“UVEITIS”
Disusun Oleh:
Intan Susmita Rafsanjani
20712141
Pembimbing:
dr. Arifah Puji Astuti, Sp. M
EPIDEMOLOGI
Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan
usia pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan
yang kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler.
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan sebesar 15
kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-laki dan
perempuan. Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia
posterior sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intraokuler dan
gangguan pada nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat
penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang
meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang
menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.3
Insidens uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara
berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang
merupakan faktor presdiposisi uveitis anterior, lebih tinggi disbanding negara
maju.4 Uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan kelima di negara
berkembang sperti Amerika Selatan, India, dan Afrika karena tingginya penyakit
infeksi khususnya toksoplasmosis, tuberculosis, HIV dan sifilis. Panuveitis adalah
peradangan seluruh uvea dan sekitarnya seperti vitreus, retina, dan nervus optic.
Penyebab tersering adalah tuberculosis, sindrom vogt-koyanagi-harada (VKH),
oftalmia simpatika, dan penyakit behcet. 5,6
ETIOLOGI
Uveitis dapat disebabkan oleh trauma, diare kronis, penyakit Reiter, herpes
simpleks, sindrom Behcet, sindrom Posner Schlosman, pasca operasi,
adenovirus, parotitis, influenza, infeksi klamidia, arthritis rheumathoid dan lain-
lain.7 Uveitis trauma sering terjadi pada cedera yang disengaja atau operasi pada
jaringan uveal. Mekanisme yang berbeda yang dapat menghasilkan uveitis
trauma berikut meliputi:8
a. Efek mekanis langsung pada trauma.
b. Efek iritasi dari produk darah setelah perdarahan intraokular
c. Invasi mikroba
d. Efek kimia benda asing intraokular
e. Oftalmia simpatis pada mata lainnya.
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus)
yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Radang iris dan badan siliar
menyebabkan rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan
protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikel-partikel kecil
dengan gerak Brown (efek tyndall). Dengan adanya peradangan di iris dan badan
siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar,
pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma
sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui
oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan
tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma.
11
Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar
lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh
karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan
berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah
kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis
cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun
sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik
presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke
bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula
masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila
keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada
batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut
kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit.11
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-
sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun
migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang
dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut Busacca nodules. Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast
dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior
yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang
disebut dengan sinekia anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin
besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada
bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,
ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat
aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos
humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang
tampak sebagai iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada
lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. 10
Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan
kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat
mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun
dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang
terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut
retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi
retina.2
KLASIFIKASI
UVEITIS ANTERIOR
Uveitis anterior adalah inflamasi di iris dan badan siliar. Inflamasi di iris
saja disebut iritis sedangkan bila inflamasi meliputi iris dan badan siliar maka
disebut iridosiklitis.12 Uveitis anterior dapat terjadi akibat kelainan sistemik seperti
spondiloartropati, artritis idiopatik juvenil, sindrom uveitis fuchs, colitis ulseratif,
penyakit chron, penyakit Whipple, tubulointerstitial nephritis dan uveitis.13 Infeksi
yang sering menyebabkan uveitis anterior adalah virus herpes simpleks (VHS),
virus varisela zoster (VVZ), tuberculosis, dan sifilis.14
Uveitis anterior akut umumnya terjadi di satu mata namun pada kasus
kronik dapat melibatkan kedua mata. Uveitis anterior akut dapat disebabkan oleh
trauma, pasca-operasi, dan reaksi hipersensitivitas. Frekuensi uveitis anterior
kronik lebih jarang dan umumnya asimtomatik namun dapat menimbulkan
komplikasi seperti katarak dan glaukoma. Uveitis anterior pada anak
meningkatkan komplikasi strabismus, keratopati, katarak, edema macular, dan
glaucoma yang mengganggu penglihatan serta memicu amblyopia sehingga
perlu di terapi secara agresif.2
Gejala uveitis anterior umunya ringan-sedang dan dapat sembuh sendiri,
namun pada uveitis berat, tajam penglihatan dapat menurun. Gejala klinis dapat
berupa mata merah, nyeri, fotopobia, dan penurunan tajam penglihatan. Uveitis
anterior menyebabkan spasme otot siliar dan sfingeter pupil yang menimbulkan
nyeri tumpul/berdenyut serta fotopobia. Jika disertai nyeri hebat, perlu dicurigai
peningkatan tekanan bola mata. Spasme sfingter pupil mengakibatkan miosis
dan memicu sinekia posterior. Penurunan tajam penglihatan terutama akibat
kekeruhan cairan akuos dan edema 13
kornea walaupun uveitis tidak selalu
menyebabkan edama kornea. 13,16
Tanda uveitis anterior akut adalah injeksi siliar akibat vasodilitasi arteri
siliaris posterior longus dan arteri siliaris anterior yang memperdarahi iris serta
badan siliar. Di bilik mata depan terdapat pelepasan sel radang, pengeluaran
protein (cells and flare) dan endepan sel radang di endotel kornea (presipitat
keratik). Presipitat keratik halus umumnya akibat inflamasi nongranulomatosa
dan presipitat keratik kasar berhubungan dengan inflamasi granulomatosa. 12
Hypopyon adalah fitur peradangan yang intens di mana sel-sel menetap di
bagian inferior dari anterior chamber (AC) dan membentuk horizontal. 2
Derajat inflamasi dapat ditentukan dengan menghitung sel di bilik mata
depan seluas 1x1 mm lapang pemeriksaan slit beam. Hasil Pemeriksaan
dinyatakan sebagai derajat 0 (sel<1), trace(sel1-5), +1 (sel 6-15), +2 (sel 16-25),
+3 (sel 26-50), dan +4 (sel >50). Untuk derajat trace dan +1, jumlah sel
ditulisakan dalam kurung setelah penulisan derajat, sebagai contoh +1 (sel 6).
Hal itu untuk memudahkan penilaian ketika dilakukan pemeriksaan ulang
mengingat rentang jumlah sel dalam kedua kelompok tersebut sangat kecil. Flare
dinilai berdasarkan kekeruhan cairan akuos di bilik mata depan, Derajat 0 bila
tidak terdapat flare, +1 (derajat ringan), +2 (derajat sedang, iris dan lensa terlihat
jelas), +3 (flare tampak jelas,iris dan lensa tidak jelas) dan +4 (flare hebat dengan
fibrin di cairan akuos).15
Derajat inflamasi bermanfaat untuk menilai keparahan dan efektivitas
terapi. Uveitis anterior dikatakan inaktif atau mereda bila di jumpai sedikit sel di
bilik mata depan, Terapi dinilai berhasil bila jumlah sel menurun dua derajat atau
menurun sampai derajat 0 sedangkan inflamasi dinilai memburuk bila jumlah sel
meningkat dua derajat atau meningkat ke derajat +3 atau +4.2,12
Gambar 6. Ciliary Injection 12
Gambar 9. Hipopion12
Gambar 10. Keratik Presipitat3
UVEITIS INTERMEDIET
Uveitis intermediet juga disebut siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis
adalah jenis peradangan intraokuler terbanyak kedua. Tanda uveitis intermediet
yang terpenting yaitu adanya peradangan vitreus. Uveitis intermediet khasnya
bilateral dan cenderung mengenai pasien pada masa remaja akhir atau dewasa
muda. Pria lebih banyak yang terkena dibandingkan wanita. Gejala-gejala khas
meliputi floaters dan penglihatan kabur. Nyeri, fotofobia, dan mata merah
biasanya tidak ada atau hanya sedikit. Temuan pemeriksaan yang paling
menyolok adalah vitritis- sering kali disertai dengan kondensat vitreus, yang
melayang bebas seperti “bola salju” (snowballs) atau menyelimuti pars plana dan
corpus cilliar seperti gundukan salju (snow banking).” Peradangan bilik mata
depan mungkin hanya minimal, tetapi jika sangat jelas, peradangan ini lebih tepat
disebut sebagai uveitis difus atau panuveitis. Penyebab uveitis intermediet tidak
diketahui pada sebagian besar pasien, tetapi sarkoidosis dan sklerosis multipel
berperan pada 10-20% kasus; sifilis dan tuberculosis (walaupun jarang) harus
disingkirkan dulu kemungkinannya pada setiap pasien. komplikasi uveitis
intermdiet yang tersering meliputi edema macula kistoid, vaskulitis retina, dan
neovaskularisasi pada diskus optikus.10
UVEITIS POSTERIOR
TATALAKSANA
7. Ilyas S. 2007. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Eva, P.R., and Whitcher, J.P. 2007. Vaughan and Asbury’s General Ophthalmology
17th Edition. USA: McGrawHill
10. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14. Jakarta: Widya
medika, 2000
11. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta: 126-153
12. Islam N, Pavesio C. Uveitis (acute anterior). BMJ Clin Evid. 2010: 0705
13. Suttorp-Schultemn MSA, Rothova A. The possible impact of uveitis in blindness: a
literature survey. Br J Ophtalmol. 1996;80(9): 844-8
14. Acharya NR, Tham VM, Esterberg E, Borkar DS, Parker JV, Vinoya AC, et al.
Incidence and prevalence of uveitis. JAMA Ophthalmol. 2013; 131 (11): 1405-12
15. Nussenblat RB, Whitcup SM. Uveitis: fundamentals & clinical practice. Edisi ke-4.
California: Elsevier; 2010
16. Agrawal RV, Murthy S, Sangwan V, Biswas J. Current approach in diagnosis and
management of anterior uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010;58(1):11-9
17. Bansal R, Gupta V, Gupta A. Current approach in the diagnosis and management of
panuveitis. Indian J Ophtalmol. 2010; 58 (1): 45-54
18. Yanoff, M. and Duker, JS., 2009. Yanoff and Duker’s Ophthalmology. 3rd Edition.UK:
Mosby Elsevier.
19. Khurana A. 2007. Comprehensive Ophtalmology 4th Edition. India: New Age
International Limited Publisher.
20. Babu, Rathinam, 2010, Intermediate Uveitis. Indian Journal of Opthalmology.58(1)
21-27.
21. Kanski, Jack J; Bowling B. 2011. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach, 7th
edition. UK: Elveiser.
22.