Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

“UVEITIS”

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti Ujian Profesi


Kedokteran
Bagian Ilmu Mata
RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri

Disusun Oleh:
Intan Susmita Rafsanjani
20712141

Pembimbing:
dr. Arifah Puji Astuti, Sp. M

SMF ILMU MATA


RSUD DR. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
DEFINISI
Uveitis adalah inflamsi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang
dapat menumbulkan kebutaan. Di negara maju, 10 % kebutaan pada populasi
usia produktif adalah akibat uveitis. 1 Uveitis dapat disebabkan kelainan di mara
saja atau merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenic dan
infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. Secara anatomi,
uveitis dibagi menjadu uveitis anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis.2

EPIDEMOLOGI
Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan
usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan
yang kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler.
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15
kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia
posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat
penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang
meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang
menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.3
Insidens uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang
merupakan faktor presdiposisi uveitis anterior, lebih tinggi disbanding negara
maju.4 Uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan kelima di negara
berkembang sperti Amerika Selatan, India, dan Afrika karena tingginya penyakit
infeksi khususnya toksoplasmosis, tuberculosis, HIV dan sifilis. Panuveitis adalah
peradangan seluruh uvea dan sekitarnya seperti vitreus, retina, dan nervus optic.
Penyebab tersering adalah tuberculosis, sindrom vogt-koyanagi-harada (VKH),
oftalmia simpatika, dan penyakit behcet. 5,6
ETIOLOGI
Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes
simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi,
adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-
lain.7 Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang disengaja atau operasi pada
jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda yang dapat menghasilkan uveitis
trauma berikut meliputi:8
a. Efek mekanis langsung pada trauma.
b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular
c. Invasi mikroba
d. Efek kimia benda asing intraokular
e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.

Gambar 3. Penyebab Uveitis anterior 9


Gambar 4. Penyebab Uveitis anterior 9

Gambar 5. Penyebab Uveitis 9

Gambar 5. Penyebab Uveitis posterior 9


PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Bentuk uveitis paling sering terjadi
adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral dan ditandai dengan
adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur, mata merah, dan pupil
kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral,
biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus
penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis
besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis
non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan
korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit
dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. 10 Uveitis
yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen
endogen).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya  blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan
protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak Brown (efek tyndall). Dengan adanya peradangan di iris dan badan
siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma
sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui
oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan
tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma.
11

Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar
lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh
karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan
berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah
kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis
cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun
sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik
presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke
bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula
masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila
keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut
kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit.11

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun
migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang
dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut Busacca nodules. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast
dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang
disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin
besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,
ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat
aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos
humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang
tampak sebagai iris bombe  dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada
lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. 10

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan
kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang
terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut
retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.2

KLASIFIKASI

The International Uveitis Study Group (IUSG) dan The Standarization of


Uveitis Nomeclatur (SUN) membagi uveitis berdasarkan anatomi, etiologi, dan
perjalanan penyakit. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior,
uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis sedangkan menurut etiologi,
uveitis dibagi menjadi infeksi (bakteri, virus, jamur, dan parasit), non infeksi, dan
idiopatik. Berdasarkan perjalanan penyakit, uveitis di bagi menjadi akut (onset
mendadak dan durasi kurang dari empat minggu), rekuren (episode uveitis
berulang), kronik (uveitis persisten atau kambuh sebelum tiga bulan setelah
pengobatan dihentikan), dan remisi (tidak ada gejala uveitis selama tiga bulan atau
lebih).2

UVEITIS ANTERIOR
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris
saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis.12 Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, colitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit Whipple, tubulointerstitial nephritis dan uveitis.13 Infeksi
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zoster (VVZ), tuberculosis, dan sifilis.14
Uveitis anterior akut umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus
kronik dapat melibatkan kedua mata. Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh
trauma, pasca-operasi, dan reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior
kronik lebih jarang dan umumnya asimtomatik namun dapat menimbulkan
komplikasi seperti katarak dan glaukoma. Uveitis anterior pada anak
meningkatkan komplikasi strabismus, keratopati, katarak, edema macular, dan
glaucoma yang mengganggu penglihatan serta memicu amblyopia sehingga
perlu di terapi secara agresif.2
Gejala uveitis anterior umunya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri,
namun pada uveitis berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat
berupa mata merah, nyeri, fotopobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis
anterior menyebabkan spasme otot siliar dan sfingeter pupil yang menimbulkan
nyeri tumpul/berdenyut serta fotopobia. Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai
peningkatan tekanan bola mata. Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis
dan memicu sinekia posterior. Penurunan tajam penglihatan terutama akibat
kekeruhan cairan akuos dan edema 13
kornea walaupun uveitis tidak selalu
menyebabkan edama kornea. 13,16
Tanda uveitis anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilitasi arteri
siliaris posterior longus dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta
badan siliar. Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran
protein (cells and flare) dan endepan sel radang di endotel kornea (presipitat
keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa
dan presipitat keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa. 12
Hypopyon adalah fitur peradangan yang intens di mana sel-sel menetap di
bagian inferior dari anterior chamber (AC) dan membentuk horizontal. 2
Derajat inflamasi dapat ditentukan dengan menghitung sel di bilik mata
depan seluas 1x1 mm lapang pemeriksaan slit beam. Hasil Pemeriksaan
dinyatakan sebagai derajat 0 (sel<1), trace(sel1-5), +1 (sel 6-15), +2 (sel 16-25),
+3 (sel 26-50), dan +4 (sel >50). Untuk derajat trace dan +1, jumlah sel
ditulisakan dalam kurung setelah penulisan derajat, sebagai contoh +1 (sel 6).
Hal itu untuk memudahkan penilaian ketika dilakukan pemeriksaan ulang
mengingat rentang jumlah sel dalam kedua kelompok tersebut sangat kecil. Flare
dinilai berdasarkan kekeruhan cairan akuos di bilik mata depan, Derajat 0 bila
tidak terdapat flare, +1 (derajat ringan), +2 (derajat sedang, iris dan lensa terlihat
jelas), +3 (flare tampak jelas,iris dan lensa tidak jelas) dan +4 (flare hebat dengan
fibrin di cairan akuos).15
Derajat inflamasi bermanfaat untuk menilai keparahan dan efektivitas
terapi. Uveitis anterior dikatakan inaktif atau mereda bila di jumpai sedikit sel di
bilik mata depan, Terapi dinilai berhasil bila jumlah sel menurun dua derajat atau
menurun sampai derajat 0 sedangkan inflamasi dinilai memburuk bila jumlah sel
meningkat dua derajat atau meningkat ke derajat +3 atau +4.2,12
Gambar 6. Ciliary Injection 12

Gambar 7. Aqueous Flare and Cells12

Gambar 8. Sinekia Posterior12

Gambar 9. Hipopion12
Gambar 10. Keratik Presipitat3

UVEITIS INTERMEDIET

Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis
adalah jenis peradangan intraokuler terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet
yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya
bilateral dan cenderung mengenai pasien pada masa remaja akhir atau dewasa
muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala-gejala khas
meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia, dan mata merah
biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang paling
menyolok adalah vitritis- sering kali disertai dengan kondensat vitreus, yang
melayang bebas seperti “bola salju” (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan
corpus cilliar seperti gundukan salju (snow banking).” Peradangan bilik mata
depan mungkin hanya minimal, tetapi jika sangat jelas, peradangan ini lebih tepat
disebut sebagai uveitis difus atau panuveitis. Penyebab uveitis intermediet tidak
diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan sklerosis multipel
berperan pada 10-20% kasus; sifilis dan tuberculosis (walaupun jarang) harus
disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien. komplikasi uveitis
intermdiet yang tersering meliputi edema macula kistoid, vaskulitis retina, dan
neovaskularisasi pada diskus optikus.10
UVEITIS POSTERIOR

Termasuk di dalam uveitis posterior adalah retinitis, koroiditis, vaskulitis


retina, dan papilitis yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Gejala yang
timbul umumnya berupa floaters, kehilangan lapangan pandang atau scotoma,
atau penurunan tajam penglihatan, yang mungkin parah. Ablatio retina walaupun
jarang, paling sering terjadi pada uveitis posterior; jenisnya bisa traksional,
regmatogenosa atau eksudatif.10
Retina, koroid dan nervus optikus dipengaruhi oleh sejumlah penyakit
infeksi dan non-infeksi. Kebanyakan kasus uveitis posterior berhubungan dengan
beberapa sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan
berdasarkan morfologi lesi, onset dan perjalanan penyakitnya, atau tanda dan
gejala sistemik yang menyertai. Pertimbangan lainnya adalah umur pasien dan
apakah timbulnya unilateral atau bilateral. Tes laboratorium dan penunjang lain
seringkali membantu. Lesi di segmen posterior mata bentuknya bisa fokal,
multifokal, geografik, atau difus. Lesi yang cenderung menimbulkan kekeruhan
pada vitreus diatasnya harus dibedakan dari lesi yang kurang atau tidak memicu
sel-sel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreusnya harus dijelaskan. Lesi
peradangan pada segmen posterior umumnya tidak terlihat di awal, tetapi sebagian
dapat disertai kehilangan penglihatan mendadak yang berat.10
Di seluruh bagian dunia, penyebab retinitis yang umum pada pasien-pasien
imunokompeten adalah toksoplasmosis, sifilis, dan penyakit Behcet; penyebab
koroiditis tersering adalah sarkoidosis, tuberculosis dan sindrom Vogt-Koyanagi-
Harada. Papilitis inflamatorik (neuritis optik) dapat disebabkan oleh salah satu
dari penyakit-penyakit tersebut, tetapi sklerosis multipel perlu dicurigai,
khususnya pada kasus nyeri mata yang diperparah dengan pergerakan. Penyebab
uveitis posterior yang lebih jarang, antara lain : limfoma intraokuler, sindrom
nekrosis retina akut, oftalmia simpatika, dan sindrom “titik putih” seperti multiple
evanescent white dot syndrome (MEWDS) atau epiteliopati plakoid posterior
multifocal akut (AMPPE).10

Gambar 11. Uveitis Posterior12


PANUVEITIS
Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan struktur sekitarnya seperti
retina dan vitreus. Penyebab tersering adalah tuberculosis, sindrom VKH, oftalmia
simpatika, penyakit behcet, dan sarkidosis. Diagnosis panuveitis ditegakkan bila
terdapat koroiditis, vitritis dan uveitis anterior.17

TATALAKSANA

Prinsip utama penatalaksanaan uveitis adalah untuk menjaga fungsi


penglihatan, mencegah komplikasi, meringankan keluhan pasien dan, jika
memungkinkan, untuk mengobati penyakit yang mendasarinya (Babu, Rathinam,
2010)
1. Mydriatic dan cycloplegic Agen
Obat-obat topikal digunakan untuk mengobati ciliary spasm yang sering terjadi
dengan uveitis anterior akut dan mengobati sinekia posterior dan/ atau
mencegah perkembangan sinekia baru. Homatropin, skopolamin, atau atropin,
yang digunakan untuk meringankan ciliary spasm. Tropikamid atau
cyclopentolate mungkin memainkan peran dalam mencegah pembentukan
sinekia posterior baru pada pasien yang memiliki iridocyclitis kronis (misalnya,
sekunder untuk JIA) dan minimal fotofobia dan pupil.18
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat pilihan di sebagian besar jenis uveitis. Cara kerja
dengan menghambat proses inflamasi dengan menekan metabolisme asam
arakidonat dan aktivasi komplemen (Babu, Rathinam, 2010). Ketika diberikan
secara sistemik memiliki peran dalam pengobatan iridocyclitis non -
granulomatosa, di mana peradangan, sebagian besar terjadi akibat reaksi
antigen antibodi. Bahkan dalam jenis uveitis, steroid sistemik membantu
karena efek kuat anti - inflamasi dan antifibrotic non - spesifik. Kortikosteroid
sistemik biasanya ditunjukkan dalam uveitis anterior resisten terhadap terapi
topikal.19
Pada panuveitis, kortikosteroid topikal dan sistemik baik diperlukan.
Tergantung pada beratnya penyakit, prednisolon oral dimulai pada dosis 1 mg/
kg / hari. Peradangan mereda kortikosteroid di tapering of 5-10 mg per minggu
dimulai dalam waktu dua sampai empat minggu memulai terapi. Setelah mata
benar-benar tenang, pasien diikuti dengan dosis pemeliharaan mulai 2,5-10 mg
sehari prednisolon. Menggunakan kortikosteroid long acting dengan dosis
rendah diperlukan sebagai terapi pemeliharaan VKH (Vogt Koyanagi - Harada)
sindrom dan SO.20
Respon terhadap terapi kortikosteroid dapat terganggu oleh kekambuhan
uveitis. Kasus unilateral dapat diberikan percobaan dengan injeksi periokular
dari depot kortikosteroid ke dalam ruang posterior subtenon. Efek samping dan
komplikasi kortikosteroid topikal atau sistemik harus dicari di setiap tindak
lanjut kunjungan pasien. 20
Kortikosteroid dapat menyebabkan glaukoma melalui peningkatan tekanan
intra okuler melalui mekanisme sudut terbuka. Mekanisme tersebut dikaitkan
dengan efek ganda pada anyaman trabekula meshwork, mekanisme lainnya
mengarah pada perubahan sitoskeletal yang dapat menghambat pinositosis dari
humour aqueous. Kortikosteroid juga menyebabkan penurunan sintesis
prostaglandin yang mengatur fasilitas/pengeluaran humour aqueous sehingga
terjadi peningkatan tekanan intra okuler (TIO) menyebabkan tekanan pada
saraf optik.20
3. Antimetabolit
Antimetabolit di indikasikan pada kasus uveitis bilateral, non infeksi,
reversible, tidak berespon dengan steroid. Steroid sparing terapi pada pasien
dengan intoleran terhadap efek sistemik steroid atau penyakit kambuh kronis
yang membutuhkan dosis harian prednisolon lebih dari 10 mg. Setelah pasien
dimulai pada obat imunosupresif dan dosis yang tepat dipastikan, pengobatan
harus dilanjutkan selama 6-24 bulan, setelah itu secara bertahap
dan penghentian obat harus dicoba selama 3-12 bulan ke depan. Namun,
beberapa pasien mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk mengontrol
aktivitas penyakit.21
4. Vitrectomy di panuveitis
Vitrectomy pada uveitis dimulai pada akhir 1970-an untuk tujuan diagnostik
dan untuk mengobati infeksi. Vitrectomy diagnostik dikombinasikan dengan
PCR dapat secara signifikan meningkatkan hasil diagnostik dalam uveitis.
Vitrectomy dapat dianggap sebagai pilihan terapi saat uveitis lanjut dengan
terapi maksimal dengan kortikosteroid dan / atau imunosupresan lainnya. Hal
ini juga dapat ditunjukkan ketika kehilangan penglihatan terjadi akibat
komplikasi dari radang lama, seperti jaringan vitreous, parut padat opacifier
menarik pada cillary body menyebabkan hypotony, edema makula cystoid,
membran epiretinal, lensa posterior kapsul kekeruhan padat dan ablasi retina.
Vitrectomy dilakukan untuk menghilang limfosit di vitreous, inflamasi,
kompleks imun dan autoantigens. Hal ini juga meningkatkan penetrasi uveal sel
anti - inflamasi. Selain menyediakan akses yang lebih baik untuk penghapusan
dari bahan lensa cataractous bersama dengan kapsul posterior, gabungan pars
plana vitrectomy lensectomy dan memungkinkan manuver intraokular dan
mencegah pembentukan membran cyclitic.20
KOMPLIKASI
Komplikasi terpeting yaitu terjadinya peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akut
yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi, atau penggunaan
kortikosteroid topikal. Peningkatan TIO dapat menyebabkan atrofi nervus optikus dan
kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi lain meliputi corneal band-shape
keratopathy, katarak, pengerutan permukaan makula, edema diskus optikus dan makula,
edema kornea, dan retinal detachment.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Misserocchi E, Fogliato G, Modorati G, Bandello F, Review on the worldwide


epidemiology of uveitis. Eur J Ophthalmol. 2013; 23 (5): 705-17
2. Kanski J, Bowling B. Clinical ophtamology: a systematic approach. Edisi ke-8.
Australia: Elsevier;2016
3. Agrawal. Current Approach in Diagnosis And Management of Anterior Uveitis.
Indian Journal of Opftalmology. 2010; 58 (1),11
4. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E, Borkar DS, Parker JV, Vinoya AC, et al.
Incidence and prevalence of uveitis. JAMA Ophthalmak. 2013; 131 (11):1405-12
5. Faiz I, Al-Shakarchi. Pattern of uveitis at a referral center in Iraq. Middler East Afr J
Ophthalmol. 2014;21(4):291-5
6. Suttorp-Schulten MSA, Rothova A. The possible impact of uveitis in blindness: a
literature survey. Br J Ophthalmol. 1996;80(9):844-8

7. Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

8. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age


International Limited Publisher.

9. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology
17th Edition. USA: McGrawHill
10. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14. Jakarta: Widya
medika, 2000
11. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153
12. Islam N, Pavesio C. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin Evid. 2010: 0705
13. Suttorp-Schultemn MSA, Rothova A. The possible impact of uveitis in blindness: a
literature survey. Br J Ophtalmol. 1996;80(9): 844-8
14. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E, Borkar DS, Parker JV, Vinoya AC, et al.
Incidence and prevalence of uveitis. JAMA Ophthalmol. 2013; 131 (11): 1405-12
15. Nussenblat RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals & clinical practice. Edisi ke-4.
California: Elsevier; 2010
16. Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):11-9
17. Bansal R, Gupta V, Gupta A. Current approach in the diagnosis and management of
panuveitis. Indian J Ophtalmol. 2010; 58 (1): 45-54
18. Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3rd Edition.UK:
Mosby Elsevier.
19. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age
International Limited Publisher.
20. Babu, Rathinam, 2010, Intermediate Uveitis. Indian Journal of Opthalmology.58(1)
21-27.
21. Kanski, Jack J; Bowling B. 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 7th
edition. UK: Elveiser.
22.

Anda mungkin juga menyukai