GANGGUAN PSIKOTIK
Oleh :
Andhika Aryandhie Dwi Putra
Pembimbing :
dr. Rusdi Effendi, Sp. Kj
BAB I
PENDAHULUAN
Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang: merasa sehat dan bahagia, mampu
menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya (yaitu dapat
berempati dan tidak secara apriori bersikap negative terhadap orang atau kelompok lain yang
berbeda), dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Saat ini gangguan psikotik masih menjadi masalah di Indonesia. Menurut penelitian
WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat berkisar satu sampai tiga permil
penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk lebih kurang 30 juta, maka akan ada
sebanyak 30.000-90.000 penderita psikotik. Bila 10% dari penderita perlu pelayanan
perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang harus dirawat. Tetapi tidak semua bisa dirawat
karena kapasitas pelayanan perawatan psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur.
Sisa yang tidak terawat berada dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu
pengawasan yang seksama. Pasien psikotik yang mungkin tenang terkadang tak terduga akan
menjadi agresif tanpa stressor psikososial yang jelas.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda semua pasien psikotik (skizofrenia)
dirawat di Rumah Sakit Jiwa seumur hidup (dibuat koloni). Hal ini sekarang menjadi stigma
masyarakat, bahwa RSJ identik dengan gila. Tetapi sekarang situasi sudah berbeda, tidak
semua pasien dapat dirawat di RSJ. Mereka yang fase aktif gangguan psikotiknya dirawat,
sedang yang tenang dipulangkan namun masih dalam pengawasan dalam bentuk perawatan
jalan. Fase aktif adalah pasien-pasien yang menunjukkan perilaku yang membahayakan diri
atau membahayakan lingkungannya, dan mudah dikenali gejalanya. Pada fase tenang pasien
dapat beradaptasi dengan lingkungannya, meskipun terbatas. Perjalanan psikiatrik tidak
terbatas pada Rumah Sakit Jiwa yang ada, tetapi di Rumah Sakit Umum pun ada pelayanan
psikiatrik yang dilakukan oleh psikiater. Yakni pelayanan integrasi dan konsultasi psikiatri di
RSU, mengingat jumlah psikiater yang ada belum memadai sesuai kebutuhan.
Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan,
deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari gangguan psikotik ini. Penulis berusaha untuk
menuliskan aspek-aspek yang dirasakan perlu untuk dipahami melalui tinjauan pustaka dalam
referat ini dan diharapkan dapat bermanfaat.
BAB II
2
PEMBAHASAN
II. 1
Definisi
Psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan ketidak mampuan
individu menilai kenyataan yang terjadi, misalnya terdapat halusinasi, waham atau
perilaku kacau atau aneh.
Gangguan psikotik adalah semua kondisi yg menunjukkan adanya hendaya
berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku individu dlm suatu
saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya mengalami hendaya berat
kemampuan daya nilai realitas ( perlu dipertimbangkan faktor budaya ).
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misal adanya ;
adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dgn penarikan diri dari pergaulan
sosial dan tidak mampu dlm tugas pekerjaan sehari-hari.
Gangguan psikotik adalah gangguan mental yang ditandai dengan kerusakan
menyeluruh dalam uji realitas seperti yang ditandai dengan delusi, halusinasi, bicara
inkohern yang jelas, atau perilaku yang tidak teratur atau mengacau, biasanya tanpa
ada kewaspadaan pasien terhadap inkomprehensibilitas dalam tingkah lakunya.
II. 2
pada orang buta dan tuli, juga dapat menyebabkan pengalaman halusinasi dan waham.
Lesi yang mengenai lobus temporalis dan daerah otak lainnya, khususnya di hemisfer
kanan dan lobus parietalis, adalah disertai dengan waham.
Zat psikoaktif adalah penyebab yang umum dari sindroma psikotik. Zat yang
paling sering terlibat adalah alkohol, halusinogen indol sebagai contohnya, lysergic
acid diethylamid (LSD) amfetamin, kokain. Mescalin, phencyclidine (PCP), dan
ketamin. Banyak zat lain, termasuk steroid dan thyroxine, dapat disertai dengan
halusinasi akibat zat.2 Beberapa obat-obatan seperti fenilpropanolamin bromocriptine
dan juga dapat menyebabkan atau memperburuk gejala-gejala psikotik.
II. 3
Klasifikasi
1. Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya
a. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hamper 1%
penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Memenuhi
kriteria umum diagnosis skizofrenia, dimana adanya gejala-gejala khas
tersebut telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak
berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal).
Tabel 1. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Skizofrenia.
A.
B.
C.
D.
Gejala Karakteristik : Dua (atau lebih) poin berikut, masing masing terjadi dalam
porsi waktu yang signifikan selama periode 1 bulan (atau kurang bila berhasil diobati) :
(1) Waham
(2) Halusinasi
(3) Bicara kacau (sering melantur atau inkoherensi)
(4) Perilaku yang sangat kacau atau katatonik
(5) Gejala negative, yaitu afektif mendatar, alogia, atau kehilangan minat
Disfungsi social/okupasional : selama satu porsi waktu yang signifikan sejak awitan
gangguan, terdapat satu atau lebih area fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, yang berada jauh di bawah tingkatan yang telah
dicapai sebelum awitan (atau apabila awitan terjadi pada masa kanak kanak atau
remaja, kegagalan mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau
okupasional yang diharapkan ).
Durasi : tanda kontiyu gangguan berlangsung selama setidaknya 6 bulan. Periode 6
bulan ini harus mencakup setidaknya 1 bulan gejala(atau kurang bila berhasil diobati)
yang memenuhi criteria A (gejala fase aktif) dan dapat mencakup periode gejala
prodromal atau residual ini, tanda gangguan dapat bermanifestasi sebagai gejala
negative saja atau dua atau lebih gejala yang terdaftar dalam Kriteria A yang muncul
dalam bentuk yang lebih lemah (cth, keyakinan aneh, pengalaman perceptual yang tidak
lazim)
Ekslusi gangguan mood dan skizoafektif : Gangguan skizoafektif dan gangguan mood
dengan cirri psikotik telah disingkirkan baik karena (1) tidak ada episode
depresif,manic, atau campuran mayor yang terjadi bersamaan denga gejala fase aktif,
4
E.
F.
maupun (2) jika episode mood terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relative
singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
Eklusi kondisi medis umum/zat : gangguan tersebut tidak disebabkan oleh fisiologis
langsung suatu zat(cth obat yang disalahguakan,obat medis) atau kondisi medis umum
Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive : jika terdapat riwayat gangguan
autistic atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia hanya dibuat bila waham atau halusinasi yang prominen juga terdapat
selama setidaknya satu bulan(atau kurang bila telah berhasil diobati)
Tabel 2. Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Subtipe Skizofrenia.
Tipe Paranoid
Tipe Skizofrenia yang memenuhi criteria berikut
A. Preokupasi terhadap satu atau lebih waham atau halusinasi auditorik yang sering
B. Tidak ada hal berikut ini yang prominen: bicara kacau, perilaku kacau atau
katatatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
Tipe Hebefrenik (Disorganized)
Tipe skizofrenia yang memenuhi criteria berikut
A. Semua hal di bawah ini prominen
(1) Bicara kacau
(2) Perilaku kacau
(3) Afek datar atau tidak sesuai
B. Tidak memenuhi criteria tipe katatonik
Tipe Katatonik
Tipe skizofrenia yang gambaran klinisnya didominasi setidaknya dua hal berikut :
(1) Imobilitas motorik sebagaimana dibuktikan dengan katalepsi (termasuk fleksibilitas
serea) atau stupor
(2) Aktivitas motorik yang berlebihan (yaitu yang tampaknya tidak bertujuan dan tidak
dipengaruhi stimulus eksternal)
(3) Negativism ekstrim (resistensi yang tampaknya tak bermotif terhadap semua instruksi
atau dipertahankannya suatu postur rigid dari usaha menggerakkan) atau mutisme
(4) Keanehan gerakan volunteer sebagaimana diperlihatkan oleh pembentukkan postur
(secara volunteer menempatkan diri dalam postur yang tidak sesuai atau bizar),
gerakan stereotipi, menerisme prominen, atau menyeringai secara prominen
(5) Ekolalia atau ekopraksia
Tipe tak Terdiferensiasi
Tipe skizofrenia yang gejalanya memenuhi Kriteria A, namun tidak ,memenuhi criteria tipe
paranois,hebefrenik, atau katatatonik.
Tipe Residual
Tipe Skizofrenia yang memenuhi criteria sebagai berikut
A. Tidak ada waham, halusinasi, bicara kacau yang prominen, serta perilaku sangat
kacau atau katatonik
B. Terdapat bukti kontinu adanya gangguan sebagaimana diindikasikan oleh adanya
gejala negative atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada Kriteria A untuk
skizofrenia, yang tampak dalam bentuk yang lebih lemah (cth keyakinan yang aneh,
pengalaman perceptual tak lazim)
b. Gangguan Skizotipal
5
psikotik)
hanya
satu
orang,
waham
tersebut
terinduksi
Manifestasi Klinis
Perilaku kacau
Kewajiban umum dan dasar manusia dalam masyarakat lingkungan kehidupan
serta rumah tangga adalah bekerja untuk mendapatkan nafkah, atau bekerja sesuai
fungsinya, walaupun bukan untuk mendapatkan uang atau materi. Kewajiban dalam
untuk membunuh ia pun akan melaksanakan pembunuhan. Ini memang banyak terjadi
pada pasien psikotik yang membunuh keluarganya sendiri. Sebaliknya halusinasi yang
memerintah untuk bunuh diri tak jarang pasien pun akan bunuh diri.
Illusi
Illusi adalah sensasi panca indera yang ditafsirkan salah. Pasien melihat tali
bisa ditafsirkan sebagai seekor ular. Illusi ini sering terjadi pada panas yang tinggi dan
disertai kegelisahan, dan kadang-kadang perubahan kesadaran (delirium). Illusi juga
sering terjadi pada kasus-kasus epilepsi (khususnya epilepsi lobus temporalis), dan
keadaan-keadaan kerusakan otak permanen.
Misalnya seorang petinju di Malang terungkap di pengadilan ia menderita epilepsi. Ia
membunuh anaknya sendiri yang masih tidur di kasur dengan parang, karena
menganggap anaknya adalah seekor kucing yang sedang tidur. Juga kasus seorang ibu
yang menyiram anak balitanya dengan air panas di Semarang beberapa waktu yang
lalu, dan akhirnya si anak meninggal dunia. Ia melihat dan merasa menyiram hewan.
Tilikan Yang Buruk
Pasien psikotik merasa dirinya tidak sakit, meskipun sudah ada bukti adanya
perubahan perilaku yang jelas tidak wajar. Pasien tak mau minum obat atau tak mau
diajak berobat, atau bila ada waham dianggap mau diracuni. Keadaan merasa tidak
sakit ini yang mempersulit pengobatan, apalagi keluarga juga mengiyakan karena
merasa tak sakit ia tak mau mencari pengobatan.
Tilikan yang buruk ini merupakan ciri khas pasien psikotik. Di sini peran keluarga
penting, kalau memang menemukan gejala tersebut seperti waham, halusinasi dan
illusi, segera berkonsultasi kepada tenaga kesehatan jiwa.
A. Gangguan/ gejala Psikotik Akut
Gambaran Utama Perilaku
Pedoman Diagnostik
Untuk menegakkan diagnosis gejala pasti gangguan psikotik akut adalah sebagai
berikut :
Waham (ide yang dipegang teguh yang nyata salah dan tidak dapat diterima
oleh kelompok sosial pasien, misalnya pasien percaya bahwa mereka diracuni
oleh tetangga, menerima pesan dari televisi, atau merasa diamati/diawasi oleh
orang lain)
Gangguan berpikir (tampak dari pembicaraan yang tidak nyambung atau aneh)
Keyakinan yang aneh dan tidak masuk akal sepert : memiliki kekuatan
supranatural, merasa dikejar-kejar, merasa menjadi orang hebat/terkenal
Keluhan fisik yang tidak biasa/aneh seperti : merasa ada hewan atau objek
yang tak lazim di dalam tubuhnya
10
Untuk lebih jelasnya mengenai psikotik kronik, disini dapat dijelaskan melalui
skizofrenia Dimana Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang kronik, pada
orang yang mengalaminya tidak dapat menilai realitas dengan baik dan
pemahaman diri buruk. Gejala klinis dari skizofrenia dapat dilihat di bawah ini:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting= isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya;
b. delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya = secara jelas
merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan,
atau penginderaan khusus);
delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
11
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan
(over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme,
dan stupor;
d. gejala-gejala negative, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu
sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
II. 5
Epidemiologi
Menurut penelitian WHO prevalensi gangguan jiwa dalam masyarakat
berkisar satu sampai tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk
lebih kurang 30 juta, maka akan ada sebanyak 30.000-90.000 penderita psikotik. Bila
10% dari penderita perlu pelayanan perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang harus
dirawat. Tetapi tidak semua bisa dirawat karena kapasitas pelayanan perawatan
12
psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur. Sisa yang tidak terawat berada
dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu pengawasan yang seksama. Pasien
psikotik yang mungkin tenang terkadang tak terduga akan menjadi agresif tanpa
stressor psikososial yang jelas. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda semua
pasien psikotik (skizofrenia) dirawat di Rumah Sakit Jiwa seumur hidup (dibuat
koloni). Hal ini sekarang menjadi stigma masyarakat, bahwa RSJ identik dengan gila.
Tetapi sekarang situasi sudah berbeda, tidak semua pasien dapat dirawat di RSJ.
Mereka yang fase aktif gangguan psikotiknya dirawat, sedang yang tenang
dipulangkan namun masih dalam pengawasan dalam bentuk perawatan jalan. Fase
aktif adalah pasien-pasien yang menunjukkan perilaku yang membahayakan diri atau
membahayakan lingkungannya, dan mudah dikenali gejalanya. Pada fase tenang
pasien dapat beradaptasi dengan lingkungannya, meskipun terbatas. Perjalanan
psikiatrik tidak terbatas pada Rumah Sakit Jiwa yang ada, tetapi di Rumah Sakit
Umum pun ada pelayanan psikiatrik yang dilakukan oleh psikiater. Yakni pelayanan
integrasi dan konsultasi psikiatri di RSU, mengingat jumlah psikiater yang ada belum
memadai sesuai kebutuhan.
II. 6
Patofisiologi
Gambar otak pertama dari sebuah individu dengan psikosis selesai sejauh
kembali
sebagai
1935
dengan
menggunakan
teknik
yang
disebut
menunjukkan ada pengurangan materi abu-abu yang signifikan dalam gyrus medial
temporal yang tepat, frontalis lateral yang temporal, dan inferior, dan di cingulate
korteks bilateral orang sebelum dan setelah mereka menjadi psikotik.
Temuan seperti ini telah memicu perdebatan tentang apakah psikosis itu
sendiri menyebabkan kerusakan otak dan apakah perubahan eksitotoksik berpotensi
merusak otak berhubungan dengan panjang dari episode psikotik. Penelitian terbaru
telah menyarankan bahwa hal ini tidak terjadi meskipun penyelidikan lebih lanjut
masih berlangsung.
Studi dengan kekurangan indera telah menunjukkan bahwa otak tergantung
pada sinyal dari dunia luar untuk berfungsi dengan baik. Jika aktivitas spontan di otak
tidak diimbangi dengan informasi dari indra, kerugian dari realitas dan psikosis
mungkin terjadi sudah setelah beberapa jam.
Fenomena serupa paranoid pada orang tua ketika mendengar penglihatan,
miskin dan memori menyebabkan orang menjadi abnormal curiga terhadap
lingkungan.
Di sisi lain, kerugian dari realitas juga dapat terjadi jika aktivitas kortikal
spontan meningkat sehingga tidak lagi diimbangi dengan informasi dari indra.
Reseptor 5-HT2A tampaknya menjadi penting untuk ini, karena obat yang
mengaktifkan mereka menghasilkan halusinasi.
Namun, fitur utama dari psikosis bukan halusinasi, tetapi ketidakmampuan
untuk membedakan antara rangsangan internal dan eksternal. Kerabat dekat untuk
pasien psikotik mungkin mendengar suara-suara, tapi karena mereka sadar bahwa
mereka tidak nyata mereka dapat mengabaikan mereka, sehingga halusinasi tidak
mempengaruhi persepsi realitas mereka. Oleh karena itu mereka tidak dianggap
sebagai psikotik.
Psikosis telah secara tradisional dikaitkan dengan dopamin neurotransmitter.
Secara khusus, hipotesis dopamin psikosis telah berpengaruh dan menyatakan bahwa
hasil psikosis dari overactivity dari fungsi dopamin di otak, khususnya di jalur
mesolimbic.
Dua sumber utama bukti yang diberikan untuk mendukung teori ini adalah
bahwa reseptor dopamin D2 memblokir obat (misalnya, antipsikotik) cenderung
mengurangi intensitas gejala psikotik, dan bahwa obat yang meningkatkan aktivitas
dopamin (seperti amfetamin dan kokain) dapat memicu psikosis di beberapa orang.
Namun, bukti meningkat dalam waktu belakangan ini telah menunjuk
kemungkinan disfungsi neurotransmitter glutamat excitory, khususnya, dengan
aktivitas reseptor NMDA. Teori ini diperkuat oleh fakta bahwa antagonis reseptor
14
Penatalaksanaan
i.
Farmakoterapi
Pada keadaan gawat darurat, seorang pasien yang teragitasi parah harus
diberikan suatu obat antipsikotik secara intramuskular. Walaupun percobaan
klinik yang dilakukan secara adekuat dengan sejumlah pasien belum ada,
sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat antipsikotik adalah obat terpilih
untuk gangguan delusional. Pasien gangguan delusional kemungkinan menolak
medikasi karena mereka dapat secara mudah menyatukan pemberian obat ke
dalam system wahamnya. Dokter tidak boleh memaksakan medikasi segera
setelah perawatan di rumah sakit, malahan, harus menggunakan beberapa hari
untuk mendapatkan rapport dengan pasien. Dokter harus menjelaskan efek
samping potensial kepada pasien, sehingga pasien kemudian tidak menganggap
bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi adalah pedoman yang terbaik
dalam memilih suatu obat. Seringkali, dokter harus mulai dengan dosis rendah
sebagai contoh, haloperidol (haldol) 2 mg dan meningkatkan dosis secara
perlahan-lahan. Jika pasien gagal berespon dengan obat pada dosis yang cukup
dalam percobaan selama enam minggu, antipsikotik dari kelas lain harus dicoba.
Beberapa peneliti telah menyatakan bahwa pimozide (Orap) mungkin efektif
dalam gangguan delusional, khususnya pada pasien dengan waham somatik.
15
16
ii.
Psikoterapi
Secara umum tujuan psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur
kepribadian, mematangkan kepribadian, memperkuat ego, meningkatkan citra
diri, memulihkan kepercayaan diri yang semuanya itu untuk mencapai
kehidupan yang berarti dan bermanfaat.
a.
Psikoterapi supportif
Untuk memberi dukungan, semangat, dan motivasi agar penderita tidak
merasa putus asa dan semngat juang dalam menghadapi hidup ini tidak
kendur dan menurun
b. Psikoterapi re-edukatif
Untuk memberi pendidikan ulang yang maksudnya memperbaiki
kesalahan pendidikan di waktu lalu dan juga dengan pendidikan ini
dimaksudkan mengubah pola pendidikan lama dengan baru sehingga
penderita lebihadaptif terhadap dunia luar.
c.
Psikoterapi re-konstruktif
Untuk memperbaiki kembali kepribadian yang telah mengalami
keretakan menjadi pribadi yang utuh seperti semula sebelum sakit.
d. Psikoterapi kognitif
Untuk memulihkan kembali daya kognitif (daya piker dan daya ingat)
rasional sehingga penderita mampu membedakan nilai-nilai moral etika,
mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak, mana yang halal dan
haram dan sebagainya.
e.
Psikoterapi psiko-dinamik
Psiko-dinamik adalah suatu pendekatan konseptual yang memandang
proses-proses mental sebagai gerakan dan interaksi kuantitas-kuantitas
energy psikik yang berlangsung intra-individual (antar bagian-bagian
struktur psikik) dan inter-individual (antar orang).
Untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaaan yang
dapat menjelaskan seseorang jatuh sakit dan upaya untuk mencari jalan
keluarnya. Diharapkan penderita dapat memahami kelebihan dan kelemahan
dirinya dan mampu menggunakan mekanisme pertahanan diri dengan baik.
f.
Psikoterapi perilaku
Untuk memulihkan gangguan prilaku yang terganggu menjadi prilaku
yang adaptif (mampu menyesuaikan diri). Kemampuan adaptasi penderita
17
memulihkan
hubungan
penderita
dengan
keluarganya
Psikososial
Diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan
dan kesibukan dan banyak bergaul (silaturahmi/sosialisasi)
iv.
Psikospiritual
D.B. Larson, dkk (1992) dalam penilitiannya sebagaimana termuat
dalam Religious Commitment and Health (APA, 1992), menyatakan antara
lain bahwa agama (keimanan) amat penting dalam meningkatkan seseorang
dalam mengatasi penderitaan bila ia sedang sakit serta mempercepat
penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Synderman (1996)
menyatakan bahwa terapi medis tanpa agama (doa), tidak lengkap; sebaliknya
agama (doa) saja tanpa terapi medis, tidak efektif.
II. 8
Prognosis
a.
ii.
iii.
iv.
Subtipe paranoid
v.
Subtipe katatonik
vi.
Sudah menikah
vii.
viii.
Kebingungan
ix.
b.
i.
ii.
iii.
iv.
v.
Belum manikah
vi.
vii.
viii.
ix.
II. 9
Pencegahan
Perkembangan kepribadian seseorang manusia itu ditentukan oleh interaksi
dari 4 pilar; yaitu organobiologik, psiko-edukatif, psikososial dan psikoreligius. Hal
ini sesuai dengan batasan sehat oleh WHO (1984) yaitu sehat fisik, sehat jiwa/mental,
sehat social, dan sehat spiritual yang juga diadopsi oleh APA (American Psychiatric
Associatiom, 1992)
a) Organobiologik
Menghindari kemungkina adanya factor genetic (turunan), maka
perluditeliti riwayat atau silsilah keluarga.
Menghindari adanya kemungkinan factor epigenetic, maka hendaknya
selama kehamilan seorang ibu perlu mendapatkan perawatan yang baik agar
tidak terjadi gangguan pada perkembangan otak janin.
b) Psiko-edukatif
Pendidikan anak hendaknya sedemikian rupa sehingga dapat dihindari
terbentuknya sifat atau cirri kepribadian yang rawan atau rentan bagi
terjadinya gangguan skizofrenia, misalnya yang tergolong kepribadian
promorbid (kepribadian paranoid, schizoid, skizotipal dan ambang).
c) Psiko-religius
Setiap manusia (meskipun ia seorang atheis sekalipun) pada
hakekatnya ada kebutuhan dasar kerohanian. Setiap orang membutuhkan rasa
aman, tenang, tentram, terlindungi; bebas dari rasa cemas, ketakutan, depresi,
stress, dan lain sebagainya. Bagi mereka yang beragama kebutuhan rohani ini
dpat diperoleh lewat agama; namun bagi mereka yang sekuler dan
mengingkarinya, menempuh lewat penyalahgunaan NAZA ataupun jalur
lainnya.
d) Psikososial
19
BAB III
PENUTUP
Gangguan psikotik adalah semua kondisi yg menunjukkan adanya hendaya berat
dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku individu dlm suatu saat maupun
perilaku individu dalam perjalanannya mengalami hendaya berat kemampuan daya nilai
realitas ( perlu dipertimbangkan faktor budaya ).
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misal adanya ;
adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dgn penarikan diri dari pergaulan
sosial dan tidak mampu dlm tugas pekerjaan sehari-hari.
20
Banyak faktor yang menyebabkan gangguan psikotik yaitu: Faktor psikodinamik yang
harus diperhatikan di dalam kelompok gangguan psikotik ini adalah stresor pencetus dan
lingkungan
interpersonal,
pemeriksaan
pasien
psikotik
harus
mempertimbangkan
kemungkinan bahwa gejala psikotik adalah disebabkan oleh kondisi medis umum (sebagai
contohnya, suatu tumor otak) atau ingesti zat (sebagai contohnya, phencyclidine), Zat
psikoaktif adalah penyebab yang umum dari sindroma psikotik. Zat yang paling sering
terlibat adalah alkohol, halusinogen indol sebagai contohnya, lysergic acid diethylamid
(LSD) amfetamin, kokain. Mescalin, phencyclidine (PCP), dan ketamin. Banyak zat lain,
termasuk steroid dan thyroxine, dapat disertai dengan halusinasi akibat zat.
Prognosis gangguan psikotik yaitu berdasarkan: onset akut dengan factor pencetus
yang jelas, riwayat hubungan social dan pekerjaan yang baik (Premorbid), adanya gejala
afekstif (depresi), sudah menikah, banyak simptom positif, kebingungan, tension, cemas
hostilitas
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 13
2. Nurmah, Islamiyah N, dkk. Psikotik dan Skizofrenia. 12 April 2011. Diunduh dari:
http://id.scribd.com/doc/74666207/PSIKOTIK-lengkap
3. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.
Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 147-16
4. Tirtakusuma A, Nugraha A, dkk. Bisikan Gaib. 29 Februari 2012. Diunduh dari:
http://id.scribd.com/doc/83142602/4/Menjelaskan-definisi-gangguan-psikotik
5. News Medical. Apa Penyebab Psikosis. 1 November 2012. Diunduh dari:
http://www.news-medical.net/health/What-Causes-Psychosis-(Indonesian).aspx
6. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2.
Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010. Hal 169-187
21
7. News Medical.
http://www.news-medical.net/health/Psychosis-Pathophysiology-(Indonesian).aspx
8. Kusumawardhani A, Husain AB, dkk. Buku Ajar Psikiatrik. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010. Hal 38
9. Hawari HD. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa skizofrenia. Edisi ke-2. Cetakan
3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
10. Maramis WF. Ilmu kedokteran jiwa. Cetakan 6. Jakarta: Airlangga University Press,
1994
22