gejala-gejala penyakit ini pada usia
dua tahun pertama. Anak-anak ini terlihat pucat, lesu dan mempunyai nafsu
makan rendah, sehingga menyebabkan pertumbuhannya terlambat.

Oleh karena itu kami merasa perlu untuk lebih meningkatkan asuhan
keperawatan pada anak thalasemia,karena anak yang terkena thalasemia
bukan hanya mengalami gangguan hematologi tetapi juga gangguan
imunitas, sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus agar anak tidak
mengalami gangguan tumbuh kembang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja yang terdapat dalam konsep penyakit Thalassemia?


2. Bagaimana konsep dasar dari asuhan keperawatan pada penyakit
Thalassemia?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan dan melaksanakan asuhan keperawatan anak pada
anak yang menderita thalasemia
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan konsep klinis thalasemia
b. Mampu melakukan pengkajian pada anak yang menderita
thalassemia
c. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak yang
menderita thalassemia
d. Mampu membuat intervensi pada anak yang menderita thalassemia
e. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien thalassemia
f. Mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien
thalassemia

1.3 Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis tentang thalasemia
2. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis asuhan
keperawatan thalasemia
BAB II
TINJAUAN TEORI

Konsep Penyakit Thalasemia

a. Definisi Thalassemi
Thalasemia merupakan kelainan darah yang diturunan yang
disebabkan oleh kelainan hemoglobin (akibat ketidakmampuan sumsum
tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi
hemoglobin) yang menyebabkan kerusakan pada sel darah merah sehingga
penderitanya mengalami anemia atau kurang darah (Marnis, Indriati, &
Nauli, 2018).
Menurut Genie (2005) dalam Lazuana (2014) menyatakan bahwa
thalasemia dibedakan menjadi thalasemia alfa jika menurunnya sintesis
rantai alfa globin dan thalasemia beta jika terjadi penurunan sintesis
rantai beta globin. Thalasemia dapat terjadi dari ringan sampai berat.
Thalasemia beta diturunkan dari kedua orang tua pembawa thalasemia dan
menunjukan gejala klinis yang paling berat, keadaan ini disebut juga
thalasemia mayor. Penderita thalasemia mayor akan mengalami anemia
dikarenakan penghancuran hemoglobin dan membuat penderita harus
menjalani transfusi darah seumur hidup setiap satu bulan sekali.
Gambar 1.1 Pembawa Sifat Thalasemia
Sumber : mirbrokers.com/data/NewsletterEdisi64Thalasemia

b. Patofisiologi Thalasemia

Pada keadaan normal, disintetis hemoglobin A (adult : A1) yang


terdiri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya mencapai lebih
kurang 95% dari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari hemoglobin A2
yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan kadarnya
tidak lebih dari 2 % pada keadaan normal. Hemoglobin F (foetal) setelah
lahir fetus senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar
seperti orang dewasa, yaitu tidak lebih dari 4% pada keadaan normal.
Hemoglobin F terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma.

Pada penderita thalasemia satu atau lebih dari satu rantai globin
kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena tidak
ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang
dewasa (HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan
mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis
tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan
mikrositer.

Pada thalasemia beta produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar


Hb menurun sedangkan produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu
karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak
dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi.
Eritropoesis di dalam susunan tulang sangat giat, dapat mencapai 5 kali
lipat dari nilai normal, dan juga serupa apabila ada eritropoesis ekstra
medular hati dan limfa. (Soeparman, dkk, 1996).

Masing-masing HbA yang normal terdiri dari empat rantai globin sebagai
rantai polipeptida, dimana rantai polipeptida tersebut terdiri dari dua
rantai polipeptida alfa dan dua rantai polipeptida beta. Empat rantai
tersebut bergabung dengan empat komplek heme untuk membentuk
molekul hemoglobin, pada thalasemia beta sintesis rantai globin beta
mengalami kerusakan.

Eritropoesis menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit


yang mencapai sirkulasi prifer dan timbul anemia. Anemia berat yang
berhubungan dengan thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal
melepaskan erythropoietin yaitu hormon yang menstimulasi bone
marrow untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah, sehingga
heatopoesis menjadi tidak efektif, eritropoesis yang meningkat
mengakibatkan hyperplasia dan ekspansi sumsum tulang, sehingga timbul
deformitas pada tulang. Eritropoetin juga merangsang jaringan
hematopoiesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul
hepatosplenomegali. Efek lain dari anemia adalah meningkatnya absorbsi
besi dari saluran cerna menyebabkan penumpukan besi berkisar 2-5 gram
pertahun (Potts & Mandleco, 2007).

c. Etiologi Thalassemia
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001).
Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan
secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang
disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada
manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini
yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan
disebut pembawa sifat thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab
masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi
dengan baik). Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan
pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom,
dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen
yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak hanya
mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari
ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia
maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah
(gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita
thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia
dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan
lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang
tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah
penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh
pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/
Faktor genetik.Jika kedua orang tua tidak menderita Thalassaemia
trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka
menurunkan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau
Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka
akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu
dibanding dua (50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka
akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak
seorang diantara anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor.
Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-
anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa
sifat Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita
Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga
memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalassaemia mayor.(hoffbrand dkk,2006)
Menurut Williams (2005) penyebab thalasemia adalah
1. Gangguan resesif autosomal yang diturunkan
2. Gangguan herediter yang disebabkan kelainan sistem rantai beta
dan rantai alfa globin

d. Manifestasi Klinis
Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya
bervariasi. Sebagaian besar mengalami gangguan anemia ringan.
1. Thalasemia minor (thalasemia heterogen) umumnya hanya memiliki
gejala berupa anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat
asimtomatik dan sering tidak terdeteksi.
2.  Thalasemia mayor, umumnya menampakkan manifestasi klinis pada
usia 6 bulan, setelah efek Hb 7 menghilang.
a. Tanda awal adalah awitan mendadak, anemia, demam yang tidak
dapat dijelaskan, cara makan yang buruk, penurunan BB dan
pembesaran limpa.
b. Tanda lanjut adalah hipoksia kronis; kerusakan hati, limpa,
jantung, pankreas, kelenjar limphe akibat hemokromotosis,
ikterus ringan atau warna kulit mengkilap, kranial tebal dengan
pipi menonjol dan hidung datar; retardasi pertumbuhan; dan
keterlambatan perkembangan seksual.
3.  Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis
dengan kerusakan sel resultan yang mengakibatkan :
a. Splenomegali
b. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial,
pembesaran kepala, tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan
rentan terhadap fraktur spontan.
c. Komplikasi jantung, seperti aritmia, perikarditis, CHF dan
 

fibrosis serat otot jantung.


d. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
e. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
 

f. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan pragmentasi coklat akibat


 

defisit zat besi.


g. Retardasi pertumbuhan dan komplikasi endokrin.
4. Gejala lain pada penderita Thalasemia adalah jantung mudah
berdebar-debar. Hal ini karena oksigen yang dibawah tersebut
kurang, maka jantung juga akan beusaha bekerja lebih keras
sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar, lama-
kelamaan jantung akan bekerja lebih keras sehingga lebih cepat
lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa penderita bisa menjadi
besar karena penghancuran darah terjadi di sana, selain itu sumsum
tulang juga bekerja lebih keras karena berusaha mengkompensasi
kekurangan Hb, sehingga tulang menjadi tipis dan rapuh sehingga
mudah rapuh. Jika ini terjadi pada muka (tulang hidung maka wajah
akan berubah bentuk, batang hidung akan hilang/ melesak ke dalam
(fasise cookey) ini merupakan salah satu tanda khas penderita
thalasemia.(hoffbrand dkk,2006)

Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai


beratnya gejala klinis(Doenges,2000) :

1. Mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas


diantara tingkatan tersebut sering tidak jelas. Anemia berat menjadi
nyata pada umur 3 – 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup
tanpa ditransfusi.
2. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah
merah berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban
besi. Limpa yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan
menambah penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling)
dan dengan menyebabkan pertambahan volume plasma.
3. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau
kurang mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping
mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan
gigi biasanya buruk.
4. Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan
fisik tidak sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika
pasien tidak sering mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu
serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
5. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada
Thalasemia mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali,
eritropoesis ekstra medular dan gambaran kelebihan beban besi
nampak pada masa dewasa.
6. Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh
anemia mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau
anemia ringan.
 Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
 Thalasemia intermedia
 Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
7. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik,
anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan
banyak sel normoblas).
8. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap
besi (IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari
30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia
kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun
HbS.
9. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat
meningkat karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
10. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi
memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni
berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.

e. Gejala Thalasemia
Salah satu tanda khas dari thalasemia mayor adalah Facies Cooley
(Gambar 2.2) Gejala klinis thalasemia terutama disebabkan oleh anemia,
hipoksia dan kerusakan membran eritrosit bentuk heterozigot. Thalasemia
biasanya asimtomatik dan hanya menunjukan gejala anemia ringan hingga
sulit dideteksi melalui pemeriksaan klinis atau pemeriksaan laboratorium
biasa. Untuk mendeteksinya diperlukan diagnosis molekuler untuk
menentukan jenis mutasi yang terjadi.

Gambar 2.2. Ilustrasi facies cooley (bird face)

f. Klasifikasi Klinis Thalasemia

Berdasarkan kelainan klinis, thalasemia terbagi atas tiga (3)


pembagian utama yaitu: Thalasemia mayor, thalasemia intermedia,
dan thalasemia minor. Kriteria utama untuk membagi 3 bagian itu
berdasar atas gejala dan tanda klinis serta kebutuhan transfusi darah
yang digunakan untuk terapi suportif pasien thalasemia.
 Thalasemia Mayor
Thalasemia mayor adalah keadaan klinis thalasemia yang
paling berat. Kondisi thalasemia mayor terjadi karena gen penyandi
hemoglobin pada 2 alel kromosom mengalami kelainan. Pasien
membutuhkan transfusi darah sejak tahun pertama pada rentang usia
6-24 bulan dan kontinyu sampai seumur hidupnya. Rutinitas
transfusi thalasemia mayor berkisar antara 2 minggu sekali sampai 4
minggu sekali. Gejala thalasemia mayor secara umum muncul pada
usia 7 bulan awal pertumbuhan bayi atau setidaknya pada bawah tiga
tahun.
Gejala awal adalah keadaan pucat pada kulitnya terlihat
pada bagian telapak tangan, mata bagian kelopak mata sebelah
dalam, daerah perut, dan semua permukaan kulit. Lambat laun bayi
akan terlihat lemas, tidak begitu aktif, dan tidak bergairah menyusu.
Bayi akan mengalami kegagalan untuk berkembang secara normal
dan menjadi semakin pucat. Beberapa masalah seperti diare, lemah,
serangan demam berulang dan pembesaran perut progresif yang
disebabkan oleh pembesaran limpa dan hati dapat menjadi alasan
pasien untuk datang ke pelayanan kesehatan (Lantip Rujito, 2019).
 Thalasemia Intermedia
Sama seperti halnya dengan thalasemia mayor, individu
dengan thalasemia intermedia terjadi akibat kelainan pada 2
kromosom yang menurun dari ayah dan ibunya. Perbedaan ada pada
jenis gen mutan yang menurun. Individu thalasemia mayor menurun
2 gen mutan bertipe mutan berat, sedangkan pada thalasemia
intermedia 2 gen tersebut merupakan kombinasi mutan berat dan
ringan, atau mutan ringan. Onset awitan atau kenampakan klinis dari
thalasemia intermedia tidak seawall thalasemia mayor. Diagnosis
awal bisa terjadi pada usia belasan tahun atau bahkan pada usia
dewasa. Secara klinis thalasemia intermedia menunjukan gejala dan
tanda yang sama dengan thalasemia mayor namun lebih ringan dari
gambaran thalasemia mayor.
Pasien intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfusi
darahnya, terkadang hanya 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau bahkan
1 tahun sekali. Namun pada keadaan tertentu, keadaan intermedia
dapat jatuh ke keadaan mayor jika tubuh mengeluarkan darah yang
cukup banyak atau tubuh memerlukan metabolisme yang tinggi
seperti keadaan infeksi yang menahun, kanker atau keadaan klinis
lain yang melemahkan sistem fisiologis hematologi atau sistem
darah. Pasien thalasemia intermedia ini dapat cenderung menjadi
mayor ketika anemia kronis tidak tertangani dengan baik dan sudah
menyebabkan gangguan organ-organ seperti hati, ginjal, pankreas
dan limpa (Lantip Rujito, 2019).
 Thalasemia Minor
Thalasemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat,
traits, pembawa mutan, atau karier thalasemia. Karier thalasemia
tidak menunjukan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa
dipahami karena abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan
salah satu dari dua kromosom yang ada dikandungannya, bisa
dari ayah atau dari ibu. Satu gen yang normal masih mampu
memberikan kontribusi untuk proses hematopiesis yang cukup baik.
Beberapa penelitian bahkan menyebut bahwa diantara pendonor
darah rutin pada unit-unit transfusi darah adalah karier thalasemia
(Latip Rujito, 2019).

g. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak
jantung yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan
jantung. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan
penderita thalasemia beta mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan
sekali untuk memeriksa fungsi jantung, dan setahun sekali
pemeriksaan menyeluruh untuk memeriksa konduksi aliran listrik
jantung menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis jantung.
Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat dilakukan dengan
terapi khelasi yang lebih menyeluruh dan mengonsumsi obat
penghambat enzim konversi angiotensin.
2. Komplikasi pada Tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat
tubuh kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang
yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
 Nyeri persendian dan tulang
 Osteoporosis
 Kelainan bentuk tulang
 Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi
rendah.
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel
darah yang memiliki bentuk tidak normal dan berakibat kepada
meningkatnya jumlah darah yang ada di dalam limpa, membuat limpa
tumbuh lebih besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat
akan menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi
terlalu aktif, serta mulai menghancurkan sel darah yang
sehat. Splenectomy atau operasi pengangkatan limpa merupakan satu-
satunya cara untuk mengatasi masalah ini.
Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang serius, seperti flu dan
meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak Anda telah
melakukan operasi pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa
berperan dalam melawan infeksi. Segera temui dokter jika anak Anda
memiliki gejala infeksi, seperti nyeri otot dan demam, karena bisa
berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
terjadinya beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis
hati atau penyakit degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal
menjadi rusak, lalu digantikan oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh
karena itu, penderita thalassemia dianjurkan untuk memeriksa fungsi
hati tiap tiga bulan sekali.
Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat
antivirus, sedangkan mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat
dilakukan terapi khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif
terhadap zat besi. Para penderita thalassemia beta mayor, walaupun
telah melakukan terapi khelasi, dapat mengalami gangguan sistem
hormon.Perawatan dengan terapi pergantian hormon mungkin
diperlukan untuk mengatasi pertumbuhan dan masa pubertas yang
terhambat akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa
komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat terjadi usai pubertas
seperti berikut ini:
 Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
 Pankreas – diabetes
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan
anak-anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk
mengukur pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan
pada para remaja yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap
satu tahun sekali.
h. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas
formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut
order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Maureen,1999).
Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan
dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah
91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false
negative rate 8.53% (Maureen,1999).

c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Maureen, 1999).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Maureen,
1999).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang
diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan
<13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait
kadar MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun
ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal
ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Ngastiyah, 1997).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb
A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar
ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal
bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia
minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2
<2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb
J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb
A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat
terutama Hb F dan Hb A2
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku

i. Penatalaksanaan
1. Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara
lain :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh
(iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun
untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan secara 
subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen
dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan.         Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam
tahap penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian
parenteral obat penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin
diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan
pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.
 Penatalaksanaan Perawatan
Perawatan umum : makanan dengan gizi seimbang
Perawatan khusus :
1. Transfusi darah diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari 6
gr%) atau anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
2. Splenektomi. Dilakukan pada anak yang berumur lebih dari 2 tahun
dan bila limpa terlalu besar sehingga risiko terjadinya trauma yang
berakibat perdarahan cukup besar.
3. Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung zat besi.
4. Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses hemosiderosis
yaitu membantu ekskresi Fe. Untuk mengurangi absorbsi Fe melalui
usus dianjurkan minum teh.
5. Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak yang sudah
berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini masih sulit
dilaksanakan karena biayanya sangat mahal dan sarananya belum
memadai.

 Penatalaksanaan Pengobatan
a. Penderita thalassemia akan mengalami anemia sehingga selalu
membutuhkan transfusi darah seumur hidupnya. Jika tidak, maka akan
terjadi kompensasi tubuh untuk membentuk sel darah merah. Organ
tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah pembesaran jantung,
pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-tulang panjang,
yang akirnya dapat mengakibakan gagal jantung, perut membuncit,
dan bentuk tulang wajah berubah dan sering disertai patah tulang
disertai trauma ringan.
b. Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada
organ-organ tubuh. Yang terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman ,
sementara penumpukan besi di dalam tubuh umumnya terjadi pada
jantung, kelenjar endokrin, sehingga dapat megakibatkan gagal
jantung, pubertas terlambat, tidak menstruasi, pertumbuhan pendek,
bahkan tidak dapat mempunyai keturunan.
c. Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit
hepatitis B, hepatitis C, dan HIV cenderung besar. Ini yang terkadang
membuat anak thalassemia menjadi rendah diri.
d. Karena thalassemia merupakan penyakit genetik, maka jika dua orang
pembawa sifat thalassemia menikah, mereka mempunyai kemungkinan
25% anak normal/ sehat, 50% anak pembawa sifat/ thalassemia minor,
dan 25% anak sakit thalassemia mayor.

j. Pencegahan.
1) Pencegahan primer
penyuluhan sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk
mencegah perkawinan diantara pasien Thalasemia agar tidak
mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan antara 2
hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia
(homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
2) Pencegahan sekunder
Pencegahan kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri
dengan Thalasemia heterozigot salah satu jalan keluar adalah
inseminasi buatan dengan sperma berasal dari donor yang bebas dan
Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot terhindari, tetapi 50 %
dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50% lainnya normal.
Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion
merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus
homozigot intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan
abortus provokotus (Soeparman dkk, 1996).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Penyakit Thalassemia


a. Pengkajian
1. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah
(Mediteranial) seperti Turki, Yunani, dll. Di Indonesia sendiri,
thalasemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan
penyakit darah yang paling banyak diderita.
2. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala
telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada
thalasemia minor biasanya anak akan dibawa ke RS setelah usia 4
tahun.
3. Riwayat Kesehatan Anak
Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau
infeksi lainnya. Ini dikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai
alat transport.
4. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seiring didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap
tumbang sejak masih bayi. Terutama untuk thalasemia mayor,
pertumbuhan fisik anak, adalah kecil untuk umurnya dan adanya
keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada
pertumbuhan ramput pupis dan ketiak, kecerdasan anak juga
mengalami penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor, sering
terlihat pertumbuhan dan perkembangan anak normal.
5. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB
rendah dan tidak sesuai usia.
6. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih
banyak tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa
apakah orang tua juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka
anak beresiko terkena talasemia mayor.
8. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemia
a) KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang
seusia.
b) Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan
muka mongoloid (hidung pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata
lebar, tulang dahi terlihat lebar.
c) Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
d) Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e) Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya
pembesaran jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.
f) Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati
(hepatospek nomegali).
g)  Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB
di bawah normal
h) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
tidak tercapai dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak,
pubis ataupun kumis bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai
tapa odolense karena adanya anemia kronik.
i) Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering
mendapat transfusi warna kulit akan menjadi kelabu seperti besi.
Hal ini terjadi karena adanya penumpukan zat besi dalam jaringan
kulit (hemosiderosis).(Nurarif,2013)

Analisa data

NO DATA PATOFISIOLOGI MASALAH


1. DS : Kelainan genetik Ketidakefektifan perfusi
 Klien mengatakan jaringan perifer
badannya lemah Produksi rantai alfa dan
 Klien mengatakan beta Hb berkurang
mudah lelah jika
beraktivitas
 Klien mengatakan Kelainan pada eritrosit
dingin pada
ekstremitas
Pengikatan O2 berkurang
DO :
 Anemia Kompensator pada rantai
 Sianosis α

 CRT > 3 detik


 Pucat Rantai β produksi terus
menerus
 Hb 7
 Ekstremitas dingin
 Tanda-tanda vital
Hb defectif
TD : 90/70
Suhu : 350C
Ketidakseimbangan
Nadi : 40 x/i
polipeptida
RR : 12 x/i

Eritrosit tidak stabil

Hemolisis

Suplai O2 menurun

Ketidakseimbangan suplai
O2 dengan Kebutuhan

Hipoksia

Ketidakseimbangan suplai
O2 kejaringan perifer

Ketidakefektifan Perfusi
jaringan Perifer
2. DS : Dyspneu Ketidakseimbangan nutrisi
 Klien mengatakan kurang dari kebutuhan
tidak nafsu makan tubuh
 Klien mengatakan Kelelahan
badannya lemas

DO : Inteloransi aktivitas
 Penurunan berat
badan, sebelum sakit :
25 Kg, saat sakit : 15 Malas makan
Kg
 Perut membuncit
 Membran mukosa Intake nutrisi menurun

pucat
 Tonus otot menurun

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
3. DS : Eritrosit tidak stabil Keterlambatan
 Klien mengatakan pertumbuhan dan
badannya lemas perkembangan
 Klien mengatakan Hemolisis
tidak bisa beraktivitas
karena nyeri
Anemia berat
DO :
 Anemia
 Anak melakukan Transfusi darah berulang
transfusi darah
berulang
 Perkembangan tidak Hemosiderosis
sesuai umur
 Penumpukan zat besi
 Lemah Penumpukan Besi

 Tampak pucat
 Tidak bersemangat

Endoktrin

Tumbuh kembang
terganggu

Keterlambatan
pertumbuhan dan
perkembangan

b. Diagnosa Keperawatan
Cynthia (2011) menjelaskan diagnosa keperawatan yang mungkinmuncul pada
dagnosa medis thalasemia adalah sebagai berikut:
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan (hal 236 kode
00204)
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia (NANDA hal 153 kode 00002)
3) Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan efek
ketidakberdayaan fisik (NANDA hal 459 kode 00112)
4) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum (NANDA hal
226 kode 00092)
5) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangancairan aktif
(NANDA hal 181 kode 00027)
6) Risiko terhadap infeksi dengan faktor risiko pertahanan tubuhsekunder
tidak adekuat (penurunan hemoglobin) (NANDA hal 382 kode 00004)

c. Intervensi Keperawatan

No DIAGNOSA NOC NIC AKTIVITAS


1 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan  Monitor tanda- Monitor tanda-tanda
perfusi jaringan asuhan keperawatan selama tanda vital vital
perifer 2 x 24 jam diharapkan klien  Terapi oksigen 1. Monitor
berhubungan tidak merasa lemas dan  Peripheral tekanan
dengan ekstremitas normal serta sensation darah,nadi,su
ketidakseimbanga bisa beraktivitas seperti management hu dan
n suplai oksigen biasa dan tand-tanda vital  pernafasan
dengan kebutuhan dalam batas normal 2. Catat adanya
fluktasi
Kriteria Hasil : tekanan
1. Mendemontrasikan status darah
sirkulasi yang ditandai 3. Monitor
dengan adanya
 Tekanan systole dan tanda-tanda
diastole dalam rentang hipotermi
yang diharapkan 4. Monitor
 Tidak ada ortostatik kualitas nadi
5. Monitor
hipertensi kuat/lemahny
 Tidak ada tanda-tanda a tekanan
peningkatan nadi
intrakranial ( tidak 6. Monitor
lebih dari 15 mmHg) irama dan
2. Mendemonstrasikan frekuensi
kemampuan kognitif jantung
yang ditandai dengan 7. Monitor
 Berkomunikasi dengan bunyi jantung
jelas dan sesuai 8. Monitor
kemampuan frekuensi dan
 Menunjukkan irama nafas
perhatian, konsentrasi 9. Monitor
dan orientasi suara paru-

 Memproses informasi paru

 Membuat keputusan 10. monitor

dengan benar adanya

3. Menunjukkan fungsi abnormalitas

sensori motori cranial pola nafas

yang utuh : tingkat 11. monitor

kesadaran membaik , suhu,warna

tidak ada gerakan dan

involunter kelembaban
kulit
12. identifikasi
faktor
penyebab
perubahan
tanda-tanda
vital.
Manajemen sensasi
perifer
1. monitor
adanya
daerah
tertentu yang
hanya peka
terhadap
panas/dingin
/tajam/tump
ul
2. monitor
adanya
paretase
3. instruksikan
keluarga
untuk
mengobserv
asi kulit jika
ada isi atau
laserasi
4. diskusikan
mengenai
perubahan
sensasi

Terapi oksigen
1. Jaga
kepatenan
jalan nafas
2. Sediakan
peralatan
oksigen,syste
m
humidifikasi
3. Pantau aliran
oksigen
4. Pantau posisi
peralatan
yang
menyalurkan
oksigen pada
pasien
5. Pantau
jumlah
oksigen
secara teratur
sesuai
indikasi
6. Pantau tanda-
tanda
keracunan
oksigen atau
terjadi
hipoventilasi
yang
dipengaruhi
oksigen
7. Pantau
kecemasan
pasien
terhadap
pemasangan
oksigen
8. Cek oksigen
secara teratur
untuk
meyakinkan
bahwa
konsentrasi
oksigen yang
dianjurkan
sudah
megalir
9. Hentikan
pemberian
okisgen jika
pasien sudah
tidak
mengalami
sesak nafas
2. Ketidakseimbangase setelah dilakukan tindakan  Manajemen Manajemen nutrisi
n nutrisi kurang keperawatan selama 1 x 24 nutrisi 1. Kaji adanya alergi
dari kebutuhan jam diharapkan nafsu  Monitor nutrisi makanan
tubuh makan klien meningkat dan 2. Kolaborasi dengan
berhubungan berat badan sesuai dengan ahli gizi untuk
dengan anoreksia tinggi badan. menentukan jumlah
kalori dan nutrisi
Kritria hasil yang dibutuhkan
1. Adanya peningkatan pasien
berat badan 3. Anjurkan pasien
2. Bebrat badan ideal untuk meningkatkan
sesuai tinggi badan intake Fe
3. Mampu 4. Anjurkan untuk
mengidentifikasi meningkatkan
kebutuhan nutrisi protein dan vitamin
4. Tidak ada tanda-tanda C
malnutrisi 5. Berikan substansi
5. Menunjukkan gula
peningkatan fungsi 6. Yakinkan diet yang
pengecapan dari dimakan
menelan mengandung tinggi
6. Tidak terjadi serat untuk
penurunan berat badan mencegah
yang berarti konstipasi
7. Berikan makanan
yang terpilih
8. Ajarkan bagaimana
membuat catatan
makanan harian
9. Monitor jumlah
nutrisi dan
kandungan kalori
10. Berikan infomasi
tentang kebutuhan
nutrisi
11. Kaji kemampuan
pasien mendapatkan
nutrisi yang
dibutuhkan

Monitor nutrisi
1. BB dalam batas
normal
2. Monitor adanya
penurunan berat
badan
3. Monitor tipe dan
jumlah aktivitas
yang biasa
dilakukan
4. Monitor lingkungan
dan selera makan
5. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan selama
tidak jam makan]
6. Monitor turgor kulit
7. Monitor kadar
albumin,
protein,hb,ht
8. Monitor tumbuh
kembang
9. Monitor
pucat,kemerahan
dan kekringan
konjungtiva
3 Keterlambatan setelah dilakukan tindakan  Peningkatan Peningkatan
pertumbuhan dan keperawatan selama 3 x 24 perkembangan perkembangan anak dan
perkembangan jam diharapkan anak dapat anak dan remaja
berhubungan tumbuh normal dan mampu remaja 1. Kaji faktor
dengan efek berinteraksi dengan  Terapi nutrisi penyebab gangguan
ketidakberdayaan lingkungan sekitarnya perkembangan anak
fisik 2. Identifikasi dan
gunakan sumber
pendidikan untuk
memfasilitasi
Kriteria Hasil
perkembangan anak
1. Anak berfungsi optimal yang optimal
sesuai tingkatnya 3. Berikan perawatajn
2. Keluarga dan anak yang konsisten
mampu menggunakan 4. Tingkatkan
koping karena adanya komunikasi verbal
ketidakmampuan dan stimulasi takstil
3. Keluarga mapu 5. Berikan instruksi
mendapatkan sumber- berulang dan
sumber sarapa sederhana
komunitas 6. Berikan
4. Kematangan fisik reinforcement
positif atas hasil
yang dicapai anak
7. Dorong anak
melakukan
sosialisasi dengan
kelompok
8. Ciptakan
lingkungan yang
aman

Terapi nutrisi
1. Menyelesaikan
penilaian gizi,
sesuai memantau
makanan / cairan
tertelan dan
menghituing asupan
kalori harian
2. Memantau
kesesuaian perintah
diet untuk
memenuhi
kebutuhan gizi
sehari-hari
3. Kolaborasi dengan
ahli gizi,jumlah
jenis nutrisiyang
dibutuhkan untuk
memenuhi
persyaratan gizi
yang sesuai
4. Pilih suplemen gizi
yang sesuai
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak


diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/
Faktor genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan
penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui
gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada
manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen
globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta.

Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi pada gen


globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang
atau tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat pematangan sel
darah merah sehingga eritropoiesis dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya
produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih
pendek dari sel darah normal (120 hari). (Kliegman,2012)

Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi. Sebagaian
besar mengalami gangguan anemia ringan.

a. Thalasemia minor

b. Thalasemia mayor

Tanda awal adalah awitan mendadak, anemia, demam yang tidak dapat dijelaskan, cara
makan yang buruk, penurunan BB dan pembesaran limpa. Tanda lanjut adalah hipoksia
kronis; kerusakan hati, limpa, jantung, pankreas, kelenjar limphe akibat
hemokromotosis, ikterus ringan atau warna kulit mengkilap, kranial tebal dengan pipi
menonjol dan hidung datar; retardasi pertumbuhan; dan keterlambatan perkembangan
seksual.

Klasifikasi Thalasemia
1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
2. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)
 Komplikasi
1. Komplikasi Jantung
2. Komplikasi pada Tulang
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
4. Komplikasi pada Hati
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
 Pemeriksaan Penunjang
1. Screening test
2. Definitive test
 Penatalaksanaan
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen
dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari
suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian
parenteral obat penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin
diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan
pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hoffbrand. A.V & Petit,J.E. (2006). Kapita Selekta Hematologi . Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Kliegman Behrman. (20012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa
Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif, Dkk. (2000). Kapita Selekta kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Maureen Okam, M.D (Harvard Media School). (1999). Thalassemia Information.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muscari,Mary E.(2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Nurarif,Amin Huda Dan Hardhi Kusuma. (2013) . Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc Jilid 2. Yogyakarta :
MediaCtion Publishing
Makarim, dr. F.R. (2022) Thalassemia - gejala, Penyebab, Dan Pengobatan,
halodoc. Available at: https://www.halodoc.com/kesehatan/thalassemia
(Accessed: 04 August 2023).
Dinkes NTB (2021). Mengenal Penyakit Thalasemia. Diakses pada 04 Agustus
2023 dari https://dinkes.ntbprov.go.id/berita/datin/mengenal-penyakit-
thalasemia/#:~:text=Thalasemia%20merupakan%20kelainan%20darah
%20yang,darah%20(Marnis%2C%20Indriati%2C%20%26
Aulia (2017). Manifestasi Klinik Thalasemia Mayor. Diakses pada 04 Agustus
2023 dari link https://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/subdit-
penyakit-kanker-dan-kelainan-darah/manifestasi-klinik-thalassemia-
mayor#:~:text=Pada%20beberapa%20kasus%20Thalassemia
%20dapat,dengan%20pembesaran%20hati%20dan%20limpa

Anda mungkin juga menyukai