DISUSUN OLEH
KELOMPOKV
NAMA NIM
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat,rahmat, dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun ”Asuhan Keperawatan Pada Klien
Dengan Kasus Fraktur Tibia Fibula)” untuk menyelesaikan Tugas Mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah III.
Dalam penyusunan askep ini, tidak lepas dari hambatan yang kami hadapi, kami
menyadari dalam penulisan askep ini tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu
kami mengharapkan saran dan kritikan yang dapat menyempurnakan askep ini,
kami berharap berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
wawasan untuk pembaca dan juga untuk kami sendiri.
Kelompok I
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DATAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan masalah..................................................................................................2
C. Tujuan....................................................................................................................2
A. Definsi .................................................................................................................3
B. Etiologi .................................................................................................................5
C. Tanda dan Gejala...................................................................................................6
D. Patofisiologi...........................................................................................................6
E. Komplikasi.............................................................................................................7
F. Pengobatan ............................................................................................................8
G. pencegahan..........................................................................................................14
H. pemeriksaan penunjang.......................................................................................14
A. Pengkajian...........................................................................................................16
B. Diagnosa..............................................................................................................28
C. Intervensi keperawatan........................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit
genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007).
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah
yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh
(McPhee & Ganong, 2010).
Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7%
dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi
sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier thalasemia di
Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus thalasemia di Indonesia
mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006
(Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru,
penyakit thalasemia menduduki peringkat pertama di ruang rawat inap anak.
Jumlah penderita thalasemia pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun
2014 jumlah pasien thalasemia sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru, 2014).
Anak yang menderita thalasemia sering mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada pasien
thalasemia adalah factor genetik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga
berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dl
disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi
(Arijanty, 2008). Gangguan pertumbuhan pada penderita thalasemia disebabkan
oleh kondisi anemiadan masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin
ini dapatmengganggu proses pertumbuhan anak penderita thalasemia,
sehinggamengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti postur yang
pendek(Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009)
menemukanadanya masalah pertumbuhan pada anak penderita thalasemia,
yaitumengalami malnutrisi berat sebanyak 20 orang (67%) dan juga
ditemukanmasalah perkembangan dimana anak penderita thalasemia
mengalamisuspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%). Penelitian
yangdilakukan Asadi- Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran
adanyahubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dankecepatan
pertumbuhan.
Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin9-10
g/dl (Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerusakan
menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkimhati dan disertai
dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping daritranfusi adalah
meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph,Hoffmand, & Rudolph,
2007). Pemberian tranfusi yang berulangmengakibatkan kerusakan organorgan
tubuh seperti hati, limpa, ginjal,jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang
diberikan pada pasien yangmelakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi
besi.
Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saatkadar
feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah10-15 kali, dan
sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan bebanbesi akan terjadi apabila
penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapisehingga menyebabkan morbiditas
berat dan kematian usia muda.Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana,
dan Idjradinata (2009)yang dilakukan pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr.
Hasan SadikinBandung ditemukan sebanyak 25 (83%) anak kelompok
denganthalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan seksual.
Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi besi sehingga
jumlah besi di dalam tubuh akan berbedabeda.
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4
Desember 2014 dengan mewawancarai 10 orang tua anak penderita thalasemia
didapatkan bahwa semua orang tua anak penderita thalasemia mengatakan setiap
bulan mereka membawa anaknya untuk ditranfusi, jika anaknya tidak mendapatkan
tranfusi maka kondisi anak akan mudah lemah, tidak bertenaga, dan pucat. Data
lain yang didapatkan dari studi pendahuluan yaitu 6 anak mengkonsumsi kelasi besi
secara teratur dan 4 anak lainnya tidak teratur mengkonsumsi kelasi besi. Hasil
pengukuran berat badan dan tinggi badan yang dilakukan peneliti, 3 dari 10 orang
anak thalasemia mengalami masalah pertumbuhan seperti berat badan tidak sesuai
dengan usia anak (Safitri, Ernawaty, & Karim, 2015).
PEMBAHASAN
A. Definisi
Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di bawah
kulit. Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable
pump”.
B. Tujuan
Menurunkan/mencegah penumpukan Fe dalam tubuh baik itu hemochromatosis
(penumpukan Fe di bawah kulit) atau pun hemosiderosis (penumpukan Fe dalam
organ)
C. Indikasi/Kontraindiksi
1. Indikasi
a) Dilakukan pada klien dengan thalasemia yang mendapatkan transfusi
darah secara rutin (berulang).
b) Kadar Fe≥ 1000 mg/ml.
c) Dilakukan 4-7 kali dalam seminggu post transfuse.
2. Kontraindikasi
Tidak dilakukan pada klien dengan gagal ginjal.
D. Standar Operasional Prosedur
1. Pengkajian
a. Menyampaikan salam kepada klien/keluarganya.
b. Melakukan pengkajian kondisi klien meliputi : usia, tingkat
hemocromatosis & hemosiderosis (kadar Fe).
2. Persiapan
a. Mencuci tangan.
b. Menyusun alat-alat yang diperlukan dengan memperhatikan teknik
aseptic dan antiseptik :
Streril :
1) Syringe 10 cc
2) Wing needle
Tidak Steril :
1) Alas
2) Bengkok
3) Kapas alkohol pada tempat tertutup
4) Infusa pump
5) Obat yang diperlukan (desferal)
6) Pengencer (aquadest steril) dalam botol
7) Perban gulung/kantong infusa pump
8) Plester
9) Gunting plester
c. Mempersiapkan obat desferal sesuai kebutuhan.
1) Melakukan cek ulang obat yang akan diberikan sesuai
perencanaan.
2) Mengkalkulasi dosis sesuai kebutuhan klien Usia > 5 tahun = 1
gram (2 vial) Usia < 5 tahun = 0,5 gram (1 vial) Mengencerkan
obat dengan tepat : (catatan : 1 vial (0,5 gram) obat desferal
dioplous dengan aquadest 4-5 cc). Membersihkan bagian atas
botol aquadest dengan kapas alcohol dan menarik cairan
aquadest dari botol secukupnya denganmenggunakan
syringe/spuit 10 cc, kapas buang ke bengkok
3) Membersihkan bagian atas botol vial desferal dengan kapas
alcohol dan membiarkan kering sendiri, membuang kapas
alkohol ke bengkok
4) Memasukkan jarum syringe 10 cc yang berisi aquadest melalui
karet penutup botol ke dalam botol
5) Kocok vial obat sampai mencampur rata
6) Memegang botol dengan tangan yang tidak dominan dan tarik
obat sejumlah yang diperlukan
7) Memeriksa adanya udara dalam syringe/spuit, bila ada
keluarkan dengan posisi tepat.
8) Mengecek ulang volume obat dengan tepat.
9) Menyambungkan syringe/spuit dengan wing needle.
10) Memeriksa kembali adanya udara dalam syringe/spuit &
wingneedle, bila ada keluarkan dengan posisi yang tepat.
11) Menyiapkan infusa pump .
d. Membawa peralatan ke dekat klien.
3. Melakukan pemasangan desferal
a. Mencuci tangan Menggunakan sarung tangan bila pada pasien yang
menderita penyakit menular (AIDS, Hepatitis B)
b. Menjaga privacy dan kenyamanan klien.
1) Mendekati dan mengidentifikasi klien.
2) Jelaskan prosedur kepada klien dengan bahasa yang jelas.
3) Memasang sampiran (bila perlu)
c. Memperhatikan teknik aseptic dan antiseptic Mempersiapkan alat dan
klien :
1) Menyiapkan plester untuk fiksasi.
2) Memasang alas/perlak.
3) Mendekatkan bengkok pada klien
d. Menyuntikkan desferal dengan teknik steril
1) Bersihkan lokasi injeksi dengan alkohol dengan teknik sirkuler
atau atas ke bawah sekali hapus.
2) Membuang kapas alkohol ke dalam bengkok.
3) Membiarkan lokasi kering sendiri
4) Menyuntikkan obat dengan tepat (subkutan : area m.deltoid)
5) Memfiksasi wing needle dengan plester
e. Mengatur obat desferal pada alat infusa pump
Memfiksasi infusa pump dengan menggunakan perban gulung (a) atau
kantong infusa pump (b dan c).
f. Mencuci tangan
4. Evaluasi
a. Melihat kondisi klien.
b. Memperhatikan respon klien selama tindakan dilakukan.
c. Menanyakan perasaan klien setelah tindakan dilakukan.
5. Mendokumentasikan tindakan
a. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dan respon klien selama tindakan
dan kondisi setelah tindakan
b. Mencatat dengan jelas, mudah dibaca, ditandatangani disertai nama jelas
c. Tulisan yang salah tidak dihapus tetapi dicoret dengan disertai paraf.
d. Catatan dibuat dengan menggunak ballpoint atau tinta.
4. Gambaran klinik
Pada talasemia mayor gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur
kurang dari 1 tahun. Gejala yang tampak adalah anak lemah, pucat,
perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur, berat badan kurang. Pada
anak yang besar sering dijumpai adanya gizi buruk, perut membuncit,
karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba. Adanya
pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak pasien karena
kemampuan terbatas, limpa yang membesar ini akan mudah ruptur hanya
karena trauma ringan saja.
Gejala lain (khas) ialah bentuk muka mongoloid, hidung pesek tanpa
pangkal hidung; jarak antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
Hal ini disebabkan karena adanya gangguan perkembangan tulang muka dan
tengkorak. (Gambaran radiologis tulang memperlihatkan medula yang
besar, korteks tipis dan trabekula kasar). Keadaan kulit pucat kekuning-
kuningan. Jika pasien telah sering mendapat tranfusi darah kulit menjadi
kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti pada
hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fatal alat- alat tersebut
(hemokromatosis) (Ngastiyah, 1997 : 378).
5. Patofisiologi
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai
alpa dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau
kurangnya rantai beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai
beta dalam molekul hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan
ertrosit membawa oksigen. Ada suatu kompensator yang meningkat dalam
rantai alpa, tetapi rantai beta memproduksi secara terus menerus sehingga
menghasilkan hemoglobin defictive. Ketidak seimbangan polipeptida ini
memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel
darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia dan atau
hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida
alpa dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak
sampul eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin
menstimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC diluar
menjadi eritropik aktif. Kompensator produksi RBC secara terus menerus
pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi RBC,menimbulkan
tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan edstruksi
RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau
rapuh. (Suriadi, 2001 : 23-24)
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda
urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam
amino tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb- A, sedangkan
kelainan pada rantai alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-
A, Hb-A2 dan Hb-F. (Hassan, 1985 : 49)
6. Pemeriksaan
Penunjang Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara
screening test dan definitive test.
a. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1) Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi
pada kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Definitive test
1) Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe
hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal
hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8- 2%
(anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa
mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis
Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau
Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia
mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun,
elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
2) Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah
baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high performance
liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan
aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E.
Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung
konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).
3) Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan
tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang
berlaku (Wiwanitkit, 2007)
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001:26) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
a. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan
terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis.
Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam
tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar
intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga
diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
b. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada
abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang
berasal dari suplemen (transfusi).
c. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan
pemberian tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi,
harus menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat
oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin
diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih
dalam tahap penelitian.
8. Komplikasi
a. Fraktur patologi.
b. Hepatosplenomegaly.
c. Gangguan tumbuh kembang.
d. Difungsi organ, seperti : hepar, limpa, kulit jantung (Suriadi, 2001 :
24)
9. Pencegahan
Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka
pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan.
Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni :
a. Penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia,
b. Konsultasi genetik (genetic counseling),
c. Diagnosis prenatal.
Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif
dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif
pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai
wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan pembawa
sifat melalui penelusuran keluarga penderita Talasemia (family
study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-
nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program
pencegahan yang baikuntuk Talasemia seharusnya mencakup kedua
pendekatan tersebut.Program yang optimal tidak selalu dapat
dilaksanakan dengan baikterutama di negara-negara sedang
berkembang, karena pendekatanprospektif memerlukan biaya yang
tinggi. Atas dasar itu harusdibedakan antara usaha program
pencegahan di negara berkembangdengan negara maju. Program
pencegahan retrospektif akan lebihmudah dilaksanakan di negara
berkembang daripada programprospektif.
a. Penapisan (Screening) Ada 2 pendekatan untuk menghindari
Talesemia:
1) Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah,
penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa
dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa
menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.
2) Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir,
pasangannya bisa diperiksa dan bila termasuk karier,
pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan
terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan,
dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah
anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun
tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, &
Ugrasena, 2006). Alternatif lain adalah memeriksa setiap
wanita hamil muda berdasarkan ras. Penapisan yang efektif
adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai gambaran
Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya
meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien
dikirim ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting
untuk membedakan Talasemia αo(-/αα) dan Talasemia α+(-α/-
α), pada kasus pasien tidak memiliki risiko mendapat
keturunan Talesemia αo homozigot. Pada kasus jarang dimana
gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot
dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya
adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2
normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin
dan analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase
pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi
struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).
b. Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan
penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah janin
dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu,
meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan
dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi
chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12
minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan
kematian atau kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena,
2006).
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah
tehnik CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa
tahun ini. Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern
Blotting dari DNA janin menggunakan restriction fragment
length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan
analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih
baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR)
untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi
pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan
untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia
secara langsung dengan analisis DNA janin. Perkembangan
PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida
untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam
pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan
deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis
menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi
label 32P spesifik untuk memperbesar region gen globin β
melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat
diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi
sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2
jam (Permono, & Ugrasena, 2006).
Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada
diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification
refractory mutation system), berdasarkan pengamatan bahwa
pada beberapa kasus, oligonukleotida (Permono, & Ugrasena,
2006).
Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium
saat ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain,
kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti, dan
rekombinasi genetik jika menggunakan RELP linkage analysis
(Permono, & Ugrasena, 2006).
Konsep Keperawatan Thalasemia1. Pengkajian a. Riwayat kesehatan 1) Pucat. 2)
Ikterus. 3) Gagal tumbuh. 4) Hepatosplenomegali 5) Tranfusi kronis/ terapi pendekatan.
b. Pemeriksaan fisik 1) Kulit, mukosa oral, konjungtiva, telapak kaki, dan/atau telapak
tangan pucat. 2) Sclera ikterus atau kulit ikterus. 3) Keterlambatan pertumbuhan atau
perkembangan. 4) Saturasi oksigen rendah via oksimetri nadi. 5) Perubahan tingkat
kesadaran. 6) Hepatoslpenomegali. 7) Penonjolan frontal (dahi). c. Uji laboratorium dan
Diagnostik 1) Elektroforesis hemoglobin menunjukkan adanya hemoglobin F dan hanya
hemoglobin A2. 2) DPL dan usapan perifer menunjukkan penurunan hemoglobin dan
hematokrit secara signifikan, penonolan sel target, hipokromia, mikrositosis, dan
anisokritosis serta poikilositosis ekstensif (variasi dalam ukuran dan bentuk SDM,
secara berturut-turut). 3) Kadar zat besi dan bilirubin meningkat (Kyle & Carman,
2014). 2. Diagnosis Keperawatan a. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan
penurunan konsentrasi hemoglobin. b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek
prosedur invasif (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). 3. Intervensi Keperawatan
Perfusi peifer tidak NOC : NIC :efektif b/d penurunan 1. Circulation status 1. Monitor
TTVkonsentrasi 2. Neurologic status 2. Monitor AGD, ukuranhemoglobin. 3. Tissue
Prefusion : pupil, ketajaman,- cerebral kesimetrisan dan reaksi Setelah dilakukan asuhan
3. Monitor adanya diplopia, selama 3x24 jam perfusi pandangan kabur, nyeri perifer
tidak efektif teratasi kepala dengan kriteria hasil: 4. Monitor level 1. Tekanan systole
dan kebingungan dan diastole dalam rentang orientasi yang diharapkan 5. Monitor tonus
otot 2. Tidak ada pergerakan ortostatikhipertensi 6. Monitor tekanan 3. Komunikasi
jelas intrkranial dan respon 4. Menunjukkan nerologis konsentrasi dan 7. Catat
perubahan pasien orientasi dalam merespon stimulus 5. Pupil seimbang dan 8. Monitor
status cairan reaktif 9. Pertahankan parameter 6. Bebas dari aktivitas hemodinamik
kejang 10. Tinggikan kepala 0-45o 7. Tidak mengalami nyeri tergantung pada konsisi
kepala pasien dan order medis
PENUTUP
A. Kesimpulan
Desferal (deferoxamine)merupakan obat cair yang diberikan di bawah kulit.
Biasanya obat ini diberikan dengan menggunakan alat semacam “portable pump”.
Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi secara reguler adalah
terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi (desferal) dimulai setelah diberikan saat
kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali,
dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi
apabila penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan
morbiditas berat dan kematian usia muda.
DAFTAR PUSTAKA
yle, T., & Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Rakhmawati, Windy. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pemasangan Desferal. Bagian Ilmu
Keperawatan Anak Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran. [online].
Available at : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2010/03/pemasangan_desferal.pdf (diakses pada tanggal 23 Novemver
2018)Hoffband, A, dkk. 2005. Kapita selekta Hematologi. Jakarta: EGCHartoyo, Edi,
dkk. 2006. ”Standar Pelayanan Medis. Bajarmasin: Fakultas KedokteraanUnlam /
RSUD UlinKuncara, H.Y, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGCMansjoer, arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran E d i s
i k e - 3 J i l i d 2 . J a k a r t a : Media Aesculapius Fkul.Merenstein, Gerald B. 2001.
Buku pegangan pediatric. Ed. 17. Jakarta: Widya MedikaMuscari, Mary E. 2005.
Panduan Belajar: Keperawatan pediatric. Jakarta: EGCNelson, Waldo E. 1999. Ilmu
kesehatan anak Nelson. Vol. 2. Jakarta: EGCNgastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit ,
Edisi I. Jakarta: EGCNurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic-Noc Jilid 2. Yogyakarta:
MediaCtion PublishingNanda International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGCSuriadi S.Kp dan Yuliana Rita S.Kp. 2001. Asuhan
Keperawatan Anak, Edisi I. Jakrta: PT Fajar Interpratama.Supardiman, I, 2002.
Hematologi Klinik. Bandung: Penerbit alumniWilkinson, Judith M. and Nancy R.
Ahern. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC