KELOMPOK 2
IIN NUR FADILLAH (1471040020)
ANDI AYU SUKMADEWI (1571040007)
FIRDA NURFAIZAH ANHAR (1571040011)
NURUL FAUZIYAH (1571040013)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2017
A. PANDANGAN LINTAS BUDAYA TENTANG GANGGUAN MENTAL
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disoeder dari American
Psychiatric Association, edisi empat revisi, mendefinisikan gangguan mental
sebagai sindrom atau pola psikologi dan perilaku signifikan yang muncul pada
diri individu yang diasosiakan dengan tekanan (sindrom sakit) atau
ketidakmampuan (cacat pada satu atau lebih fungsi penting) atau diasosiasikan
dengan dengan risiko kematian, sakit, ketidakmampuan yang semakin meningkat
atau dengan risiko hilangnya kebebasan yang penting (Shiraev & Levy, 2012).
Budaya dapat mempengaruhi gangguan psikologis pada lima area, yaitu:
pertama adalah pengalaman subjektif berbasis budaya, termasuk pengetahuan
tentang masalah psikologis. Area kedua adalah idiom tekanan berbasis budaya,
yaitu cara individu menjelaskan dan mengekspresikan gejala gangguan psikologis
sesuai dengan aturan yang ditetapkan budaya. Area ketiga adalah diagnosis
berbasis budaya atas berbagai bentuk gangguan psikologis, termasuk penilaian
professional dan non-professional. Area keempat adalah perawatan berbasis
budaya, cara individu termasuk professional, berusaha mengatasi gejala
psikopatologi. Area kelima adalah hasil atau prinsip, berbasis budaya, yang
kemudian dievaluasi hasil perawatannya. (Castillo dalam Shiraev & Levy, 2012).
Pengalaman subjektif, idiom tekanan, dan hasil perawatan yang diperlukan
untuk diagnosis gejala psikopatologi dapat dinilai dengan menilai tiga tipe
simptom, yaitu: fisik, perilaku, dan psiklogis. Individu cenderung mengalami dan
menjelaskan gejala gangguan psikologis sesuai dengan standar budaya dan
pengetahuan individual. Seorang professional yang mengevaluasi gejala gangguan
psikologis juga menilai berdasarkan pengalaman tertentu. Oleh karena itu, dapat
diajukan dua hipotesis, yaitu perspektif relativis dan perspektif universalis
(Shiraev & Levy, 2012).
Pertama, manusia mengembangkan ide, membangun norma behavioral, dan
belajar respons emosional sesuai dengan ajaran budaya. Oleh karena itu, individu
dari setting kultural yang berbeda harus memahami gangguan psikologis secara
berbeda. Pendapat ini disebut perspektif relativis atas psikopatologi, karena
individu menempatkan fenomena psoklogi dalam perspektif relatif. Menurut
perspektif relativis, psikopatologi bergantung pada budaya dan memiliki makna
berbeda dala masyarakat yang berbed. Agama, norma sosial, dan politik di setiap
Negara akan menentukan cara gejala psikopatologi ditampakkan, dipahami, dan
diperlakukan (Shiraev & Levy, 2012).
Sebagai contoh, perilaku seorang wanita yang mengaku bahwa dirinya adalah
seekor binatang dan dapat berbicara dengan seseorang yang telah meninggal.
perilaku wanita tersebut akan dipandang abnormal jika terjadi di sebuah kota
besar di Amerika Serikat. Namun, perilaku yang sama akan dipandang wajar dan
dapat dipahami bila terjadi dalam konteks upacara spiritual dimana wanita
tersebut berperan sebagai seorang dukun. Budaya-budaya yang memiliki
kepercayaaan akan adanya intervensi supranatural dapat membedakan dengan
jelas antara kondisi-kondisi trans dan berbicara dengan arwah bisa diterima,
dengan ketika perilaku yang sama akan dipandang sebagai tanda gangguan jiwa
(Murphy, 1976 dalam Matsumoto, 2008). Contoh budaya semacam ini adalah
budaya Yoruba di Afrika dan sebuah suku Eskimo di Alaska.
Kedua, meskipun terdapat perbedaan budaya, orang memiliki banyak ciri
yang sama, termasuk sikap, nilai, dan respons perilaku. Oleh karena itu,
keseluruhan pemahaman atas gangguan mental seharusnya universal. Pendapat ini
disebut perspektif universalis tentang psikopatologi karena menunjukkan adanya
gejala absolut dan seragam dari psukopatologi di berbagai macam budaya
(Shiraev & Levy, 2012).
Laporan tentang distres subjektif untuk mendefinisikan gangguan mental juga
problemalitas ketika mempertimbangkan gangguan mental atau secara lintas-
budaya. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
budaya mengalami tingkat distres yang berbeda-beda dalam kaitannya dengan
gangguan psikologis. Sebagai contoh, Kleinman (Matsumoto, 2008) menguraikan
penelitian yang mengindikasikan bahwa individu-individu Cina dan Afrika yang
depresi melaporkan bahwa mereka mengalami lebih sedikit rasa bersalah dan
malu dibanding individu Euro-Amerika dan Eropa yang depresi. Namun individu
Cina dan Afrika melaporkan lebih banyak keluhan somatik. Ada beberapa
kelompok budaya yang menganut nilai-nilai yang menekankan orang untuk tidak
melaporkan atau terlalu memperhatikan distres subjektif. Hal ini berbeda dengan
nilai orang Barat yang mementingkan pengungkapan diri.
F. BIAS PSIKODIAGNOSTIK
Latar belakang budaya dari professional dapat mempengaruhi persepsinya
tentang perilaku yang berbeda. Psikolog kemungkinan besar memiliki persepsi
sendiri dan juga atribusi tentang hubungan antara budaya, etnis, dan penyakit
mental (Lopez dalam Shiraev dan Levy, 2012). Dokter juga diketahui dapat salah
mendiagnosis penyakit tertentu karena perbedaan lintas budaya dalam persepsi,
atribusi, dan ekspresi tanda-tanda penyakit.
Spesialis kesehatan mental harus memerhatikan, misalnya, arti penting jarak
sosial antara pasien dengan dirinya sendiri di antara kelompok budaya yang
berbeda. Bahkan cara psikolog mengamati abnormalitas mungkin dipengaruhi
oleh status sosial. Misalnya, telah ditunjukkan bahwa perbedaan substansial dalam
gejala psikologis antara kelompok status tinggi dan status rendah di pasukan
Austro-Hongaria pada 1914 dipengaruhi oleh fakta bhwa kebanyakan pengamat
psikiatris merupakan kalangan yang memiliki status tinggi (Murphy dalam
Matsumoto,2008).
Contoh ilustrasi bias diagnostik dalam setting klinik ialah bagaimana
keyakinan terapi dan ekpektasi mungkin mendorong mereka untuk “melihat”
psikopatologi. Misalkan anda diminta seorang terapis untuk menjelaskan makna
perilaku yang mungkin ditunjukkan klien saat untuk menjalani jadwal sesi terapi.
Mari kita bayangkan terapis ini melihat dunia psikopatologi melalui skema
saringan budayanya. Ahli terapi itu dengan tenang dan percaya diri memberi
interpretasi berikut ini kepada Anda:
Jika pasien datang lebih awal sebelum jadwal, maka dia cemas. Jika pasien
telat, maka pasien memusuhi. Jika tepat waktu, maka pasien kompulsif. Anekdot
bias yang tampak cerdas dalam psikoanalisis ini telah dikenal sejak 1930-an.
Meski dimaksudkan untuk lelucon, namun menunjukan sesuatu yang akan terjadi
di masa depan. Hal ini bukan ilustrasi humor tentang pemikiran non-kritis; namun
juga mengungkapkan cerita muram yang memberi peringatan pada kita akan
bahaya dari skema yang menyebabkan dan bahkan mendorong-setiap perilaku
manusia dikategorikan ke dalam satu atau beberapa kategori patologis.
Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, beberapa spesialis skeptis terhadap
daya aplikasi kriteria diagnostik Barat pada budaya lain, dan vice versa. Mereka
menegaskan bahwa distress dialami dan dimanifestasikan melalui banyak cara
budaya. Budaya yang berbeda mungkin mendorong atau menghambat pelaporan
unsur psikologis atau fisiologis dari respon stress (Draguns dalam Shiraev &
Levy, 2012). Selain itu, di beberapa budaya, mimpi buruk yang berkepanjangan
dianggap sebagai fenomena spiritual dan supranatural, sedangkan pada budaya
lain akan dianggap sebagai indikator dari gangguan mental atau penyakit fisik
(DSM-IV,h.581).
Beberapa gejala dapat konsisten di antara sampel Negara yang berbeda. Studi
di Rusia yang dilakukan oleh V. Ruckin, D. Sukhodolsy, dan rekannya (Shiraev &
Levy, 2012) menunjukkan bahwa pravelansi rata-rata gangguan kurang perhatian
atau hipersensitivitas adalah sama dengan rata-rata di banyak Negara lain. Studi
terhadap gangguan kultural-spesifik menunjukkan bahwa budaya berbeda
memilki label spesifik untuk gangguan perilaku. Sindrom yang terkait kultur
menentang setiap kategorisasi universal karena adanya suatu gangguan mental
memiliki elemen yang khas untuk budayar tertentu. Namun, bagaimanapun cara
untuk mendeskripsikan problem, akan tampak sebagai gejala maladaptif dan
gejala tekanan, sebagai ketidakmampuan mengatasi situasi yang menekan. Kunci
keberhasilan dalam praktik diagnostik adalah mengidentifikasi gejala distress dan
maladaptive secara tepat dan dalam konteks kulturalnya.
Menurut Lopez (Shiraev & Lavy,2012) ada dua tipe eror yang mungkin
terjadi dalam melakukan pemeriksaan klinis, yaitu: overpathologizing dan
underpathologizing. Overpathologizing bisa terjadi karena pemeriksa tidak
memahami latar belakang budaya klien, sehingga menyebabkan salah menilai
perilaku klien sebagai sesuatu yang abnormal. Padahal, dalam budaya klien
tersebut, perilaku klien bisa saja dianggap normal. Sementara itu,
underpathologizing terjadi saat pemeriksa tanpa pandang bulu menjelaskan
perilaku klien sebagai bagian dari budaya. Misalnya perilaku menghindar dan
ekspresi emosi klien yang datar dianggap sebagai gaya komunikasi kultural yang
lumrah ketika pada kenyataannya perilaku tersebut merupakan gejala dari depresi
Sarwono, W.S. (2016). Psikologi lintas budaya. Jakarta: Raja Grafindo Persada .
Shiraev, E. B & Levy, D. A. (2012). Psikologi lintas kultural: Pemikiran kritis dan
terapan modern. Jakarta: Kencana.