Anda di halaman 1dari 41

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan


lower motor neuron (LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan
saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik
sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya
untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal
fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal
dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan  ke berbagai otot dalam
tubuh seseorang.

Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan
dilindungi oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri
dari berjuta-juta saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke
ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula
spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula
spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas traktus
ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang
raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa
informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol fungsi tubuh).

Kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu


kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan terganggu
disebut dengan parese. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk
satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas
bagian yang terkena. Kelemahan/kelumpuhan yang mengenai keempat anggota
gerak disebut dengan tetraparese. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak,

1
kerusakan tulang belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra
cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit
otot. kerusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi
motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas
pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury)
atau karena penyakit (seperti mielitis transversal, polio, atau spina bifida).

Tetraparese berdasarkan topisnya dibagi menjadi dua, yaitu : Tetrapares


spastik yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN),
sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni dan tetraparese
flaksid yang terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN),
sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni. Tetraparese dapat
disebabkan karena adanya kerusakan pada susunan neuromuskular, yaitu adanya
lesi. Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian
dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot
ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik.

Pada beberapa keadaan dapat kita jumpai tetraparese misalnya pada penyakit
infeksi (misalnya mielitis transversa, poliomielitis), Sindrom Guillain Barre
(SGB), Polineuropati, Miastenia Grafis, atau Amyotrophic Lateral Sclerosis
(ALS).

2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. I
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 62 tahun
Alamat : Desa Hagu Tengah, Kec. Banda Sakti
Suku Bangsa : Aceh
Agama : Islam
No. MR : 07.43.13
Tanggal MRS : 16 Februari 2016
Tanggal Pemeriksaan : 17 Februari 2016
Pekerjaan : Outsourching Exxon Mobile Oil Bag. Listrik
Status Perkawinan : Menikah

3
2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Kelemahan Tangan dan Kaki
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGSD RSUD Cut Meutia dengan keluhan utama
kelemahan tangan dan kaki. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu
dan semakin memburuk. Sebelum keluhan ini (4 bulan yang lalu) pasien
mengatakan pernah mengalami demam dan tidak nafsu makan. Demam
dirasakan naik turun sepanjang hari. Pasien tidak mau makan karena setiap
diberikan nasi langsung merasa mual. Pasien juga mengeluhkan mencret-
mencret lebih kurang 5 kali dalam sehari sejak seminggu SMRS.
3. Riwayat penyakit dahulu : Pasien mengatakan pernah jatuh dua kali ketika
masih bekerja di Exxon Mobile. Pasien juga menderita penyakit Hipertensi
sejak 4 tahun yang lalu dan rutin berobat. Pasien juga mengalami penyakit
BPH sejak 3 bulan yang lalu.
4. Riwayat penyakit keluarga : keluarga mengatakan tidak pernah menderita
sakit berat, namun ada sesekali anggota keluarga sakit flu, batuk, demam dll.
5. Riwayat pemakaian obat: Pasien mengkonsumsi beberapa obat untuk penyakit
Hipertensi dan BPH nya.

2.3 Pemeriksaan fisik


A. Status Present
a. Kesan sakit: Sedang-Berat
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Nadi : 108 x/menit.
d. Frekuensi pernafasan : 26 x/menit.
e. Suhu: 37,4 °C
f. Tinggi Badan : 175 cm
g. Berat Badan : 65 Kg
B. Status Gizi
65
IMT =
1,752
IMT = 21,2 , Normoweight (Berat Badan Normal)
C. Status Generalis

4
a. Kulit
a.Warna : kecoklatan.
b. Sianosis : (-)
c.Ikterus : (-)
d. Edema : (+)
e.Lemak subkutis : (↓↓)
b. Kepala
a.Rambut : berwarna abu-abu, lurus, pendek.
b. Mata : Konjungtiva pucat (+/+), konjungtiva hiperemis
(-/-), ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+)
c.Telinga : Simetris, sekret (-/-), otorrhea (-/-)
d. Hidung : Normal, sekret (-/-), rinorrhea (-/-)
e.Mulut : tonsil T1, Lidah dalam batas normal,
c. Leher
a. Pulsasi Vena Jugularis: tidak terlihat
b. Pembesaran kelenjar: tidak ada
c. Kuduk kaku: tidak ada
d. Toraks
a.Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetri, benjolan di mammae
dextra dengan diameter 10 cm
b. Palpasi : benjolan memiliki permukaan datar, konsistensi
lunak, berbatas tidak tegas, fluktuasi (-)
c.Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), Wheezing (-/-),
e. Jantung
a.Inspeksi : Ictus Cordis terlihat 3 jari dibawah papilla mammae
sinistra
b. Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V sejajar garis aksilaris
anterior
c.Perkusi batas jantung: terjadi pergeseran batas kiri jantung
d. Auskultasi : BJ I > BJ II, bising jantung (-)
f. Abdomen

5
a.Inspeksi : bentuk dalam batas normal, kulit dalam batas normal
b. Palpasi : Soepel, organomegali (-)
c.Perkusi : Timpani
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
g. Ekstremitas atas : Akral dingin (-),sianosis (-/-), lainnya dalam batas
normal
h. Ekstremitas bawah : Akral dingin (-),sianosis (-/-), lainnya dalam
batas normal
D. Pemeriksaan Klinis Neurologis
a. Kesadaran : Compos Mentis, GCS : E4 M5 V6
b. Fungsi Kortikal Luhur (menggunakan tes MMSE)
Orientasi : skor 5
Registrasi : skor 2
Atensi dan Kalkulasi : skor 0
Mengingat kembali (Memori) : skor 0
Bahasa : skor 5
Interpretasi : total skor 12 artinya pasien memiliki gangguan
kognitif
c. Rangsang Selaput Otak
Kaku Kuduk : tidak ditemukan
Kernig Sign : tidak ditemukan
Laseque Sign : tidak ditemukan
Brudzinski 1 : tidak ditemukan
Brudzinski 2 : tidak ditemukan
Brudzinski 3 : tidak ditemukan
Brudzinski 4 : tidak ditemukan
d. Pemeriksaan Saraf Kranial
1. N-I (Olfaktorius) : Tidak ada gangguan (Normosmia)
2. N-II (Optikus)
Visus : (6/6) menggunakan hitung jari
Warna : Tidak ada gangguan
Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan

6
Lapang pandang : normal
3. N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+),
medial (+/+), atas lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral
(+/+), bawah medial (+/+)
Ptosis :- /-
Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
Refleks Pupil langsung : + / + ; tidak langsung :+/+
4. N-V (Trigeminus)
Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : +
 N-V2 (maksilaris) : +
 N-V3 (mandibularis) : +
 (pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
Motorik : + (Pasien dapat merapatkan gigi dan
membuka mulut)
Refleks kornea : Normal
5. N-VII (Fasialis)
a.Sensorik (indra pengecap) : normal
b. Motorik
 Angkat alis : + / +, terlihat simetris kanan dan kiri
 Menutup mata : +/+
 Menggembungkan pipi : kanan (baik), kiri (baik)
 Menyeringai` : kanan (baik), kiri (baik)
 Gerakan involunter : -/-
6. N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Keseimbangan
 Nistagmus : Tidak ditemukan
 Tes Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
b. Pendengaran
 Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.

7
 Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
 Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
7. N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
Refleks menelan : +
Refleks batuk : +
Perasat lidah (1/3 anterior) : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
Refleks muntah : normal.
Posisi uvula : Normal; Deviasi ( - )
Posisi arkus faring : Simetris
8. N-XI (Aksesorius)
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus :+ /+
Kekuatan M. Trapezius : + /+
9. N-XII (Hipoglosus)
Tremor lidah :-
Atrofi lidah :-
Ujung lidah saat istirahat : -
Ujung lidah saat dijulurkan: Deviasi ke kiri
Fasikulasi :-

e. Sistem Motorik
1. Refleks
a. Refleks Fisiologis
 Biceps : N/N
 Triceps : N/N
 Achiles : N/N
 Patella : N/ N
b. Refleks Patologis
 Babinski : -/-
 Oppenheim : -/-
 Chaddock : -/-
 Gordon : -/-
 Scaeffer : -/-

8
 Hoffman-Trommer : -/-
2. Kekuatan Otot
3555 5553
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
3333 3333
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

Ket: 5  Dapat melawan tahanan, normal


3. Tonus Otot
a. Hipotoni : - /-
b. Hipertoni : -/-

f. Sistem Sensorik
1. Eksteroseptif
Rasa Raba : +/+
Rasa Nyeri : +/+
Rasa Suhu : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Proprioseptif
Rasa Gerak : +/+
Rasa Sikap : +/+
Rasa Tekan: +/+
Rasa Dalam : +
3. Enteroseptif
Rasa Mulas : +
Rasa Lapar : +

g. Sistem Saraf Otonom


BAK : normal
BAB : normal
Keringat: normal

9
2.4 Pemeriksaan penunjang

17 November 2015
HEMATOLOGI KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 6,8 g% 12-16
LED - <20
Eritrosit 2,9 x 103/mm3 3,8-5,8 x 103/mm3
Leukosit 13,7 x 103/mm3 4-11
Hematokrit 35,0 % 37-47
MCV 68 fl 76-96
MCH 21,6 pg 27-32

MCHC 31,7 g% 30-35

RDW 13,7 % 11-15

Trombosit 256 x 103/mm3 150-450

18 November 2015
HEMATOLOGI KLINIK
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 8,6 g% 12-16

Pemeriksaan CT-Scan

10
Interpretasi : Ditemukan kalsifikasi

2.5 Diagnosis

a. Diagnosis Topis : Lesi LMN

b. Diagnosis Klinis : Tetraparesis, Hipertensi, gangguan kognitif

c. Diagnosis Etiologis : Gullain Barre Syndrome

2.6 Terapi
a. Non Farmakologi:
 Istirahat (Bed Rest)
 Perawatan metabolic

11
+ +
+ +

 Dukungan Nutrisi
 Terapi Okupasi
b. Farmakologi: +2 +2

1. IVFD Futrolit 1 fls/Hari +2 +2

2. IVFD Asering 20 tetes/menit


3. IV Citicollin 500 mg/12 jam
4. IV Lapibal 20 mg/12 jam
5. Cotrimoxazole tab 2x1
3 5
6. IV Metil Prednisolon 1a/12j 5 5
5 5
7. Amlodipin Tab 5 mg 1x1 5 3
3 3
3 3
3 3
2.7 Prognosis
3 3
o Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
o Quo Ad fungsionum : dubia ad bonam
o Quo Ad Sanationum : dubia ad bonam
2.6 Status Follow Up

Tgl. S O A P
17 feb Mencret 3 kali, kaki TD 160/90 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 lemah, tangan tidak N 78x/menit
IVFD Asering 20 tetes/menit
bisa menggenggam,
nyeri saat BAK GCS E4V5M6 IV Citicollin 500 mg/12 jam
Pupil bulat isokor
IV Lapibal 20 mg/12 jam
3mm/3mm
RCL +/+ Cotrimoxazole tab 2x1
RCTL +/+
Gabapentin tab 2x1
Kaku kuduk (-)
Meningeal (-)
Refleks fisiologis

Refleks patologis
(- / -)
Motorik

Sensorik

Otonom :
BAK (+)
BAB (+)
18 feb Nyeri saat BAK, sakit TD 160/90 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 BAB, Mencret, sakit GCS E4V5M6
IVFD Asering 20 tetes/menit
kepala Pupil bulat isokor
3mm/3mm IV Citicollin 500 mg/12 jam

12
+ +
+ +

RCL +/+ IV Lapibal 20 mg/12 jam


RCTL +/+
IV+2
Novalgin (K/P)
Kaku kuduk (-) +2 +2 +2
Meningeal (-) Cotrimoxazole
+2 tab 2x1
Refleks fisiologis +2 +2 +2
Gabapentin tab 2x1
Lacbon 3x1
Refleks patologis
Transfusi PRC 2 Bag
(- / -)355 555
5
Motorik 3
333 333
3 3
355 555
5 3
333 333
3 3
Sensorik

+ +
+ +
Otonom :
BAK (+)
BAB (+)
19 feb Nyeri kepala, nyeri TD 140/90 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 perut, nyeri saat BAK, GCS E4V5M6
IVFD Asering 20 tetes/menit
mencret, lemas, tidak Pupil bulat isokor
nafsu makan, nyeri 3mm/3mm IV Citicollin 500 mg/12 jam
pinggang RCL +/+
IV Lapibal 20 mg/12 jam
RCTL +/+
Kaku kuduk (-) IV Novalgin (K/P)
Meningeal (-)
Cotrimoxazole tab 2x1
Refleks fisiologis
Gabapentin tab 2x1
Refleks patologis Lacbon 3x1
(- / -) Transfusi PRC 2 Bag
Motorik Fisioterapi (+)

Sensorik

Otonom :
BAK (+)
BAB (+)
20 feb Tidak nafsu makan, TD 170/100 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 BAK (N), BAB (N), GCS E4V5M6
IVFD Asering 20 tetes/menit
tidak bisa menahan Pupil bulat isokor
BAK 3mm/3mm IV Citicollin 500 mg/12 jam
RCL +/+
IV Lapibal 20 mg/12 jam
RCTL +/+
Kaku kuduk (-) IV Novalgin (K/P)
Meningeal (-)
Cotrimoxazole tab 2x1
Refleks fisiologis
Harnal tab 1x1
Refleks patologis Lacbon 3x1
(- / -) Transfusi PRC 2 Bag
Motorik Fisioterapi (+)

13
Sensorik

Otonom : +2 +2
BAK (+) +2 +2
BAB (+)
21 feb Inkontinensia Urin, TD 160/100 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 BAK(N), BAB(N),
355 555 IVFD Asering 20 tetes/menit
mual, sakit pinggang,
sakit lutut 5 3 IV Citicollin 500 mg/12 jam
555 555
5 5 IV Lapibal 20 mg/12 jam
GCS E4V5M6 IV Novalgin (K/P)
Pupil
+ + Cotrimoxazole tab 2x1
bulat
+ + isokor Harnal tab 1x1
3mm/3mm Lacbon 3x1
RCL +/+ Transfusi PRC 2 Bag
RCTL +/+ Fisioterapi (+)
Kaku kuduk (-)
Meningeal (-)
Refleks fisiologis

Refleks patologis
(- / -)
Motorik

Sensorik

Otonom :
BAK (+)
BAB (+)
22 feb Nyeri ulu Hati, mual, TD 140/100 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 terasa sesak, demam GCS E4V5M6
IVFD Asering 20 tetes/menit
sore, nafsu makan Pupil bulat isokor
menurun, bicara tidak 3mm/3mm IV Citicollin 500 mg/12 jam
jelas RCL +/+
IV Lapibal 20 mg/12 jam
RCTL +/+
Kaku kuduk (-) IV Novalgin (K/P)
Meningeal (-)
Cotrimoxazole tab 2x1
Refleks fisiologis
Harnal tab 1x1
Refleks patologis Lacbon 3x1
(- / -) Transfusi PRC 2 Bag
Motorik Fisioterapi (+)

Sensorik

Otonom :
BAK (+)
BAB (+)
23 feb Sakit kepala, mual, TD 150/110 mmHg Tetraparesis IVFD Futrolit 1 fls/Hari
2016 sakit dada, sakit GCS E4V5M6
IVFD Asering 20 tetes/menit
tenggorokan, Pupil bulat isokor
gangguan memori, 3mm/3mm IV Citicollin 500 mg/12 jam
BAK (N) RCL +/+
IV Lapibal 20 mg/12 jam
RCTL +/+
Kaku kuduk (-) IV Novalgin (K/P)

14
Meningeal (-) IV Metil Prednisolon 125
Refleks fisiologis
mg/12
+2 j +2
Refleks patologis IV+2
Sotatic
+21a/12j
(- / -)
Cotrimoxazole tab 2x1
Motorik
Harnal tab 1x1
355 555 Lacbon 3x1
5 3 Transfusi PRC 2 Bag
555 555 Fisioterapi (+)
5 5
Sensorik
+ +
+ +
Otonom :
BAK (+)
BAB (+)

15
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Fisiologi

Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. sistem


neuromuskular terdiri atas Upper motor neurons (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik
yang menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik sampai inti-inti
motorik di saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medula spinalis.
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Traktus kortikobulbar fungsinya
untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus kortikospinal
fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak 1.

Melalui lower motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-


saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak dilanjutkan 
ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai
peranan penting di dalam sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang
memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur 1.

Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang


membentuk punggung yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada
manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal,
5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang
punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan
tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus
vertebrae 2.

16
Gambar 1. Tulang belakang

Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk saluran


sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak medula
spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh cairan
jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf
yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-
organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem
saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah
sistem saraf perifer 3,4.

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramenmagnum


sampai konus medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis
berlanjut menjadi Kauda Equina (di Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.
Medula spinalis terdiri atas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh
menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus
descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol
fungsi tubuh) 3,4.
Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai
hubungan istemewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis

17
dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri
vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior
dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria interkostalis 5.
Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis
posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati
suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi dari
medula spinalis samapi ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak. Ada 31 pasang
nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis, yaitu 3,4,5:

a. nervus servikal : (nervus di leher) yang berperan dalam pergerakan dan


perabaan pada lengan, leher, dan anggota tubuh
bagian atas

b. nervus thorak : (nervus di daerah punggung atas) yang mempersarafi


tubuh dan perut

c. nervus lumbal dan nervus sakral : (nervus didaerah punggung bawah)


yang mempersarafi tungkai,
kandung kencing, usus dan
genitalia.

Ujung akhir dari medula spinalis disebut conus medularis yang letaknya di L1 dan
L2. Setelah akhir medula spinalis, nervus spinalis selanjutnya bergabung
membentuk cauda equina 3,4.

18
Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

3. 2. Parese

Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap


atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau gerakan
terganggu. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau lebih
kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang terkena.
Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu 6:

 Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau


ekstremitas bawah.
 Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
 Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
 Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

19
3.3 Tetraparese

Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya


merupakan parese dari keempat ekstremitas.”Tetra” dari bahasa yunani sedangkan
“quadra” dari bahasa latin. Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang
disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan
hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan
kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang
belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan
sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot. kerusakan
diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi motorik pada
keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan
ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena
penyakit (seperti mielitis transversal, polio, atau spina bifida) 6,7.

Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan


dalam mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih
dan rektum, sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya, dapat terjadi
penurunan/kehilangan fungsi sensorik. adapun manifestasinya seperti kekakuan,
penurunan sensorik, dan nyeri neuropatik. Walaupun pada tetraparese itu terjadi
kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang tungkai dan lengan masih
dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu
benda tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan
tangan tapi lengannya masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas
tidaknyanya kerusakan 6,7.

3.3.1 Etiologi Tetraparese

Tabel 1. Penyebab umum dari tetraparesis 8:

- Complete/incomplete transection of cord with fracture


Prolapsed disc
Cord contusion-central cord syndrome, anterior cord
syndrome

20
- Guillain-Barre Syndrome (post infective polyneuropathy)
- Transverse myelitis Acute myelitis
- Anterior spinal artery occlusion
- Spinal cord compression
- Haemorrhage into syringomyelic cavaty
- Poliomyelitis

3.3.2 Epidemiologi

Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula


spinalis. Menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National
Spinal Cord Injury Data Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru
cedera medula spinalis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Angka insidensi
paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per 100.000 penduduk,
dengan angka tetraparese 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab utama cedera medula spinalis 9.

Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini
penting untuk meramalkan prognosis dan penanganan selanjutnya.. Data di
Amerika Serikat menunjukkan urutan frekuensi disabilitas neurologis karena
cedera medula spinalis traumatika sbb : (1) tetraparese inkomplet (29,5%), (2)
paraparese komplet (27,3%), (3) paraparese inkomplet (21,3%), dan (4)
tetraparese komplet (18,5%) 9.

3.3.3 Klasifikasi Tetraparese

Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya 4:

a. Tetrapares spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor
neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertoni.
b. Tetraparese flaksid

21
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor
neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.

3.3.4 Patofisiologi Tetraparese

Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron


(UMN) atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan/kelemahan
yang terjadi pada kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena
adanya lesi di medula spinalis. Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan scar,
atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus intervetebralis. Hal ini
berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang
berjalan dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot 10,11,12.

Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal,


thorakal, lumbal, dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari
servikal dan lumbosakral dapat menyebabkan kelemahan/kelumpuhan pada
keempat anggota gerak. Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada daerah
ini maka akan berpengaruh pada otot, organ, dan sensorik yang dipersarafinya 11,12.

Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian
dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot
ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN dapat
menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese
flacsid 4,11,12.

22
Gambar 3. Lesi pada Lower motor neuron (LMN).

Lesi di Mid- or upper cervical cord

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal


lateral menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot
bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis
pada tingkat servikal, misalnya C5 mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor
Neuron (UMN) pada otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu sebagian
otot-otot kedua lengan yang berasal yang berasal dari miotom C6 sampai miotom
C8, lalu otot-otot thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang
mengakibatkan kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak masif di
seluruh tubuh. Lesi yang terletak di medula spinalis tersebut maka akan
menyebabkan kelemahan/kelumpuhan keempat anggota gerak yang disebut
tetraparese spastik 1,5.

Lesi di Low cervical cord

Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja


memutuskan jaras kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap
lintasan asendens dan desendens lain. Disamping itu kelompok motoneuron yang
berada didalam segmen C5 kebawah ikut rusak. Ini berarti bahwa pada tingkat lesi
kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron (LMN) dan dibawah tingkat lesi
bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini kelumpuhan Lower Motor

23
Neuron (LMN) akan diuraikan menurut komponen-komponen Lower Motor
Neuron (LMN) 1.

Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterius dan dapat


mengalami gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan
bangunan disekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu
anterius, sindrom lesi yang selektif merusak motoneuron dan jaras kortikospinal,
sindrom lesi yang merusak motoneuron dan funikulus anterolateralis dan sindrom
lesi di substantia grisea sentralis . Lesi ini biasanya disebabkan karena adanya
infeksi, misalnya poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-motoneuron yang
rusak didaerah intumesensia servikal dan lumbalis sehingga kelumpuhan LMN
adalah anggota gerak 1.

Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan


menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi
imunopatologik. walaupun segenap radiks (ventralis/dorsalis) terkena, namun
yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami
kerusakan. Karena daerah ini yang mengurus anggota gerak atas dan bawah. Pada
umumnya bermula dibagian distal tungkai kemudian bergerak ke bagian
proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke bagian tubuh atas, terutama otot-otot
kedua lengan. Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat disebabkan kelainan
pada saraf di sumsum tulang belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi sendiri.
Salah satu penyakit dengan lesi utama pada neuron saraf perifer adalah
polineuropati 1.

Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau
selnya yang disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/endogen, dan degenerasi
herediter. Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak dapat
melakukan tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati dan distrofi, dapat
menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak biasanya bagian proksimal
lebih lemah dibanding distalnya. Pada penderita distrofia musculorum enzim
kreatinin fosfokinase dalam jumlah yang besar, sebelum terdapat manifestasi dini
kadar enzim ini di dalam serum sudah jelas meningkat. akan tetapi mengapa
enzim ini dapat beredar didalam darah tepi masih belum diketahui 1.

24
Di samping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga dapat
ditentukan kelaian morfologik pda otot. jauh sebelum tenaga otot berkurang sudah
terlihat banyak sel lemak (liposit) menyusup diantara sel-sel serabut otot. Ketika
kelemahan otot menjadi nyata, terdapat pembengkakan dan nekrosis-nekrosis
serabut otot. Seluruh endoplasma serabut otot ternyata menjadi lemak. Otot-otot
yang terkena ada yang membesar dan sebagian mengecil. Pembesaran tersebut
bukan karena bertambahnya jumlah serabut otot melainkan karena degenerasi
lemak 1.

Kelemahan otot (atrofi otot) dapat kita jumpai pada beberapa penyakit.
kelemahan otot dapat kita kelompokkan dalam regio anggota gerak sebagai
berikut 14:

Tabel 2. Kategori kelompok otot per regio anggota gerak


Region Muscle Groups Myotomes

Upper cervical region Shoulder abduction, elbow flexion, elbow C5-C7


extension
Lower cervical region Wrist flexion, wrist extension, extension of C8-Th1
fingers, flexion of fingers, spreading of
fingers, abduction
of thumb, adduction of thumb, and
opposition of thumb

Upper lumbosacral Hip flexion, hip adduction, knee extension, L1-L3


region hip extension, hip abduction
Lower lumbosacral Knee flexion, plantar flexion of foot,
region flexion of toes, dorsiflexion of foot, L4-S1
extension of toes

Central cord syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah trauma


hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis
cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medula spinalis segmen
servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh

25
adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan
medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
material diskus dari anterior. Bagian medula spinalis yang paling rentan adalah
bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada
Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat
mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera 8,9,15.

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih


prominen pada ekstremitas atas (tipe LMN) dibanding ektremitas bawah (tipe
UMN). Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada
ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas
neurologik permanen. Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling
sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medula
spinalis C6 dengan ciri LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa
kasus dilaporkan disabilitas permanen yang unilateral neurologis lokalis pada
pasien cedera medula spinalis mengacu pada panduan dari American Spinal Cord
Injury Association/ AISA 8,9,15.

Tabel 3. Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal 9


Motorik

Otot (asal inervasi) Fungsi

M. deltoideus dan biceps brachii (C5) Abduksi bahu dan fleksi siku

M. extensor carpi radialis longus dan Ekstensi pergelangan tangan


brevis
(C6)

M. flexor carpi radialis (C7) Fleksi pergelangan tangan

26
M. flexor digitorum superfisialis dan Fleksi jari-jari tangan
profunda (C8)

M. interosseus palmaris (T1) Abduksi jari-jari tangan

M. illiopsoas (L2) Fleksi panggul

M. quadricep femoris (L3) Ekstensi lutut

M. tibialis anterior (L4) Dorsofleksi


kaki

M. extensor hallucis longus (L5) Ekstensi ibu jari kaki

M. gastrocnemius-soleus (S1) Plantarfleksi kaki

3.3.5 Tetraparese dengan Hemiparese bilateral

Tetraparese dengan hemiparese bilateral (bihemiparese) mempunyai arti


yang sama yaitu kelemahan pada keempat anggota gerak. Namun, pada
bihemiparese kelemahan/kelumpuhannya tidak terjadi langsung pada keempat
anggota gerak. Bihemiparese bersifat kerusakan pada upper motor neuron, yaitu
adanya infark di hemispere serebral bilateral dapat disebabkan karena dua lesi
iskemik didaerah kedua arteri serebri (anterior/media) atau di kedua kapsula
interna. Lesi pada arteri basilaris dapat menyebabkan infark pada daerah
mesensefalon. Lesi ini dapat disebabkan oleh adanya arterosklerosis, emboli,
aneurisma, dan inflamasi 8,13,16,17.

Pada awal stroke terjadi hemiparese unilateral karena infark di hemisfer


serebral unilateral yang disebabkan adanya lesi pada arteri serebri
(anterior/media) atau di kapsula interna unilateral. Lama – kelamaan lesi ini juga
dapat ditemukan pada arteri serebri (anterior/media) atau kapsula interna yang

27
lain, sehingga terjadi infark pada hemisfer serebral bilateral. Oklusi pada arteri
basilaris juga dapat menyebabkan hemiparese bilateral 16,17.

3.3.6 Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan

a. Penyakit infeksi

- Mielitis transversa

Dapat menyebabkan satu sampai dua segmen medula


spinalis rusak sekaligus, infeksi dapat langsung terjadi melalui
emboli septik, luka terbuka ditulang belakang, penjalaran
osteomielitis atau perluasan proses meningitis piogenik. Istilah
mielitis tidak hanya digunakan jika medula spinalis mengalami
peradangan, namun juga jika lesinya mengalami peradangan dan
disebabkan oleh proses patologik yang mempunyai hubungan
dengan infeksi. Adakalanya reaksi imunologik timbul di medula
spinalis setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral. Pada
saat itu sarang-sarang reaksi imunopatologik yang berukuran kecil
tersebar secara difus sepanjang medula spinalis. Serabut-serabut
asenden dan desenden panjang dapat terputus oleh salah satu lesi
yang tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan kelumpuhan parsial
dan defisit sensorik yang tidak masif di seluruh tubuh atau yang
dikenal dengan istilah tetraparese 1.

- Poliomielitis
Poliomielitis adalah peradangan pada daerah medula
spinalis yang mengenai substantia grisea. Jika lesi mengenai medula
spinalis setinggi servikal atas maka dapat menyebabkan kelemahan
pada anggota gerak atas dan bawah . Pada umumnya kelompok
motoneuron di segmen-segmen intumesensia servikal dan lumbalis
merupakan substrat tujuan viral. Tahap kelumpuhan bermula pada
akhir tahap nyeri muskular. Anggota gerak yang dilanda kelumpuhan
LMN adalah ekstremitas 1.

28
b. Polineuropati

Polineuropati adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada


beberapa saraf perifer di seluruh tubuh. Penyebab karena infeksi bisa
menyebabkan polineuropati, kadang karena racun yang dihasilkan oleh
beberapa bakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi autoimun,
bahan racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan polineuropati
atau mononeuropati (lebih jarang), kanker bisa menyebabkan
polineuropati dengan menyusup langsung ke dalam saraf atau menekan
saraf atau melepaskan bahan racun, kekurangn gizi dan kelainan metabolik
juga bisa menyebabkan polineuropati.
Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh,
penyakit yang bisa menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah
diabetes, gagal ginjal dan kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat.
Polineuropati kronik cenderung berkembang secara lambat (sampai
beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di kaki (kadang di
tangan) 18.

Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai


empat hari pertama pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung
myelin. Hari ke lima terjadi desintegrasi myelin dan pembengkakan aksis
silinder. Pada hari ke sembilan timbul limfosit, hari ke sebelas timbul
fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel. Kesemutan, mati
rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk merasakan getaran atau
posisi lengan, tungkai dan sendi merupakan gejala utama dari
polineuropati kronik. Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari dan
bisa timbul jika menyentuh daerah yang peka atau karena perubahan suhu.
Ketidakmampuan untuk merasakan posisi sendi menyebabkan
ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan. Pada akhirnya akan terjadi
kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan biasanya timbul
sesudah tidak ada panas, kelumpuhan otot biasanya bilateral dan simetris
dengan tipe "lower motor neuron dengan penyebaran kelumpuhan yang
bersifat ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar ke

29
ekstrimitas atas, tetapi bisa pula descending yaitu mulai dari ekstrimitas
atas yang turun ke ekstrimitas bawah 18.
c. Sindrom Guillain Barre (SGB)

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf


akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan
kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu
infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang
simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
kadang-kadang juga muka 19,20.

Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB


akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim
saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis
ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-
perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah
infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi
itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak
segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang
berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis
dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan pasca
infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada
otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan
pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit
sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak 19,20.

30
Gambar 4. Sindrom Guillain Barr

Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang


dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel
mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran
kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada
permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut
saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas
pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf
perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya
permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut 19,20.

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas


tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan
dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenden
ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa
keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti
oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot
bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal 20.

d. Miastenia Grafis

Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang


menyebabkan otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah.
Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena sirkulasi antibodi yang
memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik neuromuscular
junction, stimulasi penghambatan ini berpengaruh pada neurotransmiter
asetilkolin. Manifestasi klinisnya dapat berupa kelemahan pada otot yang
mengatur pergerakan mata, kelemahan otot pada lengan dan tungkai,
perubahan ekspresi wajah, disfagia, dan disartria 18,21.

31
Gambar 5. Miastenia Gravis

e. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu


kelainan yang progresif dari sistem saraf yang banyak terjadi pada
orang dewasa dengan penyakit motoneuron. Kondisi tersebut
menyebabkan degenerasi saraf motorik bagian atas (brain) dan saraf
motorik bagian bawah (spinal cord) dengan kombinasi tanda upper
motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Penurunan
kualitas saraf ini, menyebabkan Kelemahan pada otot dan dapat
berakhir pada kematian 14,22,23.

Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik, yaitu


sel-sel saraf yang mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu,
kemampuan tubuh untuk mengatur gerakan otot yang disadari akan
hilang secara perlahan-lahan. Misalnya, memegang, menjentik,
menggaruk, dan sebagainya. Namun penyakit ini tidak mempengaruhi
saraf sensoris (perasa) dan fungsi mental. Meskipun penyebab pasti
ALS belum diketahui, teori yang dikenal saat ini menyatakan
neurotransmiter glutamat (suatu zat kimia yang menghantarkan impuls
atau sinyal ke sel-sel saraf) kemungkinan memegang peranan sebagai

32
penyebab matinya sel-sel saraf motorik. Zat-zat kimia lainnya, seperti
molekul radikal bebas dan kalsium kemungkinan juga ikut terlibat 22,23. 

Gambar 6. Amyotrophic Lateral Sclerosis

Penyakit ALS mengakibatkan sistem neuromuscular tidak


berfungsi karena kedua saraf motorik penderita ALS telah rusak.
Seiring berjalannya waktu, penyakit ALS menyebabkan saraf–saraf
motorik yang berada di otak dan batang tubuh mengecil, dan pada
akhirnya menghilang. Akibatnya, otot – otot tubuh tidak lagi mendapat
sinyal untuk bergerak. Karena otot yang berada dalam tubuh
kehilangan pemasok nutrisinya, sehingga otot–otot yang menjadi lebih
kecil dan melemah. Saraf-saraf di dalam sistem neuromuscular yang
memberi nutrisi ke otot-otot tersebut terlokalisir, sehingga
menyebabkan tumbuhnya jaringan yang rusak mengantikan saraf–saraf
yang normal 14,22,23.

f. Spondilosis servikalis

merupakan suatu penyakit yang menyerang usia pertengahan


dan usia lanjut, dimana diskus dan tulang belakang di leher mengalami
kemunduran (degenerasi).

33
Gambar 7. Spondilosis Servikalis

Spondilosis servikalis menyebabkan menyempitnya kanal


spinalis (tempat lewatnya medula spinalis) di leher dan menekan
medula spinalis atau akar saraf spinalis, sehingga menyebabkan
kelainan fungsi. Gejalanya bisa menggambarkan suatu penekanan
medula spinalis maupun kerusakan akar sarafnya. Jika terjadi
penekanan medula spinalis, maka pertanda awalnya biasanya adalah
perubahan pada cara berjalan. Gerakan kaki menjadi kaku dan
penderita berjalan dengan goyah. Leher terasa nyeri, teutama jika akar
sarafnya terkena. Kelemahan dan penciutan otot pada salah satu atau
kedua lengan bisa terjadi sebelum maupun sesudah timbulnya gejala
penekanan medula spinalis.14,22

g. Spondilitis Tuberkulosa
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan
spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang
bersifat kronik destruktif yang disebabkan oleh mikobakterium
tuberkulosa. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit
Pott, paraplegi Pott. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada
vertebra T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2.(1,2,3,4).
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis
tulang dan sendi. Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi
sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 90-95% disebabkan

34
oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3
dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai
Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar
matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat
dorman, tertidur lama selama beberapa tahun.
Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus
respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum
yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara
hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan
tulang. 6 hingga 8 minggu kemudian, respons imunologik timbul dan
fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi
tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan
tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling
sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya
mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral,
bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise,
discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian
depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal
sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap
pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus
menghancurkan vertebra di dekatnya.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang
yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah
ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra
di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi
ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia

35
paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus
sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan
dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal.
Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea,
esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya
tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses
pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul
paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk
mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal
pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah
krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis
pada trigonum skarpei atau region glutea.14

3.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
- Anamnesis (Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan
riwayat penyakit keluarga).
- Pemeriksaan penunjang :
 Foto vertebrae servikal/lumbal→untuk mengetahui adanya
trauma, penyempitan maupun pergeseran susunan tulang
belakang.
 Fungsi lumbal→untuk menyingkirkan beberapa penyakit
pembanding seperti sindrom guillain barr→adanya peningkatan
protein sito albumin yang disertai peningkatan jumlah selnya.
 Elektromiografi→menunjukan adanya fibrilasi, fasikulasi, atrofi
dan denervasi (pada penyakit ALS)
 MRI.7

3.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan penyebabnya. Namun


dapat dilakukan terapi umum sebagai berikut:

36
1. Medikamentosa
Kortikosteroid→ untuk mengurangi nyeri, juga dipercaya dapat
menghasilkan perbaikan neurologis.
Antidiabetika→ pada kasus-kasus yang diperburuk oleh penyakit
diabetes mellitus.
2. Terapi konservatif
a.Tirah baring (bed rest)
b. Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak
vertebra
c. Memperbaiki keadaan umum penderita

3. Fisioterapi :
Program : Infra Red, ROM (range of motion) dan meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah.
Terapi Okupasi

Problem : agak kesulitan melakukan pekerjaan yang biasanya dilakukan


sendiri karena terlalu lama berbaring.

Assesment: Pasien mengalami deconditioning syndrome.

Program :

a. Melatih pasien untuk latihan bekerja, seperti apa yang biasanya


dilakukan sendiri, melatih kekuatan duduk, berdiri dan berjalan.
b. Melakukan kegiatan sehari-hari sendiri, dan tanpa bantuan orang
lain, misalnya berpakaian, makan, dan rawat diri.
c. AKS/ADL secara luas berkaitan dengan aspek psikologis,
komunikasi, sosial.7,9

3.3.9 Prognosis
Prognosis penderita dipengaruhi oleh pengobatan terhadap
penyebab tetraparesis itu sendiri. Diagnosis sedini mungkin dan
dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik meskipun tanpa

37
tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak
teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat.9

BAB 4

PENUTUP

Parese merupakan kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak


lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau

38
gerakan terganggu. Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan
oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian
fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan kelumpuhan/kelemahan
lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai. Tetraparese dapat
disebabkan karena adanya kerusakan pada Upper motor neuron (UMN) atau
kerusakan pada Lower Motor Neuron (LMN) atau kerusakan di keduanya.

Kerusakan pada Upper motor neuron (UMN) dapat disebabkan adanya lesi
di medula spinalis setinggi servikal atas, kerusakan pada Lower motor neuron
(LMN ) bisa mengenai motorneuronya, radiks, maupun pada otot itu sendiri. Jika
kerusakan mengenai Upper motor neuron (UMN) dan Lower motor neuron
(LMN) maka lesinya pada Low cervical cord.

Tetraparese berbeda dengan hemiparese bilateral, walaupun keduanya


mempunyai arti kelemahan pada keempat angggota gerak. Namun, Tetraparese
disebabkan adanya lesi di medula spinalis sedangkan hemiparese bilateral
disebabkan karena lesi pada hemisfer serebral bilateral dan biasanya pada
serangan pertama baru terjadi hemiparese unilateral dan setelah serangan kedua
baru terjadi hemiparese bilateral. Tetraparese dapat ditemukan pada beberapa
keadaan seperti ; penyakit infeksi (misalnya mielitis transversa, poliomielitis),
polineuropati, sindrom Guillain Barre, Miastenia gravis, atau pada Amyotrophic
Lateral Sclerosis (ALS).

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Committee on Trauma of the American College of Surgeon. Advanced


Trauma Life Support (ATLS), program untuk dokter. 1997: 237-57
2. Noerjanto. Gangguan Gerak Akibat Lesi pada Medula Spinalis. Dalam:
Hadinoto S (editor). Gangguan Gerak, Ed 2. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang. 1996 : 65-79.
3. American Spinal Injury Association (ASIA). Standards for Neurological and
Functional Classification of Spinal Cord Injury. Revised by Ditunno JF.
Chicago 1992 ; 1-26
4. Mardjono M, Sidharta P, Pemeriksaan Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat
1994: 20-113.
5. Duus P., Sistem motorik. Dalam : Suwono JW (editor), Diagnosis Topik
Neurologi, anatomi,fisiologi, tanda, gejala. EGC 1996: 31-73.
6. Greenberg M.S, Handbook of Neurosurgery, Spine Injuries, Fouth edition,
Greenberg Graphic, Florida 1997: 754-83.
7. Davenport M., Fracture Cervical Spine, department of Emergency edicine
and Orthopedic Surgery, Allegeny General Hospital, www.emedicine.com,
Apr 1, 2008.
8. Pinzon R., Mielopati Servikal Traumatika: Telaah Pustaka Terkini, Cermin
Dunia Kedokteran, 2007.
9. Goodrich A.J., Lower cervical Spine Fractures and Dislocation, Department of
Surgery, section of Orthopedic Surgery, medicl college of Georgia,
www.emedicine.com, July 1, 2008.
10. PERDOSSI, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan TGrauma
Spinal, PERDOSSI, FKUI/RSCM, 2006 : 19-29
11. Listiono D.L., Cedera Spinal. Dalam: Ilmu Bedah saraf Satyanegara, Edisi
ketiga,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998 :321-27.
12. Lindsay W.K., Bone I., Callender R.,Spinal Trauma, dalam Neurology and
Neurosurgery Illustrated, Fouth Edition, Churchill Livingstone, 2004 : 412-
15.
13. DeGroot J., Neuroanatomi Korelatif, Edisi ke -21, EGC, 1997: 47-52

40
14. Wagener L.M., Stewart A.J., Stenger M.K., Spinal Cord Injury a Guide for
Patients, University of Lowa Hospitals and Clinics, first edition, 2007.
15. Islam S.M., Terapi Stem Cell pada Cedera Medula Spinalis, Cermin Dunia
Kedokteran, SMF saraf Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, 2006.
16. Kim H. D.,Ludwig C.S., Vaccaro R.A., Chang J., Atlas Of Spine Trauma
Adult and Pediatric, Phyladelphia, 2008.
17. Japardi I., Cervical Injury, Fakultas Bagian Bedah USU digital Library, 2002
18. Snell S. R., Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, EGC, 2007:
154-59
19. Dawodu T. S., Spinal Cord Injury: Definition, Epidemiology,
Pathophysiology,www.emedicine.com, Mar 30, 2009.
20. Gondim A.A.F., Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Department of
Physiology and Pharmacology Neurology Residency Program Director,
www.emedicine.com, Jan 24, 2008.
21. Platzer W., Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia Sistem Lokomotor
Muskuloskeletal & Topografi, Jilid I, edisi 6, 1997; 36-39.
22. Grundy D., Swain A., ABC of Spinal Cord Injury, Fourth edition, BMJ, 2002.
23. Harsono, Kapita selekta Neurologi, edisi kedua, Gajah Mada University Press,
2007; 319-27.
24. Rothman H., R., Simeone, A., F., The Spine, Second Edition, WB Saunders
Company, Phyladelphia London Toronto, 1982; Hal : 97-99.

41

Anda mungkin juga menyukai