Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Uvea merupakan organ yang terdiri dari beberapa kompartemen mata yang
berperan besar dalam vaskularisasi bola mata. Peradangan pada uvea dapat terjadi
pada bagian depan jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan
tengah disebut siklitis. Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga
dengan uveitis anterior. Peradangan Uvea dapat disebabkan oleh infeksi, trauma,
neoplasia, atau proses autoimun.1

Uveitis merupakan penyakit yang mudah mengalami kekambuhan, bersifat


merusak, menyerang pada usia produktif dan kebanyakan berakhir dengan kebutaan.
Hubungan yang baik antara dokter dengan penderita uveitis sangat dibutuhkan
untuk mendapatkan hasil penanganan yang optimal. Insiden sekitar 15 per 100.000
orang, sekitar 75 % merupakan uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis
menderita penyakit sistemik terkait.1

Penyakit Vogt – Koyanagi – Harada (VKHD) adalah penyakit yang


mengancam penglihatan dan merupakan penyebab umum dari uveitis tidak menular.
Penyakit ini sebagai peradangan multisistemik, granulomatosa terkait dengan
disregulasi autoimun yang dimediasi sel-T, menargetkan antigen mandiri
melanositik. Oleh karena penyakit ini dapat memberikan dampak kebutaan pada
pasien, maka penyakit ini perlu dibahas oleh penulis.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Uveitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada Iris (iritis,
iridosiklitis), corpus ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars
planitis), atau koroid (koroiditis).1 Uveitis terbagi atas Uveitis Anterior (iris dan
badan siliaris) dan Uveitis Posterior (lapisan Koroid).2

2.2. Prevalensi dan Epidemiologi


Sebanyak 10-20% kasus kebutaan yang tercatat di negara – negara maju
disebabkan oleh Uveitis dan pada negara berkembang ditemukan lebih banyak lagi
kasus Uveitis diakibatkan tingginya prevalensi infeksi seperti toksoplasmosis dan
tuberkulosis pada negara berkembang yang menjadi etiologi dari uveitis. Uveitis
umumnya terjadi pada kelompok usia 20 – 50 tahun.1

2.3. Anatomi3

1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke
depan (anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang
berfungsi untuk mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan iris
warnanya sangat bervariasi dan mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama
sekitar pupil yang disebut kripte. Pada iris terdapat 2 macam otot yang

2
mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator pupil yang berfungsi untuk
melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi untuk
mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga
tetap tergelar datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama
besarnya, keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri
tidak sama besar, keadaan ini disebut anisokoria. Iris menipis di dekat
perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di dekat pupil.
Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada
dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar
cabang dari saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan
parasimpatik untuk miosis.
2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem
eksresi dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang
sampai koroid terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar
berfungsi untuk akomodasi.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat
tepi kornea melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang
terletak antara iris dan koroid. Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor
akuos ini sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokular = TIO).
Humor akuos mengalir melalui kamera okuli posterior ke kamera okuli anterior
melalui pupil, kemudian ke angulus iridokornealis, kemudian melewait
trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya menuju kanalis
kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung.
3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di
sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang
tepi depannya berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular
yang terdiri atas anyaman pembuluh darah. Retina tidak menempati
(overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa millimeter sebelum
badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina disebut pars plana.
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang
berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari
sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan

3
anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus.
Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi (bagian
yang berperan dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos humor oleh
korpus siliaris, dan sebagai nutrisi.
2.4. Uveitis Anterior dan Posterior
Uveitis Anterior1
Uveitis anterior ditandai dengan adanya dilatasi pembuluh darah yang akan
menimbulkan gejala hiperemia silier (hiperemi perikorneal atau pericorneal
vascular injection). Peningkatan permeabilitas ini akan menyebabkan eksudasi ke
dalam akuos humor, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi protein dalam akuos
humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai akuos
flare atau sel, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndal). Kedua
gejala tersebut menunjukkan proses peradangan akut.

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang di dalam BMD (bilik mata depan) yang disebut hipopion, ataupun
migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Proses radang berlangsung
lama (kronis) dan berulang, maka sel-sel radang dapat melekat pada endotel kornea,
disebut sebagai keratic precipitate (KP). Ada dua jenis keratic precipitate, yaitu :

 mutton fat KP : besar, kelabu, terdiri atas makrofag dan pigmen-pigmen yang
difagositirnya, biasanya dijumpai pada jenis granulomatosa.
 punctate KP : kecil, putih, terdiri atas sel limfosit dan sel plasma, terdapat pada
jenis non granulomatosa.
Terapi yang tidak adekuat menyebabkan proses peradangan akan berjalan
terus dan menimbulkan berbagai komplikasi. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas
dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang
disebut sinekia posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia
anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio
pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil.
Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel
radang, akan menghambat aliran aquos humor dari bilik mata belakang ke bilik
mata depan sehingga aquos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan

4
mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombans. Selanjutnya tekanan
dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.

Pada uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa, yang


menyebabkan lensa menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata. Apabila
peradangan menyebar luas, dapat timbul endoftalmitis (peradangan supuratif berat
dalam rongga mata dan struktur di dalamnya dengan abses di dalam badan kaca)
ataupun panoftalmitis (peradangan seluruh bola mata termasuk sklera dan kapsul
tenon sehingga bola mata merupakan rongga abses).

Bila uveitis anterior monokuler dengan segala komplikasinya tidak segera


ditangani, dapat pula terjadi symphatetic ophtalmia pada mata sebelahnya yang
semula sehat. Komplikasi ini sering didapatkan pada uveitis anterior yang terjadi
akibat trauma tembus, terutama yang mengenai badan silier. Uveitis anterior dapat
terjadi akibat kelainan sistemik seperti spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil,
sindrom uveitis fichs, kolitis ulseratif, penyakit chron, penyakit whipple,
tubulointerstitial nephritis dan uveitis. Infeksi yang sering menyebabkan Uveitis
anterior yakni virus herpes simpleks, virus varisela zoster, tuberkulosis dan sifilis.2

Uveitis posterior1

Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen posterior uvea,


yaitu pada koroid, dan disebut juga koroiditis. Karena dekatnya koroid pada retina,
maka penyakit koroid hampir selalu melibatkan retina ( korioretinitis ). Uveitis
posterior biasanya lebih serius dibandingkan uveitis anterior.

Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut tapi biasanya


berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut ( akut dan kronik ) dapat
menyebabkan pembuluh darah diretina saling tumpang tindih dengan proses
peradangan di uvea posterior.

Penyebab utama uvea posterior tidak berpengaruh pada faktor eksternal dari
uvea bagian posterior. Dengan pemeriksaan oftalmoskopi standar dan lamanya
peradangan penyakit secara lengkap dengan perubahan pada koroid sudah dapat
dilihat kelainan. Terjadinya perubahan elevasi yang memberi warna kuning atau
abu – abu yang dapat menutup koroid sehingga pada pemeriksaan koroid tidak jelas.

5
Perdarahan diretina akan menutup semua area, pada beberapa kasus terdapat
lesi yang kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah beberapa minggu atau
bulan akan ditemukan infiltrat dan edema hilang sehingga menyebabkan koroid dan
retina atrofi dan saling melekat. Daerah yang atrofi akan memberikan kelainan
bermacam – macam dalam bentuk dan ukuran. Perubahan ini akan menyebabkan
perubahan warna koroid menjadi putih, kadang pembuluh darah koroid akan
tampak disertai karakteristik dari deposit irregular yang banyak atau berkurangnya
pigmen hitam terutama pada daerah marginal.

Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang berkurang di koroid dan
retina. Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan penglihatan kabur disertai
dengan melihat lalat berterbangan ( floaters). Penurunan tajam penglihatan dapat
dimulai dari ringan sampai berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah makula
atau papilomakula.

Kerusakan bisa terjadi perlahan – lahan atau cepat pada humor vitreus yang
dapat dilihat jelas dengan fundus yang mengalami obstruksi. Pada korioretinitis
yang lama biasanya disertai floaters dengan penurunan jumlah produksi air mata
pada trabekula anterior yang dapat ditentukan dengan pemeriksaan fenomena
Tyndall. Penyebab floaters adalah terdapatnya substansi di posterior kornea dan
agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea bagian dalam. Mata merah
merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau putih yang disertai
penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini biasanya sudah didapatkan atropi pada
koroid, sering kali uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai
penglihatannya kabur.

Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang menurun,
floating spot dan skotoma. Karena terdapat banyak kelainan pada badan vitreus sel
yang disebabkan fokal atau multifokal retina dan koroid gambaran klinis bisa juga
secara bersamaan. Diagnosis banding tergantung dari lama dan penyebab infeksi
atau bukan infeksi. Infeksi bisa disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan
cacing non infeksi, bisa juga disebabkan oleh penurunan imunologik atau alergi
organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah timbul endoftalmitis dan
neoplasma.

6
2.5. Klasifikasi
Klasifikasi uveitis berdasarkan :1

1. Lokasi utama dari bercak peradangan :


 uveitis anterior : meliputi iris, iridosiklitis, dan uveitis intermedia.
 uveitis posterior : koroiditis, koriorenitis ( bila peradangan koroid
lebih menonjol ), retinokoroiditis ( bila peradangan retina lebih menonjol),
retinitis dan uveitis diseminata.
 uveitis difus atau pan uveitis.
2. Berat dan perjalanan penyakit :
 akut
 subakut
 kronik
 rekurens
3. Patologinya :
 non granulomatosa
 granulomatosa
4. Demografi, lateralisasi dan faktor penyerta :
 distribusi menurut umur
 distribusi menurut kelamin
 distribusi menurut suku bangsa dan ras
 unilateral dan bilateral
 penyakit yang menyertai atau mendasari
5. Penyebab yang diketahui :
 bakteri : tuberkulosis , sifilis
 virus : herpes simplek, herpes zoster, citomegalovirus
 jamur : candida
 parasit : toksoplasma, toksokara
 imunologik : sindrom behcet, sindrom vogt-koyanagi-harada, oftalmia
simpatika, poliarteritis nodosa, granulomatosis wegener
 penyakit sistemik : penyakit kolagen, artritis reumatoid, multipel skerosis,
sarkoidosis, penyakit vaskular.
 Neoplasmik : leukemia, melanoma maligna, reticullum cell sarcoma
 lain – lain : AIDS.

7
6. Berdasarkan anatomisnya :
 Inflamasi iris bersamaan dengan peningkatan permeabilitas vaskular
dinamakan iritis / uveitis anterior . Sel darah putih yang bersirkulasi dalam
humor akous bilik mata anterior dapat dilihat dengan slitlamp. Protein
yang juga bocor dari pembuluh darah terlihat dengan sifat penyebaran
cahaya pada sinar slitlamp sebagai flare.
 Inflamasi pars plana ( badan siliaris posterior) dinamakan siklitis atau
uveitis intermedia.
 inflamasi segmen posterior ( uveitis posterior) menghasilkan sel – sel
inflamasi dicairan vitreus. Selain itu juga terdapat inflamasi koroid atau
retina terkait ( masing – masing adalah koroiditis dan retinitis). Panuveitis
terjadi ketika uveitis anterior dan posterior terjadi bersamaan.
2.6. Patofisiologi
Inflamasi pada uvea disebabkan oleh manifestasi suatu infeksi atau
merupakan mekanisme alergi. Trauma tembus pada mata biasanya menyebabkan
suatu infeksi piogenik, walaupun dapat terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi oleh infeksi mikroba terhadap jaringan tubuh diluar mata.
Sebanyak 50% penyebab uveitis adalah idiopatik. Inflamasi intraokular lainnya
yang menyerupai uveitis disebut masquerade syndrome, sebagian besar disebabkan
oleh keganasan. Uveitis disebabkan dari penyebaran infeksi secara hematogen dari
luar tubuh melalui pembuluh darah uvea. Patofisiologi uveitis tergantung dari
etiologi spesifik yang mendasari, namun secara garis besar semuanya memiliki
defek pada blood-ocular barrier. Membran semipermeabel pada blood-ocular
barrier mirip dengan blood- brain barrier yang berfungsi mencegah sel-sel dan
protein dengan molekul besar masuk ke dalam mata serta menjaga cairan
intraokular agar tetap jernih. Infeksi terjadi akibat terganggunya barrier tersebut
dan masuknya sel sel radang ke dalam mata seperti sel darah putih. Neutofil
predominan pada infeksi akut, dan sel mononuklear predominan pada infeksi
kronis.1

Mekanisme alergi pada uveitis merupakan suatu reaksi hipersensitivitas


terhadap antigen dari luar maupun dalam. Antigen luar berasal dari mikroba yang
infeksius baik bakteri maupun virus. Peradangan uvea berlangsung lama setelah
proses infeksinya berupa manifestasi klinis reaksi imunologik terlambat. Proses

8
radang pada iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya blood-ocular barrier
sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam aquous
humor. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare,
yaitu partikel-partikel kecil yang bergerak (efek Tyndall).
Proses peradangan akut akan dijumpai penumpukan sel-sel radang berupa
pus di dalam COA yang disebut hipopion, atau migrasi eritrosit ke dalam COA,
dikenal dengan hifema. Proses peradangan kronis dapat berupa edema makula
dan dapat ditemukan sel – sel radang melekat pada endotel kornea, yang disebut
sebagai keratik presipitat (KP). Peradangan kronis dapat menimbulkan
komplikasi dimana sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menybabkan
perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia
posterior, ataupun dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat
pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau
seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil.6
Perlekatan tersebut, diikuti dengan tertutupnya trabekulum oleh sel-sel
radang, akan menghambat aliran aqueous humor dari COP ke COA sehingga
aquous humor tertahan di COP dan akan mendorong iris ke depan yang tampak
sebagai iris bombans (iris bombe). Proses ini menyebabkan tekanan dalam bola
mata semakin meningkat dan akhirnya dapat terjadi glaukoma sekunder. Pada
uveitis anterior juga terjadi gangguan metabolisme lensa yang menyebabkan lensa
menjadi keruh dan terjadi katarak komplikata.

2.7. Derajat Sell dan Flare Pada Uveitis7

DERAJAT FLARE CELLs CELLs IN FIELD


normal 0 0 – (+0.5) <1
ringan +1 +1 1-5
sedang +2 +2 6-15
marked +3 +3 6-25
berat +4 +4 50+

Uveitis Anterior merupakan suatu kondisi akut, Inflamasi pada iris dan corpus
siliaris menyebabkan gangguan pada blood-aqueous barrier sehingga

9
menghadirkan suatu gambaran sell dan flare pada segmen anterior mata dengan
pemeriksaan menggunakan Slit Lamp.

2.8. Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (VKH)

VKHD adalah penyebab penting uveitis tidak menular, lebih sering terjadi
pada individu dengan kulit berpigmen seperti orang Asia, Timur Tengah, Hispanik
dan Pribumi Amerika.8 Peradangan uvea pada satu atau kedua mata yang ditandai
oleh iridosiklitis akut, koroiditis bebercak dan pelepasan serosa retina. Penyakit ini
biasanya diawali oleh suatu episode demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-
kadang vertigo. Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi
kerontokan rambut bebercak atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal
mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian posterior sering
indolen dengan efek jangka panjang berupa pelepasan serosa retina dan gangguan
penglihatan.1
Pada sindrom Vogt-Koyanagi-Harada diperkirakan terjadi hipersensitivitas tipe
lambat terhadap struktur-struktur yang mengandung melanin. Tetapi virus sebagai
penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan bahwa suatu gangguan atau
cedera, infeksi atau yang lain, mengubah struktur berpigmen di mata, kulit dan
rambut sedemikian rupa sehingga tercetus hipersentivitas tipe lambat terhadap
struktur-struktur tersebut. Baru-baru ini diperlihatkan adanya bahan larut dari
segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-S retina) yang mungkin menjadi
autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-Koyanagi-Harada biasanya adalah Oriental,
yang mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.

10
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa interleukin-23 memegang peran
dalam mengembangkan dan mempertahankan proses autoimun dengan
menginduksi diferensiasi interleukin-17 yang memproduksi limfosit T helper
CD+4. Sensitisasi peptida antigen melanositik oleh kerusakan cutaneus atau infeksi
viral diduga sebagai kemungkinan pencetus dari proses autoimun tersebut.
Tyrosinase atau protein terkait tyrosinase, sebuah protein 75-kDa yang tidak
teridentifikasi, dan protein S-100 merupakan antigen target pada melanosit.
Predisposisi genetik untuk perkembangan penyakit dan patogenesis
disregulasi imun selanjutnya didukung oleh asosiasi yang kuat dengan HLA-DR4
pada pasien-pasien Jepang dengan sindrom VKH; risiko terkait hubungan dengan
HLA-DRBI *0405 dan HLA-DRBI *0410 haploid. Diantara pasien-pasien sindrom
VKH di Spanyol dan California Selatan, 84% ditemukan mempunyai haploid HLA-
DRI atau HLA-DR4, dengan risiko relatif lebih tinggi untuk menderita sindrom
VKH.8,1

2.9. Diagnosis VKHD

Kriteria diagnosis VKHD8


- Tidak terdapat riwayat trauma maupun operasi
- 3 dari 4 tanda berikut :
- Iridosiklitis kronik bilateral
- Uveitis posterior (eksudat multifokal pada retina atau RPE
detachments, hiperepmis atau edema pada disk, refleks fundus
sunset glow,
- Neurologic signs (tinitus, kaku kuduk, gejala saraf kranial atau saraf
pusat)
- Temuan pada kulit ( alopesia, vitiligo)
2.10. Gejala VKHD
Gejala VKHD didasari oleh 4 stadium:
- Stadium Prodormal
Tahap prodromal berlangsung beberapa hari dan mirip infeksi virus
Pasien mungkin datang dengan demam, sakit kepala, mual, vertigo, nyeri
orbital, fotofobia, mata berair, tinitus, gejala vertigo dan neurologis. Pada
tahap ini, cairan serebrospinal dapat mempresentasikan pleositosis.9

11
- Stadium Akut Uveitis
Biasanya terjadi dalam 3 sampai 5 hari dari stadium prodromal dan
berlangsung selama beberapa minggu. Pasien mungkin mengalami
penglihatan buram akut di kedua mata. Patologis yang mendasarinya proses
pada tahap awal adalah terjadinya koroiditis difus. Peradangan yang terjadi
dapat meluas hingga ke segmen anterior. Pasien dengan VKHD mungkin
memiliki iridosiklitis granulomatosa bilateral akut dengan endapan mutton-
fat keratic, nodul iris dan ruang anterior yang dangkal karena terjadinya
edema dan peradangan badan siliaris dan berkumpulnya cairan
suprachoroid. Hal ini dapat menyebabkan glaukoma akut sudut tertutup.10

- Stadium Pemulihan
tahap pemulihan biasanya terjadi setelah beberapa bulan kemudian, ditandai
dengan adanya depigmentasi dari integumen dan koroid. Temuan fisik pada
fase ini dapat berupa vitiligo, alopesia, dan poliosis. Depigmentasi dapat
dilihat pada fundus dengan gambaran akumulasi pigmen. Depigmentasi
terjadi selama 2 hingga 3 bulan setelah stadium uveitis.

- Stadium rekuren atau kronik


Fase ini merupakan fase yang dapat mengganggu fase pemulihan. Sebanyak
17-73% pasien dengan uveitis dapat mengarah pada uveitis kronis.
Kekambuhan terjadi pada segmen anteriot tanpa adanya keterlibatan pada
segmen posterior. Hal ini dapat terjadi karena dampak dari rapid tappering
pada penggunaan kortikosteroid.9

2.11. Pemeriksaan Penunjang

-Pemeriksaan pada mata


Terdiri dari pemeriksaan visus, pemeriksaan dengan binokuler, pemeriksaan
dengan funduskopi dan pemeriksaan lapangan gelap.

-Pemeriksaan darah
Terdiri dari pemeriksaan darah rutin dan indikator leukosit yang akan diamati.

12
-Angiografi ICG terutama untuk melihat patologi koroid, perfusi pembuluh darah
koroid, hiperfluoresen dan kebocoran pembuluh darah stroma koroid, serta
hiperfluoresen diskus.

13
-USG membantu dalam menegakkan diagnosis, terutama bila terdapat kekeruhan
media refraksi. Manifestasi meliputi penebalan koroid posterior, terutama di area
peripapiler dengan perluasan regio ekuator; ablasio retina eksudatif, kekeruhan
vitreous, dan penebalan posterior sklera.8 USG dengan frekuensi 20-MHz dapat
mendeteksi adanya snow bank. USG juga dapat memperlihatkan terlepasnya vitreus
posterior maupun skleritis posterior difus yang terlihat sebagai edema yang berisi
cairan sehingga tampak regio ekholusen di belakang sklera dalam ruang tenon dan
memperlihatkan gambaran seperti huruf T.10

14
-OCT(Optical Coherence Tomography) berguna dalam mendiagnosis dan
monitoring ablasio macular serosa dan membran neovaskuler koroid. Kombinasi
penggunaan pencitraan FAF dan SD-OCT menyediakan penilaian epitel pigmen
retina dan perubahan bagian luar retina yang noninvasif pada pasien dengan
sindrom VKH yang mungkin tidak tampak pada pemeriksaan klinis.8 Pemeriksaan
OCT dapat dilakukan untuk evaluasi tingkat peradangan, OCT memberikan
gambaran reaksi inlamasi di bilik mata depan, melihat kondisi makula, melihat
membran epiretina, traksi vitreomakula, sebagai manifestasi yang terjadi pada
uveitis anterior, intermediet, dan posterior. OCT merupakan standar pemeriksaan
dalam evaluasi kondisi patologi makula terutama pada uveitis, edema makula pada
uveitis dideskripsikan sebagai berikut :

- Edema makula difus (54,8%): penebalan retina tampak seperti spons


dengan kemampuan refleksi rendah

- Edema makula kronik (25%): terlihat sebagai area kistik intraretina

- Serous retinal detachment (5,9%): akumulasi cairan di antara sel epitel


berpigmen retina dengan lapisan neurosensorik retina

- Gabungan edema makula difus dengan ablasio retinae.

15
Gambar A menunjukkan Edema yang terjadi pada makula kistik dan serous retinal
detachment sementara gambar B merupakan resolusi setelah tatalaksana.10

Pada kasus-kasus atipik, khususnya pasien yang yang menunjukkan manifestasi


awal dari penyakit dengan tanda neurologis banyak dan manifestasi okuler yang
sedikit, pungsi lumbal berguna secara diagnostik. Pada pungsi lumbal dapat terlihat
pleositosis limfositik, namun bagaimanapun, pada mayoritas kasus, riwayat dan
pemeriksaan klinis yang ditunjang dengan angiografi fluoresens dan/atau
ultrasonografi cukup untuk menegakkan diagnosis.8

16
2.12. Tatalaksana

1. Kortikosteroid

Pengobatan iridocyclitis harus dilakukan sesuai dengan intensitas radang segmen

anterior. Kortikosteroid topikal seperti dexamethasone 0.1% atau prednisolon 1%

ED di kombinasikan dengan mydriatics/cycloplegics (tropicamide 1.0% ED) untuk

mengurangi spasme pada siliaris dan mencegah sinekia posterior. Terapi utama

pada VKHD diberikan dengan segera dengan kortikosteroid sistemik dosis tinggi

(prednisone 1-1.5 mg/kg perhari). Pemberian intravena dengan menggunakan

17
methylprednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari. Pemberian dosis dan durasi terapi

kortikosteroid merupakan kunci dalam mengurangi terjadinya fase rekuren uveitis.8

2. Immunosupresan

Penggunaan immunosupresan digunakan apabila terjadi perburukan pada uveitis.

Terapi ini merupakan terapi kombinasi maupun substitusi dengan penggunaan

kortikosteroid.

2.13. Komplikasi VKHD


1. Katarak

Katarak dapat timbul karena peradangan kronis dan / atau terapi kortikosteroid

berkepanjangan. Pembentukan katarak dilaporkan pada 10-42% pasien. Operasi

katarak harus ditunda sampai uveitis tidak aktif selama 3 bulan. Kortikosteroid

sistemik(0,5-1 mg / kg / hari) harus diberikan mulai 1 hingga 2 minggu sebelum

18
operasi dan kemudian menurunkan dosis setelah operasi sesuai dengan intensitas

peradangan.

2. Glaucoma

Peningkatan tekanan intraokular (TIO) pada pasien dengan VKHD dapat terjadi

sebagai akibat dari peradangan trabecular meshwork, penyumbatan trabecular

meshwork oleh sel-sel inflamasi, adanya sinekia anterior perifer dan blok pada pupil

dengan penutupan sudut.

3. Neovaskularisasi koroid

Neovaskularisasi berkembang dari kerusakan akibat inflamasi ke membran Bruch’s

dan koriokapilaris, yang mengarah ke koroid dan iskemia retina luar. Iskemia yang

terjadi menstimulasi proliferasi endotel koriokapilaris. Selain itu, inflamasi diduga

memicu pelepasan kemokin yang berdampak terjadinya angiogenesis.

4. Fibrosis Sub-Retinal

Fibrosis subretinal terjadi pada 8-40% kasus VKHD dan lebih sering terjadi pada

kasus rekuren ataupun kronis. Lokasi yang paling sering terjadi fibrosis adalah

periparillari dan area ekstrafovea. Sitokin, immunoglobulin, dan sel mediator yang

diproduksi oleh limfosit T menyebabkan produksi jaringan fibrosa melalui interaksi

dengan sel RPE, sel Muller dan choroidal fibrocytes.

2.14. Prognosis
Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan
pemeriksaan berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya.
Tetapi tergantung di mana letak eksudat dan dapat menyebabkan atropi. Apabila
mengenai daerah makula dapat menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.
Pemberian terapi kortikosteroid yang adekuat sangat menentukan prognosis VKHD.
Kemajuan dalam manajemen komplikasi seperti katarak, glaukoma dan lain lain
meningkatkan prognosis visual terhadap VKHD.

19
BAB III
KESIMPULAN
• VKHD merupakan suatu kasus Auto immune yang mudah mengalami
kekambuhan
• Pasien dengan VKHD harus kontrol mata rutin mengingat Uveitis dapat
menyebabkan Kebutaan
• Terapi yang diberikan pada VKHD merupakan terapi penekan immune dan
memerlukan jangka waktu lama, edukasi penting dilakukan pada pasien

20
Daftar Pustaka
1. Eva P.R, Whitcher J.P. Vaughan & Asbury Opftalmologi Umum. Jakarta : EGC
Edisi 17. Hal 150 - 162
2. Sitompul R. Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah
Kebutaan. eJKI. 2016:4(1);61-69
3. Ilyas Sidarta : Anatomi dan Fisiologi mata dalam ”Ilmu Penyakit Mata”. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, Edisi 5, 2014. Hal 1-12
4. Ilyas Sidarta. Kelainan kelopak dan kelainan jaringan orbita. Ilmu Penyakit
Mata. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2012 : 102.
5. Neil R. M. Grading of ocular inflammation in uveitis: an Overview. Eyes news
2016:22(5);
6. Mustafa M. Et al. Uveitis: Pathogenesis, Clinical presentations and Treatment.
Jour of Pharmacy. 2014:4(2)’42-47
7. Hua L.V, Yudcovitch L.B. Anterior Uveitis: teaching case Reports.
Winter/Spring. 2011:36(2);92
8. Lavezzo M.M. et al. Vogt-Koyanagi-Harada disease: review of a rare
autoimmune disease targeting antigens of melanocytes. Orphanet journal of Rare
Disease. 2016:11(29);1-21
9. Rao N. A, et al. Frequency of distinguishing clinical features in Vogt -
Koyanagi - Harada disease. Ophthalmology. 2010;117(3):591–9. 9 e1.

10. Sitompul R. Peran pencitraan dalam diagnosis Uveitis. eJKI. 2016:4(2);130-


140

21

Anda mungkin juga menyukai