Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU DAN KULIT DAN KELAMIN

MELANOMA MALIGNA

Disusun oleh:

Juan Kevin Phenca 01073190059

Tania Liestary 01073190068

Thania 01073190081
Dibimbing oleh:

dr. Michael Warouw, Sp.KK

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN PERIODE MARET- APRIL


2021 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN SILOAM
HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH UMUM SAKIT SILOAM
TANGERANG

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit6.................................................................................................2

2.2 Definisi...................................................................................................................................5

2.3 Epidemiologi..........................................................................................................................6

2.4 Etiologi...................................................................................................................................7

2.5 Patofisiologi...........................................................................................................................9

2.6 Klasifikasi............................................................................................................................11

2.7 Diagnosis..............................................................................................................................15

2.8 Diagnosis banding................................................................................................................26

2.9 Tatalaksana...........................................................................................................................27

2.10 Komplikasi.........................................................................................................................30

2.11 Prognosis............................................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................32

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pertumbuhan Melanoma secara dermoskopis dan histologis.20...................................10

Gambar 2. Tahap Perkembangan Melanoma Maligna.21...............................................................11

Gambar 3. Penyebaran superficial melanoma pada kulit.23...........................................................12

Gambar 4. Nodular melanoma.23...................................................................................................13

Gambar 5. Lentiga Melanoma Maligna.24.....................................................................................14

Gambar 6. Acral Lentiginous Melanoma.25..................................................................................14

Gambar 7. Bentuk Tumor tidak Simetris.28...................................................................................16

Gambar 8. Garis batas yang tidak teratur.28...................................................................................17

Gambar 9. Warna yang dapat bervariasi dalam satu lesi.28............................................................17

Gambar 10. Diameter tumor lebih besar dari 6mm.28....................................................................17

Gambar 11. Sel tumor menunjukkan afinitas permukaan epitelium (penggabungan tumor dan

epitel). Diagnosis melanoma oral.30...............................................................................................19

Gambar 12. Sarang melanosit yang bundar dalam berbagai variasi ukuran dengan

pseudoinclusion nuklir (hematoxylin dan eosin, X40 perbesaran asli). Diagnosis melanoma

oral.30..............................................................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Melanoma maligna adalah tumor ganas kulit yang terjadi pada sel melanosit, dengan
gambaran berupa lesi kehitam-hitaman pada kulit atau mukosa. Sebagian besar melanoma
ditemukan pada kulit, namun kemungkinan juga dapat terjadi pada tempat lain dimana melanosit
ditemukan. Kanker ini merupakan kanker ketiga yang dapat menyebabkan kematian dan
merupakan kanker yang paling sulit ditemukan. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan
bahaya sinar matahari membuat kondisi ini semakin umum ditemukan. Patofisiologi melanoma
dihubungkan dengan faktor herediter dan radiasi ultraviolet (UV) yang kemudian menyebabkan
perubahan genetik melanosit dan transformasi maligna. Mutasi tumor supresor p16 dan mutasi
gen BRAF berperan penting dalam terjadinya melanoma. Pasien dengan riwayat penyakit
melanoma, riwayat kanker kulit non melanoma, dan yang menderita imunosupresi umumnya
memiliki risiko melanoma yang lebih tinggi. Penderita umumnya mengeluhkan perubahan
karakteristik pada tahi lalat (nevi) atau ditemukannya tahi lalat baru, yang dapat disertai gatal
yang bersifat persisten, perdarahan spontan, atau pengeringan.1,2

Diagnosis melanoma ditegakkan dari karakteristik lesi berupa bercak berpigmen yang
progresif, asimetris, tepinya tidak rata, warnanya tidak homogen, dan lebarnya lebih dari 0,635
cm. Biopsi merupakan pemeriksaan penting dalam menegakkan diagnosis melanoma.
Pemeriksaan laboratorium lain dan pencitraan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
metastasis..2,3

Penatalaksanaan melanoma tergantung pada stadiumnya. Pada melanoma stadium I


hingga III B, umumnya pembedahan dapat menjadi terapi definitif. Namun, bila terdapat
kemungkinan keterlibatan getah bening atau metastasis, terapi sistemik dapat dilakukan
dengan/tanpa eksisi. Beberapa terapi sistemik yang dapat diberikan adalah kemoterapi,
imunoterapi, targeted therapy, dan terapi radiasi.4,5

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit6

Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia, dengan berat sekitar 5 kg
dan luas 2m2 pada seseorang dengan berat badan 70 kg. Kulit yang tidak berambut seperti
pada tangan dan telapak kaki dikenal sebagai kulit glabrosa. Kulit glabrosa diperkirakan
10 kali lebih tebal dibandingkan dengan kulit yang tipis, contohnya kulit yang terdapat
pada daerah lipatan (fleksural).

Secara mikroskopi, kulit memiliki 3 lapisan utama, yaitu lapisan epidermis,


dermis dan subkutis:

a) Epidermis

Epidermis adalah lapisan kulit terluar yang selalu beregenerasi dan


merespon rangsangan eksternal maupun internal. Lapisan epidermis memiliki
tebal rata-rata 0,4 - 1,5 mm. Komponen utama epidermis adalah keratinosit, lalu
terdapat sel Langerhans dan melanosit diantaranya. Terkadang juga ditemukan sel
Merkel dan limfosit. Lapisan epidermis dibagi lagi menjadi beberapa stratum
(dari bawah hingga atas) sebagai berikut:

i) Stratum Basalis

Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, letaknya berjajar di atas


basal membrane zone (BMZ) yang adalah sebuah lapisan struktural. Lalu pada
lapisan ini juga terdapat hemidesmosom, protein struktural yang ‘memaku’
membran sitoplasma keratinosit pada BMZ, sehingga keratinosit basal dapat
berdiri kokoh di atas BMZ. Terdapat tiga subpopulasi keratinosit pada stratum
basalis, yaitu sel punca (stem cells), transient amplifying cells (TAC) dan sel
pascamitosis. Sel punca diketahui membelah diri secara lambat dan biasanya aktif

2
ketika terdapat kerusakan epidermis yang luas dan membutuhkan regenerasi yang
cepat. TAC adalah subpopulasi terbesar dari keratinosit stratum basalis dan
beregenerasi secara aktif. TAC tidak lama tinggal di stratum basalis dan akan
berpindah ke suprabasal setelah beberapa kali berdiferensiasi.

Sitoplasma keratinosit mengandung banyak melanin (pigmen warna yang


tersimpan dalam melanosom). Sel-sel melanosit mensintesis melanin dan
mendistribusikannya pada sekitar 36 keratinosit di stratum basalis. Melanin
adalah pigmen yang tersebar dalam keratinosit dan memberikan warna kulit
seseorang. Melanin juga diketahui dapat menyerap sinar UV (ultraviolet) yang
berbahaya bagi DNA.

ii) Stratum Spinosum

Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal dan ukuran yang


lebih besar dari keratinosit stratum basale. Lalu terdapat struktur desmosom yang
adalah penghubung antara keratinosit. Desmosom terdiri dari beberapa protein
struktural yang memberi kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisik
pada permukaan kulit. Keratinosit stratum spinosum juga mulai membentuk
struktur khusus yang dikenal sebagai lamellar granules (LG). Struktur tersebut ini
terdiri berbagai protein dan lipid, seperti glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan
glukosil seramid yang memiliki peran dalam pembentukan sawar lipid pada
stratum korneum. Stratum spinosum dan stratum granulosum juga terdiri dari sel
langerhans, yang adalah sel dendritik yang berperan sebagai penyaji antigen.

iii) Stratum Granulosum

Salah satu komponen dari lapisan ini yang diketahui sebagai


keratohyaline granules (KG), mengandung profilagrin dan loricin yang penting
dalam pembentukan cornified cell envelope (CCE). Keratinosit di stratum
granulosum memulai apoptosis yang pada akhirnya akan menghasilkan CCE
yang menjadi bagian dari sawar kulit di stratum korneum. Keratinosit basal
membutuhkan waktu kira kira 14 hari untuk mencapai lapisan stratum korneum.

3
iv) Stratum Lucidum

Merupakan lapisan yang tidak pasti terdapat pada seluruh bagian kulit
tubuh, dan merupakan sebuah lapisan tipis yang jernih yang tersusun atas eleidin
(produk transformasi dari keratohialin). Biasanya terdapat hanya pada kulit yang
tebal

v) Stratum Korneum

CCE yang mulai dibentuk pada stratum korneum akan mengalami


penataan dengan lipid yang dihasilkan oleh LG. Susunan kedua komponen ini
diketahui sebagai susunan brick-and-mortar. CCE menjadi batu bata yang dilapisi
oleh lipid sebagai semen disekitarnya.

b) Dermis

Lapisan dermis, yang ada dibawah epidermis, terdiri dari serabut kolagen
dan seratin yang memberikan kulit kekuatan dan elastisitas. Kedua komponen ini
tertanam dalam matriks yang dikenal sebagai ground substance yang terbentuk
dari proteoglikans (PG) dan glikosaminoglikans (GAG). PG dan GAG dapat
menyerap air dalam jumlah yang besar sehingga dapat mengatur cairan dalam
kulit dan mempertahankan growth factors dalam jumlah yang besar. Pada lapisan
dermis juga terdapat makrofag, fibroblas dan sel mast.

1. Lapisan papiler: Lapisan luar yang lebih tipis dan tersusun atas jaringan
ikat longgar dan berhubungan dengan epidermis.
2. Lapisan retikular: Lapisan yang lebih dalam, lebih tebal, memiliki
komponen selular yang lebih sedikit dan tersusun atas jaringan ikat yang
lebih padat serta terdapat serat kolagen.

4
c) Subkutis

Lapisan subkutis terdiri atas jaringan lemak, yang memiliki peran untuk
mempertahankan suhu tubuh, menjadi cadangan energi dan sebagai bantalan
terdapat trauma. Sel-sel lemak terbagi dalam lobus yang dipisahkan dengan septa.

Pada kulit juga terdapat adneksa, yaitu rambut, kelenjar ekrin dan apokrin, dan
kuku.

Kulit beserta adneksa memiliki beberapa peran dalam memelihara kesehatan


manusia dengan cara:

a) Perlindungan fisik (terhadap gaya mekanik, sinar UV, bahan kimia)


b) Perlindungan imunologik
c) Ekskresi
d) Penginderaan
e) Pengaturan suhu tubuh
f) Pembentukan vitamin D
g) Kosmetis

2.2 Definisi

Melanoma maligna (MM) merupakan suatu keganasan sel melanosit yang dapat terjadi
pada kulit, mata, telinga, traktus gastrointestinal, leptomeningen, dan membran mukosa
oral atau genital. Sel-sel tersebut masih mampu membentuk melanin, sehingga pada
umumnya MM berwarna coklat atau kehitaman. Beberapa melanoma yang sel-selnya
tidak dapat membentuk melanin lagi tampak berwarna merah muda, tan, atau bahkan
putih. Melanoma maligna merupakan salah satu tumor ganas dengan kemampuan
metastasis ke beberapa organ, termasuk otak dan hati.7

2.3 Epidemiologi

5
Insidensi melanoma terus meningkat di seluruh dunia. Insidensi global melanoma
di dunia pada tahun 2015 dilaporkan sebanyak 351.880 kasus. Melanoma menduduki
peringkat ke-19 kanker terbanyak di seluruh dunia dan peringkat ke-5 kanker terbanyak
di Amerika Serikat. Tingkat insidensi melanoma adalah sekitar 2,8–3,1 per 100.000
penduduk. Insidensi tertinggi dilaporkan di Australia (37 per 100.000 penduduk) dan
terendah di Asia Tengah dan Selatan (0,2 per 100.000 penduduk).8

Insidensi melanoma meningkat seiring bertambahnya usia lebih umum terjadi


pada laki-laki dibandingkan perempuan. Usia rata-rata diagnosis melanoma adalah 52
tahun, yaitu 10–15 tahun lebih muda dari usia rata-rata diagnosis kanker payudara, paru-
paru, kolon, dan prostat. Lebih dari 35% melanoma muncul pada individu berusia kurang
dari 45 tahun. Melanoma merupakan kanker yang paling umum pada dewasa muda usia
25–29 tahun. Pada kelompok usia kurang dari 40 tahun di Amerika Serikat, wanita
memiliki insidensi melanoma lebih tinggi dibanding laki laki dan sebaliknya pada
kelompok usia diatas 40 tahun.1,6,9 Data epidemiologi melanoma di Indonesia masih
terbatas. Studi epidemiologi kanker kulit yang dilakukan oleh Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014–2017 menemukan bahwa melanoma maligna
menempati urutan ketiga insidensi kanker kulit terbanyak (5,7%) dari 263 kasus kanker
kulit. 9,10

Mortalitas tertinggi akibat melanoma maligna ditemukan di Australia, Amerika


Utara, Eropa Timur, Eropa Tengah, dan Eropa Barat. Berdasarkan data SEER (US
Surveillance, Epidemiology, and End Results), diperkirakan terdapat 6.850 (1,1%) dari
seluruh mortalitas kanker disebabkan oleh melanoma pada tahun 2020.1,8

2.4 Etiologi
Etiologi melanoma masih belum diketahui. Melanoma diperkirakan terjadi karena
faktor genetik maupun lingkungan. Pertumbuhan melanoma dikaitkan dengan berbagai

6
faktor risiko, seperti paparan sinar matahari atau radiasi sinar ultraviolet, karakteristik
fenotip tertentu, riwayat melanoma dahulu, riwayat melanoma pada keluarga, xeroderma
pigmentosum, dan juga kondisi imun yang tersupresi. 5

2.4.1 Paparan Sinar Matahari atau Sinar Ultraviolet (UV)


Paparan matahari atau lebih spesifiknya paparan sinar UV, merupakan
faktor lingkungan utama yang menyebabkan melanoma, terutama pada populasi
berisiko tinggi. Sinar matahari mengandung radiasi sinar UV-A (panjang
gelombang 320–400 nm), UV-B (290–320 nm), dan UV-C (100–290 nm). Sinar
UV-A dan UV-B memiliki sifat karsinogenik akibat panjang gelombangnya dan
dapat menyebabkan kerusakan DNA. Tanning booths atau tanning beds juga
memanfaatkan sinar UV sehingga dapat meningkatkan risiko melanoma.
Penelitian menunjukkan bahwa kulit yang terpapar sinar matahari yang periodik,
intens, dan berlebih (terutama pada masa kanak-kanak dan remaja) merupakan
faktor risiko yang lebih kuat dibandingkan paparan sinar matahari yang lama dan
terus menerus. Hal ini disebut sebagai intermittent exposure hypothesis. 5,11

2.4.2 Jenis dan tipe kulit


Individu yang memiliki pigmentasi kulit cerah, freckles (bintik-bintik pada
kulit), rambut merah atau pirang, mata hijau atau biru, dan kecenderungan
terbakar pada kulit dengan Fitzpatrick skin phototype I-II dilaporkan memiliki
risiko melanoma yang lebih tinggi. Kulit yang cerah memiliki jumlah melanin
lebih sedikit sehingga bersifat kurang protektif terhadap sinar UV bila
dibandingkan kulit yang lebih gelap. Selain itu, melanoma lebih jarang terjadi
pada kulit tipe V-VI (Fitzpatrick skin phototype). Hal ini menunjukkan bahwa
pigmentasi kulit memainkan peranan protektif.12,13,14

7
Tabel 1 Klasifikasi jenis kulit15

2.4.3 Nevi Melanositik


Nevi adalah tumor jinak melanosit yang mulai muncul di masa kecil, terus
berkembang di masa dewasa awal, dan berkurang secara bertahap pada usia 40-50
tahun dan seterusnya. Lokasi dan distribusi nevi dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Pada anak perempuan, nevi lebih banyak ditemukan di anggota badan sedangkan
pada anak laki-laki sering ditemukan pada batang badan. Alasan mengapa jenis
kelamin mempengaruhi distribusi pada melanoma belum diketahui. Nevi
merupakan faktor risiko terkuat untuk melanoma, jauh lebih besar daripada resiko
relatif yang berhubungan dengan paparan sinar matahari.14

2.4.4 Mutasi Genetik dan Riwayat Keluarga


Terdapat beberapa gen yang dikaitkan dengan pertumbuhan melanoma,
yakni CDKN2A (p16), CDK4, RB1, CDKN2A (p19), PTEN/MMAC1, dan ras.
CDKN2A berperan penting dalam pertumbuhan familial melanoma dan sporadic
melanoma.9,13 Sekitar 10–15% pasien melanoma memiliki riwayat keluarga
dengan melanoma. Risiko melanoma akan berlipat ganda pada individu dengan
satu orang kerabat tingkat pertama yang memiliki melanoma. Pada individu
dengan ≥3 kerabat tingkat pertama dengan melanoma, risiko meningkat 25–70
kali lipat lebih tinggi. Familial Atypical Multiple Mole Melanoma Syndrome
(FAMMM) merupakan sebutan untuk kondisi di mana nevi atipikal ditemukan
pada individu dengan riwayat melanoma pada keluarga. Individu dengan
FAMMM memiliki risiko melanoma lebih tinggi.16

8
2.4.5 Riwayat Melanoma Sebelumnya
Adanya riwayat melanoma sebelumnya akan meningkatkan risiko
timbulnya melanoma primer lain. Sekitar 5–15% individu ini mengalami
melanoma primer multipel, di mana sekitar setengahnya mengalami melanoma
primer kedua di area tubuh yang sama dan setengahnya mengalami melanoma
primer kedua dalam satu tahun pertama setelah diagnosis awal. 16

2.4.6 Xeroderma Pigmentosum


Xeroderma pigmentosum merupakan kondisi medis yang jarang di mana
terdapat reaksi kulit ekstrim akibat ketidakmampuan kulit melakukan perbaikan
sendiri terhadap kerusakan radiasi ultraviolet. Kelainan ini merupakan kelainan
gen herediter yang meningkatkan mutagenesis dan karsinogenesis dini.
Xeroderma pigmentosum akan meningkatkan risiko melanoma maupun kanker
kulit lainnya hingga 600–1000 kali. 5

2.4.7 Supresi Imun


Hubungan supresi imun dengan melanoma masih belum diketahui secara
pasti. Beberapa studi besar menyimpulkan bahwa tidak ada peningkatan risiko
melanoma yang signifikan pada pasien HIV dan tidak ada korelasi antara
melanoma dengan penurunan jumlah CD4. Namun, ada pula beberapa penelitian
yang memiliki bukti peningkatan risiko melanoma pada pasien limfoma non-
Hodgkin (LNH) dan pada penderita melanoma juga terdapat peningkatan risiko
LNH.17

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi melanoma berkaitan dengan radiasi ultraviolet (UV). Radiasi UV
dapat menginduksi perubahan genetik melanosit yang mengakibatkan transformasi
maligna. Selain itu, mutasi gen, misalnya mutasi tumor supresor p16, juga ditemukan
berperan penting dalam terjadinya sebagian kasus melanoma familial dan seperempat
kasus melanoma sporadik. Mutasi gen CDKN2A pada kromosom 9p21 pada melanoma
familial juga menyebabkan gangguan fungsi supresi pertumbuhan sel. Sementara itu,
mutasi pada tumor supresi p16 menyebabkan gangguan fungsi p16 dalam menghentikan
siklus sel, yang lalu mengakibatkan pembelahan sel yang tidak teregulasi.9,10

9
Hampir setengah kasus melanoma sporadik disertai proses tumorigenesis dari
mutasi gen BRAF dan mutasi poin pada protein BRAFV600E. Mutasi ini masuk dalam
jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) dan phosphatidylinositol-4,5-
biphosphate 3-kinase-protein kinase B (PI3K-AKT) yang dapat menyebabkan
peningkatan proliferasi sel dan keberlangsungan hidup sel tumor. Pada beberapa kasus
melanoma yang jarang, misalnya melanoma akral dan mukosa, jalur MAPK dan PI3K-
AKT juga dapat diaktivasi melalui mutasi reseptor tirosin kinase, yaitu c-KIT.1,19

Gambar 1. Pertumbuhan Melanoma secara dermoskopis dan histologis. 20

10
A. Kulit normal dan sebaran melanosit.
a. Kulit normal dan sebaran melanosit.
b. Junctional nevus
c. Intradermal nevus
d. Intradermal nevus dengan neurotisasi (pematangan).
B. Melanocytic lentiginous hyperplasia.
C. Lentinous compound nevus dengan arsitektur dan sitologi abnormal (dysplastic
nevus)
D. Tahap awal atau fase pertumbuhan melanoma radial (sel gelap besar di
epidermis) yang timbul pada nevus
E. Melanoma dalam fase pertumbuhan vertikal dengan potensi metastasis.

2.6 Klasifikasi

Terdapat 4 jenis melanoma maligna, yaitu:

1. Superficial spreading melanoma (SSM)

SSM adalah melanoma yang paling umum ditemukan di Indonesia (70%). Subtipe ini
paling sering terlihat pada individu usia 30-50 tahun dan umumnya timbul pada kulit

11
normal (de novo). SSM umumnya berupa plak arciformis berukuran 0,5 - 3 cm dengan
tepi meninggi dan irregular. Pada permukaannya terdapat campuran dari bermacam-
macam warna, seperti coklat, abu-abu, biru, hitam dan sering kemerahan. Lesi tersebut
diketahui meluas secara radial dan pada umumnya mencapai ukuran sebesar 2cm dalam
waktu 1 tahun, untuk melanjutkan tumbuh secara vertikal dan berkembang menjadi
nodula biru kehitaman. Lesi SSM dapat mengalami regresi spontan dan meninggalkan
bercak hipopigmentasi. Predileksinya pada wanita sering dijumpai di tungkai bawah,
sedangkan pada pria di badan dan leher. Secara histologis, lesi SMM ditandai buckshot
(pagetoid) melanosit pada epidermis.14,22

Gambar 3. Penyebaran superficial melanoma pada kulit. 23

2. Nodular melanoma (NM) 14,22

NM adalah melanoma yang kedua terbanyak (15-30%). Sifat lesi ini lebih agresif. Terjadi
paling sering di kaki dan badan. Nodular melanoma adalah lesi berupa nodul berbentuk
setengah bola (dome shaped) atau polipoid dan eksofitik, berwarna coklat kemerahan
atau biru sampai kehitaman. Pertumbuhannya secara vertikal, pertumbuhan pesat terjadi
beberapa minggu sampai bulan, subtipe ini bertanggung jawab untuk kebanyakan

12
melanoma yang dalam. Dapat mengalami ulserasi dan mudah terjadi perdarahan hanya
dengan trauma ringan. Metastase dapat secara limfogen dan hematogen. Secara
histologis, lesi ini tidak memiliki fase pertumbuhan radial.

Gambar 4. Nodular melanoma.23

3. Lentigo Maligna Melanoma (LML)

LML merupakan kelainan yang jarang ditemukan (4-10%). Lesi LML bertumbuh
secara vertikal, dan progresifitasnya sangat lambat yaitu antara 5-20 tahun. LML umum
ditemukan di kepala, leher, dan lengan pada individu yang lebih tua dengan rata-rata
umur 65 tahun. Lesi ini terjadi terutama pada wanita usia lanjut. Perbandingan antara pria
dan wanita 1: 2-3.
Lesi precursor in situ biasanya besar, berdiameter lebih dari 1-3 cm dengan tepi
tidak teratur, telah terjadi minimal 10-15 tahun, dan menunjukkan pigmentasi makula
dari coklat tua sampai kehitaman, namun pada beberapa area dapat tampak
hipopigmentasi. Invasi pada dermal berkembang menjad lentigo maligna melanoma yang
ditandai nodul biru-kehitaman dalam lesi in situ. Secara histologis ditandai dengan
proliferasi melanosit yang predominan dan meluas sepanjang struktur adneksa kulit.

13
Gambar 5. Lentiga Melanoma Maligna.24

4. Acral Lentiginous Melanoma (ALM)


Sering dijumpai di telapak tangan, ibu jari kaki, daerah subungul, dan membran mukosa.
Biasanya berawal dari pigmentasi hitam, makula batas tidak teratur, yang kemudian
berkembang menjadi papula yang invasif. Sering terjadi di dekade ke-5 sampai ke-7 dari
hidup seseorang. Pertumbuhan lesi makula meluas ke arah lateral dan ke arah vertikal
berupa penebalan lesi.14,22

Gambar 6. Acral Lentiginous Melanoma.25

2.7 Diagnosis

Diagnosis melanoma dapat ditegakkan dengan memeriksa karakteristik lesi


berupa bercak berpigmen yang progresif, asimetris, tepi tidak rata, warna tidak homogen,
dan lebarnya yang lebih dari 0,635 cm. Diagnosis definitif dapat ditegakkan dengan

14
pemeriksaan biopsi. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dapat digunakan
untuk mengevaluasi metastasis.26

Anamnesis

Diagnosis melanoma harus dipertimbangkan bila pasien mengeluhkan ada


perubahan karakteristik tahi lalat (nevi) atau ada tahi lalat baru. Lesi melanoma umumnya
disertai gatal persisten, perdarahan, atau pengeringan. Pasien juga ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sebelumnya dan faktor risiko melanoma seperti riwayat
terpapar/terbakar sinar matahari (UV atau ultraviolet) kronik, riwayat menggunakan
tanning beds/booths, riwayat keganasan kulit baik yang melanoma maupun non
melanoma (pada pasien dan keluarga), dan riwayat penyakit herediter seperti xeroderma
pigmentosum. Riwayat kelainan yang mengganggu sistem imun seperti HIV, resipien
transplantasi organ, atau limfoma juga perlu ditanyakan. Selain itu, pasien juga
ditanyakan mengenai riwayat pekerjaannya, sebab pekerjaan-pekerjaan yang memiliki
paparan polychlorinated biphenyls (PCBs), produk petroleum, radiasi ionisasi, dan
selenium, juga merupakan faktor risiko dari melanoma.26

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan keseluruhan kulit tubuh perlu dilakukan bila ada nevus atipikal atau
ada kecurigaan melanoma. Jumlah nevi yang ada di kulit seluruh tubuh pasien sebaiknya
dihitung. Nevi tipikal dan atipikal harus dibedakan. Alat bantu diagnostik yang
digunakan dalam pemeriksaan klinis kelainan ini meliputi: 27

1. MacKie's revised seven-point checklist/ Glasgow seven point checklist.


Lebih dari 95% dari semua melanoma akan menunjukkan setidaknya satu tanda utama.
Tanda minor yang hadir sekitar 30-40%. Skor > 3 menandakan kecurigaan terhadap
melanoma dan sebaiknya dirujuk segera spesialis kulit.27
Tabel 2. Glasgow Weighted 7PCL (seven - point checklist)27

Glasgow seven - point checklist

Fitur Mayor (2 poin) Fitur Minor (1 poin)

Perubahan ukuran lesi Peradangan

15
Pigmentasi tidak teratur Gatal atau sensasi yang berubah

Batas tidak teratur Lebih besar dari lesi lain (diameter


>7mm)

Oozing/crusting of lesion

2. The ABCDE checklist from the American Cancer Society


Sistem ABCDE (A untuk asimetri, B ketidakteraturan tepi lesi, C untuk variasi
warna, D untuk diameter yang lebih besar dari 6 mm, dan E untuk elevasi, pembesaran)
mudah diingat dan digunakan untuk mendiagnosa melanoma, meskipun tidak
mencerminkan perubahan yang terjadi pada lesi berpigmen.14,28

A. Asymmetry

Gambar 7. Bentuk Tumor tidak Simetris.28

B. Border Irregularity

Gambar 8. Garis batas yang tidak teratur.28

C. Color

16
Gambar 9. Warna yang dapat bervariasi dalam satu lesi. 28

D. Diameter

Gambar 10. Diameter tumor lebih besar dari 6mm.28

E. Evolution

Terdapat perubahan lesi yang dapat diperhatikan sendiri oleh penderita, serta
informasi yang bisa didapatkan melalui anamnesis secara autoanamnesis dengan
pasien dan atau alloanamnesis dengan keluarga pasien yang mengikuti perkembangan
kondisi pasien.28

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat mengonfirmasi diagnosis melanoma adalah


biopsi. Namun, pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan laboratorium dan
pencitraan juga dapat dilakukan guna mengevaluasi metastasis.3,11,29
a) Biopsi

17
Diagnosis melanoma dikonfirmasi melalui biopsi eksisional dengan
menemukan sel melanoma. Biopsi eksisional dilakukan dengan margin
makroskopik 1–3 mm. Pada lesi kecil, dapat dilakukan biopsi punch untuk
mengambil seluruh lesi. Pada lesi melanoma di wajah atau akral, teknik biopsi
insisional lebih disarankan. Bila ditemukan melanosit yang besar, nukleus
hiperkromatik, nukleus ireguler dan/atau prominen, polimorfisme, bentuk
kromatin abnormal, serta gangguan arsitektural (seperti asimetri dan
sirkumskripsi yang buruk), melanosit dengan beragam bentuk dan ukuran pada
epidermis bawah dan dermis, maka diagnosis melanoma harus dicurigai. Selain
itu, pola pertumbuhan pagetoid dengan pertumbuhan ke atas dari melanosit
dianggap sebagai pathognomonic sign melanoma. Biopsi kelenjar getah bening
sentinel disarankan untuk pasien melanoma stage IB atau stage II dengan
ketebalan 0.76–1 mm dengan ulserasi dan kecepatan mitotik ≥1/mm2, atau
ketebalan >1 mm. Pemeriksaan ini juga disarankan pada pasien melanoma stage
IA dengan ketebalan 0.76–1 mm tanpa ulserasi dan kecepatan mitotik 0/mm2.3,11,29

b) Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan setelah biopsi dengan preparat


didapat. Pada pemeriksaan mikroskopis didapat gambaran histopatologis berupa
sel-sel yang ganas, dan tersusun rapat yang mempunyai variasi dalam bentuk dan
ukuran. Sebagian besar melanoma oral memiliki karakteristik dari jenis acral
lentiginous dan kadang superficial spreading. Sel-sel ganas sering tampak
bersarang atau berkluster dalam mode organoid, namun sel tunggal mendominasi
di persimpangan di bagian epitelium. Ada sedikit bukti pematangan atau dispersi
di dasar tumor. Sel-sel melanoma memiliki nuklei yang besar, seringkali dengan
nukleolus eosinofilik menonjol, dan menunjukkan pseudoinklusion karena
ketidakteraturan membran nukleusnya. Sitoplasma tampak seragam eosinofilik.
Kadang beberapa sel menjadi spindled (sarcomatoid) atau tampak nekrotik.

18
Dalam mukosa mulut, prognosisnya buruk jika terdapat semua jenis arsitektur
(spindled, pleomorfik,dan plasmacytoid. Sering juga ditemukan metastasis ke
kelenjar getah bening leher dan supraklavikula).3,11,29

Gambar 11. Sel tumor menunjukkan afinitas permukaan epitelium (penggabungan tumor dan epitel).
Diagnosis melanoma oral.30

Gambar 12. Sarang melanosit yang bundar dalam berbagai variasi ukuran dengan pseudoinclusion
nuklir (hematoxylin dan eosin, X40 perbesaran asli). Diagnosis melanoma oral. 30

Melanoma memiliki sejumlah gambaran histopatologi, termasuk diferensiasi yang


buruk dan anaplastik sel-sel limfoma besar. Sel balon sel, sel kecil, dan varian
desmoplastik melanoma bisa primer atau merupakan metastasis di mukosa rongga mulut.
Diperlukan penggunaan teknik imunohistokimia untuk melihat filamen intermediate atau
antigen spesifik di jalur sel tertentu. Amelanotik melanoma dapat menyerupai banyak
neoplasma mesenkimal, dan sangat diperlukan pemeriksaan dengan imunohistokimia
(IHC) untuk diagnosis. Ahli patologi akan mencari bukti reaksi limfositik dalam jaringan
ikat dan peningkatan jumlah melanosit di lapisan sel basal sebagai indikasi untuk
meminta pewarnaan IHC.3,11,29

19
c) Pemeriksaan Laboratorium

Peningkatan level alkaline fosfatase dapat menjadi penanda metastasis ke


tulang dan hati. Sementara itu, peningkatan aspartate aminotransferase (AST) dan
alanine aminotransferase (ALT) mungkin menandakan metastasis ke hati.
Peningkatan laktat dehidrogenase dapat menjadi salah satu penanda keganasan.
Namun, hal ini tidak spesifik karena juga dapat meningkat pada berbagai kondisi
lain. Peningkatan LDH pada saat diagnosis atau pada saat follow up dapat
mengindikasikan metastasis jauh, terutama ke paru dan hati. Total protein dan
albumin menunjukkan informasi kondisi kesehatan dan status nutrisi pasien
secara keseluruhan dan dapat berguna untuk informasi prognostik. Sementara itu,
level kreatinin diperlukan sebagai petunjuk terapi karena beberapa regimen
kemoterapi bersifat toksik pada ginjal.3,11,29

d) Pencitraan

Pada pasien melanoma stadium I atau II, rontgen toraks tetap dilakukan
meskipun kemungkinan hasil normal. Hasil yang normal tersebut dapat menjadi
pembanding saat follow up di masa mendatang. Pada pasien melanoma stadium
III, CT scan toraks harus dilakukan karena paru-paru biasanya menjadi lokasi
pertama metastasis. CT scan abdomen dilakukan ketika mengevaluasi pasien
melanoma stage III. CT scan pelvis hanya diindikasikan apabila pasien memiliki
kekambuhan regional lokal di bawah pinggul, simtomatik, atau diketahui terdapat
metastasis dengan riwayat tumor primer di bawah pinggul. MRI otak dapat
dilakukan pada pasien yang diketahui memiliki metastasis jauh untuk mendeteksi
metastasis asimtomatik tambahan. MRI otak juga dilakukan pada pasien yang
dipertimbangkan untuk mendapatkan terapi interleukin-2 dosis tinggi. MRI otak
pada pasien tanpa diketahui adanya metastasis tetap harus dilakukan jika terdapat
gejala yang indikatif pada pasien.3,11,29

Staging

20
Saat melakukan pemeriksaan lesi melanoma, diperlukan staging untuk
menentukan prognosis dan penatalaksanaan. The American Joint Committee on Cancer
(AJCC) menerapkan klasifikasi standar sistem TNM yang menggunakan micro-staging
dengan melihat kedalaman dan infiltrasi tumor di lapisan kulit (Clark) dan juga mengukur
ketebalan tumor (Breslow). Staging dengan TNM meliputi penilaian pada tumor primer,
keterlibatan nodus limfatik regional, dan metastasis.5,31

Primary Tumor (T)

Staging primary tumor dapat dibedakan berdasarkan ketebalan tumor dan juga ulserasi.

Tabel 3. Staging Primary Tumor (T)31

Stage T Ketebalan Status Ulserasi

TX: tumor primer tidak dapat dinilai - -

T0: tidak ada bukti primer tumor - -

Tis: melanoma in situ - -

T1 ≤ 1 mm Tidak diketahui atau tidak spesifik

T1a < 0,8 mm Tanpa ulserasi


T1
< 0,8 mm Dengan ulserasi
T1b
0,8–1 mm Dengan atau tanpa ulserasi

T2 1–2 mm Tidak diketahui atau tidak spesifik

T2 T2a 1–2 mm Tanpa ulserasi

T2b 1–2 mm Dengan ulserasi

T3 2–4 mm Tidak diketahui atau tidak spesifik

T3 T3a 2–4 mm Tanpa ulserasi

T3b 2–4 mm Dengan ulserasi

21
T4 > 4 mm Tidak diketahui atau tidak spesifik

T4 T4a > 4 mm Tanpa ulserasi

T4b > 4 mm Dengan ulserasi

Regional Lymph Nodes (N)

Staging regional lymph nodes dapat dibedakan berdasarkan jumlah kelenjar getah bening yang
terlibat dan apakah kelenjar tersebut terdeteksi secara klinis atau hanya terdeteksi melalui biopsi
sentinel lymph node (SNL).5,31

Tabel 4. Staging Regional Lymph Nodes (N)31


Keberadaan Metastasis in Transit,
Stage N Jumlah Nodus yang Terlibat
Satelit, dan/atau Mikrosatelit

NX Kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastasis kelenjar getah bening

1 nodus, hanya terdeteksi melalui


N1a Tidak ada
biopsi SNL

N1 N1b 1 nodus, terdeteksi secara klinis Tidak ada

Tidak ada keterlibatan nodus


N1c Ada
regional

2 atau 3 nodus, hanya terdeteksi


N2a Tidak ada
melalui biopsi SNL

2 atau 3 nodus dengan minimal 1


N2b Tidak ada
N2 yang terdeteksi secara klinis

1 nodus yang terdeteksi melalui


N2c biopsi SNL atau yang terdeteksi Ada
secara klinis

≥4 nodus, hanya terdeteksi melalui


N3a Tidak ada
biopsi SNL

N3 ≥4 nodus dengan minimal 1 yang


N3b terdeteksi secara klinis, atau ada Tidak ada
matted nodes

22
≥2 nodus yang terdeteksi lewat
N3c biopsi SNL atau secara klinis, Ada
dan/atau ada matted nodes

Metastasis (M)

Staging metastasis dapat dibedakan berdasarkan lokasi yang mengalami metastasis.31

Tabel 5. Staging Metastasis (M)31


Stage M Lokasi Metastasis Level Laktat Dehidrogenase

M0 Tidak ada bukti metastasis jauh -

Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan


Tidak diketahui atau tidak
M1a lunak, otot, dan/atau nodus limfatik
spesifik
nonregional

Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan


M1a M1a(0) lunak, otot, dan/atau nodus limfatik Tidak meningkat
nonregional

Ada metastasis jauh ke kulit, jaringan


M1a(1) lunak, otot, dan/atau nodus limfatik Meningkat
nonregional

Ada metastasis jauh ke paru dengan Tidak diketahui atau tidak


M1b
atau tanpa lokasi metastasis M1a spesifik

Ada metastasis jauh ke paru dengan


M1b M1b(0) Tidak meningkat
atau tanpa lokasi metastasis M1a

Ada metastasis jauh ke paru dengan


M1b(1) Meningkat
atau tanpa lokasi metastasis M1a

Ada metastasis jauh ke lokasi viseral


non-SSP (sistem saraf pusat), dengan Tidak diketahui atau tidak
M1c
atau tanpa lokasi metastasis M1a atau spesifik
M1b
M1c
Ada metastasis jauh ke lokasi viseral
M1c(0) non-SSP (sistem saraf pusat), dengan Tidak meningkat
atau tanpa lokasi metastasis M1a atau

23
M1b

Ada metastasis jauh ke lokasi viseral


non-SSP (sistem saraf pusat), dengan
M1c(1) Meningkat
atau tanpa lokasi metastasis M1a atau
M1b

Ada metastasis jauh ke SSP (sistem


Tidak diketahui atau tidak
M1d saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi
spesifik
metastasis M1a atau M1b atau M1c

Ada metastasis jauh ke SSP (sistem


M1d M1d(0) saraf pusat), dengan atau tanpa lokasi Tidak meningkat
metastasis M1a atau M1b atau M1c

Ada metastasis jauh ke SSP (sistem


M1d(1) saraf pusat) dengan atau tanpa lokasi Meningkat
metastasis M1a atau M1b atau M1c

Stage Grouping dari The American Joint Committee on Cancer (AJCC)

Setelah melakukan penilaian TNM, stage dapat dikelompokkan menggunakan kriteria AJCC

Tabel 6. Stage Grouping dari AJCC31


Stage T Stage N Stage M Grup Stage

Tis N0 M0 0

T1a N0 M0 IA

T1b N0 M0 IB

T2a N0 M0 IB

24
T2b N0 M0 IIA

T3a N0 M0 IIA

T3b N0 M0 IIB

T4a N0 M0 IIB

T4b N0 M0 IIC

Semua T atau Tis ≥N1 M0 III

Semua T Semua N M1 IV

2.8 Diagnosis banding

Diagnosis banding melanoma adalah nevus melanositik yang jinak, karsinoma sel
basal (KSB) tipe noduler berpigmen, dan karsinoma sel basal tipe berpigmen.

2.8.1 Nevus Melanoma Jinak atau Nevus Spitz (NS)


Gambaran histopatologik NS menyerupai melanoma maligna, tetapi tidak bersifat
ganas. Nevus Spitz adalah nevus melanositik jinak terdiri atas melanosit berbentuk
spindle, oval atau epiteloid berukuran besar yang tersusun dalam fasikel. Nevus Spitz
dikenal dengan berbagai nama seperti nevus sel epiteloid dan spindle, melanoma
juvenilis, dan nevus sel spindle dana tau sel epiteloid berukuran besar. Gambaran klinis
NS adalah papul atau nodus berbentuk menyerupai kubah dengan diameter < 6mm.
Predileksi pada wajah dan kepala (anak-anak) dan ekstremitas bawah (dewasa).
Walaupun demikian, NS dapat terjadi pada semua bagian tubuh. NS mempunyai variasi
warna, yaitu dari tidak berwarna (non-pigmented), merah jambu sampai dengan merah
kecokelatan, dan bahkan hitam. Nevus Spitz muncul mendadak dan tumbuh membesar
secara cepat, kemduian menetap. Nevus Spitz biasanya asimtomatik, tetapi dapat terjadi
perubahan warna, perdarahan dan rasa gatal. Umumnya NS memiliki ukuran yang lebih

25
kecil dibandingkan melanoma. Selain itu, lesi nevus melanositik jinak umumnya tidak
memiliki perubahan ukuran dan bentuk, serta tidak disertai ulkus atau perdarahan
spontan. Pada evaluasi dermatoskopi, umumnya tidak ada tanda-tanda melanoma seperti
perbedaan warna kulit, tepi asimetri atau ireguler, dan tanda regresi.5,32

2.8.2 KSB Tipe Noduler Berpigmen

KSB tipe noduler berpigmen merupakan keganasan kulit bersifat invasif lokal,
agresif, destruktif, dan jarang metastasis. Predileksi biasanya di wajah terutama pada
daerah terpapar sinar matahari. Gejala klinik berupa papul atau nodul berwarna coklat
kehitaman sehingga sering salah diagnosis dengan NM. Karsinoma sel basal tipe
berpigmen umumnya memiliki bentuk seperti mutiara dengan pigmentasi yang lebih
rendah dibandingkan melanoma. Selain itu, lesi dapat disertai pembuluh darah
telangiektasis bercabang prominen. Pada evaluasi dermatoskopi, terlihat pigmentasi
dengan area menyerupai daun dan pembuluh darah arborizing. Pada palpasi KSB
berpigmen biasanya keras sedangkan NM biasanya lunak. Gambaran histopatologik KSB
tipe noduler berpigmen khas dengan adanya tumor solid terdiri dari sel basal atipikal
yang berproliferasi, besar, oval, berwarna biru tua dengan pewarnaan Hematoxylin-eosin,
tetapi dengan sedikit anaplasia dan mitosis. Sel-sel tersusun palisade di perifer dan
disertai sejumlah stroma musinosa. Melanosit tersebar di antara sel basal dan sejumlah
melanin tampak di dalam sitoplasma sel basal neoplastik disertai sejumlah makrofag
dengan pigmen melanin distromanya.5,33,34

2.8.3 Granuloma Piogenikum

Diagnosis banding dengan granuloma piogenikum dapat disingkirkan karena


kelainan ini merupakan suatu proliferasi lobuler dari kapiler dan venula, tampak sebagai
lesi papular atau nodular, sering berkaitan dengan trauma minor, dan meskipun namanya
demikian, kelainan ini bukanlah kelainan piogenik ataupun granulomatosa. Gambaran
klinis biasanya diawali papul eritematosa kecil, warna merah terang, mengkilap, berlobus
halus seperti buah rasberi. Lesi ini cepat membesar dan dapat bertangkai, diameter
mencapai 0.5-2 cm. Grauloma piogenikum biasanya rapuh dan mudah berdarah. Lesi
biasanya soliter dengan predileksi di bibir, membran mukosa oral, wajah, daerah kepala

26
berambut, jari-jari tangan, telapak tangan, punggung dan tumit. Gambaran histopatologik
menunjukkan epidermis tipis, atau tanpa epidermis kecuali di tangkainya dengan banyak
kapiler baru yang dibatasi oleh selapis sel endotelial, menyerupai hemangioma kapiler.
Stroma di sekeliling tumor vaskuler menujukkan proliferasi fibroblastik edematosa.5,35,36

2.9 Tatalaksana
Terapi Definitif (Reseksi bedah)
Operasi pengangkatan tumor dan jaringan sehat di sekitarnya merupakan terapi
utama untuk melanoma yang terlokalisasi, dan biopsi kelenjar getah bening sentinel
dilakukan pada pasien yang tumornya lebih besar dari 0,8mm atau lebih tipis dari ini
tetapi yang telah mengalami ulserasi (stadium PT1b atau lebih besar). Jika sel melanoma
ditemukan di kelenjar getah bening sentinel, kemudian kelenjar getah bening yang tersisa
di daerah tersebut kadang-kadang diangkat. Pada beberapa situasi, tumor metastasis juga
dapat diangkat dengan pembedahan, tetapi perawatan bedah dalam pengaturan penyakit
metastasis yang diketahui tidak dimaksudkan sebagai kuratif dan akan membutuhkan
intervensi pengobatan alternatif lainnya. 20
Tindakan eksisi bedah diindikasikan pada melanoma stadium 1 dan 2.
Pembedahan ini dilakukan dengan cara eksisi luas dan dalam untuk melanoma primer.
Tujuan utama dari eksisi luas melanoma maligna adalah untuk mencapai margin negatif
secara histologis dan mencegah kekambuhan lokal. Berdasarkan beberapa studi,
rekomendasi margin bedah secara klinis diukur di sekitar tumor primer dan termasuk
konsep dasar berikut: 1) Eksisi luas dikaitkan dengan penurunan risiko kekambuhan
lokal; 2) tidak ada bukti pada melanoma tipis (<1 mm) untuk mengkonfirmasi
peningkatan kelangsungan hidup atau tingkat kekambuhan lokal dengan margin eksisi
melebihi 1 cm; 3) Eksisi dengan margin lebih dari 2 cm tidak memberikan manfaat pada
tingkat kelangsungan hidup atau kekambuhan lokal. 20

Tabel 7. Batas eksisi yang dianjurkan pada melanoma maligna37

27
Selain itu juga dapat dilakukan pembedahan Elective Lymph Node Dissection
(ELND) yaitu pengangkatan kelenjar getah bening regional yang mendrainase lokasi
primer melanoma kulit tersebut jika tidak tumor yang teraba atau penyakit metastasis
yang terbukti secara klinis. ELND ditujukan untuk microscopic nodal disease. Biasanya
diseksi ini dilakukan pada melanoma stadium 3 dimana sudah terdapat metastasis ke
kelenjar limfe.20
Standar terapi macroscopic nodal disease (stadium IIIB atau IIIC) melanoma di
kelenjar getah bening adalah complete lymph node dissection CLND, dari basin regional
yang terlibat. CLND yang dilakukan pada melanoma metasis regional telah dikaitkan
dengan perbaikan long-term survival. Terapi adjuvan yang lain diantaranya adalah
radioterapi yang sering digunakan setelah (CLND) yang dapat membantu mengontrol
metastasis dari melanoma pada pasien stage 3. Terapi ini dapat mengurangi rekurensi
lokal tetapi tidak memperbaiki prolong survival. 20

Terapi Adjuvant
Terapi adjuvan adalah pengobatan yang ditujukan untuk pasien risiko
kekambuhan tinggi setelah reseksi pembedahan, yaitu seperti mereka dengan melanoma
primer tebal atau penyakit nodul.20
Terapi adjuvant dapat diberikan kepada pasien yang memiliki melanoma dengan
tebal lebih dari 4 mm atau metastasis ke limfonodi untuk meningkatkan angka ketahanan
hidup. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian interferon alpha (IFN-α) dapat
menambah lamanya harapan hidup dan ketahanan terhadap terjadinya rekurensi.
Interferon (IFN) adalah sitokin yang biasanya dilepaskan oleh sel tubuh sebagai respon
terhadap beberapa patogen seperti virus, bakteri, parasit dan juga sel tumor. IFN juga
memiliki fungsi lainnya seperti pengaktifan natural killer cells dan makrofag, serta

28
meningkatkan pengenalan sistem imun dengan cara meningkatkan regulasi molekul-
molekul MHC I dan II. Selain itu, IFN-α juga memiliki sifat antineoplastik yang dapat
menghambat proliferasi sel tumor.20
Terapi adjuvan selanjutnya adalah pengobatan dengan immune checkpoint
inhibitor. Pengobatan dengan antibodi anti-CTLA-4 ipilimumab telah disetujui oleh
FDA. CTLA-4 atau CD152 adalah yang disebut sebagai molekul pos pemeriksaan imun
yang diekspresikan pada permukaan sel T yang teraktivasi. Pengikatan molekul tersebut
dengan CD80 atau CD86 pada permukaan sel penyaji antigen akan menyebabkan
deaktivasi dari molekul tersebut. Mekanisme ini diketahui menurunkan respon imun
setelah aktivasi sehingga dapat mencegah autoimunitas. Sebuah penelitian randomized
double-blind phase 3 trial, ditemukan bahwa pengobatan dengan ipilimumab
meningkatkan median recurrence-free dan three-year recurrence-free survival.
Dikarenakan fungsi dari ipilimumab adalah untuk mengerem proses imun, makan
pemberian pengobatan ini dapat meningkatkan proses penyakit autoimun. Diantaranya
adalah komplikasi penyakit autoimun sistemik (e.g. kolitis, hepatitis, pneumonitis,
hipotiroidisme, dll), komplikasi autoimun neurologis dan triger gejala autoimun
neurologis yang sebelumnya sudah ada di pasien. Namun, dapat diberikan immune-
checkpoint inhibitors yang lebih rendah toksisitasnya seperti nivolumab atau
pembrolizumab, yang mengarah terhadap programmed cell death protein 1 (PD-1).20

Kemoterapi
Jenis kemoterapi untuk melanoma metastasis yang paling efektif adalah agen
alkilasi dacarbazine (DTIC = Dimethyl Triazone Imidazole Carboxamide Dacarbazine).
Namun responsnya hanya mencapai 10% dengan rata-rata efektivitas hingga 4-6 bulan.
Efek samping dari kemoterapi adalah mual dan muntah yang dapat diatasi dengan
antiemetik. Lalu dapat diberikan juga kemoterapi kombinasi, contohnya
karboplatin/paclitaxel, yang memiliki efektivitas yang lebih tinggi namun ditemukan
tidak memiliki keunggulan dalam kelangsungan hidup dibandingkan dengan
monokemoterapi.20

29
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada penderita melanoma biasanya terkait terapi
yang diterima, misalnya infeksi pada luka operasi, pembentukan jaringan parut, serta
gangguan emosional seperti depresi dan kecemasan. Pada pasien dengan diseksi nodus
aksilaris, komplikasi yang dapat timbul berupa seroma dan limfokel (27%), disfungsi
saraf dan/atau nyeri (22%), serta hematoma (1%). Pada pasien dengan diseksi kelenjar
getah bening di pangkal paha dan aksilar, komplikasi dapat berupa limfedema pada
ekstremitas atas dan bawah, dengan jumlah kejadian bervariasi antara 2–39%.5,11

2.11 Prognosis
Prognosis dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ketebalan tumor, ada atau
tidaknya ulserasi, metastasis ke organ lain, dan jumlah keterlibatan kelenjar getah bening.
Berikut ini merupakan survival rate 5 tahun berdasarkan stadium:31

■ Stadium 0 (melanoma in-situ): > 98%


■ Stadium I: 90–95%
■ Stadium II: 78% untuk melanoma tanpa ulkus dengan ketebalan 1–4 mm dan 45%
untuk melanoma dengan ulkus ketebalan > 4 mm
■ Stadium III: 69% untuk melanoma tanpa ulkus disertai keterlibatan nodus tunggal
dan 26% untuk melanoma dengan ulkus yang disertai 4 atau lebih nodus terlibat
■ Stadium IV: 3–10% pada pasien yang tidak menjalani terapi dan kurang lebih
20% pada pasien yang diterapi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics, 2020. CA Cancer J Clin. 2020;70(1):7–
30.
2. Davis LE, Shalin SC, Tackett AJ. Current state of melanoma diagnosis and treatment.
Cancer Biol Ther. 2019;20(11):1366–79.
3. Swetter S, Geller AC. Melanoma: Clinical features and diagnosis. UpToDate. 2020.
4. Domingues B, Lopes J, Soares P, Populo H. Melanoma treatment in review.
ImmunoTargets Ther. 2018;7:35–49.
5. B Heistein J. Melanoma: Practice Essentials, Overview, Indications and Guidelines
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2021 [cited 19 April 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1295718-overview
6. Rihamadja R. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2017. p.3-7.
7. Gawkrodger DJ. Malignant melanoma. Dermatology an illustrated colour text. 3rd ed.
Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. p.94-5.
8. Arrangoiz R. Melanoma Review: Epidemiology, Risk Factors, Diagnosis and Staging.
Journal of Cancer Treatment and Research. 2016;4(1):1.

31
9. Wibawa L, Andardewi M, Ade Krisanti I, Arisanty R. JVDI: The epidemiology of skin
cancer at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital from 2014 to
2017. 2019; 4(1):11-6.
10. Wilvestra S, Lestari S, Asri E. Studi Retrospektif Kanker Kulit di Poliklinik Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Dr. M. Djamil Padang Periode Tahun 2015-2017. J
Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):4
11. W Tan W. Malignant Melanoma: Practice Essentials, Background, Etiology [Internet].
Emedicine.medscape.com. 2021 [cited 19 April 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/280245-overview
12. Veierod BM, Weiderpass E, Thörn M, et al. A prospective study of pigmentation, sun
exposure, and risk of cutaneous malignant melanoma in women. J Natl Cancer Inst.
2003;95(20):1530–8.
13. Titus-Ernstoff L, Perry AE, Spencer SK, et al. Pigmentary characteristics and moles in
relation to melanoma risk. Int J Cancer. 2005;116(1):144–9.
14. Bataille V. Risk factors for melanoma development. ERD. 2014;4(5):533-9.
15. Ward WH, Lambreton F, Goel N, et al. Clinical Presentation and Staging of Melanoma.
In: Ward WH, Farma JM, editors. Cutaneous Melanoma: Etiology and Therapy
[Internet]. Brisbane (AU): Codon Publications; 2017 Dec 21. TABLE 1, Fitzpatrick
Classification of Skin Types I through VI. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK481857/table/chapter6.t1/doi:
10.15586/codon.cutaneousmelanoma.2017.ch6
16. Berrios-Colon E, Williams S. Melanoma review: Background and treatment. US Pharm.
2012;37(4):HS-4-HS-7.
17. Hu S, Federman DG, Ma F, Kirsner RS. Skin cancer and non-Hodgkin’s lymphoma:
Examining the link. Dermatologic Surg. 2005;31(1):76–82
18. Tracey EH, Vij A. Updates in Melanoma. Dermatol Clin. 2019;37(1):73–82.
19. Leonardi GC, Falzone L, Salemi R, et al. Cutaneous melanoma: From pathogenesis to
therapy (Review). Int J Oncol. 2018;52(4):1071–80.
20. Hassel J. Melanoma: Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 9th ed. New York:
McGraw-Hill Education LLC; 2018; 116(20):2001–11.
21. Miller A, Mihm M. Melanoma. New England Journal of Medicine. 2006;355(1):51-65.

32
22. Matthews NH, Li WQ, Qureshi AA, et al. Epidemiology of Melanoma. In: Ward WH,
Farma JM, editors. Cutaneous Melanoma: Etiology and Therapy [Internet]. Brisbane
(AU): Codon Publications; 2017 Dec 21. Chapter 1. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK481862/doi:10.15586/codon.cutaneousmelano
ma.2017.ch1
23. Chuchu N, Takwoingi Y, Dinnes J, Matin R, Bassett O, Moreau J et al. Smartphone
applications for triaging adults with skin lesions that are suspicious for melanoma.
Cochrane Database of Systematic Reviews. 2018;.
24. Bari O, Cohen P. Tumoral Melanosis Associated with Pembrolizumab-Treated Metastatic
Melanoma. Cureus. 2017;. p.4.
25. Bristow I, Acland K. Acral lentiginous melanoma of the foot and ankle: A case series and
review of the literature. Journal of Foot and Ankle Research. 2008;1(1).
26. B. Heistein J, Acharya U. Malignant Melanoma. StatPearls; 2020. p.6-7.
27. Walter F, Prevost A, Vasconcelos J, Hall P, Burrows N, Morris H et al. Using the 7-point
checklist as a diagnostic aid for pigmented skin lesions in general practice: a diagnostic
validation study. BJGP. 2013;63(610):e345-e353.
28. Harrington E, Clyne B, Wesseling N, et al. Diagnosing malignant melanoma in
ambulatory care: A systematic review of clinical prediction rules. BMJ Open.
2017;7:e014096.
29. Berrocal A, Cabañas L, Espinosa E, et al. Melanoma: Diagnosis, Staging, and Treatment.
Consensus group recommendations. Adv Ther. 2014;31(9):945–60.
30. Collins II, Barnes. Oral Malignant Melanoma. http://emedicine.medscape.com.2010
31. Gershenwald JE, Scolyer RA, Hess KR, et al. Melanoma Staging: Evidence-Based
Changes in the American Joint Committee on Cancer Eighth Edition Cancer Staging
Manual. CA Cancer J Clin. 2017;67(6):472–92.
32. Lyon V. The Spitz Nevus: Review and Update. Clinics in Plastic Surgery. 2010;37(1):21-
33.
33. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Precancerous lesions and cutaneous
carcinomas. Dalam: Color atlas & synopsis of clinical dermatology. New York: Mac
Graw Hill Inc; 2001: 248-69.

33
34. Lang PG, Maize JC Sr. Basal cell carcinoma. Dalam: Riegel DS, Friedman RJ, Dzubow
LM, Reintgen DS, Brstryn JC, Marks R, editor. Cancer of the skin. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2005:101-32.
35. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Benign neoplasms and hyperplasias.
Dalam: Color atlas & synopsis of clinical dermatology. New York: Mac Graw Hill Inc;
2001: 160-209.
36. Braun-Falco O, Plewig G, Wolff HH, Burgdorf WHC. Mesenchymal and neural tumors.
Dalam: Dermatology second, completely revised edition. Berlin: Springer-Verlag; 2000;
p. 1553-1601.
37. Mun G. Management of Malignant Melanoma. APS. 2012;39(5):565.

34

Anda mungkin juga menyukai