Anda di halaman 1dari 30

Pentingnya Kerja Dalam Strategi Misi

dan Pembangunan Komunitas Kristen Mandiri:


Suatu Upaya Pemaknaan I Tesalonika 2:9 dan 4:11-12.
(Ronald Helweldery)1

Abstrak

Artikel ini didasarkan pada asumsi bahwa agama, dalam hal ini kekristenan, berfungsi sosial
dengan menyediakan seperangkat nilai intrinsik atau ethos yang memperkuat dan
mengelaborasi kapasitas kognitif serta mendorong energi kreatif dan inovatif umat. Rasul
Paulus sebagai seorang perintis misi dan pembangunan jemaat-jemaat lokal atau komunitas-
komunitas Kristen mandiri telah mendemonstrasikan asumsi tersebut dengan baik.
Demonstrasi tersebut terdokumentasikan dengan baik dalam nasihat-nasihat rasuli Paulus
dalam Perjanjian baru. Di sini saya berusaha menyarikan strategi dan metode misi serta
pembangunan jemaat mandiri sebagaimana yang terkandung dalam teks I Tesalonika 2:9
dan 4:11-12. Upaya ini hendak menunjukkan bahwa kemandirian ekonomi, yang
diperjuangkan melalui kerja keras, adalah fondasi penting dalam karya misi dan
pembangunan komunitas Kristen mandiri.
Kata-kata kunci : Paulus, Tesalonika, strategi misi dan pembangunan komunitas
Kristen mandiri, dan kerja keras

Pengantar

Agama sebagai salah satu sub-sistem masyarakat adalah suatu kompleks atau
lingkup azali bagi perkembangan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, agama memiliki
posisi dan peran sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Agama bisa memberikan
sumbangan khas melalui ajaran, ritus, dan simbol-simbolnya. Agama dapat membangun
motivasi dalam kehidupan umatnya. Agama dapat memperkuat dan memperluas daya-daya
kognitif serta membangkitkan energi kreatif dan inovasi warganya. Agama dapat berfungsi
sebagai penyedia norma-norma atau nilai-nilai khas atau ethos hidup umat. Eksistensi dan
pengaruh sosial agama ini telah diungkapkan antara lain oleh Max Weber melalui tulisannya
dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism.2 Dari kacamata sosiologi, Weber

1
Sekretaris Badan Pekerja Sinode GPI Papua, Dosen STT GPI Papua
Fakfak. Alumni Program Studi Doktor Sosiologi Agama, Fakultas Teologi,
UKSW, Salatiga.
2
Weber, Max, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. New
York: Charles Scribner‟s Sons, 1976.

1
telah menunjukkan doktrin panggilan (vocatio) dari Marthin Luther dan doktrin predestinasi
serta asketisme dalam Calvinisme telah berfungsi sebagai spirit yang melahirkan etos
berpikir rasional, berdisiplin tinggi, bekerja tekun sistematik, berorientasi sukses (material),
serta menabung dan berinvestasi, yang menjadi komponen idealistik pesenyawa bagi
kebangkitan kapitalisme di dunia modern.3 Weber melakukan riset bertolak dari pendekatan
tindakan sosial individual subyektif yang dalam kolektifitasnya memengaruhi pergerakan
atau dinamis dan proses pembentukan suatu komunitas dan masyarakat. 4

3
Lihat Andrew McKinnon, „The Sociology of Religion – The
Foundations” dalam Bryan S. Turner (ed.), The New Blackwell Companion to The
Sociology of Religion (Chichester, West Sussex: Blackwell Publishing, 2010), 40-
44. McKinon menggunakan sebagai referensinya adalah buku: Max Weber, The
Protestant Ethic and the ―Spirit‖ of Capitalism and Other Writings (New York:
Penguin, 2002). McKinnon membahas secara khusus eksplanasi teoritikal Weber,
yakni elective affinity. Mengikuti penalaran model elective affinity ini kita bisa
menjelaskan secara baik relasi etika protestan dan spirit kapitalisme melalui dua
tahap perjumpaan dan reaksi kimiawi unsur-unsur pembentuk kapitalisme Barat
modern. Unsur-unsur dalam tahap pertama proses kimiawi sosial ini, adalah etika
panggilan (Luther) dan asketisme dari beberapa kelompok (sekta) protestan
calvinisme. Kedua unsur etika atau sistem nilai moral religius ini, memiliki tingkat
afinitas yang tinggi dalam proses reaksi kimiawi sosial yang membentuk atau
menghasilkan unsur baru, yakni spirit kapitalisme modern. Di sini kita menemukan
bagaimana ide-ide keagamaan tertentu mempunyai tingkat afinitas
(keterhubungan) yang tinggi dengan dan sangat memengaruhi perkembangan spirit
ekonomi atau ethos sistem ekonomi. Pada tahap ini juga bisa melihat bahwa terjadi
rasionalisasi spirit atau ethos asketik Protestantisme, yang berakar dalam etika
“panggilan‟. Weber berargumentasi bahwa bentuk-bentuk kepercayaan Protestant
dan etika vokasional (kerja) berinteraksi, dan bersama-sama mereka membentuk „a
new whole which will become the spirit of capitalism‟. Selanjutnya, proses reaksi
kimiawi sosial tahap kedua elective affinity mempertemukan unsur spirit
kapitalisme modern dengan bentuk (form) Kapitalisme Borjuis, yang merupakan
bentuk paling akhir dari masyarakat kapitalistik pra kapitalisme modern barat.
Persenyawaan antara ke dua unsur inilah yang melahirkan Kapitalisme modern.
Pada tahap kedua ini, kita melihat perjumpaan antar aspek „spirit‟ dan „form‟ .
4
Weber memilih unit amatan adalah tulisan-tulisan Benjamin Franklin,
seorang tokoh nasional (ilmuwan, penulis, dan politikus) Amerika Serikat tentang
bagaimana mencapai sukses dan kemakmuran atau kesejahteraan. Franklin lahir
pada 17 Januari 1706 dan wafat pada 17 April 1790. Weber menelisik perkataan-
perkataan dalam tulisan-tulisan tersebut.
2
Kekristenan telah menorehkan bukti-bukti pengaruh kuatnya dalam membentuk ethos
dan kebudayaan masyarakat sejak masa awal kebangkitan dan penyebarannya. Catatan-
catatan awal pengaruh kekristenan ini terangkum dalam Alkitab Perjanjian Baru. Alkitab
sebagai Kitab Suci Keagamaan Kristen bila dibaca dengan baik akan memberikan gambaran
tentang pertumbuhan dan perkembangan kekristenan awal dalam konteks budaya Yahudi-
Yunani-Romawi. Rasul Paulus adalah sosok sentral dinamika dan proses pembentukan
komunitas-komunitas Kristen awal. Penyelidikan atas surat-surat Paulus sangat menolong
kita menjelaskan apa yang dikonstatir oleh Weber. Untuk itu salah satu langkah penting
adalah menyimak dinamika usaha pekabaran Injil dan pembangunan jemaat-jemaat Kristen
awal yang diprakarsai oleh Rasul Paulus. Pemikiran, ajaran, dan karya Rasul Paulus tidak
hanya telah meletakkan fondasi kekristenan, tetapi juga telah memengaruhi pembentukan
ethos dan budaya masyarakat di lingkup Kekaisaran Romawi. Dalam artikel ini saya akan
menaruh perhatian pada karya pelayanan dan pembangunan komunitas Kristen mandiri-
misioner yang diprakarsai oleh Rasul Paulus di Tesalonika, Makedonia.

Kebijakan dasar misi Paulus adalah menjaga dan mempertahankan kemandirian


finansial atau pendanaan dalam membiayai hidup, tim dan karya misi serta pembangunan
jemaat-jemaat Kristen mandiri. Untuk itu sambil mewartakan Injil, Ia bekerja tangan sebagai
seorang „pembuat kemah‟ (skenopoios, mengikuti data dalam Kis. 18:3) di berbagai tempat
seperti di Tesalonika (I Tes. 2:9), Korintus (I Kor. 4:12; Kis. 18:3), Efesus (Kis. 19:11-12;
20:34-35) dan sangat mungkin juga selama Ia tinggal di Roma. Sampai masa akhir karya
misinya Paulus tetap menghidupi secara konsisten prinsip misinya, yakni kemandirian
dengan mengusahakan pendapatan ekonomi secara mandiri. Kisah Para Rasul 28:30
menyebutkan bahwa selama masa tahanan menunggu penuntasan perkara-bandingnya di
Roma5, Paulus tinggal di sebuah rumah sewa atas biayanya sendiri. Di rumah itu Ia
menerima orang-orang yang datang kepadanya. Laporan ini mengindikasikan secara kuat
bahwa walaupun dalam pengawasan hukum, Paulus tidak ditahan dalam penjara tetapi
diberikan keluasan tinggal di rumah sewaan di bawah pengawasan seorang pengawal (Kisah
Para Rasul 28:16). Jadi Paulus memiliki kebebasan yang cukup. Kondisi ini memungkinkan

5
Sebelumnya Paulus telah meminta naik banding untuk perkaranya ke
hadapan Kaisar (Kisah para rasul 25).
3
Paulus tetap dapat melakukan pewarataan Injil dan pertemuan-pertemuan diskusi serta
pastoral, sambil bekerja untuk mendapatkan dana mandiri.6
Namun fakta bahwa Paulus bekerja dengan tangan ini biasanya disebutkan seperti
sesuatu yang tidak begitu penting untuk di dalami dalam pembahasan mengenai hidup,
pikiran dan karya Paulus.7 Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa hakekat, kedudukan
dan fungsi paradigmatis teologis-etis-misiologis tema „bekerja dengan tangan‟ hampir tidak
mendapat perhatian yang serius. Bila kita memandang usaha pekabaran injil yang
diperjuangkan Paulus, sebagai suatu usaha terencana dengan strategi dan tujuan yang jelas, 8
maka dapat secara terburu-buru disimpulkan bahwa pilihan pekerjaan dan hidup kerja
kerasnya hanyalah usaha sambilan dan bukanlah pilihan prinsipil dalam pelayanan
pekabaran injil dan pengajarannya. Dengan lain perkataan dapat dinyatakan bawah pilihan
pekerjaan dan hidup kerja kerasnya itu kurang (tidak) memiliki signifikasi teologis-etis-
misiologis yang dalam dan khas serta menentukan bagi upayanya membina dan membangun
suatu komunitas baru yang dewasa dan mandiri.
Keadaan sedemikian tercipta mungkin karena pemunculan tema ini sangat jarang dan
tidak dibahas oleh Paulus secara tersendiri dalam surat-suratnya (al. I Tes.2:9; 4:11-12; I

6
Lihat beberapa tafsiran, antara lain: I. Howard Marshal, Acts (Leicester -
Grand Rapids: Inter-Varsity Press – Wm. B. Eerdmans Publishing Company,
1987); William Neil, The Acts Of The Apostles (London: Oliphants, 1973); F. F.
Bruce, The Book of Acts (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans
Publishing Company, 1988); Richard I. Pervo, Acts (Minneapolis: Fortress Press,
2009). Memang ada kelompok tafsir yang menolak pandangan ini dengan asumsi
bahwa tidaklah mungkin dalam masa tahanan Paulus bekerja. Dan itu berarti
rumah yang disewa atas bantuan tokoh-tokoh dan warga jemaat di Roma. Untuk
pandangan ini lihat antara lain: Gerhard A. Krodel, Acts (Minneapolis, Minnesota:
Ausburg Publishing House, 1986).
7
Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan Pada
Etika Kristen Dasar (Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 307
pernah menyitir kondisi ini dalam kaitan dengan pembahasan etika Paulus.
8
Terkait dengan tujuan ini, Charles A. Wannamaker, Commentary On
1&2 Thessalonians (Grand Rapids Michigan: William B. Eerdmans, 1990), 10
mengatakan: “The object of Paul’s missionary preaching and teaching was
twofold. He sought to gain convert to the distinctively Christian beliefs and
behavior patterns which he proclaim, and the he sought to form his converts into a
new faith in order to provide then with a context in which their new faith and
commitmen to God could develop and nature.”
4
Kor. 4:12, dan dalam deutero Paulinika, II Tes. 3:6-15; Ef.4:28).9 Menurut Ronald F.
Hock,10 kurangnya perhatian para ahli Perjanjian Baru bukan hanya semata-mata karena
kurangnya ketelitian, tapi itu merupakan petunjuk bahwa pekerjaan Paulus sebagai „tukang
pembuat kemah‟ hanya memiliki signifikansi pinggiran bagi konsepsi-konsepsi fundamental
dan khas mereka tentang siapakah Paulus dan apakah yang ia lakukan. Dan terhadap
kecenderungan tersebut Hock mengajukan kontra argumentasi yang kuat bahwa pekerjaan
dan usahanya sebagai pembuat kemah sangatlah sentral dalam kehidupan dan karya misi
Paulus.11
Penulis akan mendudukan lebih lanjut hakikat, kedudukan serta fungsi paradigmatik
dari kenyataan bahwa Paulus bekerja dengan tangannya sendiri itu di dalam konteks
pelayanan pekabaran injil dan pembangunan jemaat-jemaat Kristen mandiri. Pengungkapan
ini penulis letakan konteks strategi pelayanan pekabaran injil dan pembangunan jemaat-
jemaat Kristen sebagaimana tertuang dalam Surat I Tesalonika. Pemilihan Surat I
Tesalonika didasarkan pada kronologi persuratan Paulus. Surat I Tesalonika merupakan
surat pertama yang ditulis oleh rasul Paulus dari dalam perjalanan pekabaran Injil dan
pelayanan serta perintisan jemaat-jemaat mula-mula.12 Surat ini mengandung hal-hal

9
Saya mengikuti kronologi surat-surat Paulus yang mendudukan I
Tesalonika sebagai surat pertama. Mengenai penggolongan surat-surat Paulus ini,
lihat Norman Perrin-Dennis Dulling, The New Testament – An Introduction, (New
York: Harcourt Brace Jovanivich, 1982), h.163-231; E.P. Sanders, Paul: The
Apostle’s Life, Letters, and Thoughts (Minneapolis: Fortress Press, 2015).
10
Ronal F. Hock, The Social Context of Paul’s Ministry: Tentmaking and
Apostleship (Philadelphia: Fotress Press, 1980). Lihat beberapa pembahasan terkait
pentingnya pekerjaan dan usaha sebagai pembuat kemah dalam misi Paulus yang
mengelaborasi karya Hock: Ruth E. Siemens,‟The Vital Role of Tentmaking in
Paul‟s Mission Strategy‟in International Journal of Frontier Missions Vol 14:3
July-Sept 1997, pp.121-129; Steve Walton, „Paul, Patronage, and Pay: What Do
We Know About The Apostel‟s Financial Support?‟ in Trevor J. Burke and Brian
S. Rosner (eds.), Paul As Missionary: Identity, Activity, Theology, and Practice
(London: T&T Clark International, 2011), 220-233.
11
Hal mana diacu dan ditegaskan pula oleh Wayne E. Meeks, The First
Urban Christians: The Social World of The Apostle Paul (New Haven and London:
Yale University Press, 2003), 16-17.
12
Saya mengikuti kronologi surat-surat Paulus yang mendudukan I
Tesalonika sebagai surat pertama. Mengenai penggolongan surat-surat Paulus ini,
5
mendasar terkait praksis misi dan pembangunan komunitas-komunitas Kristen perdana,
yang kemudian dikemukakan juga dalam Surat I Korintus 9.13 Secara khusus penulis
menelisik I Tesalonika 2:9 dan 4:11-12 terkait dengan pentingnya „bekerja dengan tangan‟
dalam konteks strategi misi Paulus.14 Pemilihan dan pengangkatan kedua teks bagi upaya
eksegetis ini berdasar pada kedudukan dan hubungan nats-nats tersebut dalam konteks
struktural komposisi surat. Dalam Surat I Tesalonika, keduanya berada dalam hubungan
yang erat baik dilihat dari pendekatan retorik maupun surat. Di sini teks 2:9 serta
kandungannya berfungsi sebagai paradigma bagi nasihat Paulus kepada jemaat tentang
'bekerja dengan tangan' dalam teks 4:11-12.15 Jelas pula dari arahan konteksnya (2:1-12),
teks 2:9 menampilkan Paulus sebagai model-paradigmatik atau pola panutan yang patut
dan harus diteladani oleh jemaat dalam hal „bekerja dengan tangan‟ dan „hidup mandiri‟
(4:11-12).

lihat Norman Perrin-Dennis Dulling, The New Testament – An Introduction, (New


York: Harcourt Brace Jovanivich, 1982), h.163-231; E.P. Sanders, Paul: The
Apostle’s Life, Letters, and Thoughts (Minneapolis: Fortress Press, 2015).
13
Dalam Surat Korintus Paulus semata mendudukan bekerja dengan
tangan dan prinsip hidup mandiri dalam konteks apologia dan penjelasan terhadap
kesalahpahaman jemaat atas sikapnya tersebut. Tetapi pada Surat Tesalonika
pokok bekerja dengan tangan dikemukakan baik dalam konteks apologia maupun
nasihat atau pengarahannya bagi jemaat, di mana Paulus sendiri yang menjadi
model-paradigmatik.
14
Penjelasan rinci mengenai eksegetik teks keagamaan ini lihat: Ronald
Helweldery, Bekerjalah Dengan Tanganmu – Suatu Studi Eksegetis Terhadap I
Tesalonika 2:9 dan 4:11-12 Serta Implikasinya Bagi Pengembangan Etos Kerja
dan Kemandirian di Lingkungan Jemaat-Jemaat GMIT. (Skripsi, Kupang,1996).
15
Lihat Hock, 48; Wannamaker, 103, yang menggunakan pendekatan
retorik dalam memahami struktur dan isi surat Paulus ini. Sementara Gene L.
Green, The Letters to The Thessalonians (Grand Rapids, Michigan – Cambridge,
UK: Eerdmans Publishing Company, 2002), 69-77, tetap menggunakan pendekatan
bentuk surat dalam mendudukan struktur surat Tesalonika di mana bagian tubuh
surat berisi baik narasi maupun paranese (nasihat, paranese). Dengan begitu
hubungan antara pasal 2 dan pasal 4 adalah kuat dan dekat. Narasi menjadi basis
bagi nasihat; Penjelasan bentuk atau struktur Surat Paulus lihat: John L. White,
„Ancient Greek Letters‟ in David E. Aune (ed.), Greco-Roman Literarture And The
New testament: Selected Forms And Genres (Atlanta, Georgia: Scholars Press,
1987), 85-105.
6
Eksplorasi tema tulisan ini dibasiskan dalam kerangka paparan tentang proyek
pekabaran Injil dan pembangunan jemaat Kristen mandiri yang diretas oleh Rasul Paulus di
Tesalonika. Istilah ‟proyek‟ digunakan secara sengaja untuk menegaskan keterencanaan
karya misi Paulus yang memiliki pemetaan konteks, tujuan atau arah dan strategi yang jelas.
Ini adalah proyek misi dan kebudayaan. Tetapi sebelum masuk pada pembahasan proyek
misi dan pembangunan jemaat Kristen mandiri di Tesalonika, penulis terlebih dahulu
mendudukan secara ringkas beberapa studi terkait pentingnya „bekerja dengan tangan‟
yang Paulus lakukan. Paparan ini akan diikuti dengan beberapa catatan reflektif, sehingga
dapat pula diperoleh basis Alkitabiah bagi pelaksanaan pelayanan dan pembangunan jemaat
Kristen mandiri di tengah masyarakat. Dan akan diakhiri dengan penutup yang menegaskan
bahwa Misi adalah Strategi Kebudayaan.

Beberapa Studi tentang Bekerja Dengan Tangan Dalam Misi Paulus


Proposal Hock telah menjadi basis bagi elaborasi oleh ragam publikasi terkait
dengan pekerjaan dan usaha Paulus sebagai pekerja tangan dalam kerangka strategi misinya.
Joel N. Nohr16 melihat bekerja dengan tangan sebagai pembuat kemah adalah bagian
integral dari strategi misi Paulus. Studi Nohr berusaha menjawab pertanyaan mengapa
Paulus berkeras menolak bantuan jemaat Korintus (I Korintus 9:15). Penjelasan Paulus atas
sikap tegas ini disampaikan agak panjang lebar dalam kaitan dengan kerasulannya (I
Korintus 9:1-27). Paulus tidak menginginkan penerimaan bantua dana bergeser menjadi
penghalang pemberitaan Injil Kristus (I Korintus 9:12). Paulus tetap mempertahankan
kemandirian pendanaan atau pembiayaan hidup dan misi yang ia emban melalui kerja
dengan tangan sendiri ini sebagai (a) ketegasan dan kritiknya terhadap kecenderungan para
pemuka jemaat Korintus untuk menundukkannya ke bawah otoritas mereka dan (b)
mengidentifikasikan dirinya dengan kaum lemah dan miskin, yaitu para pekerja tangan yang
merupakan mayoritas umat dan masyarakat lingkungan kerjanya – terutama di pasar dan
rumah para tokoh jemaat. Dengan bekerja tangan, Paulus terlibat langsung dan menjadi
bagian keseharian dari pergulatan kehidupan sehari-hari kaum lemah. Dalam posisi dan

16
Joel N. Nohr, „Became A Slave to All: Paul‟s Tentmaking As A
Strategy for Mission‟ in Currents in Theology And Mission 34:3 (June 2007), 179-
1887.
7
konteks sosial sedemikian kita bisa pahami pembelaan Paulus atas kehadiran kaum
lemah/miskin dalam lingkungan pertemuan-pertemuan jemaat, seperti perjamuan (I Korintus
11:17-22).17
Steve Walton18 mendudukan dan menjelaskan lebih jauh sikap tegas Paulus dalam
mempertahankan kemandiriannya dan menolak bantuan dari jemaat Korintus ini dengan
bertolak dari konteks kultural patronase (patronage) Yunani-Romawi. Sistem sosial
distrukturkan dalam jejaring masif interaksi hirarkhis patron – client. Walton menjelaskan
demikian:
The Roman empire was a massive web of patronage, emanating outward from the
emperor himself, so that just about everyone was someone’s client and many were
also someone’s patron. These relationships required reciprocal responsibilities:
the patron provided for the client, often materially, and the client supported the
patron, generally by rendering services and support for the patron in his (and it
was normally his) political and social ambitions. To be the greater giver placed a
person in a position of social superiority.19

Paulus tidak menerima bantuan dari tokoh-tokoh jemaat Korintus sebagai sikap tegasnya
menolak relasi patron-klien, di mana ia akan menjadi pihak yang berhutang budi dan
bergantung penuh pada para pemberi bantuan (dermawan). Bila relasi patron-klien tercipta
maka jelas akan menjadi penghalang bagi pemberitaan Injil Kristus yang menjadi
tangungjawab dan tugas utamanya – pemberita Injil menjadi tidak bebas atau merdeka.
Paulus tidak menginginkan dan mengijinkan kondisi sedemikian terjadi: “… Sebaliknya,
kami menanggung segala sesuatu, supaya jangan kami mengadakan rintangan bagi
pemberitaan Injil Kritus” (I Korintus 9:12b). Paulus menjaga dengan kokoh kemandiriannya

17
Pasal ini mengindikasikan masih kuatnya diksriminasi dan marjinalisasi
kelompok atau kelas sosial yang kaya terhadap yang miskin dan lemah. Lihat juga
uraian terkait strategi akomodasi – toleransi dalam misi Paulus terhadap perspektif
kaum liyan (the others) secara khusus kaum lemah (the weak) dalam jemaat atau
masyarakat dalam artikel Karl Olav Sandnes, „A Missionary Stratgey in 1
Corinthians 9.19-23?‟ in Trevor J. Burke and Brian S. Rosner (eds), Paul As
Missionary: Identity, Activity, Theology, and Practice (London: T&T Clark,
2011),128-141.
18
Lihat Steve Walton, „Paul, Patronage and Pay: What Do We Know
About The Apostle‟s Finacial Support?‟ in Trevor J. Burke and Brian S. Rosner
(eds.), Paul As Missionary: Identity, Activity, Theology, and Practice (London:
T&T Clark, 2011), 220-233.
19
Walton, 221.
8
sebagai pemberita Injil. Paulus berbeda dari pola hidup dan kerja para penganjur filsafat dan
agama keliling pada masa itu. Bahkan Paulus mengajukan kritik-konstrukti-radikalnya
terhadap budaya patron-klien masyarakat dengan menunjukkan bahwa Allah di dalam
Kristus lah yang telah menebus hidupnya yang layak menjadi patron bagi dia. Oleh karena
itu Paulus berkeputusan memberitakan Injil Kristus tanpa upah yang dibayarkan oleh para
dermawan sekalipun (I Kor.9:16-18).20 Dan untuk itu Paulus terus bekerja dengan tangannya
sendiri sebagaimana Ia lakukan sejak di Tesalonika: „Sebab kamu masih ingat, saudara-
saudara, akan usaha dan jerih lelah kami. Sementara kami bekerja siang malam, supaya
jangan menjadi bagi siapapun juga di antara kamu, kami memberitakan Injil‟ (I Tesalonika
2:9). Terkait dengan kritik-kontruktif-radikal Paulus ini, Walton menyimpulkan:
Paul offered such a radical revision of the pervasive patronage system in order to
shape his own missionary practice and the culture of his communities around the
gospel message which he proclaimed — and the constant temptation of the church
ever since has been to fall back into a patron/client hierarchical way of thinking.21

Dari pengalaman puluhan tahun merintis gerakan penginjilan mahasiswa


internasional di Amerika Latin dan Eropa – kemudian Global Opportunities, yakni gerakan
misi awam Kristen yang mengintegrasikan kerja dan kesaksian – Ruth E. Siemens secara
komprehensif mengeksplorasi pokok „bekerja dengan tangan‟ yang Paulus lakukan dalam
artikel dengan judul The Vital Role of Tentmaking in Paul’s Mission Strategy.22 Eksplorasi
komprehensif ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan mendedikasikan hampir semua
waktunya dalam bekerja dan berusaha sebagai pembuat kemah, Paulus hendak menegaskan
betapa vitalnya praktik tersebut dalam kerangka strategi misinya. Bertolak dari model ini

20
Dalam artikelnya, Walton membahas juga kenyataan bahwa Paulus
menerima bantuan dari jemaat Filipi dan tokoh-tokoh jemaat, seperti Febe (Roma
16:2) dan Filemon. Tetapi Walton menegaskan bahwa dalam kasus sedemikian
tidak terjadi relasi patron-klien, sebaliknya: berlangsung relasi saling
ketergantungan dan saling membantu yang setara antara Paulus dan para penolong
atau dermawan. Paulus melakukan pembalikan dan perombakan struktur-relasi
sosial patronase dalam masyarakat.
21
Walton, 223
22
Ruth E. Siemens, „The Vital Role of Tentmaking in Paul‟s Mission
Strategy‟ in International Journal Of Frontier Mission, Vol 14:3 July-Sept 1997,
121-129.
9
Siemen mendorong warga gereja atau orang-orang Kristen untuk menjadi saksi, yang
menyaksikan Injil di dalam lingkungan kerja dan keahlian mereka sehari-hari.

Proyek Pekabaran Injil dan Pembangunan Komunitas Kristen Mandiri di Tesalonika

1. Konteks: Lokasi dan Latar Belakang Masyarakat/Jemaat.

Proyek ini dilakukan di Tesalonika, ibu kota propinsi Makedonia, pada awal tahun
50. Posisi Administratif Pemerintahan yang didukung oleh letak geografisnya
menjadikan Tesalonika sebuah kota penting dan strategis sebagai pusat pemerintahan
propinsi, kegiatan-kegiatan perekonomian, perdagangan dan perhubungan.23

Oleh karena itu, Tesalonika merupakan kota tujuan membanjirnya para imigran
dari wilayah-wilayah sekitarnya : para pedagang, tukang dan bekas budak, mantan
prajurit, pelarian politik, para perantau ekonomi, para ahli pidato dan penganjur ajaran
moral, agama dan filsafat tertentu. Tesalonika menjadi tumpuan harapan serta tujuan
utama gerak perpindahan penduduk, baik karena inisiatif sendiri maupun karena adanya
rekruitment tenaga-tenaga kerja tertentu. Gambaran ini menunjukkan bahwa penduduk
Tesalonika cukup padat dan sangat majemuk dari segi sosial, ekonomi, budaya dan
agama. Tesalonika pada zamannya adalah kota kosmpolitan yang terbuka dan dinamis
dalam interelasi, interkomunikasi, dan interaksi sosial lintas komponen masyarakatnya
baik secara horisontal maupun vertikal.

Kita perlu juga melihat secara lebih khusus stratifikasi sosial dengan kondisi-
kondisi sosio-ekonomi masyarakat Tesalonika pada masa Paulus (abad 1 masehi).
Struktur sosial masyarakatnya dibagi menjadi dalam dua kategori utama yaitu, kelas
atas dan kelas bawah. Struktur sosial kelas atas diduduki oleh kelompok para
bangsawan. Sekalipun jumlah atau prosentase mereka ini sangatlah kecil (1.k.20%),
tetapi posisi dan pengaruh mereka sangatlah dominan. Karena merekalah yang

23
Informasi mendalam tentang pokok ini lihat: Wayne E. Meeks, The
First Urban Christian. (New Haven & London: Yale University Press, 1983); John
Stambaugh and David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. (Jakarta:
BPK-GM, 1994); R.L. Rohrbaugh, “The Pre-Industrial City in Luke-Acts” dalam
Jerome H. Neyrey (ed.), The Social World of Luke-Acts. (Massachuset:
Hendrickson Publisher, 1991), p.128.
10
memegang dan mengedalikan kehidupan sosial ekonomi istimewa, seperti kedudukan
terhormat, perlindungan dan keringanan-keringanan tuntutan hukum hak atas bagian
terbesar atas bantuan dana atau makanan dari pemerintah dengan bagian yang diterima
oleh kaum miskin, yang sebenarnya lebih membutuhkannya. Bahkan kaum atas sering
mencemooh, tanpa rasa belas kasihan, apa yang mereka rumuskan sebagai stigmata
(noda-noda) kaum miskin, yakni kemalasan dan kejijikan serta mental budak kaum
miskin. Dan kaum bangsawan menganggap rendah pekerjaan tangan dari segala bentuk
pekerjaan yang dilakukan di bawah perintah orang lain.

Kelas bawah mencakup bagian terbesar dari populasi penduduk Tesalonika.


Mereka hidup di bawah pengusaan dan kontrol sosio, ekonomis dan politis kaum
bangsawan setempat. Kelas bawah ini terdiri dari: Pertama, para pemilik tanah sempit,
para tukang dan pemilik toko kecil. Kedua,orang-orang yang benar-benar miskin yang
tidak mempunyai harta milik, kaum miskin-papa (ptokeia). Kondisi dan kualitas
kehidupan mereka ini sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Banyak yang tidak
memiliki pekerjaan tetap dan tidak memiliki sumber daya material. Dan kebanyakan
mereka bekerja sebagai buruh-buruh harian lepas tanpa keahlian dan ketrampilan.
Mereka yang tidak memiliki pekerjaan menempuh jalan mencuri atau mengemis di
jalan-jalan guna mempertahankan hidupnya. Cara lain untuk mempertahankan
kehidupan adalah dengan mengikat diri pada seorang pelindung yang kuat dan kaya,
yang dapat memberikan makanan dan hiburan atau kesenangan untuk menghabiskan
waktu-waktu menganggur mereka. Kaum penganggur ini juga banyak yang hidup
menggelandang dan mengacau di pasar-pasar, bahkan dengan menyewakan tenaga atau
diri.24 Oleh karena itu kaum kelas atas memandang kaum miskin papa sebagai lahan
subur bagi penggalangan dukungan demi kepentingan-kepentingan ekonomi atau politik
mereka. Dan yang juga sangat mengenaskan dari pengalaman kehidupan kaum miskin
papa ini adalah kenyataan mereka sering dengan begitu mudahnya menjadi alat atau
mangsa penghasutan masal serta sasaran pengkambing-hitaman oleh pihak-pihak

24
Kisah Parasul 17:5 menyebutkan kelompok ini dengan sebutan agoraioi
yang berarti massa penganggur, tidak mempunyai pekerjaan suka bermalas-
malasan di lingkungan pasar-pasar dan memberikan diri mereka disewa sebagai
penghasut atau agitator yang menimbulkan kekacauan.
11
tertentu. Ketiga, kelompok yang status hukumnya sangat rendah dalam struktur
masyarakat, yakni para budak. Para filsuf Yunani menganggap para budak lebih rendah
martabatnya dari pada manusia. Sementara hukum Romawi menganggap mereka ini
sebagai harta-milik, sehingga mereka biasa diperlakukan tidak lebih daripada barang
dagangan/komoditi ekonomi semata.

Sebahagian besar anggota Jemaat dan simpatisannya terdiri dari masyarakat kelas
bawah, terutama kaum pekerja tangan (para tukang, I Tes. 4:11). Sangat pasti bahwa
dalam Jemaat Tesalonika terdapat kaum miskin papa dan para budak. Dalam II Kor.
8:2, secara gamblang Rasul Paulus mencirikan kondisi ekonomi jemaat-jemaat di
wilayah Makedonia termasuk Tesalonika, sebagai sangat miskin. Dalam teks itu Paulus
menggunakan ungkapan bathous ptokeia,25 yang menunjuk kepada kondisi kemiskinan
total, kemiskinan yang tidak bisa diukur lagi. Dalam konteks sedemikian Paulus bekerja
keras untuk menunjang kehidupan dan pelayanan pekabaran Injil timnya secara mandiri
(I Tes 2:9; I Kor 4:12; Kis 20:33-34). Agaknya situsi itu mendorong Paulus bersedia
menerima bantuan dana dari Jemaat Filipi, yang letaknya kurang lebih 150 Km dari
Tesalonika (Filipi 4: 16).

Dari sisi agama, Tesalonika merupakan sebuah pasar agama-agama yang sibuk dan
hidup. Beragam bentuk agama dan filsafat hadir dan bertumbuh berdampingan dan
berkompetisi meraih umat dan pengikut: agama-agama misteri, kultus lokal dan Kaisar
serta agama Yahudi. Masyarakat Tesalonika adalah tipe masyarakat yang sinkretistik
dalam kehidupan beragama dan pandangan hidup (filsafat).

2. Tujuan proyek Pekabaran Injil


Tujuan adalah bagian penting dari sebuah strategi proyek di mana secara jelas
dinyatakan target yang akan dicapai. Charles A. Wannamaker merumuskan dua tujuan
misi Paulus, yang terkait dengan penanaman kepercayaan dan pola perilaku Kristiani
dan membangun model kehidupan baru berbasis iman dan komitmen kepada Allah di

25
Secara leksikal kata ptookhos menunjuk pada kondisi orang miskin
yang tidak memiliki sumber daya material sehingga untuk hidup dia meminta-
minta atau mengemis dan bahkan cara-cara illegal lainnya. Dalam tkes ini Paulus
menambahkan kata bathous untuk memperkuat gambaran kondisi kesangat-
miskinan umat yang masif.
12
tengah masyarakat.26 Abraham J. Malherbe27 menyimpulkan bahwa Paulus terus
berkomunikasi dengan mereka dalam rangka menjamin kelangsungan pengasuhan dan
pendampingan umat untuk membangun kehidupan di mana mereka saling
meperhatikan dan menguatkan. Dan sejak awal Malherbe telah menyatakan bahwa
“Rather than simply organize a church, Paul founded, shaped, and nurtured a
community. In so doing, he was sensitive to the needs of individuals within the
community who had committed themselves to new beliefs and a new way oflife. Paul
was, in fact, engaged in pastoral care, although he does not describe the enterprise in
that manner.”28 Malherbe menekankan bahwa karya misi Paulus di Tesalonika adalah
karya terencana dan berkelanjutan pengembangan jemaat atau gereja Kristen berbasis
komunitas. Gereja adalah komunitas Kristen yang hidup berdampingan dengan ragam
komunitas lainnya dalam masyarakat Tesalonika. Bertolak dari pendekatan sosiologi,
Malherbe menguraikan tiga tahapan pengembangan komunitas Kristen, yakni founding
the community, shaping the community, dan nurturing the community.
Saya merumuskan dua tujuan utama dalam usaha Pekabaran Injil dan
Pembangunan Jemaat yang dilakukan oleh Paulus, yakni: (a) mengarahkan dan
mengakarkan pertumbuhan hidup para petobat baru pada kepercayaan dan pola-pola
perilaku serta sikap hidup Kristiani yang telah Paulus beritakan dan ajarkan -- “Hidup
berpadanan dengan Injil”; (b) membangun suatu komunitas alternatif yang dewasa dan
mandiri di tengah masyarakat Tesalonika pada masa itu. Kemandirian yang Paulus
maksudkan ialah (i) kemandirian hidup moral spiritual (I Tes 4:1-8) dan (ii)
kemandirian di bidang finansial ekonomi (I Tes 4:11-12). Dalam kemandirian
sedemikian Jemaat Tesalonika didiasuh dan didampingi secara intensif agar mereka
‟boleh hidup secara layak dihadapan orang luar dan tidak bergantung pada orang
asing’(I Tes 4:12).
Dengan demikian di satu pihak kehadiran dan pertumbuhan Jemaat dapatlah
menunjukkan identitas kristiani/injili yang jelas di tengah-tengah masyarakat yang

26
Charles A. Wannamaker, Commentary On 1&2 Thessalonians (Grand
Rapids Michigan: William B. Eerdmans, 1990), 10.
27
Abraham J. Malherbe, Paul and the Thessalonians: Philosophic
Tradition of Pastoral Care (Pgiladelphia: Fortess Press, 1987)
28
Malherbe, ibid. 1.
13
terbuka dan pada pihak lain dapat membawa dampak misiologis yang positif dan
konstruktif bagi lingkungan. Kedampakan etik-sosial dan misiologis ini sangat penting
mengingat penentangan yang ditunjukan oleh masyarakat Tesalonika. Masyarakat
Tesalonika sangat mencurigai komunitas Kristen dan malah terus berupaya
mengahalangi serta menghambat perkembangan kekristenan dengan tindakan-tindakan
yang keras.29
Dari isi doa pengucapan syukur Rasul Paulus atas kenyataan hidup dan
pertumbuhan Jemaat Tesalonika (I Tesalonika 1:2-10; 3:6-9), kita mendapat petunjuk
bahwa pergerakan kehidupan jemaat telah memperlihatkan tanda-tanda pertumbuhan
serta perkembangan yang sesuai dengan tujuan-tujuan yang digariskan sebelumnya
dan mampu eksis sebagai jemaat misioner sekalipun banyak mengalami
penghambatan dan penderitaan.
3. Strategi Misi Paulus
Dalam usaha untuk mengarahkan jemaat mencapai tujuan-tujuan pekabaran injil dan
pembangunan jemaat di atas, Rasul Paulus telah mempraktekkan konsisten satu strategi
misi. Strategi misi tersebut sebenarnya merupakan kombinasi utuh dari praktek-praktek
pelayanan Paulus dan kawan-kawan sebagai berikut:

a. Pemberitaan Injil massal, yang ia lakukan baik di bengkel kerjanya maupun di


penginapannya dan forum terbuka (bd. I Tes. 2:9).
b. Kerja keras malam dan siang sebagai seorang pengrajin dalam jemaat (I Tes. 2:9).
c. Pelayanan pastoral intensif warga jemaat (I Tes. 11-12).30
Dalam konteks I Tesalonika 2:1-12, tema pembicaraan tentang “memberitakan
Injil dan kerja keras sebagai pengrajin dan pedagang serta karya pelayanan pastoral penuh
kasih ini” dikemukakan oleh Paulus kepada jemaat secara tegas dalam kerangka
apologianya. Setelah Paulus harus meninggalkan Tesalonika, terlebih sesudah beberapa kali
ia gagal dalam usahanya untuk kembali menjumpai jemaat (bd. 2:17-18), kaum Yahudi lebih

29
lihat: I Tes 2:14-16 ; 3: 1-12.
30
Lihat riset dan uraian tentang pelayanan pendampingan dan karya
pastoral Paulus dalam konteks strategi misi dan pembangunan jemaat Tesalonika
oleh Abraham J. Malherbe, Paul and The Thessalonians: Philophic Tradition of
Pastoral Care (Philadelphia: Fortress Press, 1987)
14
mengintensipkan upaya agitatif mereka untuk mendiskreditkan Paulus dan kawan-
kawannya. Mereka menebarkan tuduhan-tuduhan agitatif bahwa Paulus dan kawan-
kawannya tidaklah berbeda dengan para pengkhotbah keliling kaum kafir, baik yang
menyebarkan agama (kultus) maupun filsafat tertentu. 31 Mereka digambarkan sebagai
pengkhotbah-pengkhotbah yang bergelimang kesesatan, kenajisan dan tipu yang selalu
menyampaikan khotbah/pidato dalam kata-kata bujukan sambil menyelubungi maksud-
maksud loba mereka (mereka dari hasil-hasil khotbah itu), dan suka menuntut/mencari
hormat dari arang lain (bd. 2:3-6).

Tuduhan-tuduhan agitatif itu sangat mengancam kredibilitas diri Paulus dan


kawan-kawan sekerjanya di mata jemaat. Apabila itu terjadi, maka akan berakibat buruk
pada relasi (keteladanan/penurutan) mereka dengan jemaat serta pertumbuhan jemaat.
Situasi demikianlah yang telah mendesak Paulus, di tengah-tengah suasana doa atau ucapan
syukur, segera mengemukakan dan menegaskan kembali karakter diri dan pelayanan mereka
yang sebenarnya dalam apologia.32 Bagi Paulus, pelayanan mereka tidak lain daripada
memberitakan Injil Allah, yang telah dipercayakan Allah kepada mereka, dan
penyelenggaraannya hanya dalam pertolongan sendiri (2:1-2,4; bd.1:5;2:13).
Karena seluruh pelayanan, yaitu keasalan, motivasi, isi, dan metodenya diarahkan
oleh Allah,33 maka tidaklah mungkin pelayanan mereka lahir dari kesesatan, kenajisan dan
tipu daya (2:3). Itu telah terbukti dari kenyataan bahwa selama di Tesalonika mereka tidak
pernah menggunakan kata-kata bujukan, atau menggunakan Injil untuk mengejar
kepentingan dan keuntungan finansial pribadi, tidak pernah menuntut hormat dari siapapun
(2:5-6). Malah sebaliknya, mereka rela melepaskan hak-hak sebagai rasul-rasul Kristus, di
mana dalam keramahan, kerendahan, dan kasih mereka melayani seperti seorang ibu yang

31
J.E. Frame, A Critical and Exegetical Commentary on The Epistle of
St. Paul to the Thessalonians (Edinburg: T & T Clark, 1979), 90; Leon Morris, The
Epistle of Paul to the Thessalonians (Leicester + Grand Rapids: Inter varsity Press
& Wm.B. Eerdmans, 1983), 18.
32
Perikop 2:1-12 ditata dalam kalimat-kalimat antitetis yang sangat jelas:
„sebab…,tetapi‟ (2:1,3,5-6 // 2:2,4,7-12). Penataan kalimat sedemikian mencirikan
perikop ini sebagai satu apologia.
33
Lihat Earl Richard, „Early Pauline Thought: An Analysis of 1
Thessalonians‟ dalam J. M. Bassler (ed.), Pauline Theology Volume I (
Minneapolis: Fortress Press, 1991), 49.
15
mengasuh dan merawat serta seorang bapa yang menasihati, menghibur dan mengarahkan
dengan kehidupan jemaat. Malah mereka bekerja keras untuk membiayai hidup mereka
sendiri (2:7-12). Jadi dengan apologinya ini, Paulus menyatakan secara tegas bahwa ia dan
kawan-kawan sekerjanya tidaklah sama dengan para pengkhotbah--keliling kaum kafir itu
jemaat sendiri tahu betul hal ini.
Pembelaan tersebut dikembangkan Paulus dari pengetahuan dan pengenalan
jemaat tentang hidup Paulus dan kawan-kawan selama dalam pelayanan di Tesalonika. Hal
ini diindikasikan oleh akumulasi penggunaan kata kerja oidate (kamu tahu; 1:5;2:1,5,
(9),11). Dalam konteks 2:1-12, kata kerja tampaknya dipakai dalam pengertian yang sama
dengan ginoskoo yang mengandung arti 'mengetahui, mengenal dan mem sesuatu keadaan,
benda, atau orang melalui pengamatan dalam pengalaman nyata'.34 Proses 'mengetahui'
seperti ini membawa kepada pengenalan yang bersifat pribadi dan mendalam. Jadi apa yang
dipaparkan oleh Paulus itu diketahui dan dapat diuji oleh jemaat sendiri terutama oleh
Tuhan. Karena itu Paulus dengan berani mengatakan: 'humeis martures kai ho theos...'
('kamu adalah saksi, demikian juga Tuhan...'; 2:10). Kita dapat membaca secara jelas dari
teks I Tesalonika 2:5-12 di bawah ini:35
5 a Sebab kami tidak pernah hadir dengan kata-kata
bujukan seperti kamu tahu,

b Juga tidak dengan maksud loba,

Tuhan adalah saksi,

6 a Juga tidak pernahh menuntut hormat dari manusia,


tidak dari kamu, tidak juga dari orang-orang lain,

b Walaupun kami dapat hadir dengan hak sebagai


rasul-rasul Kristus,

7 a Tetapi kami telah berlaku ramah di tengah-tengah


kamu,

b Seperti ibu yang merawat anak-anaknya sendiri,

34
Lihat: NIDNTT, 390-401; TDNT Vol. V, 116-dyb; TDNT Vol. I, 689-
692.
35
Merupakan terjemahan penulis sendiri yang diupayakan lebih harafiah.
16
8 a Karena begitu menyayangi kamu

b Kami rela memberikan kepada kamu

Bukan hanya Injil Allah, tetapi juga hidup kami.

9 a Sebab tentunya kamu masih ingat, saudara-saudara,


akan kerja keras dan penderitaan kami ;

b Sambil kami bekerja malam dan siang

Supaya tidak menjadi beban bagi siapapun dari


kamu

Kami telah memberitakan Injil Allah kepada kamu,

10 a Kamu adalah saksi-saksi, demikian juga Tuhan,

b Betapa saleh, adil dan tak bercacatnya kami

Telah berlaku di antara kamu yang percaya,

11 a Bahkan seperti kamu tahu

Bagaimana seperti seorang bapa terhadap anak-


anaknya sendiri, kami menasihati setiap orang dari
kamu

b Dan menghibur kamu

12 a Serta meminta kamu dengan sangat untuk hidup


menurut kehendak Allah

b Yang memanggil kamu ke dalam kerajaan dan


kemuliaanNya.

Dalam konteks pembelaan ini „bekerja dengan tangan‟ (2:9) menjadi jangkar atau tuas
pembuktian kemandirian dan kesungguhan serta kemurnian motif maupun tujuan dalam
pelaksanaan pemberintaan Injil dan pelayanan pastoral Paulus. Sekali lagi pembuktian diri
ini diajukan oleh Paulus bertolak dari bukan saja pengetahuan umat sendiri,36 tetapi dari

36
Ingat penggunaan kata iodate pada ayat 5 yang sepadan dengan makna
kata ginoskoo.
17
ingatan sosial (social memory)37 atau ingatan bersama (shared memory) umat yang di
dalamnya Paulus dan kawan-kawan sekerjanya terlibat langsung. Konsep ingatan sosial ini
menggarisbawahi bahwa suatu komunitas memiliki sejarah bersama bagaimana mereka
membangun dan membentuk eksistensi mereka. Oleh karena itu ingatan sosial terkait
langsung dengan kesadaran dan pengetahuan diri, identitas serta loyalitas, harapan dan
tujuan komunitas. Ingatan sosial jalin menjalin dengan pengalaman-pengalaman bersama.
Hal ini tampak dari kata kerja utama yang digunakan oleh Paulus pada ayat 9a “Sebab
tentunya kamu masih ingat, saudara-saudara, akan kerja keras dan penderitaan kami.”38
Ungkapan ‟tentunya kamu masih ingat‟ merupakan terjemahan dari „mneemoneuete‟ yang
memiliki dua ragam (modus) kata kerja, yakni indikatif dan imperatif (presen-aktif).
Mengikuti ragam indikatif, kata kerja utama ini diterjemahkan sedemikian atau mengikuti
Lembaga Alkitab Indonesia (TB-1974): “Sebab kamu masih ingat…” yang menegaskan
bahwa umat sungguh-sungguh sedang mengingat atau pola hidup dan kerja serta pelayanan
Paulus dan kawan-kawannya masih tersimpan rapih dan berakar kuat dalam ingatan umat.
Tetapi dalam konteks tafsiran ini kita perlu memperhatikan juga penterjemahan dan
pemaknaan dari sisi ragam imperative yang menekankan ajakan, nasihat, atau perintah untuk
terus menerus melakukan suatu tindakan39 sehingga menjadi kebiasaan dalam berpikir,
berperilaku, dan bertindak dalam keseharian hidup. Dan di sini kata kerja 'mneemoneute‟
(mengingat) menyandang makna 'memikirkan atau mempertimbangkan sesuatu hal,

37
Konsep social memory lihat George E. Vincent, „The Social Memory‟
in Minnesota History Bulletin Vol. 1, No. 5 (Feb., 1916), pp. 249-259 yang
diunduh dari http://www.jstor.org/stable/pdf/20160159.pdf pada Jumat, 17 Januari
2020, 08.30 WIT. Vincent antara lain menjelaskan basis, proses, dan tujuan
aktivasi social memory demikian: “A group people is bound together by
consciousness of a common past experience… By ceremonials, festivals,
celebration of anniversaries a society refreshes its recollection of the past and
renews its loyalty, hope, and purpose.”
38
Wannamaker, 99 menekankan kebaruan topik pembicaraan yang
diangkat oleh Paulus dalam ayat ini, yakni kerja kerasnya. Bagi saya kata „sebab‟
pada ayat ini tidak hanya menginidkasikan kebaruan topik, tetapi juga pentingnya
atau keutamaan topik ini dalam konteks apologianya.
39
Lihat Ward Powers, Learn to Read The Greek New Testament (Sidney:
ANZEA Publisher, 1983), 51; J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang:
SAAT, 1987), 56.
18
peristiwa perkataan atau orang di masa lampau sebagai teladan (preseden) untuk masa kini
dan akan datang'.40 Itu berarti kata 'mengingat' di sini memainkan peranan penting dalam
dengan perilaku hidup pendengar atau pembaca (bd. Luk. Yoh.15:20; Efs.2:11; Ko1.4:18;
Ibr.13:7,dll.). Dengan demikian ingatan sosial umat tidak hanya digunakan sebagai basis
apologianya, tetapi Paulus juga dengan sengaja menggunakan ingatan sosial umat akan kerja
keras dan usaha mandiri mereka dalam misi sebagai bahan dasar pengarahan, penguatan,
dan pembentukan karakter umat.
Secara khusus kerja keras sebagai pengrajin dan pedagang yang jalin-menjalin
dengan kerja keras mengabarkan Injil dan pelayanan pastoral intesif merupakan jalan hidup
untuk memperjuangkan prinsip kemandirian ekonomi dalam hal ini pendanaan pelayanan
dan pembangunan jemaat serta hidup sesehari mereka (bd. Kis 20:34-35). Rasul Paulus
menggeluti pekerjaan sebagai seorang pengelola kulit yang menghasilkan ragam produk
seperti kasut, pelana, dan tenda/kemah (Kisah Para Rasul 18:3: skenopoios, pembuat
kemah).41 Hock menyimpulkan bahwa kehidupan para pekerja tangan sama sekali tidaklah
mudah. Sekurang-kurangnya seorang pekerja tangan dapat memperoleh makanannya
sesehari, kalau bekerja keras dan cukup lama. Mereka harus bekerja membanting tulang
seharian penuh di tempat kerja. Rasul Paulus menulis bahwa mereka bekerja „malam dan
siang‟ (I Tes.2:9b). Pekerjaan mengolah kulit sampai menghasilkan produk adalah pekerjaan
yang menguras tenaga, pikiran, dan perhatian serta sering mengakibatkan kelelahan,
frustrasi dan sakit42-- karena pekerjaan ini tidaklah mudah, penuh tantangan dan kesulitan.

Belum lagi berbagai stigma (noda/cela) yang sering dikenakan pada mereka. Stigma
utama yang dikenakan pada mereka adalah bahwa mereka dipandang seperti budak. Oleh
karena itu orang-orang yang menggeluti pekerjaan-pekerjaan dengan tangan itu dianggap
rendah martabatnya. Mereka juga dinilai sebagai orang-orang yang tidak mampu mencapai
kebijakan dan tidak terdidik. Akibat-akibat lanjut adalah mereka mengalami perlakuan-

40
Lihat: TDNT Vol. 3, 240 – dyb; M. Barth, Ephesians 1-3 (New York:
Double Day, 1974), 147.
41
Penjelasan tentang pekerjaan Rasul Paulus, lihat Ronald F. Hock, The
Social Context of Paul’s Ministry (Philadelphia: Fortress Press, 1980, 20-21)
42
Perhatikan kata-kata Yunani pada I Tesalonika 2:9a: ton kopon … ton
mokhton, yang diterjemahkan oleh LAI dengan „jerih lelah dan usaha‟ atau dalam
terjemahan lain „kerja keras dan penderitaan.‟
19
perlakuan mengenaskan, seperti cercaan, kekerasan, dan dijadikan korban sosial-ekonomi
kelas atas.

Konteks sosial yang merupakan lokasi keseharian sebagai pengrajin dan pedagang
produk kulit ini adalah workshop atau bengkel kerja dan dagang di pasar. Agaknya di
samping rumah Yason, bengkel kerja dan pasar merupakan lokasi sosial utama yang
menjadi arena kerja, usaha, dan misi Paulus. Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan di
bengkel kerja.

Dari latar belakang kehidupannya, kita tahu bahwa Paulus menggeluti pekerjaan
tersebut bukan sekedarnya saja, tetapi secara penuh dan serius sebagai mata pencaharian.
Untuk pekerjaan tersebut Rasul Paulus sendiri adalah seorang tukang yang ahli di
bidangnya.43 Keahlian dan ketrampilan kerja serta usaha Paulus itu diperolehnya karena
mengikuti masa permagangan (apprenticeship). Setiap anak laki-laki Yahudi harus
mempelajari satu keahlian kerja dan usaha. Talmud Kiddhusin menyebutkan salah satu
kewajiban seorang ayah terhadap anak-anak lelakinya: 'ajarilah dia Torat dan ajarilah dia
satu keahlian/ketrampilan'. Dengan ini jelas bahwa para bijak Yahudi telah menjadikan
pendidikan keahlian/ketrampilan kerja dan usaha sebagai satu perintah moral-relijius.
Biasanya hal tersebut mulai pada usia tiga belas tahun -- sesudah menamatkan studi Torah
dasar (beth sefer dan beth talmud) dan bersamaan dengan pendidikan Torat lanjutan (beth
midrash) -- anak laki-laki diajarkan keahlian kerja dan secara parlahan-lahan diperkenalkan
dengan dunia usaha. Permagangan itu dijalani di bawah bimbingan sang ayah atau paman
atau seorang tukang yang ahli selama beberapa tahun.
Menurut Hock,44 pada usia 13-15 tahun Paulus telah mengikuti masa
permagangan yang ketat dibengkel kerja ayahnya sendiri dalam suasana penuh disiplin yang
ketat dan di bawah standar-standar kerja yang dituntut sebagai pengrajin kulit (bd. Yesus
adalah seorang tukang kayu, mengikuti keahlian ayahnya, Yusuf, Mrk. 6:3). Sementara G.
Bornkamm, mengajukan pendapat lain bahwa Paulus mengikuti permagangan

43
Penjelasan tentang latar belakang keahlian kerja dan dagang Rasul Paulus, lihat:
S.Safrai and M. Stern, The Jewish People in The First Century Volume 2
(Assen/Amsterdam: Van Gorcum, 1976, 684)
44
Hock, ibid., 23-24; G. Bornkamm, Paul (London: Hodder and
Stoughton, 1985), 12.
20
(apprenticeship) sewaktu ia mengikuti pendidikan Torat lanjut di Yerusalem untuk menjadi
seorang rabi. Sesuai dengan tuntutan pendidikan dan tugas kerabian, seorang rabi harus
memiliki keahlian kerja dan usaha, karena dalam tugasnya nanti ia tidak boleh memungut
bayaran, ia harus mandiri dalam hal pembiayaan hidupnya.
Memang ternyata bahwa tidak menjadi beban bagi siapapun dengan bekerja keras telah
menjadi prinsip hidup yang selalu Rasul Paulus perjuangkan dan pertahankan sepanjang
karya misi dan pelayananannya sebagaimana pernah ia tegaskan sendiri kepada jemaat
Korintus : “Aku telah menjaga dan akan terus menjaga supaya diriku sendiri tidak menjadi
beban bagi kamu dalam segala hal.”45 Dengan model hidup kerja keras sedemikian Rasul
Paulus hendak menampilkan satu model kehidupan pelayanan yang didorong oleh motif-
motif murni dan tulus. Dia dan kawan-kawan berbeda dengan para filsuf dan penghotbah
keliling masa itu, yang mencari untung dan pendapatan dengan berbagai cara. Dia ingin
membuktikan bahwa keterlibatannya dalam usaha-usaha pekabaran injil dan pembangunan
jemaat tak sedikitpun terjangkiti oleh motif mencari keuntungan pribadi (ketamakan),
kedudukan, nama dan kehormatan (I Tes 2:5-6). Bahkan Rasul Paulus katakan: “Karena
begitu menyayangi kamu, kami rela memberikan kepada kamu bukan hanya Injil Allah,
tetapi jua hidup kami” ( I Tesalonika 2:8). Ayat ini menjadi konteks terdekat yang
memberikan latar belakang bagi ayat 9, di mana „memberikan hidup” menjadi basis
spiritual-etik-misiologis hidup kerja keras dan usaha mandiri Paulus dan kawan-kawan
sekerjanya.g

Dalam nasehat pastoralnya Rasul Paulus terus menerus mengingatkan warga


jemaat untuk meneladani sikap hidupnya itu (I Tes 4:11-12; II Tes 3:7-9). Rasul Paulus
memberi perhatian serius kepada warga yang kurang menghargai kerja keras. Karena orang
yang tidak bekerja sering terjebak dalam lingkaran pengganggu masyarakat/jemaat, yaitu
orang-orang yang suka mencampuri urusan orang lain, orang-orang sibuk dengan hal-hal
yang tidak berguna (periergazomenous/periergazomai: bussy-bodies, II Tes 3:11). Orang
yang tidak menghargai hidup kerja keras sering terperangkap pula dengan apa yang dikenal
dengan penyakit-penyakit sosial, seperti “pelacuran” (bd. porneia, I Tes 4:3 ; I Kor 6: 16-
18), “penipuan atau pemerasan‖(bd. pleoneksia I Tes 4:3 ; I Kor 4 : 10), “pencuri‖ (bd.

45
terjemahan harafiah dari I Kor 11:9c
21
klepteto, Efesus 4:28). Paulus juga sangat mengetahui bahwa betapa mengerikannya bila
warga jemaat menjadi sasaran tindakan pengkambinghitaman atau alat politik-ekonomis
pihak-pihak lainnya dalam masyarakat (lihat : konteks).
Dalam I Tes 4:11-12 Rasul Paulus menegaskan bahwa dengan tetap bekerja keras
warga jemaat dapat menampilkan satu model hidup yang layak di tengah-tengah masyarakat
dan tidak bergantung pada orang lain. Baik dari kehidupan pribadinya maupun dari
rangkaian nasehat pastoralnya, kita temukan bahwa betapa pentingnya tema etos kerja dan
kemandirian dalam strategi misi serta pembangunan jemaat yang dijalankan oleh Rasul
Paulus. Dengan kata lain Paulus menghendaki supaya semangat dan budaya menolong diri
sendiri melalui berbagai usaha atau kerja mandiri (kewirausahaan ) ditumbuh-kembangkan
dalam kehidupan warga gereja.

Kalau kita memperhatikan konteks I Tes 4:1-12 jelas pula bahwa tuntutan untuk
memliki etos kerja dan kemandirian tidak hanya berkaitan dengan tuntutan hidup secara
layak dihadapan orang-orang luar (tuntutan etis, I Tes 4:12a), tetapi juga terkait erat dengan
tuntutan hidup sesuai dengan kehendak Allah (tuntutan teologis, I Tes. 4:1). Jadi tanggung
jawab untuk menumbuh kembangkan etos kerja dan kemandirian dalam pelayanan dan
pembangunan jemaat merupakan tuntutan etis teologis dalam pengembangan jemaat atau
komunitas kristen mandiri di manapun sepanjang sejarah manudia dan dunia.
Beberapa Catatan Reflektif
1. Strategi misi Paulus memberikan perhatian dan tekanan yang sama baik kepada aspek
pengembangan kemandirian moral – spiritual maupun aspek pengembangan
kemandirian ekonomi (kesejahteraan). Kenyataan, strategi ini menjadi sangat menarik
kalau kita memerhatikan suasana (konteks) kerohanian jemaat saat itu. Rasul paulus
dan jemaat percaya bahwa kedatangan kembali Yesus Kristus sebagai hakim dan
penyelamat sudah sangat dekat (I Tes 4:15-17 ; I Kor 7:29; 15:4-dyb). Dalam kondisi
penantian parousia yang sudah sangat dekat itu, bagi jemaat tentunya hal menyiapkan
diri menyambut kedatangan Yesus Kristus ini sangat penting sekarang. Dan memang
untuk itu pula Rasul Paulus banyak menasehati jemaat untuk mempersiapkan diri
secara baik (lihat : nasehat-nasehat moral spiritualnya, I Tes 4:1-3 ; 13-18 ; 5:1-11).
Tetapi pada sisi lain, Rasul Paulus sadar betul bahwa semangat penatian dan
pengharapan parousia akan berkembang menjadi suatu “antusiasme keagamaan”

22
(semangat keagamaan yang berlebihan). Antusiasiasme keagamaan tersebut sering
menggiring dan menjebak penganutnya dalam spiritualitas semu yaitu pengarahan
hidup kepada dunia yang lain dan mengabaikan tanggungjawab dalam hidup sehari-hari
(otherwordlly ascetism, bd. II Tes 3:1-15). Karena sikap berat sebelah tersebut akan
mengakibatkan sikap yang lebih fatal lagi, yakni sikap suka melarikan diri dari dunia
nyata (escapism attitude) ketika harus berhadapan dengan realitas pergumulan dan
tantangan hidup sesehari.
Pemberitaan Kristen yang sangat menekan orientasi (pengarahan hidup) hanya
kepada hal-hal rohani sorgawi sering tanpa disadari memperkuat padangan dualisme
dimana orang memisahkan antara dunia-atas dan dunia-bawah. Kehidupan dalam
dunia bawah yakni kehidupan sehari-hari sering dipandang sebagai suatu masa
kehidupan yang penuh dengan penderitaan dan nilainya rendah. Oleh karena itu orang
harus berjuang untuk bisa segera lepas dari cengkaraman dunia bawah ini. Gejala
kerohanian seperti ini mendorong orang percaya untuk tidak terlalu memusingkan diri
dengan tugas-tugas dan tanggung jawab dalam hidup sehari-hari. Bagi mereka yang
penting adalah mengarahkan pikiran dan hati kepada dunia atas (dunia seberang).
Dalam lingkup budaya di Papua, sebagai contoh, kita mengenal satu gejala
kebudayaan (religi) yang disebut kultus kargo (cargo cults). Ciri khas dari kultus kargo
ini adalah penantian atau pengharapan akan terjadinya perubahan yang radikal dalam
kehidupan sosial, ekonomi bahkan dalam hal-hal yang berhubungan dengan tatanan
alam semesta. Untuk memasuki atau zaman baru itu beberapa kegiatan upacara
keagamaan harus dijalani. Kedatangan zaman baru itu ditandai dengan kembalinya para
nenek moyang yang dipimpin oleh semacam tokoh penyelamat (pahlawan budaya) dari
masa lampau. Mereka kembali dengan membawa “Kargo‖, yakni makanan, pakaian,
dan barang-barang lainnya, pembangunan ekonomi, uang, kemajuan teknologi,
pembebasan dari penindasan, damai, keadilan sosial, status, dll.46 Gejala kultus kargo
ini dapat kita temukan misalnya dalam kepercayaan orang Marind tentang Woliu.
Orang Marind percaya bahwa apa yang mereka alami sekarang (kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, penyakit, dll) adalah akibat kutukan Woliu atas perbuatan
para leluhur mereka yang telah membunuhnya di masa lampau. Menurut kepercayaan

46
Strelan Godschalk, Kargoisme di Melanesia,2
23
ini, kejadian hidup mereka akan tetap demikian sampai Woliu datang kembali. Apapun
yang mereka usahakan atau lakukan tidak akan merubah hidup mereka sekarang. Oleh
karena itu orang Marind cenderung bersikap pasrah saja menerima kenyataan hidup
yang sedang dijalaninya, tanpa keharusan untuk merubahnya. 47 – masyarakat
dicengkeram oleh pandangan hidup fatalisme (nasib ya nasib, mau apa lagi). Konteks
keagamaan dan budaya diatas mengingatkan kita bahwa sering tanpa disadari, orientasi
pemberitaan dan pelayanan kita yang berat sebelah (penekanan hanya pada hal-hal
rohani sorgawi) malah menyuburkan pandangan hidup dan kepercayaan serta sikap
sosial-budaya yang menghambat gerak pertumbuhan serta perkembangan
jemaat/gereja.
2. Pengembangan etos kerja dan kemandirian hidup, di samping kemandirian etika-moral-
spiritual, jelas merupakan salah satu pilar penting dan menentukan dalam kerangka
strategi pekabaran injil dan pembangunan jemaat-jemaat misioner. Dalam rumusan
lain, dapat dikatakan bahwa pengembangan etos kerja dan kemandirian hidup adalah
tuntutan etis, teologis dan misiologis. Dalam usahanya menumbuh-kembangkan
semangat dan budaya (etos) menolong diri sendiri melalui berbagai usaha/kerja mandiri
dalam kehidupan warga jemaat Rasul Paulus tidak hanya memberikan arahan melalui
nasehat-nasehat pastoral, tetapi juga terutama melalui keteladanan hidup kerja kerasnya
sendiri (I Tes 2:9). Rasul Paulus tidak mau terjebak dalam perangkap verbalisme
(hanya kata-kata).48 Disini keteladanan-kepeloporan telah berfungsi sebagai suatu
model pelayanan yang sangat berarti dan efektif bagi upaya-upaya pengembangan etos
kerja dan kemandirian hidup jemaat. Karena karya keteladanan-kepeloporan tidak lain
dari pada pernyataan solidaritas yang memberdayakan dengan mereka yang lemah dan
tidak berdaya serta terperangkap dalam lingkaran budaya kemiskinan. Paulus
menyatakan bahwa keteladanan-kepeloporan merupakan bagian dari pernyataankasih

47
Uraian singkat tentang beberapa gerakan kultus kargo di wilayah
selatan Papua, lihat : John G. Strelan dan Jan A. Godschalk, Kargoisme di
Melanesia: Suatu Study Tentang Sejarah Dan Teologi Kultus Kargo (Jayapura:
Pusat Studi Irian Jaya) 45-54
48
Istilah populernya sekarang disusun dalam semacam akronim
“NATO”: No Action Talk Only (Tidak ada tindakan atau karya nyata, tetapi Cuma
bicara, ngomong doang!!).
24
yang memberikan hidup kepada umat. Masyarakat pedesaan-pedalaman yang miskin
dan tidak berdaya membutuhkan pendampingan yang lahir dari solidaritas sejati
tersebut. Dengan demikian usaha-usaha pemberdayaan jemaat atau masyarakat
haruslah dilakukan melalui keteladanan. Dalam hal ini program-program pelayanan
diakonis melalui karya-karya sosial dapatlah menjadi alternatif terbaik. Itu berarti
gereja-gereja harus memberi perhatian penuh untuk mengembangkan bentuk-bentuk
pelayanan diakonia reformatif dan transformatif melalui institusi-institusi yang telah
ada seperti yayasan-yayasan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan koperasi serta
kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah dan lintas lembaga swadaya masyarakat.
Bersamaan dengan itu kita tidak boleh mengabaikan peranan kepemimpinan
gereja dalam pengembangan etos kerja dan kemandirian demi pemberdayaan jemaat.
Di sini para pelayan harus mampu berperan sebagai seorang motivator, yaitu memberi
inspirasi dan dorongan melalui contoh-contoh konkrit (pola pikir, sikap, semangat dan
cara kerjanya) demi pergerakan hidup masyarakat/jemaatnya menuju tingkat
kedewasaan dan kemandirian penuh. Model pendekatan pelayanan ini menjadi sangat
mendesak mengingat budaya masyarakat kita sangat bercorak paternalisitik artinya:
padangan dan gaya hidup masyarakat sangat berorientasi pada apa yang mereka
tangkap dari kehidupan pemuka mereka. Dan dalam proses belajar sosial (social
learning process) masyarakat masih sangat bergantung pada apa yang mereka lihat
dengan mata kepala sendiri (bd. berbagai tahapan upacara inisiasi dalam kebudayaan
masyarakat tradisional).
3. Strategi integratif Misi Paulus tetap relevan sebagai basis pengembangan model
menggereja masa kini. Di samping mengembangkan program-program diakonis-
partisipatif dalam model community organizing dan community development,
pelayanan pastoral dan pendidikan gereja pun patut mengintegrasikan materi dan
praktik kemandirian hidup serta kewirausahaan dan permagangan kerja atau model
workshop.
4. Strategi pekabaran Injil dan pembangunan Jemaat mandiri secara sosial-ekonomi
memang sangat relevan dengan pergumulan masyarakat atau jemaat. Sebagian besar
warga gereja tinggal dan hidup di wilayah-wilayah pedesaan-pedalaman yang terisolasi
dan terjajah baik secara geografis maupun sosial, budaya dan ekonomi. Dalam keadaan

25
demikian kemiskinan dan keterbelakangan menjadi realitas yang tak terhindarkan.
Sementara itu sumber daya alam (SDA) dibumi Papua begitu melimpah belum tergarap
secara baik. Di sisi lain, tingkat pengangguran pada angkatan kerja setiap tahun makin
meningkat. Pengangguran akan terus menjadi masalah nasional dan daerah yang perlu
mendapat perhatian serius. Karena kalau dipandang dari sisi ekonomi, semakin besar
jumlah pengangguran berarti semakin besar pula ongkos ekonomi (economi cost) dari
pengangguran. Disamping menimbulkan beberapa ongkos sosial (social cost), yaitu
timbulnya kerawanan-kerawanan dan gangguan-gangguan sosial, politik dan
keamanan. Pengangguran terjadi karena dalam kenyataannya jumlah pencari kerja
lebih banyak daripada jumlah kesempatan atau lowongan pekerjaan yang tersedia
dalam masyarakat. Realitas ini menunjukkan bahwa salah satu jalan terbaik untuk
mendapat pekerjaan adalah wirausaha (usaha mandiri). Maksudnya: sudah waktunya
bagi para pencari kerja untuk secara realitas berpikir dan berupaya keras menciptakan
lapangan kerja dan kesempatan usaha bagi dirinya sendiri. Berkaitan dengan pikiran
ini, DR Payaman J. Simanjuntak mengatakan :
“…, adalah merupakan keharusan sekarang ini mempersiapkan sebagian
besar angkatan kerja baru untuk mampu bekerja serta berwirausaha.
Seorang wirausahawan pada dasarnya harus memiliki sikap percaya diri
sendiri, selalu optimis, berorientasi pada prestasi, tekun dan bersedia
bekerja keras, banyak inisiatif dan inovasi, siap menghadapi tantangan dan
mengambil resiko, serta berpandangan jauh kedepan.”

5. Dibalik pelaksanaan dan keberhasilan strategi pelayanan Rasul Paulus diatas, masih
ada dua faktor penentu utama yang perlu kita perhatikan :

a. Hidup doa
Ditengah gelombang kerja keras dan pengabdiannya, Paulus tetap sadar akan
ketergantungan pelaksanaan misinya kepada Allah yang telah mempercayakan Injil-Nya
kepadanya. Karena bagi Paulus alat dalam tangan Allah pemilik Injil. Dan seluruh
karya pelayanan Injil, yaitu keasalan, motivasi, isi dan metodenya , sesungguhnya
diarahkan oleh Allah sendiri. Doa dan ucap syukur serta permohonan berkat menjadi
konteks-akar spiritualitas karya misi Rasul Paulus dan kawan-kawan sekerjanya
(perhatikan doa-doa syukur Paulus , I Tes 1: 2- dyb ; 3 : 10 ; 5 : 16-18). Hal ini
menunjukkan keterkaitan erat antara di satu sisi usaha internalisasi dan institusionalisasi
motivasi, kognisi dan norma-norma (ethos dan kultur kerja) baru dalam diri warga
26
komunitas dan pada pihak lain, penguatan relasi iman dan devosi para pemimpin
maupun warga.

b. Prinsip kerja sama (kolegialitas-Interdependensi)


Dalam pelaksanaan pekabaran Injil dan pembangunan jemaat, Rasul Paulus selalu
bekerja dalam semangat team (kelompok). Dia mencari dan mempersiapkan dengan
baik kawan-kawan sekerjanya (al. Titus, Timotius). Dia juga membangun “jaringan
kerja sama” yang baik dengan tokoh-tokoh maupun dengan warga jemaat setempat
(Akwila, Priskila, Apolos, Yason ; perhatikan pula bagian “salam” di akhir setiap
suratnya, al. Roma 16 : 1-16). Dan sangatlah menarik bahwa Paulus selalu menyapa
kawan-kawan sekerjanya maupun jemaat dengan panggilan khas lagi akrab: “kawan
sekerja Allah” dan “Saudaraku atau Saudara kita.” Prinsip kerja inilah yang terus
menerus Paulus perjuangkan dalam rangka pengorganisasian pelayanan di dalam dan
antar jemaat (lihat : I Kor 1 : 3 ; 12-14 ; 16 : 1-4 ; II Kor 8:9, menyangkut pemeliharaan
Koinonia dan pelaksanaan tanggung jawab Diakonia). Dalam semangat kerjasama ini
pula, kita bisa memperjuangkan kemandirian dalam konteks interdependensi yang
membebaskan. Kemandirian tidak mengandaikan suatu model hidup atomistik,
terpecah-pecah dan terpisah. Sebaliknya: kemandirian adalah jiwa otonomi yang tidak
diarahkan pada pemenuhan dan penjaminan kepentingan sendiri. Kemandirian ini adalah
pemberdayaan diri atau kelompok dalam satu jaringan saling ketergantungan dengan
individu atau kelompok lain. Kemandirian ini terkait dengan kesehatan dan
keberlangsungan suatu sistem. Kemandirian yang mengacu dan bertujuan pada bonum
commune (kesejahteraan bersama).

Penutup: Misi adalah strategi kebudayaan


Lewat nasihat-nasihat dan layanan pastoral, sebagai tahapan lanjut dari strategi
dan metode pekabaran Injilnya, Rasul Paulus sedang melaksanakan suatu strategi
kebudayaan dalam menghadapi kemiskinan dan warga miskin pada masanya. Rasul Paulus
sadar pula betapa kerasnya tekanan struktural kekuasaan ekonomi politik negara dan
penguasa. Paulus tahu bahwa penguasa sangat koruptif, kolutif, dan eksploitatif. Rakyat
hidup dalam kemiskinan sebagai akibat ketidakpedulian para pemegang kekuasaan. Terjadi
pola hubungan yang tidak seimbang dalam masyarakat, yakni relasi patron-klien.
Pemerintah/Penguasa menjadi patron dan masyarakat hidup sebagai klien. Masyarakat
27
sendiri telah sangat lama terkurung dalam lingkaran budaya miskin (poverty culture). Rasul
Paulus tidaklah mengabaikan realitas proses pemiskinan masyarakat kecil oleh struktur yang
menindas dan memeras, tetapi ia memilih untuk menangani persoalan lingkaran budaya
miskin yang telah melekat dan memperlemah masyarakat dari sisi dalam jemaat sendiri.
Untuk itu melalui pelayanan pastoral berbasis komunitas-komunitas jemaatnya, ia
melakukan perubahan dari dalam diri komunitas dan individu jemaat. Ini adalah model
strategi kebudayaan: mulai dari dalam kemudian ke luar. Dalam pendekatan transformasi
kultural emik-mikro ini, Rasul Paulus sebenarnya sedang membangun suatu kekuatan ethos
dan kultur baru dalam lingkup keumatannya: etos kerja mandiri dalam semangat
interdependensi. Rasul Paulus dengan strategi dan metodenya berusaha membangun
jemaat/komunitas Injili yang mampu membebaskan diri dari kurungan budaya kemiskinan
(poverty culture) dengan tujuan memperkokoh kemandirian komunitas (kemandirian sosial).
Dengan kata lain, Rasul Paulus ingin memotong atau memutuskan lingkaran setan proses
kemiskinan dan pemiskinan masyarakat bermula dari membangun etos dan kultur kerja
mandiri dalam diri jemaat atau komunitas Kristiani. Paulus ingin supaya budaya mandiri
dan prinsip self-help (menolong diri sendiri) betul-betul terinternalisasi dan bahkan ter-
institusionalisasi dalam diri warga komunitas. Inilah yang Rasul Paulus dambakan:
terbangunnya jemaat-jemaat atau komunitas-komunitas Kristen mandiri yang memiliki
budaya menolong diri sendiri dalam semangat saling memberdayakan secara
kolektif/bersama. Inilah model jemaat Kristen yang mampu eksis dan kehadirannya menjadi
kesaksian bagi lingkungan di mana ia berada. Inilah jemaat Kristen misioner!!! Strategi dan
metode serta spirit pekabaran Injil dan Pembangunan Jemaat terintegrasi ini kemudian
dipraktekan dan diperluas dalam sejarah. Dan memang handal.

28
Daftar Kepustakaan
Brown, Collin (ed.), The New International Dictionary of New New Testament Theology.
Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1980.
Bruce, F. F., The Book of Acts. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1988.
Burke, Trevor J. and Brian S. Rosner (eds.), Paul As Missionary: Identity, Activity,
Theology, and Practice (London: T&T Clark International, 2011), 220-233.
Fletcher, Verne H., Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 1990), 307 pernah menyitir kondisi
ini dalam kaitan dengan pembahasan etika Paulus.
Frame, J. E., A Critical and Exegetical Commentary on The Epistle of St. Paul to the
Thessalonians. Edinburg: T & T Clark, 1979.
Helweldery, Ronald, Bekerjalah Dengan Tanganmu – Suatu Studi Eksegetis Terhadap I
Tesalonika 2:9 dan 4:11-12 Serta Implikasinya Bagi Pengembangan Etos Kerja
dan Kemandirian di Lingkungan Jemaat-Jemaat GMIT. (Skripsi, Kupang,1996).
Hock, Ronald F., The Social Context of Paul’s Ministry: Tentmaking and Apostleship.
Philadelphia: Fotress Press, 1980.
Kittel, G. (ed.), Theological Dictionary of The New Testament Vol. I & Vol.V. Grand
Rapids, Michigan:Wm.B. Eerdmans, 1973.
Krodel, Gerhard A., Acts. Minneapolis, Minnesota: Ausburg Publishing House, 1986.
Malherbe, Abraham J., Paul and The Thessalonians: Philophic Tradition of Pastoral Care
Philadelphia: Fortress Press, 1987.
Malherbe, Abraham J., Paul and the Thessalonians: Philosophic Tradition of Pastoral Care
Philadelphia: Fortess Press, 1987.
Marshal, I. Howard, Acts. Leicester - Grand Rapids: Inter-Varsity Press – Wm. B. Eerdmans
Publishing Company, 1987.
Meeks, Wayne E., The First Urban Christians: The Social World of The Apostle Paul (New
Haven and London: Yale University Press, 2003), 16-17.
Neil, William, The Acts Of The Apostles. London: Oliphants, 1973.
Nohr, Joel N., „Became A Slave to All: Paul‟s Tentmaking As A Strategy for Mission‟ in
Currents in Theology And Mission 34:3 (June 2007), 179-1887.
Perrin, Norman and Dennis Dulling, The New Testament – An Introduction. New York:
Harcourt Brace Jovanivich, 1982.
Pervo, Richard I., Acts. Minneapolis: Fortress Press, 2009 .
Powers, Ward, Learn to Read The Greek New Testament. Sidney: ANZEA Publisher, 1983.
Richard, Earl, „Early Pauline Thought: An Analysis of 1 Thessalonians‟ dalam J. M. Bassler
(ed.), Pauline Theology Volume I. Minneapolis: Fortress Press, 1991.
Rohrbaugh, R.L., “The Pre-Industrial City in Luke-Acts” dalam Jerome H. Neyrey (ed.),
The Social World of Luke-Acts. Massachuset: Hendrickson Publisher, 1991.
Safrai,S. and M. Stern, The Jewish People in The First Century Volume 2.
Assen/Amsterdam: Van Gorcum, 1976.
Sanders, E.P., Paul: The Apostle’s Life, Letters, and Thoughts. Minneapolis: Fortress Press,
2015.
Siemnens, Ruth E.,‟The Vital Role of Tentmaking in Paul‟s Mission Strategy‟in
International Journal of Frontier Missions Vol 14:3 July-Sept 1997, pp.121-129;

29
Stambaugh, John and David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK-
GM, 1994.
Strelan, John G. Kargoisme di Melanesia: Suatu Studi Tentang Sejarah dan Teologi Kultus
Kargo. Jayapura: Pusat Studi Irian Jaya, 1989
Vincent, George E., „The Social Memory‟ in Minnesota History Bulletin Vol. 1, No. 5 (Feb.,
1916), pp. 249-259 yang diunduh dari
http://www.jstor.org/stable/pdf/20160159.pdf pada Jumat, 17 Januari 2020, 08.30
WIT.
Wannamaker, Charles A., Commentary On 1&2 Thessalonians. Grand Rapids Michigan:
William B. Eerdmans, 1990
Weber. Max The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism. New York: Charles
Scribner‟s Sons, 1976
Wenham, J. W., Bahasa Yunani Koine. Malang: SAAT, 1987.
White, John L., „Ancient Greek Letters‟ in David E. Aune (ed.), Greco-Roman Literarture
And The New testament: Selected Forms And Genres (Atlanta, Georgia: Scholars
Press, 1987), 85-105.

30

Anda mungkin juga menyukai