Anda di halaman 1dari 16

Dosen Pengampu: Muh. Nur Hidayat Nurdin, S.Psi., M.Si.

Nurfitriani Fakhri, S.Psi., M.A.

TUGAS PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA


“BUDAYA DAN GANGGUAN MENTAL”

KELOMPOK 2
IIN NUR FADILLAH (1471040020)
ANDI AYU SUKMADEWI (1571040007)
FIRDA NURFAIZAH ANHAR (1571040011)
NURUL FAUZIYAH (1571040013)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2017
A. PANDANGAN LINTAS BUDAYA TENTANG GANGGUAN MENTAL
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoeder dari American
Psychiatric Association, edisi empat revisi, mendefinisikan gangguan mental
sebagai sindrom atau pola psikologi dan perilaku signifikan yang muncul pada
diri individu yang diasosiakan dengan tekanan (sindrom sakit) atau
ketidakmampuan (cacat pada satu atau lebih fungsi penting) atau diasosiasikan
dengan dengan risiko kematian, sakit, ketidakmampuan yang semakin meningkat
atau dengan risiko hilangnya kebebasan yang penting (Shiraev & Levy, 2012).
Budaya dapat mempengaruhi gangguan psikologis pada lima area, yaitu:
pertama adalah pengalaman subjektif berbasis budaya, termasuk pengetahuan
tentang masalah psikologis. Area kedua adalah idiom tekanan berbasis budaya,
yaitu cara individu menjelaskan dan mengekspresikan gejala gangguan psikologis
sesuai dengan aturan yang ditetapkan budaya. Area ketiga adalah diagnosis
berbasis budaya atas berbagai bentuk gangguan psikologis, termasuk penilaian
professional dan non-professional. Area keempat adalah perawatan berbasis
budaya, cara individu termasuk professional, berusaha mengatasi gejala
psikopatologi. Area kelima adalah hasil atau prinsip, berbasis budaya, yang
kemudian dievaluasi hasil perawatannya. (Castillo dalam Shiraev & Levy, 2012).
Pengalaman subjektif, idiom tekanan, dan hasil perawatan yang diperlukan
untuk diagnosis gejala psikopatologi dapat dinilai dengan menilai tiga tipe
simptom, yaitu: fisik, perilaku, dan psiklogis. Individu cenderung mengalami dan
menjelaskan gejala gangguan psikologis sesuai dengan standar budaya dan
pengetahuan individual. Seorang professional yang mengevaluasi gejala gangguan
psikologis juga menilai berdasarkan pengalaman tertentu. Oleh karena itu, dapat
diajukan dua hipotesis, yaitu perspektif relativis dan perspektif universalis
(Shiraev & Levy, 2012).
Pertama, manusia mengembangkan ide, membangun norma behavioral, dan
belajar respons emosional sesuai dengan ajaran budaya. Oleh karena itu, individu
dari setting kultural yang berbeda harus memahami gangguan psikologis secara
berbeda. Pendapat ini disebut perspektif relativis atas psikopatologi, karena
individu menempatkan fenomena psoklogi dalam perspektif relatif. Menurut
perspektif relativis, psikopatologi bergantung pada budaya dan memiliki makna
berbeda dala masyarakat yang berbed. Agama, norma sosial, dan politik di setiap
Negara akan menentukan cara gejala psikopatologi ditampakkan, dipahami, dan
diperlakukan (Shiraev & Levy, 2012).
Sebagai contoh, perilaku seorang wanita yang mengaku bahwa dirinya adalah
seekor binatang dan dapat berbicara dengan seseorang yang telah meninggal.
perilaku wanita tersebut akan dipandang abnormal jika terjadi di sebuah kota
besar di Amerika Serikat. Namun, perilaku yang sama akan dipandang wajar dan
dapat dipahami bila terjadi dalam konteks upacara spiritual dimana wanita
tersebut berperan sebagai seorang dukun. Budaya-budaya yang memiliki
kepercayaaan akan adanya intervensi supranatural dapat membedakan dengan
jelas antara kondisi-kondisi trans dan berbicara dengan arwah bisa diterima,
dengan ketika perilaku yang sama akan dipandang sebagai tanda gangguan jiwa
(Murphy, 1976 dalam Matsumoto, 2008). Contoh budaya semacam ini adalah
budaya Yoruba di Afrika dan sebuah suku Eskimo di Alaska.
Kedua, meskipun terdapat perbedaan budaya, orang memiliki banyak ciri
yang sama, termasuk sikap, nilai, dan respons perilaku. Oleh karena itu,
keseluruhan pemahaman atas gangguan mental seharusnya universal. Pendapat ini
disebut perspektif universalis tentang psikopatologi karena menunjukkan adanya
gejala absolut dan seragam dari psukopatologi di berbagai macam budaya
(Shiraev & Levy, 2012).
Laporan tentang distres subjektif untuk mendefinisikan gangguan mental juga
problemalitas ketika mempertimbangkan gangguan mental atau secara lintas-
budaya. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
budaya mengalami tingkat distres yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan
gangguan psikologis. Sebagai contoh, Kleinman (Matsumoto, 2008) menguraikan
penelitian yang mengindikasikan bahwa individu-individu Cina dan Afrika yang
depresi melaporkan bahwa mereka mengalami lebih sedikit rasa bersalah dan
malu dibanding individu Euro-Amerika dan Eropa yang depresi. Namun individu
Cina dan Afrika melaporkan lebih banyak keluhan somatik. Ada beberapa
kelompok budaya yang menganut nilai-nilai yang menekankan orang untuk tidak
melaporkan atau terlalu memperhatikan distres subjektif. Hal ini berbeda dengan
nilai orang Barat yang mementingkan pengungkapan diri.

B. SINDROM YANG TERKAIT DENGAN BUDAYA


Sindrom yang terkait dengan budaya terdiri dari fenomena psikologi tertentu
yang menarik bagi para Psikolog. Kategori sindrom terkait budaya mengandung
banyak perdebatan soal definisinya. DSM-IV mendefinisikan sindrom terkait
budaya sebagai pola yang berulang, bersifat lokal, dari perilaku yang
menyimpang, dan pengalaman yang mengganggu yang mungkin berhubungan
atau tidak berhubungan dengan kategori diagnostik DSM-IV. Banyak dari pola
sindrom terkait budaya yang sejak awal telah dilihat sebagai “penyakit” atau
setidaknya gangguan, dan kebanyakan memiliki nama lokal.
Sindrom terkait budaya tidak memiliki korespondensi satu-satu dengan
gangguan yang dikenali oleh system “utama”. Kebanyakan dari sindrom terkait
budaya pada mulanya dilaporkan hanya terbatas pada budaya tertentu atau
berkaitan denganbudaya atau lokasi yang berdekatan secara geografis dengan
budaya yang dimaksud. Terdapat tujuh kategori umum untuk fenomena yang
dideskripsikan sebagai sindrom yang terkait budaya, yaitu:
1. Gejala psikopatologi, tidak bisa dinisbahkan ke penyebab organik yang bisa
diidentifikasi, yang dikenali sebagai penyakit dalam kelompok budaya
tertentu, namun tidak termaksud kategori penyakit di Barat. Misalnya, Amok
ledakan kemarahan tiba-tiba, dapat dikenali di Malaysia. Di London atau
New York, orang dengan sindron amok dideskripsikan sebagai individu yang
“memiliki masalah dalam mengontrol kemarahan”.
2. Gejala psikopatologi, tidak bisa dinisbahkan ke penyebab organik yang bisa
diidentifikasi, yang dikenali di tingkat lokal sebagai penyakit dan menyerupai
kategori penyakit di Barat, tetapi memiliki beberapa ciri, seperti: (1) ciri lokal
yang menonjol dan berbeda dengan penyakit di Barat, dan (2) sedikit
mengandung gejala yang dapat dikenali di Barat. Contohnya, shenjing shaijo
atau neurasthenia di Cina, yang menyerupai gangguan depresi mayor tetapi
tidak memiliki ciri somatis menonjol dan hanya sedikit ada tanda depresi
mood yang biasa menjadi definisi depresi di Barat.
3. Entitas penyakit diskret yang belum dikenali professional Barat. Contohnya,
kuru. Gejala psikosis progresif dan demensia yang dialami oleh suku kanibal
di papua. Kuru kini diyakini sebagai akibat protein yang menyempal atau
prion yang mampu mereplikasi diri dengan merusak protein lain diotak.
4. Sebuah penyakit, gejalahnya terjadi di banyak budaya, namun, dielaborasi
sebagai penyakit di satu atau beberapa setting budaya. Contohnya, koro, takut
pada genitalia, yang mungkin terkadang memiliki realitas fisiologis-anatomis,
dan tampak muncul sebagai delusi atau fobia di beberapa kelompok budaya.
5. Meknisme penjelasan atau idiom penyakit yang diterima secara budaya, yang
tidak cocok dengan idiom Barat untuk distres, dan dalam setting Barat
mungkin mengindikasikan pemikiran yang tidak tepat secara Budaya dan
mungkin delusi atau halusinasi.
6. Keadaan atau seperangkat perilaku, sering berupa trance atau kerasukan:
mendengar, melihat, dan berkomunikasi dengan arwah orang yang telah
meninggal atau perasaan bahwa seseorang “kehilangan jiwanya” karena sedih
dan takut. Trance mungkin dianggap atau tidak dianggap sebagai penyakit
pada budaya tertentu, namun jika tidak dikenali secara budaya trance bisa
jadi dianggap menunjukkan gejala psikosis, delusi, atau halusinasi menurut
pandangan Barat.
7. Sindrom yang diduga terjadi di dalam setting budaya tertentu yang
sebenarnya tidak eksis tetapi mungkin dilaporkan kepada professional.
Debat tentang sindrom yang terkait budaya sering berputar tentang
kebingungan soal kategori-kategori yang berbeda-beda. Banyak sindrom terkait
budaya yang juga terjadi di budaya lain yang tidak saling berkaitan, atau muncul
hanya merupakan variasi lokal dari penyakit yang dijumpai di mana-mana.
Budaya spesifik memandang suatu perilaku sebagai sindrom psikopatologi,
menyebutnya sebagai gangguan, dan memperlakukannya sebagai penyakit.
Beberapa budaya lainnya tidak menyebut hal yang ada pola-pola perilaku dan
pengalaman yang mengganggu di tingkat lokal yang sering muncul, yang
mungkin berhubungan atau tidak berhubungan dengan kategori diagnostik DSM-
IV (Matsumoto, 2008). Sindrom terkait budaya biasanya terbatas pada masyarakat
tertentu atau area tertentu dan mengidentifikasikan observasi dan pengalaman
repetitif yang bersifat mengganggu. Adapun contoh dari gangguan yang berkaitan
dengan kultur yaitu:
a. Amok. Dikenal dimalaysia, pola ini juga terjadi dimana-mana. Amok
adalah kemarahan mendadak dimana individu bertingkah rusuh, terkadang
melukai pihak lain disepanjang jalan yang dilaluinya.
b. Ataque de nervios. Juga disebut “serangan saraf” ini lazim di Amerika
Selatan dan Mediterania. Gejalanya antara lain: berteriak tak terkendali,
menangis, gemetar, jantung berdegup kencang, dan agresi fisik atau
verbal.
c. Bilis, colera, atau muina. Idiom umum Amerika latin, yakni idiom distress
dan penjelasan penyakit mental atau fisik sebagai akibat dari emosi
ekstrem yang menjengkelkan hati.
d. Brain fag. Dikenal di Afrika Barat. Terkadang disebut “keletihan otak”
merupakan reaksi mental dan fisik terhadap tantangan disekolah, sebuah
kondisi yang dialami terutama oleh pelajar SMA atau mahasiswa kampus.
Gejalanya antara lain: kesulitan berkonsentrasi, sulit mengingat, dan
berpikir. Gejalanya menyerupai kecemasan, depresi atau gangguan
somatoform dalam DSM-IV.
e. Dhat. Terjadi di india. Kondisi serupa juga dideskripsikan di Srilanka dan
Cina. Dhat adalah sindrom dengan ciri-ciri perhatian berlebihan pada
menyusutnya mani karena sering berhubungan seksual atau khawatir
terbawa air kencing. Sindrom dhat diiringi dengan rasa lemah, depresi,
dan problem seksual.
f. Falling out. Dikenali di Amerika serikat bagian selatan, atau disebut
blacking out di Kepulauan Karibia. Gejalanya: jatuh mendadak,
kehilangan penglihatan meski mata masih terbuka. Sindrom ini
berhubungan dengan gangguan konversi atau gangguan disosiatif dalam
DSM-IV.
g. Frigophobia. Sebuah kondisi yang oleh orang Cina disebut wei han
zheng, atau takut kedinginan. Pasien sering dekat pemanas, mengenakan
baju hangat dan sarung tangan.
h. Ghost sickness. Dilaporkan dari suku Indian-Amerika. Gejalanya adalah
selalu memikirkan kematian dan orang mati, mimpi buruk, pingsan, hilang
selera, takut, takut sihir, halusinasi, merasa sesak, bingung, dan sebagainya
i. Koro. Dikenali etnis Cina di Malaisya, berkaitan dengan kondisi yang
dideskripsikan di beberapa negara Asia Timur. Gejala utamanya, yaitu:
orang merasa sangat cemas dengan mendadak, yakni perasaan cemas
organ seksualnya akan masuk kedalam tubuh dn menyebabkan kematian.
j. Latah. Terjadi di Malaisya, Indonesia, Thailand, dan Jepang. Gejalanya
antara lain: terlalu peka terhadap kejutan, sering dengan meniru perkataan
atau tindakan orang lain tanpa berpikir, dan perilaku seperti trance.
k. Locura. Insiden yang dikenali di Amerika Serikat. Sindromnya antara lain
inkoherensi, agitasi, halusinasi suara dan visual, ketidakmampuan
mengikuti interaksi sosial, tidak bisa diprediksi, dan kekerasan.
l. Pibloktoq. Dikenali di kawasan artik dan komunitas Inuit di sub-Artik,
seperti Eskimo di Greenland. Sindromnya dijumpai di seluruh artik dengan
nama-nama lokal. Gejalanya antara lain semangat berlebihan, kekerasan
fisik, pelecehan verbal, konvulsi, dan koma sesaat.
m. Qi-gong. Di kenal di Cina. Episode sindrom singkat, seperti halusinasi
visual dan suara, terjadi setelah melakukan latihan qi-gong atau latihan
energi vital, yang mirip meditasi. Di Amerika, laporan tentang halusinasi
yang terus-menerus akan dianggapsebagai gejala gangguan skizofrenia
atau schizophreniform.
n. Rootwork. Sindrom yang dikenal di Amerika Serikat bagian Selatan dan
Kepulauan Karibia. Gejalanya antara lain: kecemasan, seperti takut
keracunan atau takut mati yang di yakini disebabkan oleh individu yang
meletakkan jimat atau mantra ke orang lain.
o. Sin-byung. Dikenal di Korea. Sin-byung adalah sindrom kecemasan dan
keluhan tubuh yang diikuti dengan disosiasi dan kerusakan oleh arwah
leluhur. Sindrom ini dicirikan dengan rasa lemas, pusing, takut, hilang
selera, insomnia, dan gangguan gastrointestinal.
p. The sore-neck sindrom, merupakan sindrom yang tampak pada pengungsi
Khmer. Ciri utamanya adalah takut kalau darah dan tekanan angin akan
menyebabkan urat di leher pecah. Sindrom lainnya adalah sesak napas,
tersenggal-senggal, panik, sakit kepala, pandangan berkunang-kunang,
telinga berdenging, pusing dan bergetar.
q. Spell. Sindrom dideskripsikan oleh beberapa orang di Amerika Serikat
bagian selatan dan di beberapa negara lain. Ini adalah keadaan trance di
mana individu berkomunikasi dengan arwah saudaraya.
r. Susto. Ditemukan dikalangan orang Amerika Latin dan diberi label
“ketakutan sangat” atau “hilanya jiwa” oleh beberapa orang Karibia.
Gejalanya adalah berkaitan dengan kejadian yang mengerikan yang
membuat jiwa keluar dari tubuh, menyebabkan kesengsaraan, dan sakit.
s. Tajin kyofusho. Di jepang, ini adalah takut yang hebat kalau tubuh, bagian
tubuh, atau fungsi tubuh menjadi menyenangkan, memalukan,
menyinggung orang lain, seperti dalam hal penampilan, bau badan,
ekspresi wajah, atau gerakan.
t. Zar. Dikenal di Etopia, Somalia, Mesir, Sudan, Iran, dan di beberapa
tempat di Afrika Utara dan Timur Tengah. Ini adalah keyakinan tentang
kerusakan arwah, menyebabkan orang berteriak, tertawa, menggeleng
kepala dengan kencang, menyanyi atau meratap.

C. VARIASI BUDAYA DALAM SKIZOFRENIA


Beberapa teori tentang etiologi (penyebab) skizofrenia menekankan pada
peran faktor-faktor biologis (misalnya, kelebihan dophamine atau
ketidakseimbangan biokimia lainnya). Teori-teori lain menekankan pada dinamika
keluarga (misalnya, ekspresi permusuhan pada orang sakit). Penelitian yang
dilakukan oleh International Pilot Study of Skizophrenia (IPSS) yang disponsori
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 1973, 1979, 1981) untuk membandingkan
pravalensi dan riwayat gangguan ini di beberapa negara: Kolombia, Cekoslovakia,
Denmark, Inggris, India, Nigeria, Soviet, Taiwan, dan Amerika Serikat
mengidentifikasi serangkaian sindrom yang muncul di semua budaya yang
dijadikan sampel skizofrenik. Di antara sindrom-sindrom tersebut adalah
hilangnya daya pikir rasional (insight), halusinasi suara dan verbal, dan pikiran-
pikiran tentang referensi (yakni, mengira diri sebagai pusat perhatian) (Leff,
dalam Matsumoto, 2008).
Di Colombia, India, dan Nigeria skizofrenia lebih cepat sembuh dibandingkan
di Inggris, Amerika, ataupun Uni Soviet. Hal ini karena di negara-negara Timur,
pasien lebih banyak mendapatkan dukungan keluarga, kerabat, dan masyarakat.
Dukungan sosial ini membuat pasien lebih cepat dapat berfungsi normal dan
menjalankan perannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan
prognosis pasien skizofrenia di Timur lebih baik dibandingkan pasien di Barat
(Matsumoto & Juang, 2004). Pasien di Amerika menunjukkan lebih sedikit
halusinasi pendengaran dibandingkan pasien di Denmark dan Nigeria. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan budaya, dimana orang Amerika lebih menghargai
insight dan dibandingkan orang dari budaya lain (Sarwono, 2016).
Para peneliti juga mencatat adanya perbedaan lintas-budaya dalam ekspresi
gejala. Pasien-pasien dari Denmark atau Nigeria lebih mungkin menunjukkan
gejala hilangnya daya pikir rasional dan halusinasi suara daripada pasien dari
Amerika Serikat. Temuan ini terkait dengan perbedaan-perbedaan budaya dalam
nilai yang diasosiasikan dengan daya pikir rasional dan kesadaran-diri, yang di
Amerika Serikat sangat dihargai, lebih daripada di negara-negara lain. Selain itu,
ada juga perbedaan dalam toleransi terhadap jenis-jenis gejala tertentu; budaya
Nigeria secara keseluruhan lebih menerima adanya suara-suara. Namun pasien-
pasien Nigeria dan Denmark lebih banyak yang mengalami katatonia, yaitu
penarikan diri atau kecemasan yang ekstrem (Matsumoto, 2008).
Di Negara maju dewasa ini, skizofrenia dirawat dengan obat neuropletic,
yang bertujuan mengurangi gejala paling menonjol dari penyakit skizofrenia.
Peran keluarga dan komunitas sangat penting bagi kehidupan pasien (Shiraev &
Levy, 2012).
D. VARIASI BUDAYA DALAM DEPRESI
Gangguan depresif melibatkan gejala-gejala “kesedihan, perasaan tak berguna
dan tak berharga, dan penarikan diri dari orang lain yang intens”. Depresi juga
sering disertai perubahan-perubahan fisik (seperti gangguan tidur dan selera
makan), selain perubahan emosional dan perilaku (Berry, Poortinga, Segall, &
Dasen dalam Matsumoto, 2008).
Kajian-kajian tentang lintas-budaya mengenai depresi mencatat banyak
variasi dalam gejala. Ada kelompok-kelompok budaya (seperti Nigeria) yang
cenderung lebih jarang mengalami perasaan tak berharga yang ekstrem. Beberapa
budaya lain (seperti Cina) lebih sering melaporkan keluhan-keluhan somatik atau
tubuh (Kleinman dalam Matsumoto, 2008).
Marsella (Matsumoto, 2008) memiliki pandangan yang relatif secara budaya
tentang depresi. Marsella menyatakan bahwa depresi akan mengambil bentuk
yang menekankan pada perasaan (afektif) di budaya-budaya dengan orientasi
objektif yang kuat (yakni, budaya-budaya yang menekankan individualisme).
Dalam budaya-budaya ini, persaan kesepian dan isolasi akan mendominasi
gambaran gejala yang muncul. Gejal-gejala somatik seperti sakit kepala akan
dominan di budaya-budaya yang subjektif (yang memiliki struktur yang lebih
komunal). Marsella juga mengusulkan bahwa pola-pola gejala depresif akan
berbeda secara lintas-budaya karena adanya variasi kultural dalam sumber stres
serta sumber daya yang ada untuk menghadapinya.

E. PENJANGKAAN DAN PERAWATAN PERILAKU ABNORMAL DI


BERBAGAI BUDAYA
Penjangkaan atau asesmen perilaku abnormal mencakup identifikasi dan
menggambarkan gejala-gejala seorang individu “dalam konteks lingkungan dan
tingkat keberfungsian orang tersebut secara umum” (Carson dkk dalam
Matsumoto, 2008). Alat dan metode penjangkaan seharusnya peka terhadap
pengaruh-pengaruh budaya dan lingkungan lainnya terhadap perilaku dan
keberfungsian individu. Meski demikian, literatur yang ada tentang standar teknik
penjangkaan mengindikasikan kemungkinan adanya persoalan bias atau
ketidakpekaan ketika suatu tes psikologis dan metode lain yang dikembangkan di
suatu konteks kultural dipakai untuk menjangka perilaku di budaya lain.
Tseng dan McDermott (Matsumoto, 2008) menulis bahwa tujuan perawatan
(treatmen) periaku abnormal adalah untuk “meringankan gejala dan membantu
pasien menjadi orang yang lebih sehat dan matang, dapat menghadapi hidup dan
permasalahannya dengan lebih baik. Mereka mencatat bahwa meski tujuan umum
perwatan bisa disepakati secara luas, tiap budaya akan berbeda dalam memaknai
“sehat” atau “matang”. Selain itu, perbedaan budaya juga muncul dalam persepsi
tentang apa yang disebut sebagai masalah dan strategi yang dipilih untuk
mengatasinya.
Kebanyak teks psikologi sudah bagus dalam menguraikan metode-metode
penjangkaan tradisonal: berbagai tes psikologis, skema-skema klasifikasi dan
diagnostik, prosedur wawancara, dan observasi. Pendekatan-pendekatan yang
berbeda dalam merawat ganggguan psikologis juga dipaparkan secara memadai,
termausk pendekatan terapi psikoanalisis, perilakuan, dan humanistik.

F. BIAS PSIKODIAGNOSTIK
Latar belakang budaya dari professional dapat mempengaruhi persepsinya
tentang perilaku yang berbeda. Psikolog kemungkinan besar memiliki persepsi
sendiri dan juga atribusi tentang hubungan antara budaya, etnis, dan penyakit
mental (Lopez dalam Shiraev dan Levy, 2012). Dokter juga diketahui dapat salah
mendiagnosis penyakit tertentu karena perbedaan lintas budaya dalam persepsi,
atribusi, dan ekspresi tanda-tanda penyakit.
Spesialis kesehatan mental harus memerhatikan, misalnya, arti penting jarak
sosial antara pasien dengan dirinya sendiri di antara kelompok budaya yang
berbeda. Bahkan cara psikolog mengamati abnormalitas mungkin dipengaruhi
oleh status sosial. Misalnya, telah ditunjukkan bahwa perbedaan substansial dalam
gejala psikologis antara kelompok status tinggi dan status rendah di pasukan
Austro-Hongaria pada 1914 dipengaruhi oleh fakta bhwa kebanyakan pengamat
psikiatris merupakan kalangan yang memiliki status tinggi (Murphy dalam
Matsumoto,2008).
Contoh ilustrasi bias diagnostik dalam setting klinik ialah bagaimana
keyakinan terapi dan ekpektasi mungkin mendorong mereka untuk “melihat”
psikopatologi. Misalkan anda diminta seorang terapis untuk menjelaskan makna
perilaku yang mungkin ditunjukkan klien saat untuk menjalani jadwal sesi terapi.
Mari kita bayangkan terapis ini melihat dunia psikopatologi melalui skema
saringan budayanya. Ahli terapi itu dengan tenang dan percaya diri memberi
interpretasi berikut ini kepada Anda:
Jika pasien datang lebih awal sebelum jadwal, maka dia cemas. Jika pasien
telat, maka pasien memusuhi. Jika tepat waktu, maka pasien kompulsif. Anekdot
bias yang tampak cerdas dalam psikoanalisis ini telah dikenal sejak 1930-an.
Meski dimaksudkan untuk lelucon, namun menunjukan sesuatu yang akan terjadi
di masa depan. Hal ini bukan ilustrasi humor tentang pemikiran non-kritis; namun
juga mengungkapkan cerita muram yang memberi peringatan pada kita akan
bahaya dari skema yang menyebabkan dan bahkan mendorong-setiap perilaku
manusia dikategorikan ke dalam satu atau beberapa kategori patologis.
Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, beberapa spesialis skeptis terhadap
daya aplikasi kriteria diagnostik Barat pada budaya lain, dan vice versa. Mereka
menegaskan bahwa distress dialami dan dimanifestasikan melalui banyak cara
budaya. Budaya yang berbeda mungkin mendorong atau menghambat pelaporan
unsur psikologis atau fisiologis dari respon stress (Draguns dalam Shiraev &
Levy, 2012). Selain itu, di beberapa budaya, mimpi buruk yang berkepanjangan
dianggap sebagai fenomena spiritual dan supranatural, sedangkan pada budaya
lain akan dianggap sebagai indikator dari gangguan mental atau penyakit fisik
(DSM-IV,h.581).
Beberapa gejala dapat konsisten di antara sampel Negara yang berbeda. Studi
di Rusia yang dilakukan oleh V. Ruckin, D. Sukhodolsy, dan rekannya (Shiraev &
Levy, 2012) menunjukkan bahwa pravelansi rata-rata gangguan kurang perhatian
atau hipersensitivitas adalah sama dengan rata-rata di banyak Negara lain. Studi
terhadap gangguan kultural-spesifik menunjukkan bahwa budaya berbeda
memilki label spesifik untuk gangguan perilaku. Sindrom yang terkait kultur
menentang setiap kategorisasi universal karena adanya suatu gangguan mental
memiliki elemen yang khas untuk budayar tertentu. Namun, bagaimanapun cara
untuk mendeskripsikan problem, akan tampak sebagai gejala maladaptif dan
gejala tekanan, sebagai ketidakmampuan mengatasi situasi yang menekan. Kunci
keberhasilan dalam praktik diagnostik adalah mengidentifikasi gejala distress dan
maladaptive secara tepat dan dalam konteks kulturalnya.
Menurut Lopez (Shiraev & Lavy,2012) ada dua tipe eror yang mungkin
terjadi dalam melakukan pemeriksaan klinis, yaitu: overpathologizing dan
underpathologizing. Overpathologizing bisa terjadi karena pemeriksa tidak
memahami latar belakang budaya klien, sehingga menyebabkan salah menilai
perilaku klien sebagai sesuatu yang abnormal. Padahal, dalam budaya klien
tersebut, perilaku klien bisa saja dianggap normal. Sementara itu,
underpathologizing terjadi saat pemeriksa tanpa pandang bulu menjelaskan
perilaku klien sebagai bagian dari budaya. Misalnya perilaku menghindar dan
ekspresi emosi klien yang datar dianggap sebagai gaya komunikasi kultural yang
lumrah ketika pada kenyataannya perilaku tersebut merupakan gejala dari depresi

G. ISU TENTANG PERAWATAN PERILAKU ABNORMAL LINTAS-


BUDAYA
Dalam dua dekade terakhir, semakin banyak literatur yang mengindikasikan
bahwa klien-klien dari latar belakang budaya yang berbeda tidak mendapat
pelayanan yang memadai atau tepat dari metode-metode perawatan tradisional.
Dalam sebuah penelitian awal tentang perbedaan etnis dalam respon terhadap
pelayanan kesehatan mental standar di daera Seattle, Sue (Matsumoto, 2008)
menemukan bahwa orang Asia Amerika dan Indian Amerika lebih jarang
memanfaatkan pelayanan kesehatan mental dibanding orang Afrika Amerika dan
Amerika kulit putih. Sue juga menemukan bahwa semua kelompok di atas,
kecuali orang Amerika kulit putih, memiliki tingkat drop out yang tinggi serta
hasil perawatan yang relatif lebih buruk. Sebuah penelitian lain di daerah Los
Angeles juga menghasilkan temuan yang serupa (Sue, 1991). Sue (1977; Sue &
Zane, 1987) menyimpulkan bahwa pemanfaatan yang minim serta tingkat drop
out yang tinggi ini disebabkan oleh ketidakpekaan kultural metode-metode
perawatan standar.
Dalam upaya ke arah pelayanan yang lebih sensitif budaya, Sue menyarankan
agar metode-metode perawatan yang ada dimodifikasi untuk lebih
mencocokkannya dengan pandangan dunia dan pengalaman klien dari berbagai
budaya. Misalnya, pendekatan psikoanalisis didasarkan pada pandangan dunia
yang mengasusmsikan adanya konflik-konflik tak sadar (biasanya bersifat
seksual) yang memunculkan perilaku abnormal. Mungkin saja pandangan dunia
ini mencerminkan pengalaman wanita kelas atas Austria yang dirawat Freud dan
yang menjadi dasar banyak asumsi teoritisnya. Tapi pandangan dunia seperti ini
mungkin tak sesuai bila diterapkan pada budaya-budaya yang mengatribusikan
perilaku abnormal pada faktor-faktor alami (seperti masalah fisik atau
ketidakharmonisan dengan lingkungan) atau sebab-sebab supranatural (seperti
kerasukan arwah). Sistem-sistem penyembuhan dan pengobatan kultural menjadi
efektif justru karena bekerja dalam kerangka pandangan dunia yang sesuai (Tseng
& McDermott dalam Matsumoto, 2008). Karena itu, suatu upacara spiritual yang
dilakukan dukun (penyembuh) asli mungkin akan terbukti sebagai perawatan yang
lebih efektif atas sindrom terikat-budaya seperti susto ketimbang pendekatan
kognitif-bahavioral.
Ada serangkaian penelitian tentang preferensi atas pendekatan teraupetik
pada berbagai populasi etnis di Amerika yang mengindikasikan bahwa klien-klien
non kulit putih cenderung lebih menyukai terapi yang berorientasi tindakan
daripada pendekatan yang non-direktif seperti psikoanalisis dan humanistik (Sue
& Zane, dalam Matsumoto, 2008). Ada juga indikasi bahwa klien-klien dari
berbagai latar belakang budaya lebih senang bekerja dengan terapis dari latar
budaya dan gender yang sama. Namun demikian, penelitian yang lebih baru
menunjukkan bahwa kesamaan dalam pandangan dunia dan sikap tampaknya
lebih penting daripada kesamaan etnis. Status akulturasi juga menentukan respon
seseorang terhadap terapi, orang Asia Amerika memandang bahwa konselor-
konselor yang “peka budaya” lebih bermutu dan kompeten untuk melakukan
perawatan lintas-budaya.
Beberapa peneliti memaparkan kompetensi dan dasar pengetahuan yang
diperlukan agar terapis dapat memberi perawatan lintas budaya yang peka dan
efektif. Misalnya, Sue dkk. (Matsumoto, 2008) mengemukakan kompetensi yang
harus dimiliki, yaitu: (1) pengetahuan mengenai beragam budaya dan gaya hidup,
(2) keterampilan yang diperlukan dan bisa merasa nyaman untuk menggunakan
metode perawatan yang inovatif, dan (3) pengalaman nyata bekerja dengan klien
dari berbagai budaya. Yang juga amat penting bagi seorang terapis yang peka
budaya adalah kesadarannya atas lata belakangnya sendiri dan pengaruhnya pada
definisi dan persepsi atas perilaku abnormal. Selain itu, sang terapis juga harus
menyadari bagaimana keyakinan dan pengalaman kultural mempengaruhi
jalannya perawatan.
Comas-Diaz dan Jacobsen (Matsumoto, 2008) memaparkan bagaimana
faktor-faktor etnokultural dapat mengarahkan terapi. Diantaranya adalah faktor
etnokultural dapat memicu reaksi transferensi yang kuat (yakni, proyeksi tak sadar
yang terarah pada terapis) dan menjadi pengahalng empati (pemahaman atas
pengalaman orang lain). Menurut Prince (Matsumoto, 2008), ciri khas perawatan
lintas budaya adalah adanya pendayagunaan daya-daya penyembuhan dari dalam
diri klien.
DAFTAR PUSTAKA
Matsumoto, D. (2008). Pengantar psikologi lintas budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Sarwono, W.S. (2016). Psikologi lintas budaya. Jakarta: Raja Grafindo Persada .

Shiraev, E. B & Levy, D. A. (2012). Psikologi lintas kultural: Pemikiran kritis dan
terapan modern. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai