Anda di halaman 1dari 27

Referat

PSIKOTIK PADA LANSIA

Oleh :
Chichi L. Kalangi
0801116099
Masa KKM : 07 Oktober – 03 November 2019

Pembimbing :
dr. Frida M. Agu, SpKJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Orang yang sehat jiwanya merupakan orang yang: merasa sehat


dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain se-
bagaimana adanya (yaitu dapat berempati dan tidak secara apriori bersikap nega-
tive terhadap orang atau kelompok lain yang berbeda), dan mempunyai sikap
positif terhadap diri sendiri dan orang lain.1
Saat ini gangguan psikotik masih menjadi masalah di Indonesia.
Menurut penelitian WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat berkisar
satu sampai tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk lebih
kurang 30 juta, maka akan ada sebanyak 30.000-90.000 penderita psikotik. Bila
10% dari penderita perlu pelayanan perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang
harus dirawat. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda semua pasien psikotik
(skizofrenia) dirawat di Rumah Sakit Jiwa seumur hidup (dibuat koloni). Hal ini
sekarang menjadi stigma masyarakat, bahwa RSJ identik dengan gila. Tetapi
sekarang situasi sudah berbeda, tidak semua pasien dapat dirawat di RSJ. Mereka
yang fase aktif gangguan psikotiknya dirawat, sedang yang tenang dipulangkan
namun masih dalam pengawasan dalam bentuk perawatan jalan. Fase aktif meru-
pakan pasien-pasien yang menunjukkan perilaku yang membahayakan diri atau
membahayakan lingkungannya, dan mudah dikenali gejalanya. Pada fase tenang
pasien dapat beradaptasi dengan lingkungannya, meskipun terbatas.1
Gejala psikotik dapat disebabkan oleh sejumlah kondisi medis
misalnya karena delirium, gangguan sensorik, obat-obatan, prosedur medis dan
pembedahan, gangguan neurologis, infeksi, metabolik, dan endokrin. Bahkan di
klinik khusus geropsikiatri, mayoritas lansia yang datang dengan gejala psikotik
didiagnosis menderita demensia, depresi berat, delirium, dan psikosis organik
yang berkaitan dengan kondisi yang dialami.2 Anamnesis riwayat secara menye-
luruh untuk menentukan apakah individu tersebut mengalami gejala psikotik atau
psikiatrik lainnya, telah terdiagnosis atau menjalani perawatan psikiatrik saat ini
atau sebelumnya pernah, serta memiliki riwayat keluarga dengan masalah keji-
waan. Anamnesis dari individu yang sakit dapat ditanyakan pada orang lain yang
cukup akrab dengannya. Ketika orang lanjut usia (lansia) mengalami gejala-gejala
psikotik, harus dilakukan diagnosa diferensial untuk mengidentifikasi alasan tim-
bulnya gejala dan untuk menyingkirkan atau mengidentifikasi pemicu medis dan
farmakologis dari gejala-gejala tersebut.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Lansia
Lansia diukur menurut usia kronologis, fisiologis (biologi) dan
kematangan mental , ketiganya seringkali tak berjalan secara sejajar seperti yang
diharapkan. Dalam geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) yang dianggap penting
adalah usia biologis seseorang bukan usia kronologisnya.4
Menurut World Health Organization (WHO) bahwa usia lanjut
meliputi: usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) yaitu ke-
lompok usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) yaitu kelompok usia di atas 90
tahun.5
Departemen Kesehatan membagi lansia menjadi 3 kelompok ber-
dasarkan usianya yaitu pra lansia yaitu kelompok usia 45- 59 tahun, lansia yaitu
kelompok usia 60 tahun atau lebih, dan lansia beresiko tinggi yaitu kelompok usia
70 tahun atau lebih, atau usia 60-69 tahun namun bermasalah (misalnya depresi,
pikun, delirium, hipertensi).6

B. Definisi Psikotik
Gangguan psikotik merupakan semua kondisi yang menunjukkan
adanya hendaya berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku
individu dalam suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya men-
galami hendaya berat kemampuan daya nilai realitas.7
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misalnya
adanya ;
- waham, halusinasi tanpa tilikan akan sifat patologinya;
- adanya perilaku yg kacau (grossly disorganized) misalnya bicara yg inko-
heren, perilaku agitasi tanpa tujuan, disorientasi pada delirium;
- adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dengan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan tidak mampu dalam tugas pekerjaan sehari-hari.
Gangguan psikotik merupakan gangguan mental yang ditandai dengan ke-
rusakan menyeluruh dalam uji realitas seperti yang ditandai dengan delusi, halusi-
nasi, bicara inkohern yang jelas, atau perilaku yang tidak teratur atau mengacau,
biasanya tanpa ada kewaspadaan pasien terhadap inkomprehensibilitas dalam
tingkah lakunya.8

C. Etiologi Psikotik8,9
Faktor psikodinamik yang harus diperhatikan di dalam kelompok
gangguan psikotik ini ialah stresor pencetus dan lingkungan interpersonal. Dalam
menggali riwayat penyakit dan memeriksa pasien, klinisi harus memperhatikan
tiap perubahan atau stres pada lingkungan interpersonal pasien. Pasien rentan ter-
hadap kebutuhan psikosis untuk mempertahankan jarak interpersonal tertentu;
seringkali, pelanggaran batas pasien oleh orang lain dapat menciptakan stres yang
melanda yang menyebabkan dekompensasi. Demikian juga, tiap keberhasilan atau
kehilangan mungkin merupakan stresor yang penting dalam kasus tertentu.
Pemeriksaan pasien psikotik harus mempertimbangkan kemungkinan
bahwa gejala psikotik tersebut disebabkan oleh kondisi medis umum, contohnya
suatu tumor otak atau ingesti zat seperti phencyclidine.
Kondisi fisik seperti neoplasma serebral, khususnya di daerah oksipitalis
dan temporalis juga dapat menyebabkan halusinasi. Pemutusan sensorik, seperti
yang terjadi pada orang buta dan tuli, juga dapat menyebabkan pengalaman ha-
lusinasi dan waham. Lesi yang mengenai lobus temporalis dan daerah otak
lainnya, khususnya di hemisfer kanan dan lobus parietalis, adalah disertai dengan
waham.
Zat psikoaktif merupakan penyebab yang umum dari sindroma psikotik.
Zat yang paling sering terlibat ialah alkohol, halusinogen indol seperti, lysergic
acid diethylamid (LSD) – amfetamin, kokain. Mescalin, phencyclidine (PCP), dan
ketamin. Banyak zat lain, termasuk steroid dan thyroxine, dapat disertai dengan
halusinasi. Beberapa obat-obatan seperti fenilpropanolamin bromocriptine juga
dapat menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala psikotik.
D. Klasifikasi7,10
1. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya
a. Skizofrenia7
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hamper 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Memenuhi
kriteria umum diagnosis skizofrenia, dimana adanya gejala-gejala khas ter-
sebut telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).

Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Skizofrenia.

A. Gejala Karakteristik : Dua (atau lebih) poin berikut, masing – masing terjadi dalam porsi
waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati) :
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
(4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
(5) Gejala negative, yaitu afektif mendatar, alogia, atau kehilangan minat

B. Disfungsi social/okupasional : selama satu porsi waktu yang signifikan sejak awitan
gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interper-
sonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah dicapai sebelum
awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak – kanak atau remaja, kegagalan men-
capai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau okupasional yang diharapkan ).

C. Durasi : tanda kontiyu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6 bulan ini
harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala(atau kurang bila berhasil diobati) yang memen-
uhi criteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala prodromal atau residual
ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala negative saja atau dua atau lebih
gejala yang terdaftar dalam Kriteria A yang muncul dalam bentuk yang lebih lemah (cth,
keyakinan aneh, pengalaman perceptual yang tidak lazim)
D. Ekslusi gangguan mood dan skizoafektif : Gangguan skizoafektif dan gangguan mood
dengan cirri psikotik telah disingkirkan baik karena (1) tidak ada episode depresif,manic,
atau campuran mayor yang terjadi bersamaan denga gejala fase aktif, maupun (2) jika epi-
sode mood terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relative singkat dibandingkan
durasi periode aktif dan residual.

E. Eklusi kondisi medis umum/zat : gangguan tersebut tidak disebabkan oleh fisiologis lang-
sung suatu zat(cth obat yang disalahguakan,obat medis) atau kondisi medis umum

F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive : jika terdapat riwayat gangguan au-
tistic atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis tambahan skizofrenia han-
ya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat selama setidaknya satu
bulan(atau kurang bila telah berhasil diobati)

Tabel 2. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Subtipe Skizofrenia.

Tipe Paranoid
Tipe Skizofrenia yang memenuhi criteria berikut
A. Preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering
B. Tidak ada hal berikut ini yang prominen: bicara kacau, perilaku kacau atau katatatonik,
atau afek datar atau tidak sesuai.

Tipe Hebefrenik (Disorganized)


Tipe skizofrenia yang memenuhi criteria berikut
A. Semua hal di bawah ini prominen
(1) Bicara kacau
(2) Perilaku kacau
(3) Afek datar atau tidak sesuai
B. Tidak memenuhi criteria tipe katatonik
Tipe Katatonik
Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal berikut :
(1) Imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (termasuk fleksibilitas serea)
atau stupor
(2) Aktivitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan dan tidak di-
pengaruhi stimulus eksternal)
(3) Negativism ekstrim (resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap semua instruksi atau
dipertahankannya suatu postur rigid dari usaha menggerakkan) atau mutisme
(4) Keanehan gerakan volunteer sebagaimana diperlihatkan oleh pembentukkan postur (secara
volunteer menempatkan diri dalam postur yang tidak sesuai atau bizar), gerakan stereotipi,
menerisme prominen, atau menyeringai secara prominen
(5) Ekolalia atau ekopraksia

Tipe tak Terdiferensiasi


Tipe skizofrenia yang gejalanya memenuhi Kriteria A, namun tidak ,memenuhi criteria tipe para-
nois,hebefrenik, atau katatatonik.

Tipe Residual
Tipe Skizofrenia yang memenuhi criteria sebagai berikut
A. Tidak ada waham, halusinasi, bicara kacau yang prominen, serta perilaku sangat kacau
atau katatonik
B. Terdapat bukti kontinu adanya gangguan sebagaimana diindikasikan oleh adanya gejala
negative atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada Kriteria A untuk skizofrenia, yang
tampak dalam bentuk yang lebih lemah (cth keyakinan yang aneh, pengalaman perceptual
tak lazim)

b. Gangguan Skizotipal
Tidak terdapat onset yang pasti dan perkembangan serta perjalanannya biasanya
menyerupai gangguan kepribadian.
c. Gangguan Waham Menetap
Kelompok ini meliputi gangguan dengan waham-waham yang berlangsung lama
(paling sedikit selama 3 bulan) sebagai satu-satunya gejala klinis yang khas atau
yang paling mencolok dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental or-
ganic, skizofrenia atau gangguan efektif.
d. Gangguan Psikotik Akut dan Sementara
Memiliki onset yang akut (dalam masa 2 minggu), kesembuhan yang sempurna
biasanya terjadi dala 2-3 bulan, sering dalam beberapa minggu atau bahkan be-
berapa hari, dan hanya sebagian kecil dari pasien dengan gangguan ini berkem-
bang menjadi keadaan yang menetap dan berhendaya.6
e. Gangguan Waham Induksi
Dua orang atau lebih mengalami waham atau system waham yang sama, dan sling
mendukung dalam keyakinan waham itu. Yang menderita waham orisinil
(gangguan psikotik) hanya satu orang, waham tersebut terinduksi (mempengaruhi)
lainnya, dan biasanya menghilang apabila orang-oarang tersebut dipisahkan.
Hampir selalu orang-orang yang terlibat mempunyai hubungan yang sangat dekat.
Jika ada alas an untuk percaya bahwa duaorang yang tinggal bersama mempunyai
gangguan psikotik yang terpisah, maka tidak astupun diantaranya boleh dimasuk-
kan dalam kode diagnosis ini.
f. Gangguan Skizoafektif
Merupakan gangguan yang bersifa episodic dengan gejala afektif dan skizofrenik
yang sama-sama menonjol dan secara bersamaan ada dalam episode yang sama.
g. Gangguan Psikotik Non-Organik Lainnya
Gangguan psikotik yang tidak memenuhi criteria untuk skizofrenia atau untuk
gangguan afektif yang bertipe psikotik, dan gangguan-gangguan yang psikotik
yang tidak memenuhi criteria gejala untuk gangguan waham menetap.

1. Gangguan Suasana Perasaan (Mood {Afektif})


a. Episode Manik
Kesamaan karakteristik dalam afek yang meningkat, disertai peningkatan
dalam jumlah dan kecepatan aktivitas fisik dan mental, dalam berbagai de-
rajat keparahan.
b. Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini bersifat episode berulang (sekurang-kurangnya 2 episode)
dimana afek pasien dan yingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada wktu
tertentu terdiri dari peningkatan afekdisertai penembahan energy dan ak-
tivitas (mania atau hipomania), dan pada waktu lain berupa penurunan
afek disertai pengurangan energy dan aktivitas (depresi).
c. Episode Depresi
Gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
dan menurunnya aktivitas. Pada episode depresi, dari ketiga tingkat
keparahan tersebut diperlukan sekurang-kurangnya 2 minggu untuk mene-
gakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika
gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.
d. Gangguan Depresif Berulang
Terbagi atas episode depresi ringan, episode depresi sedang dan episode
depresi berat. Masing-masing episode tersebut rata-rata lamanya sekitar 6
bulan, akan tetapi frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan
gangguan bipolar.
e. Gangguan Suasana Perasaan Menetap
Terbagi atas (i)Skilotimia, ciri esensialnya adalah ketidak-stabilan menetap
dari afek(suasana perasaan), meliputi banyak periode depresi ringan dan
hipomania ringan, diantaranya tidak ada yang cukup parah atau cukup la-
ma untuk memenuhi criteria gangguan afektif bipolar. (ii)Distimia, cirri
esensialnya ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak
pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi criteria gangguan
depresif berulang ringan atau sedang.
f. Gangguan Suasana Perasaan Lainnya
Kategori sisa untuk gangguan suasana perasaan menetap yang tidak cukup
parah atau tidak berlangsung lama untuk memenuhi criteria skilotimia dan
distimia.

E. Epidemiologi
Menurut penelitian WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat berkisar
satu sampai tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk lebih
kurang 30 juta, maka akan ada sebanyak 30.000-90.000 penderita psikotik. Bila
10% dari penderita perlu pelayanan perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang
harus dirawat. Tetapi tidak semua bisa dirawat karena kapasitas pelayanan
perawatan psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur. Sisa yang tidak
terawat berada dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu pengawasan
yang seksama. Pasien psikotik yang mungkin tenang terkadang tak terduga akan
menjadi agresif tanpa stressor psikososial yang jelas. Pada zaman pemerintahan
kolonial Belanda semua pasien psikotik (skizofrenia) dirawat di Rumah Sakit Jiwa
seumur hidup (dibuat koloni). Hal ini sekarang menjadi stigma masyarakat, bahwa
RSJ identik dengan gila. Tetapi sekarang situasi sudah berbeda, tidak semua
pasien dapat dirawat di RSJ. Mereka yang fase aktif gangguan psikotiknya
dirawat, sedang yang tenang dipulangkan namun masih dalam pengawasan dalam
bentuk perawatan jalan. Fase aktif adalah pasien-pasien yang menunjukkan per-
ilaku yang membahayakan diri atau membahayakan lingkungannya, dan mudah
dikenali gejalanya. Pada fase tenang pasien dapat beradaptasi dengan ling-
kungannya, meskipun terbatas. Perjalanan psikiatrik tidak terbatas pada Rumah
Sakit Jiwa yang ada, tetapi di Rumah Sakit Umum pun ada pelayanan psikiatrik
yang dilakukan oleh psikiater. Yakni pelayanan integrasi dan konsultasi psikiatri
di RSU, mengingat jumlah psikiater yang ada belum memadai sesuai kebutuhan.1
Prevalensi gangguan psikotik di kalangan lansia berkisar dari 0,2% hingga 4,75%
dalam sampel komunitas, hingga 8% hingga 10% di unit geropsikiatri dan panti
jompo. Data studi epidemiologi daerah tangkapan air (ECA) menunjukkan preva-
lensi poin 0,2% dan prevalensi seumur hidup 0,3% di antara orang dewasa dengan
umur lebih dari 65tahun. Dengan catatan bahwa studi ECA tidak memasukkan
individu dengan timbulnya gejala setelah 45. Perkiraan terbaru menempatkan
prevalensi sebenarnya skizofrenia sekitar 1% di antara orang dewasa yang lebih
tua; Dengan kata lain, ternyata 13,6% orang dengan skizofrenia berusia 65 tahun
atau lebih.11 Namun, prevalensi gejala psikotik bervariasi di antara populasi dan
pengaturan yang berbeda. Ostling dan Skoog menemukan bahwa 10,1% sampel
mereka dari orang dewasa non-gila yang tinggal di komunitas di atas 85 men-
galami gejala psikotik, yang sebagian besar dikaitkan dengan depresi, kecacatan
dalam kehidupan sehari-hari, dan defisit visual. Gejala psikotik di antara individu
dengan demensia bisa lebih dari 60%.12
F. Manifestasi Klinis7,8,10
Perilaku kacau
Kewajiban umum dan dasar manusia dalam masyarakat lingkungan ke-
hidupan serta rumah tangga adalah bekerja untuk mendapatkan nafkah, atau
bekerja sesuai fungsinya, walaupun bukan untuk mendapatkan uang atau materi.
Kewajiban dalam rumah tangga, kehidupan sosial dalam masyarakat yaitu berso-
sialisasi dan penggunaan waktu senggang.
Pada penderita psikotik fungsi pekerjaan sering tak bisa dijalankan dengan
seksama, tak mau bekerja sesuai kewajiban dan tanggungjawab dalam keluarga,
atau tak mampu bekerja sesuai dengan tingkat pendidikan. Sering terjadi tak mau,
tak mampu bekerja dan malas.
Dalam kehidupan sosial sering ada penarikan diri dari pergaulan sosial
atau penurunan kemampuan pergaulan sosial. Misalnya setelah sakit stres berat
menarik diri dari organisasi sosial kemasyarakatan, atau sering terjadi
kemunduran kemampuan dalam melaksanakan fungsi sosial dan pekerjaannya.
Pada penggunaan waktu senggang orang normal bisa bercengkrama
dengan anggota keluarga atau masyarakat, atau membuat program kerja rekreasi
dan dapat menikmatinya. Namun pada penderita gangguan jiwa berat keadaan ter-
sebut dilewatkan dengan banyak melamun, malas, bahkan kadang-kadang perawa-
tan diri sehari-hari dilalaikan seperti makan, minum, mandi, dan ibadah.

Waham
Waham adalah isi pikir (keyakinan atau pendapat) yang salah dari
seseorang. Meskipun salah tetapi individu itu percaya betul, sulit dikoreksi oleh
orang lain, isi pikir bertentangan dengan kenyataan, dan isi pikir terkait dengan
pola perilaku individu. Seorang pasien dengan waham curiga, maka pola perilaku
akan menunjukkan kecurigaan terhadap perilaku orang lain, lebih-lebih orang
yang belum dikenalnya. Bisa terjadi kecurigaan kepada orang sekitarnya akan me-
racuni atau membunuh dia. Akibat waham curiga ini pada orang yang sebelumnya
bersifat emosional agresif. Ia bisa membunuh orang karena wahamnya kalau tidak
dibunuh, ia akan dibunuh. Atau ia akan diracuni dan dibuat celaka oleh orang
yang dibunuhnya.
Halusinasi
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa ada rangsangan. Pasien me-
rasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tak ada
sesuatu rangsang pada kelima indera tersebut.
Halusinasi dengar adalah gejala terbanyak pada pasien psikotik (99%).
Pasien psikotik yang nalar (ego)-nya sudah runtuh, maka halusinasi tersebut di-
anggap real dan tak jarang ia bereaksi terhadap halusinasi dengar. Bila halusinasi
berisi perintah untuk membunuh ia pun akan melaksanakan pembunuhan. Ini me-
mang banyak terjadi pada pasien psikotik yang membunuh keluarganya sendiri.
Sebaliknya halusinasi yang memerintah untuk bunuh diri tak jarang pasien pun
akan bunuh diri.

Illusi
Illusi adalah sensasi panca indera yang ditafsirkan salah. Pasien melihat
tali bisa ditafsirkan sebagai seekor ular. Illusi ini sering terjadi pada panas yang
tinggi dan disertai kegelisahan, dan kadang-kadang perubahan kesadaran (deliri-
um). Illusi juga sering terjadi pada kasus-kasus epilepsi (khususnya epilepsi lobus
temporalis), dan keadaan-keadaan kerusakan otak permanen.
Misalnya seorang petinju di Malang terungkap di pengadilan ia menderita
epilepsi. Ia membunuh anaknya sendiri yang masih tidur di kasur dengan parang,
karena menganggap anaknya adalah seekor kucing yang sedang tidur. Juga kasus
seorang ibu yang menyiram anak balitanya dengan air panas di Semarang bebera-
pa waktu yang lalu, dan akhirnya si anak meninggal dunia. Ia melihat dan merasa
menyiram hewan.

Tilikan Yang Buruk


Pasien psikotik merasa dirinya tidak sakit, meskipun sudah ada bukti
adanya perubahan perilaku yang jelas tidak wajar. Pasien tak mau minum obat
atau tak mau diajak berobat, atau bila ada waham dianggap mau diracuni.
Keadaan merasa tidak sakit ini yang mempersulit pengobatan, apalagi keluarga
juga mengiyakan karena merasa tak sakit ia tak mau mencari pengobatan.
Tilikan yang buruk ini merupakan ciri khas pasien psikotik. Di sini peran
keluarga penting, kalau memang menemukan gejala tersebut seperti waham, ha-
lusinasi dan illusi, segera berkonsultasi kepada tenaga kesehatan jiwa.

- Gejala Psikotik Akut


Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu :
 Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
 Keyakinan atau ketakutan yang aneh/tidak masuk akal
 Kebingungan atau disorientasi
 Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti me-
nyendiri, kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain
atau lingkungan, bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul
tanpa alasan
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut adalah
sebagai berikut :
 Halusinasi (persepsi indera yang salah atau yang dibayangkan : misal-
nya, mendengar suara yang tak ada sumbernya atau melihat sesuatu
yang tidak ada bendanya)
 Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat
diterima oleh kelompok sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa
mereka diracuni oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau me-
rasa diamati/diawasi oleh orang lain)
 Agitasi atau perilaku aneh (bizzare)
 Pembicaraan aneh atau kacau (disorganisasi)
 Keadaan emosional yang labil dan ekstrim (iritabel)

- Gangguan Psikotik kronik


Untuk menetapkan diagnosa medik psikotik kronik data berikut merupa-
kan perilaku utama yang secara umum ada.
a. Penarika diri secara sosial
b. Minat atau motivasi rendah, pengabaian diri
c. Gangguan berpikir (tampak dari pembicaraan yang tidak nyambung atau
aneh)
d. Perilaku aneh seperti apatis, menarik diri, tidak memperhatikan kebersihan
yang dilaporkan keluarga
Perilaku lain yang dapat menyertai adalah :
e. Kesulitan berpikir dan berkonsentrasi
f. Melaporkan bahwa individu mendengar suara-suara
g. Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal sepert : memiliki kekuatan su-
pranatural, merasa dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal
h. Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seperti : merasa ada hewan atau objek
yang tak lazim di dalam tubuhnya
i. Bermasalah dalam melaksanakan pekerjaan atau pelajaran
Untuk lebih jelasnya mengenai psikotik kronik, disini dapat dijelas-
kan melalui skizofrenia dimana skizofrenia merupakan gangguan
psikotik yang kronik, pada orang yang mengalaminya tidak dapat
menilai realitas dengan baik dan pemahaman diri buruk. Gejala
klinis dari skizofrenia:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
A. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema da-
lam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda ; atau “thought insertion or withdrawal” = isi
yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
“thought broadcasting”= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya
B. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivitiy” = waham tentang
dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang
”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus); “delusional perception” =
pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi
dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
C. Halusinasi auditorik:
 suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap per-
ilaku pasien, atau
 mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
 jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
D. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat di-
anggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpola-
tion), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stu-
por;
d. gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
e. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal be-
havior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak ber-
buat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan
diri secara sosial.2

G. Patofisiologi13
Gambar otak pertama dari sebuah individu dengan psikosis selesai sejauh
kembali sebagai 1935 dengan menggunakan teknik yang disebut pneumoenceph-
alography (prosedur yang menyakitkan dan sekarang usang di mana cairan sere-
brospinal dikeringkan dari seluruh otak dan digantikan dengan udara untuk
memungkinkan struktur otak untuk menunjukkan lebih jelas pada gambar sinar-
X).

Tujuan dari otak adalah untuk mengumpulkan informasi dari tubuh (nyeri,
kelaparan, dll), dan dari dunia luar, menafsirkannya dengan pandangan dunia yang
koheren, dan menghasilkan respon yang bermakna. Informasi dari indera masuk
ke otak di daerah sensorik primer. Mereka memproses informasi dan mengi-
rimkannya ke daerah-daerah sekunder dimana informasi itu ditafsirkan. Aktivitas
spontan di daerah sensorik primer dapat menghasilkan halusinasi yang disala-
hartikan oleh daerah sekunder sebagai informasi dari dunia nyata.

Sebagai contoh, PET scan atau fMRI dari seseorang yang mengaku se-
bagai mendengar suara-suara dapat menunjukkan aktivasi di korteks pendengaran
primer, atau bagian otak yang terlibat dalam persepsi dan pemahaman berbicara.

Tersier korteks otak mengumpulkan penafsiran dari cortexes sekunder dan


menciptakan sebuah pandangan dunia yang koheren itu. Sebuah studi yang me-
nyelidiki perubahan-perubahan struktural dalam otak orang dengan psikosis
menunjukkan ada pengurangan materi abu-abu yang signifikan dalam gyrus medi-
al temporal yang tepat, frontalis lateral yang temporal, dan inferior, dan di cingu-
late korteks bilateral orang sebelum dan setelah mereka menjadi psikotik.

Temuan seperti ini telah memicu perdebatan tentang apakah psikosis itu
sendiri menyebabkan kerusakan otak dan apakah perubahan eksitotoksik berpo-
tensi merusak otak berhubungan dengan panjang dari episode psikotik. Penelitian
terbaru telah menyarankan bahwa hal ini tidak terjadi meskipun penyelidikan
lebih lanjut masih berlangsung.

Studi dengan kekurangan indera telah menunjukkan bahwa otak tergan-


tung pada sinyal dari dunia luar untuk berfungsi dengan baik. Jika aktivitas spon-
tan di otak tidak diimbangi dengan informasi dari indra, kerugian dari realitas dan
psikosis mungkin terjadi sudah setelah beberapa jam.

Fenomena serupa paranoid pada orang tua ketika mendengar penglihatan,


miskin dan memori menyebabkan orang menjadi abnormal curiga terhadap ling-
kungan.

Di sisi lain, kerugian dari realitas juga dapat terjadi jika aktivitas kortikal
spontan meningkat sehingga tidak lagi diimbangi dengan informasi dari indra.
Reseptor 5-HT2A tampaknya menjadi penting untuk ini, karena obat yang
mengaktifkan mereka menghasilkan halusinasi.

Namun, fitur utama dari psikosis bukan halusinasi, tetapi ketidakmampuan


untuk membedakan antara rangsangan internal dan eksternal. Kerabat dekat untuk
pasien psikotik mungkin mendengar suara-suara, tapi karena mereka sadar bahwa
mereka tidak nyata mereka dapat mengabaikan mereka, sehingga halusinasi tidak
mempengaruhi persepsi realitas mereka. Oleh karena itu mereka tidak dianggap
sebagai psikotik.

Psikosis telah secara tradisional dikaitkan dengan dopamin neurotransmit-


ter. Secara khusus, hipotesis dopamin psikosis telah berpengaruh dan menyatakan
bahwa hasil psikosis dari overactivity dari fungsi dopamin di otak, khususnya di
jalur mesolimbic.
Dua sumber utama bukti yang diberikan untuk mendukung teori ini adalah
bahwa reseptor dopamin D2 memblokir obat (misalnya, antipsikotik) cenderung
mengurangi intensitas gejala psikotik, dan bahwa obat yang meningkatkan aktivi-
tas dopamin (seperti amfetamin dan kokain) dapat memicu psikosis di beberapa
orang.

Namun, bukti meningkat dalam waktu belakangan ini telah menunjuk


kemungkinan disfungsi neurotransmitter glutamat excitory, khususnya, dengan
aktivitas reseptor NMDA. Teori ini diperkuat oleh fakta bahwa antagonis reseptor
NMDA disosiatif seperti ketamin, PCP dan dekstrometorfan / detrorphan (pada
overdosis besar) menginduksi keadaan psikotik yang lebih mudah daripada stimu-
lan dopinergic, bahkan pada "normal" dosis rekreasi.

Gejala-gejala keracunan disosiatif juga dianggap cermin gejala skizofre-


nia, termasuk gejala psikotik negatif, lebih erat dari psikosis amphetamine.
Psikosis yang diinduksi disosiatif terjadi secara lebih handal dan diprediksi da-
ripada psikosis amphetamine, yang biasanya hanya terjadi dalam kasus-kasus
overdosis, penggunaan jangka panjang atau dengan kurang tidur, yang secara in-
dependen dapat menghasilkan psikosis. Obat antipsikotik baru yang bertindak pa-
da reseptor glutamat dan yang sedang menjalani uji klinis. Hubungan antara do-
pamin dan psikosis umumnya diyakini menjadi kompleks. Sementara reseptor do-
pamin D2 menekan aktivitas adenilat siklase, reseptor D1 meningkat itu. Jika D2-
blocking obat diberikan dopamin diblokir tumpah ke reseptor D1.

H. Penatalaksanaan14,15
Farmakoterapi
Pada keadaan gawat darurat, seorang pasien yang teragitasi parah harus
diberikan suatu obat antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan klin-
ik yang dilakukan secara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada, sebagian
besar klinisi berpendapat bahwa obat antipsikotik adalah obat terpilih untuk
gangguan delusional. Obat antipsikotik juga merupakan suatu pengobatan farma-
kologis yang paling banyak digunakan pada orang tua dengan gangguan psikotik.
Meskipun ada kelangkaan studi yang dilakukan dengan baik (dengan beberapa uji
coba terkontrol secara acak), ada beberapa bukti bahwa obat anti-psikotik ini
meningkatkan gejala akut dan mencegah kekambuhan (Jeste et al, 1996).
Pasien gangguan delusional kemungkinan menolak medikasi karena mere-
ka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat ke dalam system wahamnya.
Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sa-
kit, malahan, harus menggunakan beberapa hari untuk mendapatkan rapport
dengan pasien. Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien,
sehingga pasien kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman yang terbaik da-
lam memilih suatu obat. Seringkali, dokter harus mulai dengan dosis rendah ―
sebagai contoh, haloperidol (haldol) 2 mg ― dan meningkatkan dosis secara per-
lahan-lahan. Jika pasien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup dalam
percobaan selama enam minggu, antipsikotik dari kelas lain harus dicoba. Be-
berapa peneliti telah menyatakan bahwa pimozide (Orap) mungkin efektif dalam
gangguan delusional, khususnya pada pasien dengan waham somatik. Penyebab
kegagalan obat yang tersering adalah ketidakpatuhan, dan kemungkinan tersebut
harus diperhitungkan.
Jika pasien tidak mendapatkan manfaat dari medikasi antipsikotik, obat
harus dihentikan. Pada pasien yang berespon terhadap antipsikotik, beberapa data
menyatakan bahwa dosis pemeliharaan adalah rendah. Walaupun pada dasarnya
tidak ada data yang mengevaluasi penggunaan antidepresan, lithium (Eskalith),
atau antikonvulsan ― sebagai contohnya, carbamazepine (Tegretol) dan valproate
(Depakene) ― di dalam pengobatan gangguan delusional, percobaan dengan obat-
obat tersebut mungkin diperlukan pada pasien yang tidak responsif terhadap obat
antipsikotik. Percobaan dengan obat-obat tersebut harus dipertimbangkan jika
seorang pasien memiliki ciri suatu gangguan mood atau suatu riwayat keluarga
adanya gangguan mood.
Dua kelas utama obat yang harus dipertimbangkan di dalam pengobatan
gangguan psikotik singkat adalah obat antipsikotik antagonis reseptor dopamine
dan benzodiazepine. Jika dipilih suatu antipsikotik, suatu antipsikotik potensi
tinggi ― sebagai contohnya, haloperidol (Haldol) ― biasanya digunakan. Khu-
susnya pada pasien yang berada dalam resiko tinggi untuk mengalami efek
samping ekstrapiramidal (sebagai contohnya, orang muda), suatu obat antikolin-
ergik kemungkinan harus diberikan bersama-sama dengan antipsikotik sebagai
profilaksis terhadap gajala gangguan pergerakan akibat medikasi. Selain itu, ben-
zodiazepine dapat digunakan dalam terapi singkat psikosis. Walaupun benzodiaz-
epine memiliki sedikit kegunaan atau tanpa kegunaan dalam pengobatan jangka
panjang gangguan psikotik, obat dapat efektif untuk jangka singkat dan disertai
dengan efek samping yang lebih jarang daripada antipsikotik. Pada kasus yang
jarang benzodiazepine disertai dengan peningkatan agitasi, dan pada kasus yang
lebih jarang lagi, dengan kejang putus obat (withdrawal seizure), yang biasanya
hanya terjadi pada penggunaan dosis tinggi terus menerus. Penggunaan obat lain
dalam terapi gangguan psikotik singkat, walaupun dilaporkan di dalam laporan
kasus, belum didukung oleh penelitian skala besar. Tetapi, medikasi hipnotik
seringkali berguna selama satu sampai dua minggu pertama setelah resolusi epi-
sode psikotik. Pemakaian jangka panjang medikasi harus dihindari dalam pen-
gobatan gangguan ini. Jika medikasi pemeliharaan diperlukan, klinisi harus mem-
pertimbangkan ulang diagnosis.

Psikoterapi
Secara umum tujuan psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur
kepribadian, mematangkan kepribadian, memperkuat ego, meningkatkan citra diri,
memulihkan kepercayaan diri yang semuanya itu untuk mencapai kehidupan yang
berarti dan bermanfaat.
a. Psikoterapi supportif
Untuk memberi dukungan, semangat, dan motivasi agar penderita tidak
merasa putus asa dan semngat juang dalam menghadapi hidup ini tidak kendur
dan menurun
b. Psikoterapi re-edukatif
Untuk memberi pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki kesala-
han pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan ini dimaksudkan men-
gubah pola pendidikan lama dengan baru sehingga penderita lebihadaptif terhadap
dunia luar.
c. Psikoterapi re-konstruktif
Untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami keretakan
menjadi pribadi yang utuh seperti semula sebelum sakit.
d. Psikoterapi kognitif
Untuk memulihkan kembali daya kognitif (daya piker dan daya ingat) ra-
sional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika, mana yang
baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal dan haram dan se-
bagainya.
e. Psikoterapi psiko-dinamik
Psiko-dinamik adalah suatu pendekatan konseptual yang memandang
proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi kuantitas-kuantitas energy
psikik yang berlangsung intra-individual (antar bagian-bagian struktur psikik) dan
inter-individual (antar orang).8
Untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaaan yang
dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan keluarnya.
Diharapkan penderita dapat memahami kelebihan dan kelemahan dirinya dan
mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan baik.
f. Psikoterapi perilaku
Untuk memulihkan gangguan prilaku yang terganggu menjadi prilaku
yang adaptif (mampu menyesuaikan diri). Kemampuan adaptasi penderita perlu
dipulihkan agar penderita mampu berfungsi kembali secara wajar dalam ke-
hidupannya sehari-hari baik dirumah, disekolah dan lingkungan sosialnya.
g. Psikoterapi keluarga
Untuk memulihkan hubungan penderita dengan keluarganya diharapkan
keluarga dapat memahami mengenai gangguan jiwa skizofrenia dan dapat mem-
bantu mempercepat proses penyembuhan penderita.
- Psikososial
Diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan
kesibukan dan banyak bergaul (silaturahmi/sosialisasi)
- Psikospiritual9
D.B. Larson, dkk (1992) dalam penilitiannya sebagaimana termuat dalam
“Religious Commitment and Health” (APA, 1992), menyatakan antara lain
bahwa agama (keimanan) amat penting dalam meningkatkan seseorang da-
lam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta mempercepat
penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Synderman (1996)
menyatakan bahwa terapi medis tanpa agama (doa), tidak lengkap; se-
baliknya agama (doa) saja tanpa terapi medis, tidak efektif.

H. Pencegahan16
Perkembangan kepribadian seseorang manusia itu ditentukan oleh in-
teraksi dari 4 pilar; yaitu organobiologik, psiko-edukatif, psikososial dan psi-
koreligius. Hal ini sesuai dengan batasan sehat oleh WHO (1984) yaitu sehat fisik,
sehat jiwa/mental, sehat social, dan sehat spiritual yang juga diadopsi oleh APA
(American Psychiatric Associatiom, 1992)
a.Organobiologik
Menghindari kemungkina adanya factor genetic (turunan), maka perluditeliti ri-
wayat atau silsilah keluarga.
Menghindari adanya kemungkinan factor epigenetic, maka hendaknya selama ke-
hamilan seorang ibu perlu mendapatkan perawatan yang baik agar tidak terjadi
gangguan pada perkembangan otak janin.
b.Psiko-edukatif
Pendidikan anak hendaknya sedemikian rupa sehingga dapat dihindari ter-
bentuknya sifat atau cirri kepribadian yang rawan atau rentan bagi terjadinya
gangguan skizofrenia, misalnya yang tergolong kepribadian promorbid
(kepribadian paranoid, schizoid, skizotipal dan ambang).
c.Psiko-religius
Setiap manusia (meskipun ia seorang atheis sekalipun) pada hakekatnya ada kebu-
tuhan dasar kerohanian. Setiap orang membutuhkan rasa aman, tenang, tentram,
terlindungi; bebas dari rasa cemas, ketakutan, depresi, stress, dan lain sebagainya.
Bagi mereka yang beragama kebutuhan rohani ini dpat diperoleh lewat agama;
namun bagi mereka yang sekuler dan mengingkarinya, menempuh lewat penya-
lahgunaan NAZA ataupun jalur lainnya.
d.Psikososial
Dalam kehidupan sehari-hari anak tumbuh kembang di tiga tempat, yaitu di rumah
(Keluarga), di sekolah (lembaga pendidikan) dan di lingkungan masyarakat so-
sialnya. Kondisi social di masing-masing tempat tersebut akan berinteraksi satu
dengan lainnya dan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Maka untuk
mencegahnya kita harus menciptakan keluarga yang harmonis, lembaga pendidi-
kan yang baik dan lingkungan pergaulan social yang sehat
BAB III
PENUTUP

Gangguan psikotik merupakan semua kondisi yg menunjukkan


adanya hendaya berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku
individu dlm suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya mengala-
mi hendaya berat kemampuan daya nilai realitas.
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misal adanya ;
- waham, halusinasi tanpa tilikan akan sifat patologinya; adanya perilaku yg
demikian kacau ( grossly disorganized ) misalnya bicara yg inkoheren, perilaku
agitasi tanpa tujuan, disorientasi pd delirium dst;
- adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dgn penarikan diri dari pergaulan
sosial dan tidak mampu dlm tugas pekerjaan sehari-hari.
Banyak faktor yang menyebabkan gangguan psikotik. Diklinik khusus
geropsikiatri, mayoritas lansia yang datang dengan gejala psikotik biasanya telah
didiagnosis menderita demensia, depresi berat, delirium, dan psikosis organik
yang berkaitan dengan kondisi yang dialami.
Faktor psikodinamik yang harus diperhatikan di dalam kelompok
gangguan psikotik ini ialah stresor pencetus dan lingkungan interpersonal,
pemeriksaan pasien psikotik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa
gejala psikotik tersebut disebabkan oleh kondisi medis umum (sebagai contohnya,
suatu tumor otak) atau ingesti zat (sebagai contohnya, phencyclidine), zat
psikoaktif seperti alkohol, kokain dan lysergic acid diethylamid (LSD) atay am-
fetami penyebab penyebab yang umum dari sindroma psikotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 13
2. Holroyd S, Laurie S. Correlates of Psychotic Symptoms Among Elderly Out-
patients. Int J Geriatri Psychiatry. 1999 May; 14(5):379-84
3. Desai AK, Grossberg GT. Buspirone in Alzheimer’s Disease. Expert Rev
Neurotherap. 2003;3:19-28
4. Darmojo, R.B, & Martono, H.H. (2004). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI
5. WHO. 2008. Global Burden of Diseases Update 2004
6. Departemen Kesehatan.( 2004). Buku pedoman Upaya pembinaan kesehatan
jiwa usia lanjut. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Jakarta
7. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 147-
16
8. Nurmah, Islamiyah N, dkk. Psikotik dan Skizofrenia. 12 April 2011. Diunduh
dari: http://id.scribd.com/doc/74666207/PSIKOTIK-lengkap
9. News Medical. Apa Penyebab Psikosis. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/What-Causes-Psychosis-
(Indonesian).aspx
10. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi
ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 169-
187
11. Kinon Bruce, Hill Angela, Liu Hong, Kollack-Walker Sara. Olanzapine orally
disintegrating tablets in the treatment of acutely ill non-compliant patients
with schizophrenia. International Journal of Neuropsychopharmacology.
2003. Indianapolis USA
12. Ostling Svante, Skoog Ingmar. Psychotic symptom and paranoid ideation in a
nondemented population-based sample of the very old. Arch Gen Psychiatry
2002;59:53-59
13. News Medical. Psikosis Patofisiologi. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/Psychosis-Pathophysiology-
(Indonesian).aspx
14. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 38
15. Karim Salman, Byrne Eleanor. Treatment of psychosis in elderly people. Ad-
vances in Psychiatric Treatment (2005), vol. 11, 286–296
16. Hawari HD. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Edisi ke-2.
Cetakan 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2006

Anda mungkin juga menyukai