PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid yang
disebabkan oleh infeksi, trauma, neoplasia, atau proses autoimun. Struktur yang
berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut
mengalami inflamasi. Peradangan pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan
jaringan uvea atau iris yang disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut
siklitis. Iritis dengan siklitis disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis
anterior dan merupakan bentuk uveitis tersering. Dan bila mengenai lapisan
koroid disebut uveitis posterior atau koroiditis. Uveitis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat
sakit, fotofobia, dan penglihatan yang kabur, mata merah tanpa sekret mata
purulen dan pupil kecil atau ireguler. Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di
seluruh dunia diperkirakan sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan
perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Uveitis merupakan salah
satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya
sinekia posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan
steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis
yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh,
pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata
yang terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke
depan (anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang
berfungsi untuk mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Pada iris terdapat 2
macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu :
1. Musculus dilatator yang melebarkan pupil
2. Musculus sfingter yang mengecilkan pupil
Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap tergelar
datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama besarnya,
keadaan ini disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama
besar, keadaan ini disebut anisokoria.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat
tepi kornea melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak
antara iris dan koroid. Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini
2
sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokular = TIO). Humor akuos
mengalir melalui kamera okuli posterior ke kamera okuli anterior, kemudian lewat
trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya menuju kanalis
kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung.
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di
sebelah dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi
depannya berada di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang
terdiri atas anyaman pembuluh darah. Retina tidak menimpali (overlapping)
seluruh koroid, tetapi berhenti beberapa millimeter sebelum badan siliar. Bagian
koroid yang tidak terselubungi retina disebut pars plana.
2.2 UVEITIS
Uveitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada lapisan traktus
uvealis yang meliputi peradangan pada iris, korpus siliaris dan koroid. Klasifikasi
uveitis dibedakan menjadi empat kelompok utama, yaitu klasifikasi secara
anatomis, klinis, etiologis, dan patologis. Penyakit peradangan traktus uvealis
umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan.
Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
3
2.2.1 UVEITIS ANTERIOR
Definisi
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan badan siliar
(pars plicata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata,
kornea dan sklera. Peradangan pada uvea dapat mengenai hanya pada iris yang di
sebut iritis atau mengenai badan siliar yang di sebut siklitis. Biasanya iritis akan
disertai dengan siklitis yang disebut iridosiklitis atau uveitis anterior.
Klasifikasi
Menurut klinisnya uveitis anterior dibedakan dalam uveitis anterior akut
yaitu uveitis yang berlangsung selama < 6 minggu, onsetnya cepat dan bersifat
simptomatik dan uveitis anterior kronik uveitis yang berlangsung selama > 6
minggu bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak
jelas dan bersifat asimtomatik. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Penyakit peradangan traktus
uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia
pertengahan. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus uvealis ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan
terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak
dan sedikit mononuklear. Uveitis granulomatosa yaitu adanya invasi mikroba aktif
ke jaringan oleh bakteri. Dapat mengenai uvea bagian anterior maupun posterior.
Infiltrat dominan sel limfosit, adanya aggregasi makrofag dan sel-sel raksasa
multinukleus. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion
di kamera okuli anterior.
4
Perbedaan Uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa
Non- Granulomatosa Granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan Kabur Sedang Nyata
Merah Sirkumneal Nyata Ringan
Keratic precipitates Putih halus Kelabu besar (“mutton
Pupil Kecil dan tak teratur fat”)
Sinekia posterior Kadang-kadang Kecil dan tak teratur
Noduli iris Lokasi Tidak ada Kadang-kadang
Perjalanan penyakit Uvea anterior Kadang-kadang
Kekambuhan Akut Uvea anterior,
Sering posterior,difus
Kronik
Kadang-kadang
Patofisiologi
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor
aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya
peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif,
pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat
menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan
eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah
dan dapat mengakibatkan glaukoma.
Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar
lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh
karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan
berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas.
5
Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu
menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak
ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel
kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga
dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli
anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju
ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang
maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan
fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya
terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat
trabekula yang meradang atau sakit (Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anterior dan timbullah
hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul
banyak mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang
mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga mengalami organisasi,
sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia
posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga
cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke
kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan
menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma
sekunder.
Perlekatan-perlekatan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak
teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan
kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibatkan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang
terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut
retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.
6
Gejala Klinis Dan Pemeriksaan Fisik
Keluhan pasien dengan uveitis anterior adalah mata sakit, mata merah,
fotofobia, penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat
dekat pada pasien uveitis dapat terjadi akibat ikut meradangnya otot-otot
akomodasi. Pupil kecil akibat peradangan otot sfingter pupil dan terdapatnya
edema iris. Pada proses akut dapat terjadi miopisi akibat rangsangan badan siliar
dan edema lensa. Pada pemeriksaan slit lamp dapat terlihat flare di bilik mata
depan dan bila terjadi inflamasi berat dapat terlihat hifema atau hipopion. Pada
uveitis non-granulomatosa dapat terlihat presipitat halus pada dataran belakang
kornea. Pada uveitis granulomatosa dapat terlihat presipitat besar atau mutton fat
noduli Koeppe (penimbunan sel pada tepi pupil) atau noduli Busacca
(penimbunan sel pada permukaan iris).
7
2.2.3 UVEITIS POSTERIOR
Uveitis posterior adalah peradangan yang mengenai uvea bagian posterior
yang meliputi retinitis, koroiditis, vaskulitis retina dan papilitis yang bisa terjadi
sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Gejala yang timbul adalah floaters,
kehilangan lapang pandang atau scotoma, penurunan tajam penglihatan.
Sedangkan pada koroiditis aktif pada makula atau papillomacular bundle
menyebabkan kehilangan penglihatan sentral dan dapat terjadi ablasio retina.
2.3 PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi uveitis adalah mencegah komplikasi yang mengancam
penglihatan, menghilangkan keluhan pasien, dan jika mungkin mengobati
penyebabnya. Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis,
yaitu midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat
infeksi harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai.
a. Kortikosteroid topikal, periokuler, sistemik (oral, subtenon,
intravitreal) dan sikloplegia
b. Pemberian antiinflamasi non steroid
c. Pemberian obat jenis sitotoksik seperti ankylating agent
(siklofosfamid, klorambusil), antimetabolit (azatrioprin, metotrexat)
dan sel T supresor (siklosporin)
d. Terapi operatif untuk evaluasi diagnostik (parasentesis, vitreus tap dan
biopsi korioretinal untuk menyingkirkan neoplasma atau proses
infeksi) bila diperlukan.
e. Terapi untuk memperbaiki dan mengatasi komplikasi seperti katarak,
mengontrol glaukoma dan vitrektomi.
f. Midriatikum berfungsi untuk memberikan kenyamanan pada pasien,
mencegah pembentukan sinekia posterior, dan menghancurkan sinekia.
Memberikan kenyamanan dengan mengurangi spasme muskulus
siliaris dan sfingter pupil dengan menggunakan atropin. Atropin tidak
diberikan lebih dari 1-2 minggu.
8
g. Steroid topikal hanya digunakan pada uveitis anterior dengan
pemberian steroid kuat, seperti dexametason, betametason, dan
prednisolon. Komplikasi pemakaian steroid adalah glaukoma,
posterior subcapsular cataract, komplikasi kornea, dan efek samping
sistemik
2.5 KOMPLIKASI
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler
(TIO) akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi,
atau penggunaan kortikosteroid topikal. Katarak juga dapat terjadi akibat
pemakaian kortikosteroid. Penggunaan siklopegik dapan mengganggu akomodasi
pada pasien yang berusia diatas 45 tahun. Peningkatan TIO dapat menyebabkan
atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain
meliputi corneal band-shape keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula,
edema diskus optikus dan makula, edema kornea, dan retinal detachment.
9
2.6 PROGNOSIS
10
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identitas
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 41 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status : Menikah
Suku : Minang
Alamat : Bukittinggi
Tanggal masuk : 5 Agustus 2016
3.2. Anamnesa
a. Keluhan Utama
Mata kiri kabur dan merah sejak 2 minggu yang lalu
11
Mata berair tidak ada
Gatal pada mata tidak ada
Demam tidak ada
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
Riwayat penggunaan kacamata tidak ada
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
e. Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke dokter spesialis mata dan diberikan obat tetes mata
untuk mengurangi keluhan pandangan seperti melihat tirai, 2 hari
pemakaian pasien merasakan pedih, berair, merah, nyeri pada mata dan
kepala setelah pemakaian obat tersebut.
Silia/supersilia
- Madarosis - -
- Trikiasis - -
12
- Krusta/skuama - -
- Distikhiasis - -
Palpebra Superior
- Pseudoptosis - -
- Edema - -
- Epikanthus - -
- Hordeolum - -
- Kalazion - -
- Abses - -
- Tumor - -
- Xanthelasma - -
- Blefarokalasis - -
- Enteropion - -
- Ekteropion - -
Palpebra Inferior
- Hordeolum - -
- Kalazion - -
- Abses - -
- Tumor - -
- Edema - -
13
- Blefaritis - -
- Enteropion - -
- Ekteropion - -
- Meibomitis - -
Aparatus Lakrimal
- Hiperlakrimasi - -
- Obstruksi - -
- Dakriosistitis - -
- Dakristenosis - -
Konjungtiva Tarsalis
- Folikel - -
- Papil - -
- Lithiasis - -
- Hiperemis - -
- Sikatrik - -
- Membran - -
- Pseudomembran - -
Konjungtiva Bulbi
- Injeksi konjungtiva - -
- Injeksi siliar - +
14
- Pinguekula - -
- Pterigium - -
- Kemosis - -
-Perdarahan - -
subkonjungtiva
Sklera
- Warna - Hiperemis
Kornea
- Infiltrat - +
- Sikatrik - -
- Ulkus - -
- Edema - -
- Neovaskular - -
- Arkus kornea - -
-Keratik presipitat - +
COA
- Flare - +
- Hipopion - -
- Hifema - -
- Pigmen - -
15
Iris
- Rugae - -
- Atropi iris - -
- Coloboma - -
- Sinekia - -
Pupil
16
3.7.Pemeriksaan penunjang
Slit lamp
3.8. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
2. Farmakologi
17
BAB IV
PENUTUP
18
DAFTAR PUSTAKA
19