Anda di halaman 1dari 15

alusinasi.

Pasien skizofrenia datang ke rumah sakit karena adanya gejala


waham, halusinasi dan gejala-gejala yangtidak bisa ditoleransi oleh masyarakat.
Halusinasi dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa gejala halusinasi yang palingsering adalah halusinasi
pendengaran yaitu sebesar 70%.3 Setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti
ternyata didapatkan adanya gangguan proses berfikir,gangguan afek, emosi dan
kemauan.3
Penderita skizofrenia memerlukan penatalaksanaan secara integrasi, baik
dari aspek  psikofarmakologis, dan aspek psikososial. Hal ini berkaitan dengan
kondisi setiap penderita yang merupakan seseorang dengan sifat individual,
memiliki keluarga dan sosial psikologis yang berbeda-beda, sehingga menim-
bulkan gangguan bersifat kompleks. Oleh sebab itu memerlukan penanganan dari
beberapa modalitas terapi.
Penggunaan obat antipsikotik atipikal telah mengalami peningkatan
selama beberapa tahun belakangan ini untuk pengobatan skizofrenia. Keputusan
mengenai pilihan terapi bukan saja mempertimbangkan efikasi dan tolerabilitas
terhadap beberapa antipsikotik yang tersedia, tetapi juga kecepatan onset. Aspek
pengobatan yang terpenting dari suatu gangguan adalah pengurangan yang cepat
pada gejala-gejala positif,
.1

Penelitian pencitraan otak. Berbagai penelitian pencitraan otak


fungsional, sebagai contoh PET ( positron emission tomography), telah
menemukan peningkatan aktifitas (sebagai contoh, metabolisme dan
aliran darah) di lobus frontalis, ganglia basalis (khususnya kaudata), dan
singulum pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Baik
tomografi komputer (CT scan) dan pencitraan resonansi magnetik (MRI)
telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara biateral pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Baik penelitian pencitraan
otak fungsional maupun struktural konsisten dengan pengamatan bahwa
prosedur neurologis yang melibatkan singulum kadang-kadang efektif

1
dalam pengobatan pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif. Suatu
penelitian MRI baru-baru ini melaporkan peningkatan waktu relaksasi T 1
di korteks frontalis. 1

- Genetika. Penelitian kesesuaiaan pada anak kembar untuk gangguan


obsesif-kompulsif telah secara konsisten menemukan adanya angka
kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar monozigotik
dibandingkan kembar dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien
gangguan obsesif kompulsif osi dangkal, acuh tak acuh terjadap dirinya),
parathimi (yang seharusnya menimbulkan rasa senang, malah
menimbulkan rasa sedih pada pasien), paramimi (penderita senang tapi
menangis), terkadang afek dan emosinya tidak mempunyai satu kesatuan,
emosi yang berlebihan, hilangnya kemampuan untuk mengadakan
hubungan emosi yang baik, dua hal yang berlwanan mungkin terjadi
bersama-sama
Gangguan kemauan (kelemahan kemauan dengan alasan yang tidak jelas,
ngativisme (sikap yang negative atau berlawanan terhadap suatu a onset
pada masaanak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat
pencapaian interpersonal,akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
C. Durasi : tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6
bulan. Pada 6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang
memperlihatkan gejala kriteria A) dan mungkin termasuk gejala
prodormal atau residual.
D. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood : gangguan
skizoafektif atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena : (1) tidak ada episodedepresif berat, manik atau campuran yang
telah terjadi bersama-sama gejala fase aktif atau (2) jika episode mood
telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat
dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum.
F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif3

2
Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ) diIndonesia yang ke-III sebagai berikut :
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas) :
a) - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan
walaupun isinya sama tapi kualitasnya berbeda.
- thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan 
- thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya; 
b) - delusion of control  = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar, atau 
- delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar  
- delusion of  passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ³dirinya´ secara
jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran,
tindakan atau penginderaan khusus); 
- delusion   perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangatkhas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik : 
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap
perilkau pasien, atau 
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara) atau 
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
pasien

3
d) Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, ataukekuatan dan kemampuan
di atas manusia biasa

sil) yang memenuhi kriteria A (yaitu gejala fase aktif) dan mungkin termasuk
periode gejala prodormal atau residual. Selama periode prodomal atau
residual, tanda gejala mungkin dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif
atau dua atau lebih gejala yang dituliskan dalam kriteria A dalam bentuk
yang diperlemah (misalnya keyakinan yang aneh, pengalamam persepsi
yang tidak lazim).
D.    Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood: gangguan
skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena:
 Tidak ada episode depresi berat, manik, atau campuran yang telah
terjadi bersama-sama dengan gejala fase aktif, atau
 Jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya
adalah relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
E.     Penyingkiran zat/kondisi medis umum: gangguan tidak disebabkan oleh efek
fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan, suatu
medikasi) atau suatu kondisi medis umum.

Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif. Jika terdapat adanya


riwayat gangguan autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya,
diagnosis tambahanschizophrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang
menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika berhasil
diobati).

2.8 Penatalaksanaan
A. Terapi biologis

4
Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis rendah. Dosis
tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali terdapat gejala psikotik atau
agresif atau sulit tidur yang parah. Peningkatan dosis yang terlalu cepat akan
meningkatkan risiko terjadinya gejala ekstrapiramidal dan gejala negative
sekunder tanpa adanya kegunaan dari antipsikotik itu sendiri. Penggunaan obat
parenteral short-acting untuk pasien baru sebaiknya dihindari. Namun terapi
dengan obat long-acting tidak boleh diberikan kecuali pada pasien dengan riwayat
tidak responsive dengan bentuk pengobatan lain. Penggunaan dosis tinggi untuk
pengobatan skizofren akut tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding
dengan penggunaan dosis rata-rata. Beberapa studi mengatakan bahwa penundaan
pemberian antipsikotik akan memberikan outcome yang lebih buruk, diperkirakan
karena beberapa aspek pada psikosis secara biologis toksik terhadap struktur
otak.1
Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik dalam minggu
pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama. Kebanyakan akan tidak
memberikan respon dalam 2 – 6 minggu. Namun tidak disarankan untuk
memutuskan obat dan mengganti dengan jenis yang lain sebelum pengobatan
mencapai 4 – 6 minggu, kecuali terdapat efek samping atau gejala ekstrapiramidal
yang tidak sesuai dengan pengobatan.
Penggunaan beberapa antipsikotik pada waktu bersamaan harus dihindari,
khususnya penggunaan antipsikotik tipikal yang diberikan secara oral dan
parenteral, kecuali pengobatannya memang sedang dialihkan dari intramuscular
menjadi oral terapi. Pada beberapa kasus bila antipsikotik tidak dapat mengontrol
rasa cemas dan agitasi yang berlebihan, penggunaan benzodiazepine dapat
diberikan.

A.1. Antipsikotik tipikal


Obat antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik konvensional atau
antipsikotik generasi 1 (APG-1).2 Obat antipsikotik tipikal ini memiliki
mekanisme kerja sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA). Sejak ditemukannya
klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofren mengalami

5
kemajuan. CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip mengurangi gejala positif dari
skizofren sampai 70 %, Namun untuk gejala negatifnya, antipsikotik tipikal
memiliki efek yang kurang, begitu juga efek terhadap gangguan mood dan
gangguan kognisinya.
APG-1 memiliki cara kerja mengurangi aktifitas dopaminergik dengan cara
memblok reseptor D2. dengan pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan dopamine
mesokortikal dan dopamine pada badan nigra pada otak, akan memberikan efek
antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pada penggunaan benzamide (sebagai contoh
sulpiride dan amisulpride) sebagai terapi substitusi, dimana benzamide merupakan
antagonis D2 yang kuat dan juga selektif, obat ini juga memiliki kemampuan
untuk mengikat reseptor neurotransmitter lainnya. Dengan kesamaan cara kerja
ini, obat tersebut menunjukan sedikit perbedaan kemanjuran pada pengobatan.
Pemilihan obat antipsikotik tipikal didasarkan oleh banyak pertimbangan,
termasuk adanya preparat obat long-acting. Obat potensi ringan (dosis maksimal
300 mg/ hari seperti CPZ, thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek
sedative dan hipotensi dibanding dengan obat dengan potensi tinggi seperti
haloperidol dan fluphenazine. Obat potensi tinggi dapat mengakibatkan gejala
ekstrapiramidal lebih sering disbanding dengan potensi rendah. Namun kedua
obat ini memberikan efek yang sama dalam mengurangi agitasi.
Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat gejala
ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan fluphenazine menjadi
pilihan utama.1 jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat antikolinergik seperti
benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat digunakan atau dapat diganti
obat menjadi obat potensi sedang (seperti trifluoperazine) atau potensi ringan.
Antipsikotik atipikal juga menjadi pilihan jika terdapat gejala ekstrapiramidal.
Gejala ekstrapiramidal yang tidak teratasi dapat menyebabkan gejala negative dan
kurangnya kepatuhan minum obat.
Kemampuan terhadap reseptor D2, 5-HT dan muskarinik merupakan kunci
dari sebuah obat antipsikotik menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Efek samping
lainnya adalah ginekomastia, impotensi dan amenorea merupakan sebab dari
blockade reseptor DA. Peningkatan berat badan adalah karena blockade reseptor

6
5-HT dan H1. Penelitian mengatakan bahwa dosis rendah antipsikotik tipikal
(haloperidol dan risperidone) lebih efisien karena dapat memberi perbaikan secara
cepat dan tanpa efek samping yang berarti. Sebagai contoh, dosis haloperidol 5 –
10 mg/hari sudah cukup untuk kebanyakan pasien dengan psikosis akut.
Meningkatkan dosis tidak boleh dilakukan sebelum 4 minggu terapi. Untuk
risperidone 1 – 4 mg/hari sudah cukup untuk menghindari efek samping
ekstrapiramidal.
Untuk pasien kronik yang tidak patuh untuk terapi oral, setiap 2 minggu
atau setiap bulan dapat diberikan injeksi fluphenazine decanoate 12.5 – 50 mg
atau haloperidol decanoate 25 – 100 mg. Hal tersebut akan mengurangi gejala
kambuh secara signifikan.

A.2. antipsikotik atipikal


a. Clozapine
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik yang memperlihatkan efek
yang dapat mengurangi gejala positif dan negatif pada pasien yang gagal dengan
terapi antipsikotik tipikal. Obat ini juga hampir tidak memberikan efek
ekstrapiramidal, termasuk akathisia. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
clozapine memiliki daya ikat yang kuat terhadap reseptor serotonin (5-HT),
adrenergik (α1,2), muskarinik, dan histaminergik.
Clozapine telah digunakan pada ratusan pasien di negara barat selama
kurang lebih 20 tahun dan tidak ada kasus tardive diskinesia yang dilaporkan.
Respon terhadap penggunaan clozapine bisa mencapai 6 bulan. Sindrom negatif
cenderung membaik paling lama. Respon terhadap clozapine biasanya hanya
sebagian, namun untuk pasien-pasien parah yang tidak memberikan respon
terhadap terapi lain, perubahan dengan obat ini bisa terlihat drastis. Keuntungan
terbesar dari clozapine adalah rendahnya kemungkinan untuk menyebabkan
granulositopeni dan agranulositosis (sekitar 1%)1. Sehingga di Amerika Serikat,
clozapine digunakan hanya untuk pasien-pasien skizofren yang telah gagal
dengan terapi antipsikotik tipikal atau dengan antipsikotik tipikal memberikan
gejala ekstrapiramidal atau tardive diskinesia. Meskipun jarang terdapat efek

7
agranulositosis, sel darah putih pasien harus dimonitor setiap 2 minggu. Bila sel
darah putih turun di bawah 3000 /mm 3, pemakaian harus dihentikan. Clozapine
juga dapat menyebabkan leukositosis dan eosinofilia pada tahap-tahap awal.
Perkembangan dari gangguan tersebeut tidak dapat dijadikan patokan sebagai
terjadinya agranulositosis. Efek samping lainnya dari clozapine adalah sedasi,
peningkatan berat badan, kejang, gejala obsesif kompulsif, hipersalivasi, takikardi,
hipotensi, hipertensi, gagap, inkontinensia urin, konstipasi, dan hiperglikemi. Efek
samping tersebut biasanya dapat diatasi dengan penurunan dosis. Untuk kejang
harus ditangani dengan anti konvulsan seperti asam valproat.
Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100 – 900 mg/hari.
Peningkatan dosis harus dilakukan perlahan-lahan mengingat adanya efek
samping takikardi dan hipotensi. Dosis biasanya dimulai pada 25 mg/hari,
kemudian sampai pada dosis 500 mg/hari dan biasanya diberikan sehari 2x.
Clozapine terbukti dapat mengurangi depresi dan gejala ingin bunuh diri.
Clozapine juga dilaporkan dapat meningkatkan beberapa aspek kognitif terutama
kemampuan bicara, pemusatan pikiran, dan memory recall. Clozapine juga
menunjukan dapat meningkatkan fungsi bekerja dan kualitas kehidupan pasien.
Tidak ada data yang menunjukan bahwa clozapine efektif terhadap kasus
skizotipal atau gangguan personalitas skizoid.

b. Risperidon
Risperidon merupakan golongan benzisoxazole. Risperidon memiliki efek
mengurangi gejala positif dan negatif yang lebih baik daripada haloperidol.
Namun tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa risperidon efektif terhadap
pasien yang gagal terapi dengan antipsikotik tipikal. Risperidon juga dapat
meningkatkan fungsi kognitif. Risperidon mempunyai kecenderungan untuk dapat
menyebabkan tardive diskinesia, sehingga pemakaian risperidon biasanya dalam
dosis rendah (4 – 8 mg/hari) namun lebih efektif dibanding dengan obat
antipsikotik tipikal dengan dosis yang sama. Beberapa pasien memberi efek pada
dosis 2 mg/hari, namun ada juga yang memberi respon pada 10 – 16 mg/hari.

8
Pada dosis 2 -4 mg/hari, gejala ekstrapiramidal biasanya ringan. Risperidon
memiliki ikatan pada reseptor D2 yang lebih kuat daripada clozapine.
Risperidon merupakan pilihan untuk pasien yang memberi respon baik
terhadap antipsikotik tipikal yang ditandai dengan penurunan gejala positif,
namun memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal dan gejala negatif sekunder.
Risperidon juga efektif untuk menekan tardive diskinesia. Efek samping
risperidon selain gejala ekstrapiramidal adalah akathisia, peningkatan berat badan,
disfungsi seksual, penurunan libido, dan galaktorea. Tidak seperti clozapine,
risperidon meningkatkan serum prolaktin. Tidak ada laporan bahwa risperidon
dapat menyebabkan agranulositosis.

c. Olanzapine
Merupakan salah satu obat antipsikotik tipikal yang terbaru. Olanzapine
memiliki struktur yang mirip dengan clozapin, dan memiliki risiko yang rendah
untuk terjadinya gejala ekstrapiramidal, efektif terutama dalam mengatasi gejala
negatif, dan memiliki efek minimal terhadap prolaktin. Olanzapine terbukti lebih
efektif daripada haloperidol dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran
olanzapin dimulai pada 10 mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan pasien memerlukan
10 – 25 mg/hari, namun dosis sebaiknya dinaikan secara perlahan. Sama seperti
clozapine, respon perngobatan dapat baru terlihat setelah beberapa bulan.
Olanzapine memberi efek samping gangguan ekstrapiramidal dan tardive
diskinesia yang lebih ringan dibanding haloperidol. Efek samping terbesar dari
olanzapin adalah peningkatan berat badan dan sedasi. Efek samping lainnya
adalah mengantuk dan peningkatan kadar transaminase hepar.

d. Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone


Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik terbaru yang dapat
memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal lebih sedikit. Seperti clozapine,
risperidon dan olanzapin, ketiga obat ini lebih poten terhadap reseptor 5HT
antagonis dibanding dengan D2 antagonis.

9
Quentiapine merupakan dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat
tehadap reseptor 5-HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki kemampuan
memblok yang sedang terhadap reseptor D2 dan kemampuan yang kecil pada
reseptor M. Dengan dosis 150 – 180 mg/hari dalam 2 – 3 sehari, quetiapine
memberi hasil dalam mengatasi gejala positif dan negatif. Efek samping utama
dari obat ini adalah rasa mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan,
agitasi, konstipasi, dan hipotensi ortostatik.
Sertindole merupakan golongan imidazolidonone yang memiliki potensi
kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2, dan α1. untuk mengurangi gejala positif,
digunakan dosis 12 – 24 mg/hari, setara dengan haloperidol dengan dosis 4 – 16
mg/hari. Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari memiliki efek lebih besar pada
gejala negatif dibanding dengan haloperidol. Efek samping dari obat ini adalah
sakit kepala, takikardi, pemanjangan interval Q-T, penurunan pompa jantung,
peningkatan berat badan, kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki
masa kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat diberikan sehari 1x.
Ziprasidone memiliki potensi 10x lebih kuat terhadap reseptor 5-HT2
dibanding dengan reseptor D2. Ziprasidone hampir tidak memberikan gejala
ekstrapiramidal namun sama efektifnya dengan penggunaan haloperidol.
Ziprasidone efektif untuk menangani gejala positif dan negatif pada pasien dengan
gejala skizofren akut. Efek samping ziprasidone adalah terutama sedasi.

B. Terapi Kejang Listrik


Terapi kejang listrik (TKL) atau yang dalam bahasa Inggris
Electroconvulsive Treatment (ECT) jarang digunakan saat ini karena begitu
mudahnya pemakaian obat-obatan antipsikotik. Terapi TKL dapat berguna
sebagai terapi tambahan pada terapi obat antipsikosis berbagai jenis, termasuk
clozapine, terutama untuk pasien yang memiliki respon yang kurang terhadap dan
perlu pengontrolan perilaku agitasi dengan cepat. TKL dapat digunakan pada
pasien yang tidak merespon terhadap obat-obatan, namun tidak ada data yang
menunjukan pemakaian TKL dapat dilakukan pada pasien skizofren.

10
C. Terapi Psikososial
Meskipun obat antipsikotik merupakan pilihan utama dari pengobatan
skizofrenia, terapi nonfarmakologis juga mempunyai peran yang penting bagi
kesembuhan pasien. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan minum
obat, mendukung pasien, melatih pasien untuk mandiri, meningkatkan fungsi
social dan fungsi bekerja serta mengurangi beban orang yang menanggungnya.
Memberi pelatihan dan dukungan kepada anggota keluarga merupaqkan hal yang
penting terhadap keseluruhan proses pengobatan.
Pada kebanyakan system kesehatan, program manajemen pengobatan telah
dikembangkan menjadi model program yang tidak mahal, dibandingakan dengan
pasien yang dirawat di rumah sakit. Terdapat seorang pengelola yang akan
membantu pasien mencari tempat tinggal, mengatur keuangan, memperoleh akses
ke klinik psikiatri maupun tempat rehabilitasi, dan akan menjelaskan tentang
kegunaan obat-obat yang dipakai. Dengan demikian, hal tersebut akan
memunkinkan pasien untuk hidup seminimal mungkin, atau bahkan tidak sama
sekali, dalam pengawasan tenaga medis, khususnya tenaga medis bagian
kejiwaan.

2.9 Prognosis
Prognosis pasien schizophrenia ditentukan oleh faktor-faktor berikut:

Tabel 1. Prognosis pasien skizofrenia


Prognosis Baik Prognosis Buruk
Tidak ada riwayat keluarga yang Ada riwayat keluarga yang menderita
menderita skizofrenia skizofrenia
Perilaku dan personalitas premorbid Perilaku dan personalitas premorbid
yang baik yang buruk (kepribadian skizoid)
Late onset Onset cepat
Sudah menikah Lajang, bercerai atau menjanda
Onset akut Insidious onset (onset tersembunyi)
Faktor presipitasi nyata Tak ada faktor presipitasi yang nyata
Gejala kelainan mood terutama kelainan Tanda dan gejala gangguan neurologis
depresif Perilaku autistik, cenderung menarik diri
Gejala positif (Positive symptoms) Gejala negatif (Negative symptoms)

11
Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Sering kambuh
Riwayat trauma perinatal

2.10 Komplikasi
1. Kematian akibat usaha bunuh diri (suicidal attempt) Bunuh diri.
2. Membunuh orang lain.
3. Alkoholik.

2.11 Kompetensi Dokter Umum


3B : Dokter mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan tambahan. Dokter dapat memutuskan dan memberikan terapi
awal, serta merujuk ke spesialis yang relevan (kasus gawat darurat)

12
BAB III
SIMPULAN

Dari tinjauan pustaka yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa:


1. Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang
ditandai olehkekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi
atau halusinasi), dalam mood(contohnya afek yang tidak sesuai), dalam
perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunialuar serta dalam hal
tingkah laku.1,2Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada
5 yakni subtipe paranoid,terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak
tergolongkan dan residual. Untuk istilahskizofrenia simpleks dalam DSM-
IV adalah gangguan deterioratif sederhana.3
2. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan
untuk bagianwaktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang
jika diobati dengan berhasil):
 Waham
 Halusinasi
 Bicara terdisorganisasi  (misalnya sering menyimpang atau
inkoheresi)
 Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
 Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak
ada kemauan (avolition).
3. Beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang menderita skizofrenia di
kemudian hari antara lain riwayat skizofrenia dalam keluarga, perilaku
premorbid, stress lingkungan,status sosial ekonomi rendah , keterlibatan
gen alpha-7nicotine receptor, DISC 1, GRM 3, COMT, NGR 1, RGS 4,
dan G27, Komplikasi masa kehamilan dan persalinan, bentuk tubuh,
penyalahgunaan obat-obatan,dan usia ibu saat hamil di atas 60 tahun
4. Penatalaksanaan pasien schizophrenia menggunakan model multimodalitas
yang menggabungkan psikofarmaka dan psikoterapi. Psikofarmaka dapat

13
digunakan antipsikotik tipikal maupun atipikal. Untuk psikoterapi
membutuhkan keterlibatan individu, tenaga kesehatan, keluarga dan
lingkungan yang mendukung kesembuhan pasien
5. Prognosis pasien baik ditentukan oleh riwayat keluarga ttg gangguan
mood/afektif, perilaku dan personalitas premorbid yang baik, sudah
menikah, onset akut, gejala kelainan mood terutama kelainan depresif,
gejala positif (positive symptoms) , sistem pembantu (support systems)
yang baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan and Saddock.Comprehensive Textbook Of Psychiatry.7th Ed.Lippincott


Wiliams And Wilkins. Philadelphia, 2010.
2. Kazadi N. J. B, dkk. Factors as Sociated With Relaps in Schizophrenia South
AfricanJournal of Psychiatry, Vol 14, No 2. 2008
3. Hawari, Dadang: Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta, 2006.
4. Sinaga,RB. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007
5. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th ed. DSM-IV
Washington DC: American Psychiatry Association, 1994.
6. Maramis WF. Skizofrenia, Catatan ilmu kedokteran jiwa. ed 7. Surabaya
7. Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa
Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
8. Silva, J.A. Costa.Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998. 6-13. Available
from:www.who.int/mental _ health/media/en/55.pdf [Diakses pada 5 Maret 2014]
9. Ikawati, Zullies. 2009. Zullies Ikawati’s Lecture Notes : Skizophrenia.
Yogyakarta: UGM
10. Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
11. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC
12. Meltzer HY, Fatemi SH. Schizophrenia. Dalam Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe
B, editor. Current diagnosis & treatment in psychiatry. Singapore: McGrew-Hill,
2000. 271-5.
13. Amir N. Dalam Buku ajar psikiatri. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.178-94

15

Anda mungkin juga menyukai