Pendahuluan
Kekristenan di Korea bertumbuh sangat pesat dalam waktu yang singkat. Lebih daripada
negara-negara lain di Asia, bahkan di dunia. Pada tahun 1955, jumlah orang Kristen mencapai
sekitar 1.117.000 jiwa dan pada tahun 1987 sudah mencapai sekitar 10.000.000 jiwa mencakup
negara-negara lain di Asia mengalami kesulitan dan tekanan sehingga sulit berkembang bahkan
mengalami penurunan dalam hal jumlah. Namun pertumbuhan Kekristenan yang pesat ini tentu
bukan tanpa masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Melalui kacamata sejarah, buku
“Rahasia Keberhasilan Gereja di Korea” membahas bagaimana Gereja di Korea dapat bertumbuh
dengan hebat, masalah dan tantangan yang dihadapi, dan juga solusi yang dapat menjadi saran
bagi kemajuan pertumbuhan Gereja. Dengan mempelajari sejarah keberhasilan Gereja di Korea,
kita dapat melihat bagaimana Tuhan bekerja memelihara dan menolong umatnya sehingga dapat
menumbuhkan iman kita dan mengambil pelajaran yang berharga dari perjalanan masa lampau
untuk diterapkan pada masa kini dan menolong kita untuk memetakan tantangan bagi Gereja di
Korea berarti tinggi dan indah, atau negri dengan gunung-gunung tinggi dan aliran-aliran sungai
yang indah. Secara geografis, Korea merupakan penghubung antara Jepang dan benua Asia.
Letaknya yang strategis sangat menguntungkan karena dapat menyerap kebudayaan negara-
negara sekitarnya dan juga dalam perdagangan. Namun, letaknya yang strategis juga merupakan
geopolitis Korea menjadi ajang pertempuran politis kekuatan militer Jepang, China, dan Rusia.
Warga Korea terkenal sangat rajin dan suka bekerja keras. Sebagai pelajar, mereka
belajar dengan tekun. Sebagai pekerja mereka akan bekerja dengan giat. Dan sebagai penginjil,
mereka menginjil dengan penuh semangat. Bagi penilaian awam, sikap mereka cenderung keras
dan kasar. Namun bagi mereka yang mengerti dengan baik, masyarakat Korea adalah masyarakat
yang menyenangkan. Warga Korea sangat menghargai orang tua, budaya ini juga sangat
berpengaruh di Gereja, mereka sangat menghargai para pendeta (moksa – Bahasa Korea).
Kepercayaan-Kepercayaan di Korea
Sebelum Kekristenan masuk di Korea, terdapat 5 agama dan kepercayaan yang dianut
dan dipercaya oleh warga Korea, yaitu : Budha (agama), Konfusianisme, Shamanisme, Taoisme,
dan Chondogyo. Di dalam legenda Tan’gun yang terdapat dalam buku Samsug Yusa (1270) yang
ditulis oleh Iryeon (1206-1289) dan buku Jewang Ugi (1278) yang ditulis oleh Yi Seung Hyu
(1224-1300), masyarakat Korea sudah mempelajari konsep Allah dan kehidupan yang lebih
beradab.
Dalam perjalanan Kekristenan di Korea, legenda Tan’gun memberi pengaruh yang besar.
Gereja Protestan kebanyakan menyebut nama Allah dengan sebutan Hananim Hananim
merupakan bentuk lain dari kata Hwanim dalam legenda Tan’gun yang dituliskan dalam bahasa
China. Hananim berasal dari Hana yang berarti esa (tunggal) dan kata Nim yang menunjukkan
rasa penghargaan, dapat diterjemahkan sebagai The Great One. Hananim mempunyai
ketritunggalan, yaitu : Hwanim sebagai nenek moyang, Hwanung sebagai ayah, dan Hwangeom
(atau Tan’gun) sebagai anak. Masyarakat Korea yang tidak asing dengan konsep allah tritunggal
kekristenan di Korea. Shamanisme sangat erat dengan tradisi-tradisi dan ritual dalam rumah
tangga. Pada umumnya para wanita yang lebih banyak tinggal di rumah dan mengurus rumah
tangga, maka kaum wanita yang biasa melakukan ritual Shamanisme. Sehingga kepercayaan
Shamanisme dikenal sebagai kepercayaan milik kaum wanita. Pada perkembangannya, kaum
wanita yang lebih aktif melayani dan berkarya di dalam Gereja daripada kaum pria. Para wanita
memegang peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan Gereja di Korea Selatan. Dalam
kepercayaan Shamanisme, orang Korea juga mempercayai adanya kehidupan setelah kematian,
surga dan neraka. Hubungan antara dewa dan manusia dalam Shamanisme digambarkan seperti
hubungan tuan dengan hambanya, begitu juga dengan hubungan roh dan tubuh, roh adalah tuan
dan tubuh adalah hambanya. Sehingga mereka percaya bahwa tubuh manusia dikendalikan oleh
rohnya, dan umur manusia bergantung dari lamanya kesatuan antara roh dan tubuh. Shamanisme
Pada abad 17 masyarakat Korea mulai mengenal agama baru, yaitu Katolik Roma.
Katolik Roma masuk ke Korea bukan melalui misionaris, melainkan melalui literatur-literatur
dan orang-orang Korea yang dibaptis di China dan kembali ke Korea. Dalam perkembangannya
di Korea, Gereja Katolik mengalami hambatan. Orang-orang Katolik tidak berpartisipasi dalam
Kepercayaan Konfusianisme adalah kepercayaan yang dianjurkan oleh pemerintah Korea bagi
seluruh warganya. Sehingga ketika orang-orang Katolik menolak untuk terlibat dalam ritual
upacara tersebut, mereka dianggap bidat dan dianggap melawan pemerintahan saat itu. Maka
sebagai akibatnya, Gereja Katolik mengalami tekanan dan penganiayaan. Walaupun begitu kita
dapat melihat penyertaan dan pemeliharaan Tuhan yang nyata pada GerejaNya, sehingga
walaupun dalam tekanan dan penganiayaan jumlah mereka semakin banyak dan Gereja semakin
berkembang.
Misi Protestan mulai masuk Korea secara resmi pada tahun 1884 melalui medical
missionary yang bernama Horace Newton Allen, kedatangannya diikuti oleh beberapa medical
misionaris lain. Mereka disambut hangat baik oleh royal family maupun masyarakat pada
umumnya. Sampai akhir abad 19, ada beberapa Lembaga misi yang mengirim misionaris ke
(1892), Southern Methodist Mission (1896), dan Canadian Presbyterian Mission (1898).
Pada tanggal 7 Juni 1890, tujuh misionaris presbiterian di Korea mengundang John L.
Nevius (25 tahun menjadi misionaris di China) untuk memberi saran bagi perkembangan misi di
Korea. Bagian yang ditekankan oleh Nevius dalam pekerjaan misi di Korea adalah pendalaman
dengan khutbah-khotbah panjang yang disampaikan hingga berjam-jam seperti biasa dilakukan
kecil. Kemudian Nevius juga menganjurkan untuk melakukan pendekatan melalui bidang
pendidikan dan layanan kesehatan. Prinsip-prinsip ini ada dalam hidup Tuhan Yesus dan para
Rasul dalam mengabarkan injil, yakni dengan menyembuhkan orang sakit dan memberi
pengajaran di sinagoge-sinagoge. Sebuah pendekatan misi yang aplikatif dan relevan disetiap
jaman. Kemudian Nevius juga menekankan pergantian kepemimpinan dari para misionaris barat
kepada bangsa asli Korea. Sehingga dengan demikian, orang-orang Korea yang sebelumnya
tertindas merasa Kekristenan datang sebagai pemberi harapan, membuat mereka merasa penting,
Pada waktu para misionaris datang ke Korea, orang-orang Korea dipaksa menggunakan
bahasa China sebagai bahasa lisan dan tulisan. Sehingga sebagian besar bangsa Korea, terutama
kaum wanita dan menengah ke bawah, tidak dapat membacanya. Padahal mereka mempunyai
alfabet sendiri yang bernama Hangul. Kedatangan para misionaris memberikan harapan
tersendiri bagi rakyat Korea untuk dapat membaca dan menulis menggunakan bahasa mereka
sendiri. Para misionaris menggunakan abjad Hangul sebagai bahasa sehari-hari dan bahasa
literatur. Para misionaris mencetak Alkitab dan literatur-literatur Kristen menggunakan abjad
Hangul sehingga sebagian besar warga Korea, terutama kaum wanita dan kelas menengah ke
bawah mampu membacanya. Saat ini, Korea merupakan negara pencetak Alkitab kedua
terbanyak di dunia.
Ada dua faktor penyebab pesatnya pertumbuhan Gereja di Korea, faktor Allah dan faktor
manusia. Mengenai faktor Allah, pertumbuhan Gereja yang demikian pesat melebihi negara-
negara di Asia lainnya merupakan anugerah Allah. Kita tidak tahu mengapa Allah memilih untuk
menyelamatkan Korea Selatan setelah Perang Dunia II, sehingga bagi mereka Kekristenan
adalah teman dalam perjuangan kemerdekaan dan harga diri untuk diakui sebagai sebuah bangsa.
Walaupun sukar untuk diukur, namun memahami pertumbuhan Gereja di Korea dalam dimensi
keilahian tidak dapat dilupakan. Bagaimanapun kita dapat melakukan misi, berdoa, dan
berkhotbah namun Roh Kudus-lah yang menyebabkan seorang lahir kembali sehingga ia dapat
Melihat faktor manusia dalam pertumbuhan Gereja di Korea, kita dapat melihatnya dari
dua sisi, yakni : faktor non-spiritual (sosial-budaya), dan faktor spiritual. Faktor-faktor non-
spiritual yang menunjang keberhasilan Gereja di Korea berupa kejadian-kejadian yang terjadi di
dalam masyarakat Korea dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Kekristenan masuk ke Korea
tidak disertai dengan meriam dan kapal-kapal perang, melainkan dengan misi kesehatan dan
pendidikan. Jika bagi sebagian bangsa Asia lainnya Kekristenan merupakan agama barat, dan
memeluknya berarti kehilangan jati diri sebagai bangsa, tidak demikian dengan Korea.
Kekristenan merupakan pembawa harapan baru bagi bangsa Korea, harapan untuk merdeka dari
penjajahan dan harapan bagi tegaknya kebudayaan Korea sebagai suatu bangsa. Kekristenan di
Korea juga menjadi simbol nasionalisme, di gerejalah lagu kebangsaan Korea dikumandangkan
dan bendera nasional Korea dikibarkan pada peristiwa-peristiwa penting. Para misionaris juga
bersekutu dengan para pejuang dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan
kemerdekaan Korea. Kekristenan juga merupakan alat untuk menangkal paham komunis yang
mencoba masuk dan menguasai Korea Selatan. Kemudian, tidak adanya agama yang kuat di
Korea sebelum Gereja masuk juga menjadi salah satu faktor pesatnya pertumbuhan Gereja di
Korea. Paham-paham atau ajaran dari kepercayaan kuno bangsa Korea juga seolah menjadi
pendahulu bagi Kekristenan sehingga ajaran Kristen dapat diterima dalam pemahaman Korea.
Kemudian faktor yang mendukung pesatnya pertumbuhan Gereja di Korea juga dapat
dilihat dari kacamata spiritual. Terjadi banyak kebangunan rohani di Korea, bahkan hingga
didalam tubuh militer Korea. Pada tahun 1991 terdapat 200.000 anggota militer Korea, 70%
diantaranya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Kehidupan doa didalam Gereja
Korea juga sangat kuat mengakar, setiap pagi diadakan pertemuan doa meskipun saat cuaca
bersalju atau hujan. Kemudian diadakan kelas-kelas pengajaran Alkitab dan penginjilan. Gereja
Korea juga memiliki semangat yang tinggi dalam menginjil. Kebiasaan bangsa Korea yang suka
bekerja keras, tekun, dan giat juga dibawa dalam Gereja. Mereka sungguh-sungguh giat dan
memiliki etos kerja yang baik dalam melayani dan menginjil, mereka juga sangat tekun dalam
mempelajari Alkitab. Pelayanan mereka tidak terpusat di dalam gedung gereja saja, tetapi
Alkitab yang mereka bangun menjadi sangat kuat. Gereja juga menjangkau kepada masyarakat
bawah, memperjuangkan hak-hak asasi manusia, dan memberi harapan ditengah masa transisi.
Pertumbuhan Gereja yang pesat tentunya bukan tanpa hambatan atau masalah. Saat ini
terjadi penurunan dalam jumlah orang Kristen di Korea disebabkan adanya masalah yang muncul
dan tantangan bagi Gereja di masa depan. Kemakmuran menjadi salah satu faktor penyebabnya.
cenderung menyibukkan diri dengan bekerja dan mulai meninggalkan kehidupan bergereja. Di
Korea juga banyak Gereja yang kuat dan besar dibawah pimpinan pendeta yang cakap, dan
karena merasa besar dan kuatnya ini mereka merasa tidak perlu bekerja sama baik didalam
denominasinya ataupun dengan denominasi lain. Oleh sebagian besar mahasiswa non-Kristen,
terlalu sibuk mencari jemaat dan membangun gedung-gedung gereja yang megah.
Dalam hal pengajaran, gereja-gereja di Korea juga terpapar dengan pengajaran teologia
kemakmuran dan injil humanisme. Teologia kemakmuran hanya mengajarkan bahwa menjadi
orang Kristen menjamin hidup sukses, makmur, dan sehat. Memang hal-hal itu terdapat dalam
Alkitab, namun Alkitab juga mengajarkan bahwa mengikuti Kristus berarti juga harus memikul
salib dan menyangkal diri. Mengajarkan teologia kemakmuran dapat membangun mentalitas
yang tidak dapat survive di tengah-tengah jemaat apalagi ketika menghadapi penderitaan.
Kesimpulan
Melihat sejarah keberhasilan Gereja di Korea, kondisi sekarang, dan tantangan yang
dihadapi Gereja di masa yang akan datang, kemudian merefleksikannya dalam kehidupan kita,
dapat ditarik kesimpulan, yaitu : Tuhan turut bekerja dalam pertumbuhan GerejaNya dan dalam
kehidupan kita, Tuhan menyediakan yang diperlukan, Tuhan mempersiapkan jalan dan membuka
jalan agar rancanganNya terjadi, Firman Tuhan merupakan cermin bagi kita untuk dapat berkaca
dan membenahi hidup kita agar menjadi semakin seperti Yesus, pertobatan bukanlah suatu
moment sekali seumur hidup tetapi merupakan hal yang harus terus kita lakukan.
Allah tidak pernah menjamin bahwa Ia akan terus memakai gereja-gereja Korea di masa
depan. Jika gereja tidak sekali lagi datang kepada Allah dengan rendah hati bertobat dan mencari
pertolongan, bukan tidak mungkin gereja-gereja di Korea akan seperti gereja-gereja di Eropa saat
ini. Begitu juga dalam hidup kita, jika kita selalu merasa jumawa, bersikap pongah merasa hidup
benar, tidak perlu pertobatan dan pertolongan Tuhan, tanpa sadar hidup kita semakin jauh dari
Tuhan. Bekerja di dunia pelayanan bukan berarti kita selalu berjalan bersama Tuhan dan hidup
dalam hadiratNya. Ketika kita sibuk melayani, bisa jadi tanpa kita sadari, kita justru semakin
menjauh dari Dia yang kita layani. Alkitab sebagai cermin untuk kita dapat berkaca dan
memantaskan diri dengan pertobatan dihadapan Allah. Alkitab juga sebagai kompas yang dapat
memberi tahu seberapa dekat kita dengan Allah dan memberi kita panduan untuk menghampiri