Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata),
kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera (Ardy,
1993)
Menurut American Optometric Association (AOA) tahun 2004, uveitis anterior adalah suatu
proses inflamasi intraokular dari bagian uvea anterior hingga pertengahan vitreus. Penyakit ini
dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti
juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster,
dan sifilis.
I.
EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika
Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk
per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar
30-an (Sjamsoe, 1993; AOA, 2004)
Menurun AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang
menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang
berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual juga
meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma Reiter.
II.
KLASIFIKASI
Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis infeksius,
uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan oleh agen
non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada mata (oftalia
simpatika, uveitis imbas lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet, sarkoidosis, sindroma
Reiter, dll (Sjamsoe,1993).
Berdasarkan asal nya uveitis anterior dibedakan menjadi, uveitis eksogen dan uveitis
endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler,
ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal ifeksi di organ
lain maupun reaksi autoimun ( Anonim,2008).
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis anterior
dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior akut
biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang dari 5 minggu. Sedangkan
yang kronik mulainya berangsur-angsur, dan perjalanan penyakitnya dapat berbulan-bulan
maupun tahunan (Ardy, 1993).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan patologi anatominya terdiri dari tipe
granulomatosa dan non granulomatosa. Tipe granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel
epiteloid dan makrofag. Sedangkan tipe non granulomatosa infiltratnya terdiri dari sel plasma
dan limfosit (Ardy,1993; anonim, 2008).
Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan ICD-9-CM dibagi atas:
ETIOLOGI
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain: autoimun,
infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis Rhematoid juvenile,
spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-lensa, sarkoidosis,
penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sipilis, tuberkulosis, lepra, herpes
zooster, hepes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk penyebab keganasan terdiri dari:
sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma, melanoma maligna. Sedangkan yang
lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika, ablatio retina, gout, dan krisis
glaukomatosiklitik (Voughan, 2000).
Selain itu menurut Rosenbaum (2007) etiologi dari uveitis anterior digolongkan menurut agen
penyebab infeksi, seperti dalam tabel berikut:
Tabel 1. Etiologi uveitis anterior menurut golongkan agen penyebab infeksi
BACTERIAL
/
SPIROCHET
VIRAL
FUNGAL
PARASITIC
AL
Atypic
Cytome
al
galoviru
mycob
Brucell
Asperg
illosis
amoeb
Blasto
Epstein-
mycosi
Barr
Cat
scratch
Cyster
cercosi
osis
Acanth
a
acteria
Herpes
simplex
Candid
iasis
Oncho
cercias
disease
Propio
nibacte
leukemi
Syphili
Crypto
coccos
Mumps
Rubeola
HIV-1
West
Tuberc
Nile
ulosis
virus
Histopl
asmosi
s
Vaccini
carinii
Toxoca
riasis
is
Pneum
ocystis
a virus
ri-um
cell
disease
is
Coccid
ioido-
Human
T
Leptos
Lyme
mycosi
pirosis
Herpes
zoster
Lepros
y
Toxopl
asmosi
s
Sporot
richosi
s
Whippl
e's
disease
Masih menurut Rosenbaum (2007) beberapa penyakit sistemik dapat berhubungan dengan
uveitis, penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah:
Spondyloarthritides
Crohn's disease
Sarcoidosis
Behcet's disease
Hypersensitivity reactions
Tubulointerstitial nephritis
Multiple sclerosis
Relapsing polychondritis
Sjgren's syndrome
Systemic vasculitis
Vogt-Koyanagi-Harada syndrome
AIDS
Blau syndrome
Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti: gigi, telinga, hidung,
tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-lain. Trauma perforata dan
oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior (Wijana, 1993)
IV.
PATOFISIOLOGI
Peradangan traktus uvealis banyak penyebabnya dan dapat mengenai satu atau ketiga bagian
secara bersamaan. Bentuk uveitis paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis),
umumnya unilateral dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotopobia dan penglihatan kabur,
mata merah, dan pupil kecil serta ireguler.
Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa
dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan
patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan
granulomatosa.
Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus
siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan
jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin
besar atau hipopion di kamera okuli anterior (Vaughan, 2000).
Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang memberi
makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka
timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah,
sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan
mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan
glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris,
dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak
mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang,
sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh
darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke
bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk
keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah
semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis
Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih
seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin
dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah
glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit
(Wijana,1993)
Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila banyak
mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah
putihnya). Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat
juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut
sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan
yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior,
iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris pada lens
menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang
menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan
adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan
katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan
organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan
neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi
dapat mengakibatkan ablasi retina (Wijana, 1993).
V.
GAMBARAN KLINIS
1.
Gejala Subyektif
Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata kabur.
Masing-masing gejala akan dijelaskan di bawah ini (Ardy, 1993 ; Gunawan, 1993 )
Nyeri
Nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan penekanan saraf siliar bila
melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul.Lokalisasi nyeri bola mata, daerah orbita
dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal. Intensitas nyeri tergantung hiperemi
iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri pada penderita, sehingga sulit menentukan
derajat nyeri.
Nyeri jarang dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma
sekunder
Ditandai dengan blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea
bukan karena sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+4+ blefarospasmus menetap, ringan 1+2+
bila disinari dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh
iritasi saraf pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia.
Kabur
Derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan sedang, berat, atau hilang timbul, tergantung
penyebab.
Disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos, dan badan kaca depan
karena eksudasi sel radang dan fibrin.
Disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan
Descemet, vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat
mengalami kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai
neovaskularisasi stroma perifer dan pannus kornea.
2.
Gejala Obyektif
Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan
angiografi fluoresen atau ultrasonografi. Menurut Ardy (1993) pada pemeriksaan akan
ditemukan hasil di bawah ini.
Hiperemi
Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan gambaran
bendungan pembuluh darah sekitar kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi
pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu.
Merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas sampai
pembuluh darah konjungtiva.
Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi sekitar
kornea disebabkan oleh peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal
dapat difusi ke pembuluh darah badan siliar. Hubungan derajat hiperemi dengan kelainan kornea
mengikuti pembagian Hogan (1959).
Perubahan kornea
Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea
akibat aliran konveksi akuwos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea.
Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus.
Keratik presipitat dapat dibedakan :
Jenis sel :
o lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan.
o limfosit kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas
tegas, putih.
o makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis
membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat.
Kelainan kornea
Keratitis dapat bersamaan dengan keratouveitis dengan etiologi tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes
simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea sekunder terhadap kelainan kornea.
Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi
kornea.
Gambaran edema kornea bcrupa lipatan Descemet dan vesikel pada epitel kornea. Harus
dibedakan dari keratitis profunda misalnya keratitis disciformis dengan edema menetap,
neovaskularisasi stroma perifer dan pannus.
Keratopati band akibat tekanan bola mata meninggi dan iridosiklitis pada anak.
Kekeruhan dalam bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan
fibrin.
Efek tyndal
Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata
Kenaikan jumlah sel dalam bilik depan mata sebanding dengan derajat peradangan dan
penurunan jumlah sel sesuai dengan penyembuhan pada pengobatan uveitis anterior.
Terdapat efek Tyndall menetap dengan beberapa sel menunjukkan telah terjadi perubahan dalam
permeabilitas pembuluh darah iris.
Bila terjadi peningkatan efek Tyndall disertai dengan eksudasi sel menunjukkan adanya
eksaserbasi peradangan.
Sel
Sel radang berasal dari iris dan badan siliar. Pengamatan sel akan terganggu bila efek Tyndall
hebat. Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah dalam ruangan gelap dengan celah 1 mm dan
tinggi celah 3 mm dengan sudut 45. Dapat dibedakan sel yang terdapat dalam bilik mata depan.
Jenis sel :
limfosit dan sel plasma bulat, mengkilap putih keabuan.
Fibrin
Dalam humor akuos berupa gelatin dengan sel, berbentuk benang atau bercabang, wama kuning
muda, jarang mengendap pada kornea.
Terdapat pada iridosiklitis akut dan berat karena eksudasi fibrin ke dalam bilik depan mata (iritis
plastik).
Hipopion
Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. Pengendapan terjadi
bila derajat sel dalam bilik depan lebih dari 4+.
Hipopion dapat ditemui pada uveitis anterior hiperakut dengan sebutan sel lekosit berinti banyak,
biasanya karena rematik, juga pada penyakit Behcet, dan fakoanafilaktik.
Hipopion harus dibedakan dari pseudohipopion yang disebutkan juga kelompok sindrom
masquerade. Untuk membedakan harus dilakukan pemeriksaan dengan pupil yang telah
dilebarkan dengan midriatik. Sindrom Masquerade disebabkan oleh iridoskisis, atrofi iris
esensial, limfoma maligna, leukemi, sarkoma sel retikulum, retinoblastoma, pseudoeksfoliatif
dan tumor metastasis.
Hiperemi iris
Merupakan gejala bendungan pada pembuluh darah iris. Edema dan eksudasi pada stroma iris,
keadaan ini dipermudah karena iris kaya dengan pembuluh darah sehingga struktur iris normal
hilang dan gambaran iris kusam coklat keabuan.
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang tidak terlihat karma
ditutupi oleh eksudasi sel.
Gambaran hiperemi ini harus dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial
tanpa percabangan abnormal.
Miosis pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan
langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri.
Nodul iris
Nodul tidak sesuai karena pengendapan agregasi sel dalam stroma tidak selalu menimbulkan
kerusakan jaringan. Dibentuk oleh limfosit, sel plasma dan jarang makrofag. Dapat ditemui pada
iritis atau iridosiklitis kronik. Nodul iris tidak selalu menunjukkan peradangan granulomatosa.
Nodul Kocppe
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih, warna putih keabuan.
Proses lama nodul Kocppe mengalami pigmentasi baik pada permukaan atau lebih dalam
merupakan hiasan dari iris.
Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang tcrjadi pada stroma iris nodul Koeppe, terlihat scbagai benjolan
putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk kelompok dalam liang setelah
mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul Busacca merupakan tanda uveitis anterior
granulomatosa.
Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris merupakan kelainan
spesifik pada peradangan granulomatosa seperti tuberkulosis, lepra dan lain-lain. Ukuran lebih
besar dari kelainan pada iris lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah
kabur, dengan vaskularisasi dan menetap. Bila granuloma hilang akan meninggalkan parut
karena proses hialinisasi dan atrofi jaringan.
Sinekia iris
Merupakan perlengkapan iris dengan struktur yang berdekatan pada uveitis anterior karena
eksudasi fibrin dan pigmen, kemudian mengalami proses organisasi sel radang dan fibrosis iris.
Sinekia posterior
Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang
atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika
akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila seklusi
sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). Kelainan ini dapat dijumpai pada uveitis
granulomatosa atau nongranulomatosa, lebih sering bentuk akut dan subakut, dengan fibrin
cukup banyak. Ditemui juga pada bentuk residif bila efek Tyndall berat.
Belum terjadi proses organisasi, sehingga sinekia posterior lebih mudah lepas dengan midriatika,
dengan meninggalkan jejak pigmen sedikit banyak pada kapsul depan lensa.
Sinekia posterior dibentuk oleh jaringan fibrotik keabuan tanpa distorsi pupil tetapi dengan
perubahan pinggir pupil.
Sinekia anterior
Perlengketan iris dengan sudut irido-kornea, jelas terlihat dengan gonioskopi. Sinekia anterior
timbul karena pada permulaan blok pupil sehingga akar iris maju ke depan menghalangi
pengeluaran akuos, edema dan pembengkakan pada dasar iris, sehingga setelah terjadi organisasi
dan eksudasi pada sudut iridokornea menarik iris ke arah sudut.
Sinekia anterior bukan merupakan gambaran dini dan determinan uveitis anterior, tetapi
merupakan penyulit peradangan kronik dalam bilik depan mata.
Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil.
Eksudasi protein dalam bilik depan mata disertai tarikan hebat dacrah pupil.
Proses organisasi sehingga membran radang berubah menjadi membran fibrotik dengan
neovaskularisasi.
Pada kasus yang berat karena kontraksi dan retraksi membran fibrovaskular dapat menyebabkan
eversi epitel pigmen sehingga terjadi ektropion uvea.
Atrofi iris
Terlihat derajat tertentu dari bendungan dan hiperemi stroma, sehingga iris kehilangan struktur
normal, karena mengalami fibrosis karena hilang dan homogenisasi struktur iris berupa
depigmentasi.
Atrofi iris dapat difus, bintik atau sektoral. Atrofi iris sektoral terdapat pada iridosiklitis akut
disebabkan oleh virus, terutama herpetik.
Kista iris
Jarang dilaporkan pada uveitis anterior. Penyebab ialah kecelakaan, bedah mata dan insufisiensi
vaskular. Kista iris melibatkan stroma yang dilapisi epitel seperti pada epitel kornea.Pada
beberapa keadaan, epitel yang melapisi kista keratinisasi sehingga lesi diisi oleh bahan keratin,
yang terlihat seperti mutiara.
Dikenal 3 bentuk perubahan pada lensa akibat uveitis anterior, yaitu: pengendapan set radang,
pigmen dan kekeruhan lensa.
Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa. Pada
pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri
atau berkelompok pada permukaan lensa.
Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa, menunjukkan
bekas sinekia posterior yangtelah lepas. Sinekia posterior yang meny,erupai lubang pupil disebut
cincin dari Vossius.
Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses
degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada
tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit.
Akibat perlengketan iris terjadi pencairan serat.
Terjadi perubahan degeneratif di depan kapsul depan dan subkapsul belakang. Predileksi daerah
sentral menunjukkan telah timbul reaksi hipersensitivitas daerah lensa tersebut terhadap stimuli
toksik metabolik. Kekeruhan subkapsul belakang dapat disebabkan pemberian kortikosteroid
lokal atau sistemik.
Kekeruhan lensa (katarak) sering merupakan penyulit uveitis anterior kronik atau residif. Reaksi
radang pada uveitis anterior lebih sering mempercepat kekeruhan pada katarak senilis.
Kekeruhan badan kaca timbul karena pengelompokan sel, eksudat fibrin dan sisa kolagen, di
depan atau belakang, difus, berbentuk debu, benang, menetap atau bergerak. Agregasi terutama
oleh sel limfosit, plasma dan makrofag.
Iridosiklitis dapat dibedakan dari iritis dengan ditemui sel dan kekeruhan di ruang belakang lensa
dan badan kaca depan akibat eksudasi badan siliar.
Kekeruhan badan kaca tidak berkurang melainkan akan bertambah. Bila lebih banyak sel
melekat terlihat penebalan benda kaca dan terpisah.
Pada kasus uveitis anterior residif dan kronik tidak terkontrol, akan mengalami regresi dan
pemecahan jaringan kolagen, pencairan dan retraksi, sehingga mengakibatkan lepas badan kaca.
Efek Tyndall dan set dalam ruang belakang badan kaca akibat masuknya eksudasi radang melalui
hialod belakang yang rusak. Badan kaca yang mengalami kerusakan akan membentuk
perlengkctan dan kckeruhan bersama set radang dan membentuk eksudat berupa salju, tipikal
pada uveitis intermedia, dan posterior. Kekeruhan ini akan bertambah membundar, keabuan,
mengkilap bergerak di atas badan kaca perifer.
Pada uveitis anterior tidak begitu berat, terjadi perubahan bagian depan badan kaca, tetapi dapat
meluas ke seluruh badan kaca dan setelah mengalami proses regresi organisasi dapat
menimbulkan penyulit vitreo-retina.
Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat
(hipertoni).
Hipotoni
Hipotoni menetap karena perubahan badan siliar dan dapat mengakibatkan atrofi bola mata.
Normotensi
Hipertoni
Hipertoni dini ditemui pada uveitis hipertensif akibat blok pupil dan sudut irido-kornea oleh sel
radang dan fibrin yang menyumbat saluran Schlemm dan trabekula. Hipertoni dijumpai juga
pada uveitis disebabkan oleh virus herpes simpleks, zoster dan sindrom Posner Schlossman.
Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa
dan Non Granulomatosa
Non
granulomatosa
Granulomatosa
Onset
Akut
Tersembunyi
Sakit
Nyata
Fotofobia
Nyata
Ringan
Penglihatan
Sedang
Nyata
Nyata
Ringan
Putih halus
Kelabu besar
Kecil
kabur
Merah
sirkumkorneal
Presipitat
keratik
Pupil
Sinekia
dan
teratur (bervariasi)
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Kadang-kadang
Kadang-kadang
posterior
Nodul iris
tak
Tempat
Uvea anterior
Perjalanan
Akut
Menahun
Rekurensi
Sering
Kadang-kadang
(Vaughan, 2000)
VI.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior,
apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat
berguna demikian juga antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran
kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (Vaughan, 2000)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam penegakan diagnosa dan
etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS).
Berikut adalah pemeriksaan dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior
menurut George (2007) dan AOA (2004):
Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui
keganasan seperti limfoma dan leukimia.
MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of intraocular (CNS)
lymphoma.
Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak negatif,
pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.
VII.
DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan
umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris.
Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan
fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat
menyertai uveitis anterior sebenarnya.
Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.
VIII.
TERAPI
Menekan peradangan,
Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.
Pada refrat ini akan dibahas terapi spesifik dan terapi non spesifik untuk uveitis anterior menurut
Sjamsoe (1993).
1.
Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada uveitis yaitu midriatiksikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat
neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior
sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:
o Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
o Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder.
o Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare.
Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior menuruut AOA (2004) antara lain:
o Atropine 0,5%, 1%, 2%
o Homatropin 2%, 5%
o Scopolamine 0,25%
o Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada
uveitis. Efek samping baik topikal maupun sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada
salahnya diingatkan kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan
potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan uveitis. Pengobatan peradangan intra
okular dengan kortikosteroid dimulai pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid
pada uveitis:
o Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
o Sistemik
Lokal
Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis
dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan
apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
Tetes mata
Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar
terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan
tergantung pada:
a. Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi
pula efek antiinflamasinya.
b. Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason
dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon
dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea
superfisial.
c. Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu, epitel yang
terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel
lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih
mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat dengan daya tembus
kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic). Obat-obat kortikosteroid
topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic.
d. Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk suspensi
adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi
kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasiseperti: Glaukoma, katarak,
penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun bentuk short acting berupa
solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal
di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah :
1. Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat
dianjurkan.
2. Uveitis unilateral.
3. Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
4. Anak-anak.
5. Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.
Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis)
dan skleritis.
Lokasi injeksi peri-okular :
a) Sub-konjungtiva dan sub-tenon anterior
Pemakaian sub-konjungtiva/sub-tenon steroid repository (triamcinolone acetonide 40 mg, atau.
methyl prednisolone acetate 20 mg) efektif pada peradangan kronis segmen anterior bola mata.
Keuntungan injeksi sub-konjungtiva dan sub-tenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1
kali pemberian pada jaringan intraokular selama 24 minggu sehingga tidak membutuhkan
pemberian obat yang berkali-kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis
anterior berat dapat dipakai dexametason 24 mg.
b) Injeksi sub-tenon posterior dan retro-bulbar
Cara ini dipergunakan pada peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik).
Komplikasi injeksi peri-okular :
1) Perforasi bola mata.
2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak subkapsular posterior.
3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana
dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata.
4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra.
Sistemik
Imunosupresan
Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM
telah dipakai preparat klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan
selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang
dari 5 mg/hari, sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg1
mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita hams bekerja
sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita hams mengontrol darah tepi,
yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam
pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi
pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan
Siklosporin A
Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak
menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa
menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi
penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel
monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak
mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.
Mekanisme kerja siklosporin A dalam respons imun adalah spesifik dengan:
Menekan secara langsung sel T helper subsets dan menekan secara umum produksi
limfokin-limfokin (IL-2, interferon, MAF, MIF). Secara umum CsA tidal( menghambat
fungsi sel B.
Produksi sel B sitotoksik dihambat oleh CsA dengan blocking sintensis IL-2.
Secara tidak langsung mengganggu aktivitas sel NK (natural killer cell) dengan menekan
produksi interferon, di mana interferon dalam mempercepat proses pematangan dan
sitolitik sel NK.
Populasi makrofag dan monosit tidak dipengaruhi oleh CsA sehingga tidak
mempengaruhi efek fagositosis, processing antigen dan elaborasi IL-1.
1.
Terapi Spesifik
Toxoplasmosis
Pirimetamin :
Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 36 minggu.
Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim) :
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim selama 46 minggu. Preparat sulfa mencegah konversi asam
paraaminobenzoat menjadi asam folaL Preparat pirimetamin bekerja menghambat terbentuknya
tetrahidrofolat. Asam folat dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon.
Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap
minggu, apabila trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum
tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
Klindamisin :
Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada
experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina.
Dosis: 3 kali 150300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan
memberi hasil baik.
Spiramisin :
Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang
efektif dalam mencegah rekurensi.
Minosiklin :
Infeksi virus
Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik.
Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus.
Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23 minggu yang kemudian diturunkan 2
atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir
intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 1014 hari. Kortikosteroid sistemik
diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior
diberikan steroid dan sikloplegik topikal.
Sitomegalovirus :
Berat badan. Bila berat badan naik dengan cepat berarti ada penumpukan air, karena
adanya Na retensi, makanya pada pemberian kortekosteroid yang lama harus disertai
pemberian KCl.
Pemeriksaan kadar gula dalam darah, harus dilakukan satu kali dalam setiap minggu
Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi dari faktor
penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak
disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki daya tahan
tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang minum
alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai
kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi,
telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut (Wijana,
1993).
IX.
KOMPLIKASI
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy,
dan cystoid macular edema (CME) (AOA,2004).
Katarak subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior
berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang (AOA, 2004).
Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain: (AOA,
2004)
Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan intra
okular
Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium pada
kornea anterior (AOA, 2004).
Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME mungkin disebabkan
karena penurunan kadar prostaglandin (AOA, 2004).
X.
PROGNOSIS