Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN KOMUNITAS I

“Program Pemberantasan Penyakit Tidak Menular Thalasemia”

DISUSUN OLEH :

1. Aditya Yohandi Putra (22230161P)


2. Geby Monika Yolanda Putri (22230195P)
3. Intan Pratiwi (22230139P)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN (FIKES)
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmatdan hidayah serta karunianya, sehingga masih diberi kesempatan untuk bekerja
menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Program Pemberantasan Penyakit Tidak
Menular Thalasemia”.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas
I. Tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengajar kami dan
teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalahini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yangdimiliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak kami harapkan.

Bengkulu, 12 Februari 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

KATA PENGANTAR........................................................................................... ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii-iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1


1.2. RUMUSAN MASALAH......................................................................... 4
1.3. TUJUAN PENULISAN........................................................................... 4
1.4. MANFAAT PENULISAN....................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI THALASEMIA...................................................................... 6


2.2. ETIOLOGI............................................................................................... 6
2.3. PATOFISIOLOGI.................................................................................... 8
2.4. MANIFESTASI KLINIS......................................................................... 9
2.5. KLASIFIKASI THALASEMIA.............................................................. 12
2.6. KOMPLIKASI......................................................................................... 15
2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG............................................................. 17
2.8. PENATALAKSANAAN ........................................................................ 19

BAB III PENUTUP

1.1. KESIMPULAN........................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit tidak menular (PTM) adalah masalah yang sangat substansial,
mengingat pola kejadiannya sangat menentukan status kesehatan di suatu daerah dan
juga keberhasilan peningkatan status kesehatan disuatu Negara secara global. Badan
kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk dunia
mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40%
kasusnya adalah di Asia. Data dari World Health Organization menyatakan sekitar
250 juta penduduk dunia (4,5%) membawa gen thalasemia, sedangkan 80-90 juta di
antaranya membawa gen thalasemia β (beta). Prevalensi thalasemia di berbagai
negara juga mengalami angka yang cukup tinggi, seperti di Italia 10%, Yunani 5-
10%, Cina 2%, India 1-5%. Jika dilukiskan dalam peta dunia, seolah-olah membentuk
sebuah sabuk (thalassemic belt) dimana Indonesia termasuk di dalamnya (Bakta,
2007).
Angka penderita penyakit Talasemia di Indonesia masih terbilang tinggi.
Menurut data sebanyak 10.531 pasien terdeteksi menderita Talasemia Mayor.
Sementara sebanyak 2.500 bayi baru lahir diprediksi membawa sifat talasemia setiap
tahunnya (Kemenkes, 2019). Indonesia menjadi salah satu Negara yang berisiko
tinggi untuk penyakit thalasemia. Di tahun 2009 penderita thalasemia mencapai 4000
jiwa hingga pada tahun 2014 penderita thalasemia mencapai 6000 jiwa. Peningkatan
tiap tahunnya mencapai 5-10 persen. Banyak masyarakat Indonesia yang belum
mengenal penyakit kelainan darah tersebut karena penyakit thalasemia memang tidak
sepopuler HIV/AIDS, namun bagi pengidap penyakit ini juga sama berbahayanya
hingga mangakibatkan kematian (Beritasatu, 2011).
Berdasarkan data YTI (Yayasan Thalasemia Indonesia) dan POPTI (Persatuan
Orang tua Pederita Thalasemia) tahun 2014, didapatkan pembawa sifat sebanyak 699
orang (5,8%) dari 12.038 orang yang diperiksa (Intansari, 2016).
1
Data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan (Riskesdas) 2015
menunjukan, penderita thalasemia di Indonesia terdapat 7.029 kasus. Data ini
meningkat dari tahun 2014 dengan sebanyak 6.647 kasus. Berdasarkan data terdapat
sekitar 7% populasi dunia sebagai pembawa sifat thalasemia dengan kematian sekitar
50.000 – 100.000 anak dimana 80% nya terjadi di negara berkembang.
Penurunan angka kematian akibat PTM sebesar 25% pada tahun 2025 sudah
ditetapkan menjadi target Global dan Nasional SDG's (Sustainable Development
Goal's), untuk itu Indonesia perlu membangun program pencegahan dan
pengendalian PTM yang kuat dalam menghadapi tantangan tersebut. Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (Germas) yang akan dilauncing oleh Presiden pada tahun
2017, merupakan suatu tindakan yang sistematis dan terencana yang dilakukan secara
bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan kesadaran, kemauan dan
kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas
serta daya saing bangsa.
Adapun tujuan utamanya adalah untuk menurunkan beban penyakit menular dan
PTM, baik kesakitan, kecacatan maupun kematian dini/ premature; menghindarkan
terjadinya penurunan produktivitas penduduk; menurunkan beban pembiayaan
pelayanan kesehatan karena meningkatnya penyakit serta menghindarkan
peningkatan beban finansial penduduk untuk pengeluaran kesehatan; peningkatan
beban ekonomi Negara. Fokus kegiatan Germas adalah kegiatan berupa peningkatan
aktivitas fisik, perbaikan pola konsumsi dan keamanan pangan dengan banyak makan
sayur dan buah, peningkatan akses ke pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit
serta pemeriksaan/ skrining kesehatan secara rutin.
Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama
kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan
oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas . Thalasemia adalah
penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam

2
pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari).
( Williams, 2005)
Gen thalasemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-
daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, timur tengah, sub benua
India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Amerika keturunan Italia atau
Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen untuk thalasemia β.
Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu atau
lebih gen thalasemia.(Kliegam,2012).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang diwariskan oleh orangtua
kepada anak. Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan
hemoglobin yang berakibat pada penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu protein
dalam sel darah merah yang mengangkut oksigen dan nutrisi lainnya ke sel-sel
lainnya dalam tubuh. Sekitar 100.000 bayi di seluruh dunia terlahir dengan jenis
thalasemia berbahaya setiap tahunnya.(Kliegam,2012)
Ada dua jenis thalassemia yaitu alpha dan beta. Kedua jenis thalassemia ini
diwariskan dengan cara yang sama. Penyakit ini diturunkan oleh orangtua yang
memiliki mutated gen atau gen mutasi thalasemia. Seorang anak yang mewarisi satu
gen mutasi disebut pembawa atau carrier, atau yang disebut juga dengan thalassemia
trait (sifat thalassemia). Kebanyakan pembawa ini hidup normal dan sehat. Anak
yang mewarisi dua sifat gen, di mana satu dariibu dan satu dari ayah, akan
mempunyai penyakit thalassemia. Jika baik ibu maupun ayah adalah pembawa,
kemungkinan anak mewarisi dua sifat gen.(Williams,2005)
Dengan kata lain mempunyai penyakit thalasemia, adalah sebesar 25 persen.
Anak dari pasangan pembawa juga mempunyai 50 persen kemungkinan lahir sebagai
pembawa. Jenis paling berbahaya dari alpha thalassemia yang terutama menimpa
keturunan Asia Tenggara, Cina dan Filipina menyebabkan kematian pada jabang bayi
atau bayi baru lahir. Sementara itu, anak yang mewarisi dua gen mutasi beta
thalassemia akan menderita penyakit beta thalassemia (Williams,2005).
3
Anak ini memiliki penyakit thalasemia ringan yang disebut dengan thalassemia
intermedia yang menyebabkan anemia ringan sehingga si anak tidak memerlukan
transfusi darah. Jenis thalassemia yang lebih berat adalah thalassemia major atau
disebut juga dengan Cooley's Anemia. Penderita penyakit ini memerlukan transfusi
darah dan perawatan yang intensif. Anak-anak yang menderita thalassemia major
mulai menunjukkan gejala-gejala penyakit ini pada usia dua tahun pertama. Anak-
anak ini terlihat pucat, lesu dan mempunyai nafsu makan rendah, sehingga
menyebabkan pertumbuhannya terlambat.
Oleh karena itu kami merasa perlu untuk lebih meningkatkan asuhan
keperawatan pada anak thalasemia,karena anak yang terkena thalasemia bukan hanya
mengalami gangguan hematologi tetapi juga gangguan imunitas, sehingga perlu
mendapatkan perhatian khusus agar anak tidak mengalami gangguan tumbuh
kembang.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa definisi thalasemia ?
2. Apa etiologi thalasemia ?
3. Bagaimana patofisiologi thalasemia?
4. Bagaimana manifestasi klinis thalasemia ?
5. Apa saja Klasifikasi thalasemia ?
6. Apa saja komplikasi pada thalasemia ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada thalasemia ?
8. Bagaimana penatalaksanaan thalasemia ?
9. Bagaimana Asuhan Keperawatan pasien thalasemia ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan dan melaksanakan asuhan keperawatan anak pada anak
yang menderita thalasemia
4
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan konsep klinis thalassemia
b. Mampu melakukan pengkajian pada anak yang menderita thalassemia
c. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada anak yang menderita
thalassemia
d. Mampu membuat intervensi pada anak yang menderita thalassemia
e. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien thalassemia
f. Mampu melakukan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien thalasemia

1.4. Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis tentang thalassemia
2. Mahasiswa dapat mengetahui gambaran teoritis asuhan keperawatan thalasemia

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Thalasemia


Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 1997 ). Sedangkan menurut Mansjoer (2000)
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara
resesif.
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul akibat
berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand dkk, 2006).
Talasemia adalah suatu golongan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi
produksi rantai globin pada hemoglobin (Suriadi, 2001). Sedangkan menurut Muscari
(2005) Talasemia merupakan kelompok yang memiliki gangguan darah yang
diwariskan dan dikarakteristikan dengan defisiensi sintetis rantai globulin spesifik
molekul hemoglobin.
Talasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk
kedalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkanoleh gangguan
system hemoglobin akibat mutasi didalam atau dekat gen globin (Nurarif, 2013 )
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan di tandai oleh defisiensi
produk rantai globin pada hemoglobin (Suriadi danYuliani, 2010).
Thalasemia(anemia Cooley atau Mediterania) merupakan anemia yang relatif
umum terjadi, dimana jumlah globin yang diproduksi tidak cukup untuk mengatasi
sel-sel darah merah. (Kliegman,2012).

2.2. Etiologi
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan.Banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia
dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit
6
menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini
diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada
kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin
beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin.
Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat
thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan
gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang
tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap
pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya
maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah
gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini.
Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang
tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri
yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik.Jika kedua orang tua
tidak menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka tidak mungkin
mereka menurunkan Thalassaemia trait atau pembawa sifat Thalassaemia biasa
disebut juga dengan Thalassaemia mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-
anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%)
7
kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan
menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut
kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal,
atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor.(hoffbrand dkk,2006).
Menurut Williams (2005) penyebab thalasemia adalah
1. Gangguan resesif autosomal yang diturunkan
2. Gangguan herediter yang disebabkan kelainan sistem rantai beta dan rantai alfa
globin

2.3. Patofisiologi
Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi pada
gen globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut
berkurang atau tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat
pematangan sel darah merah sehingga eritropoiesis dan mengakibatkan anemia berat.
Akibatnya produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau
umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). (Kliegman,2012)
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa dan
dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai beta
thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul hemoglobin
yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada suatu
kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi
secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak
seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini
8
menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan rantai
beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida ini
mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau
terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan pada
bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi
RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi
RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan
edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau
rapuh. (Suriadi, 2001 )
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda
urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino
tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-A, sedangkan kelainan pada rantai
alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F.
(Suriadi,2001).

2.4. Manifestasi Klinis


Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi.
Sebagaian besar mengalami gangguan anemia ringan.
1. Thalasemia minor (thalasemia heterogen) umumnya hanya memiliki gejala
berupa anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat asimtomatik dan
sering tidak terdeteksi.
2. Thalasemia mayor, umumnya menampakkan manifestasi klinis pada usia 6
bulan, setelah efek Hb 7 menghilang.
a. Tanda awal adalah awitan mendadak, anemia, demam yang tidak dapat
dijelaskan, cara makan yang buruk, penurunan BB dan pembesaran limpa.

9
b. Tanda lanjut adalah hipoksia kronis; kerusakan hati, limpa, jantung, pankreas,
kelenjar limphe akibat hemokromotosis, ikterus ringan atau warna kulit
mengkilap, kranial tebal dengan pipi menonjol dan hidung datar; retardasi
pertumbuhan; dan keterlambatan perkembangan seksual.
3. Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan
kerusakan sel resultan yang mengakibatkan :
a. Splenomegali
b. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran kepala,
tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur spontan.
c. Komplikasi jantung, seperti aritmia, perikarditis, CHF dan fibrosis serat otot
jantung.
d. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
e. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
f. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan pragmentasi coklat akibat defisit zat besi.
g. Retardasi pertumbuhan dan komplikasi endokrin.
4. Gejala lain pada penderita Thalasemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal
ini karena oksigen yang dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan
beusaha bekerja lebih keras sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-
debar, lama-kelamaan jantung akan bekerja lebih keras sehingga lebih cepat
lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa penderita bisa menjadi besar karena
penghancuran darah terjadi di sana, selain itu sumsum tulang juga bekerja lebih
keras karena berusaha mengkompensasi kekurangan Hb, sehingga tulang menjadi
tipis dan rapuh sehingga mudah rapuh. Jika ini terjadi pada muka (tulang hidung
maka wajah akan berubah bentuk, batang hidung akan hilang/ melesak ke dalam
(fasise cookey) ini merupakan salah satu tanda khas penderita thalasemia.
(hoffbrand dkk,2006)

Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya
gejala klinis(Doenges,2000) :
10
1. mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara
tingkatan tersebut sering tidak jelas. Anemia berat menjadi nyata pada umur 3
– 6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi.
2. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah
berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa
yang membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah
penghancuran sel darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan
menyebabkan pertambahan volume plasma.
3. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang
mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka
mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan
zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
4. Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak
sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering
mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat
penimbunan besi dalam jaringan kulit.
5. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia
mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra
medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
6. Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia
mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.
 Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
 Thalasemia intermedia
 Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)

11
7. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik,
anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel
normoblas).
8. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi
(IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%,
kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45%
pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS.
9. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat
karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
10. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan
peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya
sintetis rantai beta.

2.5. Klasifikasi Thalasemia


2.5.1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
Sindrom thalassemia α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada
kromosom 16 (terdapat 2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi
seperti gangguan mRNA pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai
menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat,
yaitu:
a. Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α -Thalasemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin _ sedangkan tiga lokus
globin yang ada masih bisa menjalankan fungsi normal sehingga tidak
terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalasemia.
b. Delesi pada dua rantai α (α -Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan
peningkatan dari HbH dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti
12
anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik mikrositer dan
MCV(mean corpuscular volume) 60-75 fl.
c. Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai
anemia hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan
retikulositosis. HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak
terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki pasangan dan
kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β 4). Dengan
banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam
eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita
dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl)
dan MCV(mean corpuscular volume) 60-70 fl.
d. Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya
terdapat banyak Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak
terbentuknya rantai γ sehingga rantai γ membentuk tetramer sendiri
menjadi γ4. Manifestasi klinis dapat berupa ikterus,
hepatosplenomegali dan janin yang sangat anemis. Kadar Hb hanya 6
g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts,
sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF. Biasanya bayi yang
mengalami kelainan ini akan beberapa jam setelah kelahirannya.

1. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)


Thalassemia - β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek
kromosom 11.
a. Thalassemia β
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga
tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan HbA
b. Thalassemia β +
13
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional
namun hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat
dibentuk walaupun hanya sedikit.

Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :


a. Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat
thalasemia.Gejala penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan
biasanya penderita hanya bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita
bercirikan :
 Lemah
 Pucat
 Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
 Berat badan kurang
 Tidak dapat hidup tanpa transfusi transfusi darah seumur hidupnya.
 Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan,
biasanya hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan untuk
orang normal namun dapat mewariskan gen thalassemia pada anak-
anaknya:ditandai oleh splenomegali, anemia berat, bentuk homozigot.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:
 Gizi buruk
 Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba
 Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati(Hepatomegali ),
Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja
Gejala khas adalah:
 Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak
antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
14
 Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi
kelabu karena penimbunan besi

2.6. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak jantung
yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita thalasemia
beta mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa fungsi
jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh untuk memeriksa konduksi
aliran listrik jantung menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis
jantung.
Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat dilakukan dengan terapi
khelasi yang lebih menyeluruh dan mengonsumsi obat penghambat enzim
konversi angiotensin.
2. Komplikasi pada Tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat tubuh
kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut:
 Nyeri persendian dan tulang
 Osteoporosis
 Kelainan bentuk tulang
 Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah.
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)

15
Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel darah
yang memiliki bentuk tidak normal dan berakibat kepada meningkatnya jumlah
darah yang ada di dalam limpa, membuat limpa tumbuh lebih besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat akan
menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi terlalu aktif, serta
mulai menghancurkan sel darah yang sehat. Splenectomy atau operasi
pengangkatan limpa merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini.
Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang serius, seperti flu dan
meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak Anda telah melakukan operasi
pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa berperan dalam melawan infeksi.
Segera temui dokter jika anak Anda memiliki gejala infeksi, seperti nyeri otot
dan demam, karena bisa berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan terjadinya
beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis hati atau penyakit
degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal menjadi rusak, lalu digantikan oleh
jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena itu, penderita thalassemia dianjurkan
untuk memeriksa fungsi hati tiap tiga bulan sekali. Pencegahan infeksi hati dapat
dilakukan dengan mengonsumsi obat antivirus, sedangkan mencegah kerusakan
hati yang lebih parah dapat dilakukan terapi khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif terhadap zat
besi. Para penderita thalassemia beta mayor, walaupun telah melakukan terapi
khelasi, dapat mengalami gangguan sistem hormon.Perawatan dengan terapi
pergantian hormon mungkin diperlukan untuk mengatasi pertumbuhan dan masa
pubertas yang terhambat akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa
komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat terjadi usai pubertas seperti berikut
ini:

16
 Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
 Pankreas – diabetes
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan anak-
anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para remaja
yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu tahun sekali.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan
apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi
kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-
pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia <
kontrol < spherositosis (Maureen,1999). Studi OF berkaitan kegunaan sebagai
alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand,
sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan
false negative rate 8.53% (Maureen,1999).
c. Indeks eritrosit

17
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik.
Maka metode matematika dibangunkan (Maureen, 1999).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose seperti
0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100, MCV/RBC dan
MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia
defisiensi besi dengan Thalassemia β (Maureen, 1999).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh
sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke
Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah,
eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia
defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke rendah dan anemia
adalah gejala lanjut (Ngastiyah, 1997).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam
darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb
A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis
Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%,
Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S
dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran
18
Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia
bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi
dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah
dapat juga menentukan mutasi yang berlaku

2.7. Penatalaksanaan
1. Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat
dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine
diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama
dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi).
c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya
sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan.
Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum
tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
d. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat
penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam

19
jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur),
5-6 malam/minggu.

2. Penatalaksanaan Perawatan
a. Perawatan umum : makanan dengan gizi seimbang
b. Perawatan khusus :
 Transfusi darah diberikan bila kadar Hb rendah sekali (kurang dari 6 gr%)
atau anak terlihat lemah dan tidak ada nafsu makan.
 Splenektomi. Dilakukan pada anak yang berumur lebih dari 2 tahun dan
bila limpa terlalu besar sehingga risiko terjadinya trauma yang berakibat
perdarahan cukup besar.
 Pemberian Roborantia, hindari preparat yang mengandung zat besi.
 Pemberian Desferioxamin untuk menghambat proses hemosiderosis yaitu
membantu ekskresi Fe. Untuk mengurangi absorbsi Fe melalui usus
dianjurkan minum teh.
 Transplantasi sumsum tulang (bone marrow) untuk anak yang sudah
berumur diatas 16 tahun. Di Indonesia, hal ini masih sulit dilaksanakan
karena biayanya sangat mahal dan sarananya belum memadai.

3. Penatalaksanaan Pencegahan
Penyakit Thalasemia belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal
yang penting dibanding pengobatan. Program pencegahan Thalasemia menurut
Mansjoer (2000). Terdiri dari beberapa strategi, yakni :
a. penapisan (skining) pembawa sifat Thalasemia.
b. konsultasi genetik (genetic counseling)
c. Diagnosis prenatal.

20
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif.
Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat Thalasemia
langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah
menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita Thalasemia
(family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-
nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan
yang baik untuk Thalasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut.
Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama
di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif
memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha
program pencegahan di Negara berkembang dan Negara maju (Mansjoer, 2000).
Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di Negara
berkembang dari pada program prospektif. Konsultasi genetik meliputi skrining
pasangan yang akan kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan
yang berisiko tinggi diberikan informasi dan nasehat tentang keadaannya dan
kemungkinan bila mempunyai anak. Diagnosis prenatal meliputi pendekatan
retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif, berarti melakukan diagnosa
prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak Thalasemia, dan sekarang
sementara hamil. Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan yang
berisiko tinggi yaitu mereka keduanya pembawa sifat dan sementara baru hamil.
Diagnosis prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu, dengan
mengambil sampel darah dari villi khorialis (jaringan ari-ari) untuk keperluan
analisis DNA (Lanni, 2002).
Dalam rangka pencegahan penyakit Thalasemia Menurut Lanni (2002) ada
beberapa masalah pokok yang harus disampaikan kepada masyarakat, ialah :
a. Bahwa pembawa sifat Thalasemia itu tidak merupakan masalah baginya.
b. Bentuk Thalasemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar,
penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian.
c. Kelahiran bayi Thalasemia dapat dihindarkan
21
4. Penatalaksanaan Penanganan
Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta.
Thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit
atau tanpa pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum untuk Thalasemia
tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan chelation, serta
menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah
dengan transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan
HLA (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2005).
a. Transfusi darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini
merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita Thalasemia
sedang atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan
memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal. Untuk
mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara
rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk
penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah hanya dilakukan
sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta Thalasemia mayor
(Cooleys Anemia) harus dilakukan secara teratur (Children's Hospital &
Research Center Oakland, 2005).
b. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein.
Apabila melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan
penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung,
dan organ-organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi
diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh. Terdapat dua
obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi besi menurut National
Hearth Lung and Blood Institute (2008) yaitu:

22
1. Deferoxamine
Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui bawah kulit
secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa kecil yang
digunakan dalam kurun waktu semalam. Terapi ini memakan waktu lama
dan sedikit memberikan rasa sakit. Efek samping dari pengobatan ini
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan pendengaran.
2. Deferasirox
Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya
adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, dan kelelahan.
c. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel
darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping
melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
1. Transplantasi sum-sum tulang belakang
Bone Marrow Transplantation (BMT) sejak tahun 1900 telah
dilakukan. Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan
menggantikan sel-sel induk yang rusak. Sel-sel induk adalah sel- sel di
dalam sumsum tulang yang membuat sel-sel darah merah.
Transplantasi sel induk adalah satu- satunya pengobatan yang dapat
menyembuhkan Thalasemia. Namun, memiliki kendala karena hanya
sejumlah kecil orang yang dapat menemukan pasangan yang baik
antara donor dan resipiennya (Okam, 2001).
2. Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood)
Cord blood adalah darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta.
Seperti tulang sumsum, itu adalah sumber kaya sel induk, bangunan
blok dari sistem kekebalan tubuh manusia. Dibandingkan dengan
pendonoran sumsum tulang, darah tali pusat non-invasif, tidak nyeri,
lebih murah dan relatif sederhana (Okam, 2001).
d. HLA (Human Leukocyte Antigens)
23
Human Leukocyte Antigens (HLA) adalah protein yang terdapat pada
sel dipermukaan tubuh. Sistem kekebalan tubuh kita mengenali sel kita
sendiri sebagai 'diri' dan sel „asing' sebagai lawan didasarkan pada
protein HLA ditampilkan pada permukaan sel kita. Pada transplantasi
sumsum tulang, HLA ini dapat mencegah terjadinya penolakan dari tubuh
serta Graft versus Host Disease (GVHD). HLA yang terbaik untuk
mencegah penolakan adalah melakukan donor secara genetik
berhubungan dengan penerima (Okam, 2001).

Menurut Tamam (2006) karena penyakit ini menurun, maka


kemungkinan penderitanya akan terus bertambah dari tahun ketahunnya.
Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum menikah sangat penting
dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita Thalasemia ini.
Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa
kemungkinan membawa sifat Thalasemia. Pemeriksaan akan sangat
dianjurkan bila terdapat riwayat:

a. Ada saudara sedarah yang menderita Thalasemia.


b. Kadar hemoglobin relative rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah
minum obat penambah darah seperti zat besi.

24
BAB IV

PENUTUP

1.1. Kesimpulan

Thalasemia di sebabkan oleh kelainan genetik yang memengaruhi produksi


sel darah merah. Kelainan genetik ini di turunkan dari orang tua meski orang tua
tersebut tidak mengalami gejala.
Penderita thalasemia akan mengalami anemia yang membuat penderitaanya
mudah lelah dan lemas. Waktu kemunculan dan tingkat keparahan gejala yang di
alami penderita tergantung pada jenis thalasemia yang di derita Pada thalasemia
ringan (miror), anemia mungkin tidak terjadi. Pada thalasemia mayor,
penderitanya akan merasakan gejala kurang darah berat, kondisi ini dapat
merusak organ tubuh, bahkan berujung pada kematian, mangka dari itu penderita
thalasemia perlu menjalani tranfusi darah berulang untuk menambah sel darah
yang kurang.
Thalasemia tidak dapat dicegah, karena kelainan ini di turunkan secara
genetik. Untuk mencegah agar thalasemia tidak menurun ke anak,pasangan yang
akan menikah disarankan berkonsultasi dengan dokter,terutama bagi pasangan
yang keluarganya menderita thalasemia.

25
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hoffbrand. A.V & Petit,J.E. (2006). Kapita Selekta Hematologi . Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Kliegman Behrman. (20012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa
Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
Mansjoer, Arif, Dkk. (2000). Kapita Selekta kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC
Maureen Okam, M.D (Harvard Media School). (1999). Thalassemia Information.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
Muscari,Mary E.(2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Ngastiyah .(1997). Perawatan Anak Sakit Edisi 1 . Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Nurarif,Amin Huda Dan Hardhi Kusuma. (2013) . Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc Jilid 2. Yogyakarta : MediaCtion
Publishing
Schwartz,M.William. (2005). Pedoman Klinis Pediatri,Alih Bahasa Brahm U Pandit.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soeparman,Sarwono w. (1996). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Suriadi S.kep dan Yuliana Rita S.kep. (2001) Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1.
Jakarta : PT. Fajar Interpratama

26

Anda mungkin juga menyukai