Oleh :
Khoirun Nanik Agustina Thoha (6120019049)
Pembimbing:
2021
Abstrak
Latar Belakang: Gangguan suara atau suara serak (disfonia) didefinisikan sebagai
gangguan yang ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan atau
usaha vokal yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas hidup yang
berhubungan dengan penggunaan suara. Informasi epidemiologi yang valid terkait
gangguan suara (disfonia) akan sangat berguna untuk merencanakan masa depan
penyediaan layanan kesehatan. Beberapa prevalensi data yang ada terbatas hanya
pada kelompok- kelompok tertentu pengguna suara profesional (penyanyi, guru, dan
penceramah), hal ini menyebabkan etiologi yang menyebabkan disfonia penting
untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien disfonia
pada poliklinik THT- KL RSUP Sanglah Denpasar selama 2 tahun.
Hasil: Didapatkan 149 kasus pasien dengan disfonia dari total 35.475 kunjungan
pasien pada periode tersebut. Berdasarkan umur pasien, terbanyak pada kelompok
usia 45-64 tahun yaitu 67 (45%) pasien. Sebagian besar pasien merupakan lelaki
sebanyak 93 (62,4%). Seluruh pasien mengeluhkan suara serak, keluhan lain adalah
batuk berdahak sebanyak 63 (42,3%) pasien, diikuti nyeri menelan pada 49 (32,9%)
pasien, dan bengkak pada leher sebanyak 40 (26,8%) pasien. Etiologi terbanyak pada
pasien adalah LPR pada 49 (32,9%).
PENDAHULUAN
Gangguan suara atau suara serak (disfonia) didefi nisikan sebagai gangguan
yang ditandai dengan perubahan kualitas vokal, pitch, kenyaringan atau usaha vokal
yang mengganggu komunikasi atau mengurangi kualitas hidup yang berhubungan
dengan penggunaan suara. Disfonia bukanlah suatu penyakit melainkan gejala
kelainan pada laring yang dapat disebabkan oleh perubahan patologis dari proses
infeksi dan inflamasi, kondisi neuromuskuler dan kejiwaan, gangguan sistemik dan
neoplasma.
B. HASIL PENELITIAN.
Subjek penelitian adalah pengunjung yang datang ke Poliklinik THT-KL
RSUP Sanglah Denpasar yang telah memenuhi kriteria penelitian. Subjek
penelitian selanjutnya akan dibagi menjadi kelompok usia berdasarkan klasifikasi
penggolongan umur internasional yaitu “Provisional Guidelines on Standard
International Age Classifications”. Usia akan dibagi menjadi lima interval yaitu
1-14 tahun, 15-24 tahun, 25-44 tahun, 45-64 tahun, dan lebih dari 65 tahun.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari 2019 disajikan pada tabel 1.
Tabel 1 menggambarkan bahwa frekuensi tertinggi pasien disfonia berada
pada kelompok usia 45-64 tahun sebanyak 67 pasien (45%).
Berdasarkan tabel 2, dapat diketahui bahwa jumlah pasien disfonia terbanyak
pada lelaki, yaitu sebanyak 93 pasien (62,4%).
Tabel 3 menunjukkan bahwa seluruh pasien datang dengan keluhan suara
serak, yaitu sebanyak 149 pasien. Keluhan lain yang terbanyak adalah batuk
berdahak pada 63 pasien (42,3%), disusul dengan nyeri menelan sebanyak 49
pasien (32,9%), dan bengkak di leher 40 pasien (26,8%).
Tabel 4 menunjukkan bahwa etiologi tertinggi yang didapatkan pada pasien
disfonia adalah laryngopharyngeal reflux (LPR) sebanyak 49 orang (32,9%).
Tabel 5 menggambarkan hasil pemeriksaan laring, dimana pada epiglotis,
aritenoid, dan plika ventrikularis terbanyak adalah tenang sebanyak 88 pasien
(59,1%) pada epiglotis, pada aritenoid 81 pasien (54,4%) dan 56 pasien (37,6%)
pada plika ventrikularis. Pergerakan simetris plika vokalis didapatkan pada 110
pasien (73,8%). Pada plika vokalis gambaran kelainan terbanyak adalah massa
pada 67 pasien (45%). Rima glottis didapatkan terbuka pada seluruh pasien yaitu
149 pasien.
C. DISKUSI
Usia pasien disfonia yang didapatkan pada pene-litian ini bervariasi
dari 4-92 tahun. Berdasarkan kelompok usia, didapatkan hasil bahwa
frekuensi tertinggi berada pada kelompok usia 45-64 tahun sebesar 67 pasien
(45%). Penelitian Kiakojoury dkk5 juga mendapatkan prevalensi tertinggi
gangguan suara (disfonia) adalah pada usia pada kelompok usia >60 tahun,
yaitu sebanyak 32 penderita (29,9%).4 Hasil yang sama dilaporkan oleh
Djainali dan Purwanto di bagian THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung
periode Juli 2002 sampai dengan Juli 2003 mendapatkan kelompok usia tert-
inggi yang menderita suara serak yaitu kelompok umur 51-60 tahun yaitu
sebanyak 12 penderita yang terdiri dari 10 lelaki(21,7%) dan 2 perempuan
(4,3%).6 Sebagian besar studi menunjukkan bahwa disfonia terjadi pada usia
lanjut, hal ini dikare-nakan kasus terbanyak yang dijumpai pada peneli-tian
tersebut adalah keganasan laring yang biasanya lebih banyak dijumpai pada
kelompok penderita usia lanjut. Selain itu, disfonia juga dipengaruhi oleh
kondisi medis kronis yang biasanya terjadi pada usia lanjut, sehingga sebagian
besar penderita disfonia merupakan pasien dengan usia lanjut.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa penderita disfonia terbanyak
adalah lelaki sebanyak 93 pasien (62,4%). Penelitian Cohen dkk7 pada tahun
2014 mendapatkan lelaki (57,9%) lebih banyak dari perempuan (42,1%),
sedangkan penelitian Lundy dkk8 mendapatkan hasil sebaliknya, yaitu
perempuan (54%) lebih banyak dari lelaki (46%). Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi
kejadian disfonia. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa
pengaruh status demografi terhadap kejadian disfonia belum dapat secara pasti
ditentukan mengingat banyaknya faktor-faktor yang dapat berpengaruh.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa suara serak adalah gejala klinik
terbanyak yang diderita oleh keseluruhan jumlah sampel, yaitu sebanyak 68
pasien (100%). Hal ini sesuai dalam penelitian oleh Goldstein dkk9 yang
menyatakan bahwa suara serak merupakan gejala umum pasien disfo-nia yang
menyebabkan pasien mencari bantuan medis. Penelitian Jardim dkk10 pada
tahun 2007 juga mendapatkan bahwa suara serak adalah gejala klinik yang
selalu ada dalam 12 total pene-litian epidemiologi gangguan suara terhadap
guru (100%).
Pada penelitian ini didapatkan bahwa etiologi terbanyak yang
mendasari terjadinya disfonia adalah Laryngopharyngeal Reflux (LPR), yaitu
sebanyak 49 pasien (32,9%), diikuti oleh tumor laring (24,8%), dan lesi jinak
pita suara (20,2%). Penelitian Akst dkk11 tahun 2009 mendapatkan etiologi
terbanyak pasien disfonia adalah inflamasi yang mencakup LPR, laringitis
akut, dan laringitis sicca sebesar 29%, diikuti oleh paralisis pita suara sebesar
19%, dan phonotrauma yang mencakup nodul, polip, dan kista sebesar 16,5%.
Penelitian Haryuna mendapatkan tiga penyebab terbanyak gangguan suara,
yaitu keganasan laring (19,6%), paralisis pita suara (16,8%), dan nodul pita
suara (12,1%).4 Perbedaan hasil ini disebabkan oleh metode dan jumlah
sampel penelitian yang berbeda. LPR sebagai penyebab terbanyak yang
didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian Cohen dkk12 yang
mendapatkan hasil bahwa hampir 50% pasien dengan gangguan suara
terdiagnosis sebagai LPR.
Bentuk lesi terbanyak berturut-turut pada epiglotis, aritenoid dan plika
ventrikularis adalah hiperemi dan edema. Hal ini sejalan dengan peneli-tian
Haryuna yang menemukan edema dan hipere-mis sebagai jenis lesi terbanyak
pada pasien disfonia dengan etiologi tuberkulosis laring yang ditemukan
didaerah epiglotis (66,7%), aritenoid (50%) dan plika ventrikularis (66,7%).4
Laryngopharingeal reflux sebagai etiologi terbanyak yang didapatkan pada
penelitian ini mempunyai gambaran klasik berupa eritema dan edema pada
aritenoid, mukosa post-krikoid, dan edema pada plika vokalis.
Pergerakan plika vokalis yang simetris lebih banyak ditemukan
daripada asimetris. Hal ini terkait dengan etiologi bahwa paralisis pita suara
dan tumor laring sebagai etiologi terbanyak penyebab terganggunya
pergerakan plika vokalis tidak menjadi penyebab terbanyak yang didapatkan
dalam penelitian ini. Bentuk lesi terbanyak yang didapatkan pada plika
vokalis adalah massa pada 67 pasien (45%). Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Haryuna yang mendapatkan bahwa keganasan laring
adalah temuan terbanyak pada penelitiannya (19,6%) yang didapatkan pada
daerah supraglotis+glotis (47,6%).
Pada penelitian ini, rima glotis didapatkan terbuka pada seluruh pasien
(100%). Rima glotis dalam keadaan tidak sempurna membuka (sedikit
tertutup) atau tertutup keseluruhan menandakan adanya parese atau paralisis
pita suara yang dapat disebabkan oleh trauma pada nervus laringeal rekuren
ipsilateral, trauma setelah operasi daerah tiroid atau thorak, dan neoplasma
yang menginvasi atau menekan nervus vagus atau nervus laringeal rekuren.6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan pasien disfonia terbanyak pada kelompok umur
45-64 tahun, dan berjenis kelamin lelaki, dengan keluhan terban-yak suara serak
pada seluruh subjek, diikuti batuk berdahak, dan nyeri menelan. Etiologi
terbanyak adalah LPR, dimana gambaran laring terbanyak pada epiglotis,
aritenoid dan plika ventrikularis terbanyak adalah tenang. Pergerakan pada plika
vokalis ditemukan simetris pada sebagian besar pasien dengan kelainan terbanyak
adalah massa. Perlu dilakukan studi epidemiologi lebih lanjut terhadap
karakteristik pasien disfonia dengan subjek penelitian yang lebih luas sehingga
didapat-kan hasil yang lebih valid dan representatif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz SR, Cohen SM, Dailey SH, Rosenfeld RM, Deutsch ES, Gillespie
MB, dkk. Clinical practice guideline: hoarseness (dysphonia). American
Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2009;141(3s2):s1-31.
2. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke- 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2012.h.209-14.
3. Utami IS, Siswantoro. Pola penyakit penyebab suara parau di UPF THT
RSUD Dr. Soetomo Surabaya tahun 1994. Kumpulan Naskah Ilmiah PIT
Perhati. Batu-Malang 1996. Malang: Immanuel Press, 1999. h.521-33.
4. Haryuna, TS. Distribusi gambaran klinik laring pada penderita dengan suara
serak di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU RSUP H. Adam
Malik Medan. Majalah Kedokteran Nusantara.2009;42(1):33-40.
5. Kiakojoury K, Dehghan M, Hajizade F, Khafri S. Etiologies of dysphonia in
patients referred to ent clinics based on vid-eolaryngoscopy. Iranian Journal of
Otorhinolaryngology. 2014; 26(3):169- 74.
6. Djainali, Purwanto B. Evaluasi Suara Serak Dengan Pemeriksaan Endoskopi
Di Bagian THT-KL PERJAN RS. Hasan Sadikin Bandung Periode Juli 2002 -
Juli 2003. Kumpulan Naskah Kongres Nasional XIII (PERHATIKL) Kuta
2003. h.228
7. Cohen SM, Dinan MA, Roy N, Kim J, Courey M. Diagnosis change in voice-
disordered patients evalu-ated by primary care and/or otolaryngology:
alongitu-dinal study. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2014;150(1):95-102.
8. Lundy SD, Casiano RR. Diagnosis and Management of Hoarseness. 1999.
[dikutip 26 Desember 2017]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf/hp_oct99_ hoarse.pdf.
9. Goldstein D, Shrime M, Irish J. Hoarseness: The good, the bad, and the ugly.
The Canadian Journal of Diagnosis. 2007;24(2):84-8.
10. Jardim R, Barreto SM, Assunção AA. Voice disorder: case definition and
prevalence in teachers. Rev Bras Epidemiol. 2007;10(4):625-36.
11. Akst LM, Chaudhary HM, Ishman SL. Spectrum of dysphonia: diagnosis,
demographics, and quality of life. Department of Otolaryngology Johns
Hopkins Voice Center. 2009.
12. Cohen SM, Kim J, Roy N, Asche C, Courey M. Factors influencing the health
care expenditures of patients with laryngeal disorders. Surgery.
Otolaryngology-Head and Neck 2012;147(6):1099-107