Anda di halaman 1dari 18

PENDIDIKAN ISLAM PLURAL-MULTIKULTURAL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Sosiologi Pendidikan Islam

Dosen Pengampu: Dr. Hj. Nuraeni Abdullah, M.Ag.

MAKALAH

Disusun Oleh:
Kameriah Saraswati
0006.03.49.2021

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan dan pengetahuan sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan dengan tepat waktu.
Tidak lupa pula, penulis ucapkan terimakasih kepada dosen, teman-teman dan
orangtua yang telah ikut berkontribusi mendukung dan memberikan semangat serta
beberapa ide sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan pemahaman dam membantu
pembaca dalam menambah pengetahuan luas mengenai ilmu-ilmu yang akan
dibahas nanti. Terlepas dari itu juga, penulis sadar akan banyaknya kekurangan
yang ada dari susunan maupun isi makalah ini sehingga penulis berharap akan
adanya kritik serta saran yang bersifat membangun terciptanya makalah yang lebih
baik lagi kedepannya.

Makassar, April 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I .......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

A. Latar Belakang.....................................................................................................4

B. Rumusan Masalah ...............................................................................................6

C. Tujuan ..................................................................................................................6

BAB II......................................................................................................................6

PEMBAHASAN .....................................................................................................7

A. Defenisi Plurallisme dan Multikulturalisme……………………………...……7

B. Perspektif Islam Tentang Pendidikan Pluralisme dan Multikulturalisme .........10

BAB III ..................................................................................................................17

PENUTUP.............................................................................................................17

A. Kesimpulan ........................................................................................................17

B. Saran ..................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA ….………………………………………………………..18

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era pluralisme dan multikulturalisme, Pendidikan Agama Islam
sedang mendapat tantangan karena ketidak mampuannya dalam membebaskan
peserta didik keluar dari ekslusivitas beragama. 1 Diperlukan upaya-upaya
preventif agar hal ini tidak menjadi bumerang bagi Islam. Kita ketahui bahwa
Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia maka
Islam sebenarnya berpeluang besar mempengaruhi tata hidup kemasyarakatan
dan kebangsaan di tanah air.2 Melihat konteks tersebut, kaum muslim perlu
menyadari bahwa kedudukannya sebagai umat mayoritas perlu dibarengi
dengan sikap apresiatif dan penghargaan terhadap hak-hak keagamaan dan
apresiasi sosial-politik kelompok non-Muslim.
Sebagai syarat membangun kesadaran multikultural di tengah arus
globalisasi, perlu adanya proses penyadaran akan ajaran agama Islam. Dimana
Islam adalah bersifat Inklusif (dalam tataran sosial) dan eksklusif dalam tataran
theology (ketuhanan/tauhid), hal ini menjadi penting agar tidak ada proses
pengkaburan di salah satu sisi dari ajaran agama Islam sendiri di tengah era-
pluralisme dan multikulturalisme serta memposisikan Islam sebagai agama
yang mampu berkembang menjawab perubahan sosial di negara yang
demokratis seperti negara Republik Indonesia.
Pendidikan dalam Islam tidak sesempit yang dipahami oleh segelintir
orang, yakni adanya di antara mereka memahami pendidikan Islam hanya
berkisar pada pendidikan rohaniah semata, tanpa menyentuh pendidikan yang
sifatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Demikian pula
bahwa sangatlah tidak tepat anggapan yang mengatakan Islam itu sangat
eksklusif dan tertutup, tidak siap menerima perbedaan dan keragaman. Oleh
karena itu untuk menilai Islam, seseorang harus memahami Islam secara

1 Husniyatus Salamah Zainiyati, Pendidikan Multikultural Upaya Membangun

Keberagamaan Inklusif Di Sekolah. Jurnal Islamika, (Vol.1, no. 2, Maret 2007 ), hlm. 135.
2 Mahmud Arif, Pendidikan Agama Islam Inklusif Multikultural. Jurnal Jurusan

Pendidikan Agama Islam, (Vol. I, no 1, Juni 2012/1433), hlm. 2.

4
sempurna atau secara kaffah. Dari segi historis misalnya, Islam telah
mempraktekkan hidup rukun dalam keragaman, Nabi saw. membangun
Yatsrib yang kemudian menjadi pusat pemerintahan, yang ditandai dengan
perubahan nama menjadi Madinah yang terdiri atas keragaman etnis dan latar
belakang agama dan kepercayaan, Nabi menerapkan konsep Al-Qur’an tidak
memaksakan umat non-Islam untuk terjadinya konversi ke Islam. Dengan
ikhlas umat Islam membangun kebersaamaan yang plural di Madinah.
Maka sangatlah tidak tepat bagi yang sering membuat statement yang
seakan konsep pendidikan Islam hanya berkisar pada pencapaian kehidup an
rohani penganutnya dan tidak menyentuh kehidupan umat yang secara
menyeluruh (universalisme). Bahkan kalangan muslim yang tidak mempelajari
Islam secara detail dan universal (kaffah) dengan mudah menyerap konsep-
konsep pendidikan yang datangnya dari luar Islam yang nota bene konsep itu
terkadang bertolak belakang dengan ajaran pokok Islam, sebab selain bisa
merusak sendi-sendi keIslaman, yang mencakup lemahnya nilai-nilai
kejuangan, juga bisa merusak sendi yang sangat pundamental yaitu aqidah
umat. Inilah juga yang menyebabkan sehingga konsep pluralis universal yang
multikultural seakan barang yang istimewa yang ditawarkan kalangan umat
tanpa melalui filter yang seksama. Ketika umat menganggap telah menemukan
peradaban baru, yang datangnya dari negeri seberang seakan cepat ingin
disergap, tanpa melihat berbagai aspek, baik aspek yuridis normatif Qur’ani,
juga aspek benturan kultur Islami yang sudah mengakar.
Umat bagaikan terbius oleh konsep-konsep baru, sehingga bukannya
menyandingkan konsep Islam yang sudah baku dengan konsep yang baru
diperoleh dari luar, bahkan telah terhipnotis dan terinjeksi oleh pandangan
yang sangat menggoyahkan aqidah dan bisa meruntuhkan iman dengan sebuah
statemen bahwa semua agama itu sama atau memandang bahwa konsep Islam
telah kadaluarsa. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu diuraikan lebih
lanjut tentang pendidikan Islam plural dan multicultural yang akan dibahas
pada makalah ini.

5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana defenisi pluralisme dan multikulturalme?
2. Bagaimana perpsektif Islam tentang pendidikan plurlisme dan
multikulturalisme?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan disusunnya
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui defenisi pluralisme dan multikulturalme.
2. Untuk mengetahui perpsektif Islam tentang pendidikan plurlisme dan
multikulturalisme.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Pluralisme dan Multikulturalme


1. Pluralisme
Pluralisme berasa dari kata plural yang berarti jamak ataulebih dari
satu, sedangkan pluralism adalah keadaan masyarakat yang majemuk
(bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya). Pluralisme merupakan
suatu sistem nilai atau pandangan yang mengakui keragaman di dalam
suatu bangsa. Keragaman atau kemajemukan dalam suatu bangsa itu
haruslah senantiasa dipandang positif dan optimis sebagai kenyataan riil
oleh semua anggota lapisan masyarakat dalam menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara. Esensi makna pluralisme tidak hanya diartikan
sebagai sebuah pengakuan terhadap keberagaman suatu bangsa, akan tetapi
juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, dan ekonomi.
Islam memandang bahwa pluralisme adalah sesuatu yang alamiah
(sunatullah) dalam wahana kehidupan manusia. Al-Qur’an sebagai kitabun
muthahhar dan sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai
pluralitas sebagai suatu keniscayaan manusia sebagai khalifah di bumi. Ini
sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an: “Untuk tiap-tiap umat
di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
SWT menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi
Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kamu
semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan.” (Q.S. Al-Maa’idah:48).
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa dalam tataran teologis,
ideologis, dan bahkan sosiologis, Islam dengan kitab sucinya yaitu Al-
Qur’an memandang positif terhadap pluralitas sebagai suatu yang alamiah
dan mutlak keberadaannya. Oleh karena itu pluralisme dalam konsepsi
Islam dapat dipahami sebagai tata nilai di tengah kehidupan manusia

7
sebagai khalifah, yang hadir dalam dimensi teologis agama, dan juga hadir
dalam dimensi sosial lainnya dengan segala kompleksitas dan
konsekuensinya yang khas yang harus diterima sebagai sebuah anugerah
dengan penuh kesadaran. Fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta
sosial yang harus dihadapi masyarakat modern. Ide awal lahirnya pluralitas
agama adalah keragaman yang pada muaranya akan melahirkan perbedaan
cara pandang bagi pemeluknya.
Secara paradigmatik, pluralisme adalah suatu sistem yang
memungkinkan seluruh kepentingan dalam masyarakat luas bersaing
secara bebas untuk memengaruhi proses politik, sehingga mencegah
munculnya dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Oleh
karena faham pluralisme bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari
tindakan-tindakan pendominasian, maka kelompok-kelompok elite
pimpinan antar umat beragama dituntut memiliki keahlian dalam
bernegosiasi dengan struktur negara supaya mereka dilibatkan dalam setiap
rencana membuat undang-undang yang terkait dengan masa depan
kehidupan seluruh rakyat, terlebih kehidupan keagamaan secara luas.
Namun secara praktis dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia,
pluralisme dalam perspektif kerukunan antar umat beragama tidak hanya
untuk mengikis habis praktik pendominasian, akan tetapi lebih dari itu
adalah bagaimana tetap memperkukuh soliditas dan solidaritas setiap
komponen bangsa, serta keutuhan setiap jengkal wilayah tanah air yang
amat luas ini dari Sabang sampai Merauke.

2. Multikulturalisme
Multikultural dalam KBBI berarti keadaan masyarakat yang
majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya), sedangkan
multikulturalisme merupakan gejala pada seseorang atau suatu masyarakat
yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan.
Adapun lebih rinci, multikulturalisme berasal dari kata multi (plural) dan
kultural (tentang budaya). Multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan

8
terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik
keberagaman tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama,
maupun keberagaman bentuk-bentuk kehidupan (sub-kultur) yang terus
bermunculan di setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Istilah
multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh masyarakat
Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk.
Lahirnya paham multikulturalisme berlatar belakang kebutuhan
akan pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya,
yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa, termasuk Indonesia. Oleh
karena itu, sejak semula multikulturalisme harus disadari sebagai suatu
ideologi, menjadi alat atau wahana untuk meningkatkan penghargaan atas
kesetaraan semua manusia dan kemanusiaannya yang secara operasional
mewujud melalui pranata-pranata sosialnya, yakni budaya sebagai
pemandu kehidupan sekelompok manusia sehari-hari. Dalam konteks ini,
multikulturalisme adalah konsep yang melegitimasi keanekaragaman
budaya. Kita melihat kuatnya prinsip kesetaraan (egality) dan prinsip
pengakuan (recognition) pada berbagai definisi multikulturalisme.
Deskriptif multikulturalisme dibedakan menjadi lima model penting
yaitu:
1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai
kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat
dalam interaksi minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur
dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi
tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas.
3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompok-
kelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan
(equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan
otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima.

9
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang
kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned)
dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk
penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif
perspektif khas mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, yaitu masyarakat plural yang
berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk
menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi
terikat kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam
percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan
kehidupan kultural masing-masing.
Secara tradisional, kita menyadari kebutuhan untuk mengakui
berbagai ragam budaya sebagai sederajat demi kesatuan bangsa Indonesia.
Dalam perspektif ideologi negara, Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara 1945 mengamanatkan seluruh rakyat Indonesia untuk saling
menghargai antar umat beragama. Sedangkan dalam perspektif Islam,
banyak ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan pentingnya menjunjung
tinggi perbedaan antar umat beragama. Secara esensial, hal ini dapat
diartikulasikan bahwa, Islam menghendaki hidup bersama dalam sebuah
perbedaan dalam sistem berbangsa dan bernegara.

B. Perpsektif Islam tentang Pendidikan Plurlisme dan Multikulturalisme


Pluralisme dan Multikulturalisme adalah sebuah keniscayaan dalam
kehidupan ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunnah pluralitas dan
multikultural dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralisme dan
multikulturalisme adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama
kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai
perkembangan zaman.
Pluralitas dan multikultural pada hakikatnya merupakan realitas
kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas
dan multikultural merupakan sunnatullah, maka eksistensi atau keberadaanya

10
harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas
belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-
kendala masih sering dijumpai di lapangan. Wacana tersebut sering dijumpai
di dalam Al-Qur'an ketika berbicara tentang kemajemukan masyarakat seperti
dalam QS Al-Hujurat ayat 13 yang artinya:
“Wahai umat manusia, sesungguhnya, Kami ciptakan kalian dari jenis
laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku untuk saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kalian adalah orang yang bertaqwa.
Karena pluralitas merupakan bagian dari multikultural, maka
pluralisme diartikan sebagai "menerima perbedaan" atau "menerima perbedaan
yang banyak". Dalam konteks penggunaan kata pluralitas dalam tulisan ini
penulis mengartikannya sebagai keberagamaan termasuk keberagaman agama.
Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan
ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani
kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak
mempertimbangkan sampai pada tingkat "benar tidaknya" realitas pluralitas
yang menyatu dalam kehidupan seharihari. Baru ketika manusia dihadapkan
dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan
lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan
menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersifat
wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting.
Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang
menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi
atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada
gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan. Agama
yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah
diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya
boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih
diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya
tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi

11
persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general adalah
musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Sehingga agama harus
mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut
bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi
yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.
Padahal kalau dipahami secara arif, terminologi pluralisme dan
multikultural sebenarnya sudah lama dikenal dalam pandangan Islam terutama
dalam Al-Qur'an dan Hadits, tetapi baru popular sejak kurang lebih dua dekade
terakhir abad ke 20 yang lalu, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam
kebijakan internasional Barat yang baru yang memasuki sebuah fase yang
dijuluki Muhammad Imarah sebagai "marhalah al-Ijtiyāh" (fase pembinasaan).
Yaitu sebuah perkembangan yang prinsipnya tergurat dan tergambar jelas
dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideologi modernnya
yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM, pasar bebas dan
mengekspornya untuk konsumsi luar guna berbagai kepentingan yang
beragam.
Nah, dari sinilah kemudian pendidikan mengambil andil melalui
lembaga-lembaga pendidikan untuk menginternalisasikan nilai-nilai pluralitas
dan multikultural dalam pendidikan agama agar tercipta kerukunan antar umat
beragama dengan melalui berbagai usaha, di antaranya:
1. Mengembangkan rasionalisasi pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan
dengan pendidikan agama, sejak dari soal manajemen, penggalangan dana,
pembuatan kurikulum, silabus hingga pelaksanaan program-program.
2. Membuka kerja sama dengan mereka yang sebelumnya dianggap sebagai
saingan atau musuh.
3. Membuat standarisasi ajaran-ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang dilayaninya.
4. Memberikan peran yang lebih luas kepada mereka yang selama ini dianggap
tergolong awam dalam soal-soal agama.
Ada juga tiga model strategi yang dilakukan oleh lembagalembaga
pendidikan untuk memasukkan konsep pluralistik dan multikultural ke ranah

12
pendidikan agama agar tercipta kerukunan antar umat beragama dalam skala
mikro dan makro, yaitu:
1. Strategi Revolusi
Yaitu dengan cara memaksakan untuk menanamkan ideologi pluralisme
dan multikulturalisme melalui kurikulum mata kuliah pendidikan Agama
di kampus.
2. Strategi Pengasingan Diri
Strategi kedua yang dikembangkan lembaga pendidikan untuk
menyosialisasikan pemikiran pluralisme dan multikulturalisme adalah
melakukan pengasingan diri (self-isolation) dengan cara membuat
bentengbenteng pertahanan dengan membangun subkultur-subkultur
melalui lembaga-lembaga pendidikan yang secara khusus dikelola oleh
lembaga keagamaan seperti sekolah-sekolah Islam, Katolik dan Protestan,
mereka berharap nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme dalam ajaran
agama dapat dikembangkan. Seperti halnya dengan kedudukan pesantren,
konsep "Islamic Village", "Boarding School" dan lembaga pendidikan
sejenis yang dapat dijadikan sebagai benteng nilai-nilai keagamaan sebagai
sebuah subkultur.
3. Strategi Dialog
Strategi terakhir adalah keberanian untuk menghadapi keragaman dan
berdialog dengan orang yang tidak setuju dengan ideologi pluralisme dan
multikulturalisme. Strategi ini memang berat karena dibutuhkan
keberanian, kesiapan mental dan bahkan material untuk dapat berdialog
dengan baik. Inilah strategi yang paling efektif dibandingkan dengan dua
strategi sebelumnya.
Di sinilah perlu ditanamkan kepada anak didik akan kesadaran bahwa
perbedaan tidak mesti harus berujung pada pertentangan. Perlu mencari
titik-titik temu di antara yang berbeda itu. Titik temu tersebut bisa jadi
kesadaran akan kepasrahan kepada Tuhan dan kebenaran,dan juga yang
melihatnya pada upaya menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Dalam hal ini perlu dipertahankan tentang identitas yang unik dari satu

13
agama dan di pihak yang lain ada titik temu yang bisa dijadikan landasan
untuk bekerja sama satu sama lain.
Dengan dialog, peserta didik sebagai bagian dari umat beragama
mempersiapkan diri untuk melakukan diskusi dengan peserta didik umat
agama lain yang berbeda pandangan tentang kenyataan hidup. Dialog
dimaksudkan untuk saling mengenal dan saling menimba ilmu
pengetahuan baru tentang agama mitra dialog. Dialog tersebut dengan
sendirinya akan memperkaya wawasan kedua pihak dalam rangka mencari
persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam
suatu masyarakat.
Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh pelaku dialog
(peserta didik) yang digarisbawahi oleh para ahli (dosen, guru dan peneliti).
Pertama adalah toleransi, dan kedua adalah pluralisme. Akan sulit bagi
pelaku-pelaku dialog antaragama untuk mencapai saling pengertian dan
respek apabila salah satu pihak tidak bersikap toleran. Karena toleransi
pada dasarnya adalah upaya untuk menahan diri agar potensi konflik dapat
ditekan.
Namun dialog yang disusul oleh toleransi tanpa pluralism tidak akan
mencapai kerukunan antar umat beragama yang langgeng. Secara garis
besar perlu diberikan pemahaman tentang konsep pluralisme dalam
pendidikan agama kepada anak didik oleh pendidik atau dosen, sebagai
berikut:
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif
terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang bisa dianggap
sebagai sosok yang pluralis apabila ia dapat berinteraksi positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, kalau pengertian
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja
mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat aktif dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan.

14
Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.
Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana aneka ragam
agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal, di
kota Pekalongan. Kota Pekalongan merupakan kota kosmopolitan. Di kota
ini terdapat orang Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan ada orang yang
tanpa agama. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di
bidang agama, sangat minimal, kalaupun ada.
Ketiga, konsep pluralisme tidak disamakan dengan relativisme. Seorang
relativis akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut "kebenaran" atau
"nilai" ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang
atau masyarakatnya.
Sebagai konsekuensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun
harus dinyatakan benar. Atau tegasnya "semua agama adalah benar,"
karena kebenaran agama-agama, walaupun berbedabeda dan bertentangan
satu dengan lainnya, tetap harus diterima.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam paham pluralism terdapat unsur
relativisme, yakni unsur yang tidak mengklaim kepemilikan tunggal
(monopoli) atau suatu kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut
kepada pihak lain. Paling tidak, seorang pluralis akan menghindari sikap
absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain.
Konsep relativisme ini menerangkan bahwa apa yang dianggap baik dan
buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap
individu, keadaan setempat, atau institusi social dan agama. Oleh karena
itu, konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.
Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan
suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian
komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari
agama tersebut. Contoh, Mani, pencetus agama Manichaeisme pada abad
ketiga, dengan cermat mempersatukan unsur-unsur tertentu dari ajaran
Zoroaster, Budha, dan Kristen. Bahkan apa yang dikenal sebagai New Age
Religion (Agama Masa Kini), adalah wujud nyata dari perpaduan antara

15
praktik Yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam, dan mistik Kristen.
Demikian pula dengan Bahaisme yang didirikan pada pertengahan abad ke-
19 sebagai agama persatuan oleh Mirza Ali Nuri yang dikenal dengan
Bahaullah. Sebagai elemen baru yang didirikan di Iran diambil dari agama
Yahudi, Kristen, dan Islam.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pluralisme merupakan paham mengani toleransi terhadap perbedaan
yang bersifat lebih abstrak seperti ideologi, nilai-nilai, dan keyakinan.
Sedangkan multikulturalisme itu mengenai toleransi terhadap perbedaan
ayng lebih konkret seperti etnik, ras, bahasa, dan budaya.
2. Islam memandang bahwa, konsep pluralisme dan multikulturalisme
sewajarnya diterapkan di dunia pendidikan Indonesia, khususnya di
mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama dengan harus
bersyaratkan pada satu hal, yaitu komitmen yang kokoh dari peserta
didik sebagai pemeluk agama ke agamanya masing-masing.

B. Saran
Penulis mengajak para pembaca untuk selalu up to date pada perkembangan
pendidikan zaman sekarang yang terus mengalami perubahan, lantas mempelajari
dan mecari teori yang membahasnya agar bisa mejadi lebih bijak dalam
menghadapi situasi tertentu. Adapun tulisan ini semoga dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca, manakala ditemukan kekeliruan, maka penulis akan menerima
kritik dan saran dengan terbuka.

17
DAFTAR PUSTAKA

Husniyatus Salamah Zainiyati. Pendidikan Multikultural Upaya Membangun


Keberagamaan Inklusif di Sekolah. Jurnal Islamika.Vol.1, No. 2, Maret
2007

Mahmud Arif, Pendidikan Agama Islam Inklusif Multikultural. Jurnal Jurusan


Pendidikan Agama Islam. Vol. I, No 1, Juni 2012/1433

Muhandis Azzuhri. Konsep pluralisme dan multikulturalisme dalam Pendidikan


Agama. Forum Tarbiyah Vol. 10, no. 1, juni 2012

Salim, Agus. Islam, pluralisme, dan


multikulturalisme https://www.kemenag.go.id/moderasi-
beragama/islam-pluralisme-dan-multikulturalismenbsp-oqfeej diakses
pada tanggal 7 april 2023 pukul 23.09.

Yahya, Muhammad. Pendidikan Islam Pluralis dan Multikultura. Lentera


Pendidikan, Vol. 13 no. 2 Desember 2010: 175-191

18

Anda mungkin juga menyukai