(aji)
Gangguan jiwa gejala yang ditandai dengan perubahan pikiran, perasaan dan
perilaku seseorang yang menimbulkan hendaya/disfungsi dalam menjalankan
aktivitas sehari-hari.
GANGGUAN PERSEPSI
Gangguan Depersonalisasi
Merasa seperti berada di luar tubuh, seolah-olah memandang diri sendiri dari
atas merasa terlepas dari diri sendiri, seolah tidak memiliki diri yang
sebenarnya mati rasa di pikiran atau tubuh, seolah indra dimatikan merasa
tidak bisa mengendalikan apa yang dilakukan atau dikatakan
Gangguan Derealisasi
Stressor zat kimia atau biologis, kondisi lingkungan, rangsangan eksternal, atau
peristiwa yang menyebabkan stres pada suatu organisme.
1. Stressor fisik
Stressor fisik terbagi menjadi stressor fisik internal dan stressor fisik eksternal.
Stresor fisik internal yaitu berasal dari dalam tubuh individu misalnya sakit
kepala, masalah perut, dan sebagainya. Stressor fisik eksternal adalah stres yang
datang dari luar tubuh individu seperti panas, dingin, suara, polusi, radiasi,
makanan, zat kimia, trauma, pembedahan, dan latihan fisik yang terpaksa.
2. Stressor psikologik
Stressor psikologis muncul karena tekanan waktu dan harapan yang tidak realistis
pada individu sehingga menyebabkan tekanan dari dalam individu itu sendiri yang
biasanya bersifat negatif seperti rasa takut, frustrasi, kecemasan ( anxiety ), rasa
bersalah, rasa kuatir yang berlebihan, marah, benci, cemburu, rasa kasihan pada
diri sendiri, serta rasa rendah diri.
3. Stressor keluarga
Stressor keluarga muncul dari masalah keluarga seperti hubungan dengan
responden orangtua yang tidak harmonis, masalah dengan pasangan hidup, dan
masalah dengan anak – anak seperti masalah keuwangan, perhatian yang kurang
dari keluarga, dan lain – lain.
4. Stressor sosial
Stressor sosial muncul karena akibat tekanan dari luar yang disebabkan oleh
interaksi sosial dan lingkungannya seperti sekolah, pekerjaan, dan masyarakat.
Banyak stres sosial yang bersifat traumatik yang tidak dapat dihindari seperti
kehilangan responden yang sangat dicintai, kehilangan pekerjaan, perceraian,
masalah keuangan, pindah rumah, pindah tempat kerja, dan sebagainya.
Sumber :
PAPUTUNGAN, R. (2021). Gambaran stressor presipitasi yang
mendukung terjadinya gangguan jiwa skizofrenia di wilayah kerja
puskesmas limboto. Skripsi, 1(841415047).
3. Apa saja faktor risiko dari gangguan psikotik yang terdapat dalam skenario? (giza)
4. Apakah diagnosis dan diagnosis banding pada skenario tersebut? (masru)
Diagnosis Skizofrenia
Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia; gangguan
pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua gejala yang
terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1.waham 2. Halusinasi 3. Bicara kacau 4.
Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek mendatar, alogia, atau
anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala kriteria A bila wahamnya bizare atau halusinasinya
terdiri atas suara yang terus-menerus memberi komentar terhadap perilaku atau pikiran
pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan
adanya hendaya fungsi, meski tidak memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit.
Gejala harus berlangsung selama paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif
atau gangguan mood harus disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada:
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama
sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai waham
2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan
menggabungkan suku kata atau dari kata-kata lain.
3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme,
mutisme, dan stupor
4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons
emosional tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan
depresi atau pengobatan antipsikotik).
SKENARIO Skizofrenia Katatonik
DIAGNOSIS BANDING
a. Gangguan Kondisi Medis Umum misalnya epilepsi lobus
temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal
sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus
b. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
c. Gangguan Skizoafektif
d. Gangguan afektif berat
e. Gangguan Waham
f. Gangguan Perkembangan Pervasif
g. Gangguan Kepribadian Skizotipal
h. Gangguan Kepribadian Skizoid
i. Gangguan Kepribadian Paranoid
Sumber :
Amir, N., Pamusu, D., Aritonang, I., Efendi, J., & Khamelia. (2015). Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran ( PNPK ) Jiwa / Psikiatri. Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
Maramis, Willy F. 2009. Buku Ajar Psikiatri. Surabaya:Airlangga University Press.
Kaplan, Harold, Benyamin S, Jack Grebb. 2012. Sinopsis Psikiatri : Ilmu Pengetahuan
dan Perilaku Psikiatri Klinis.Edisi 8. Jakarta: Erlangga.
5. Mengapa pasien tersebut sering melamun dan banyak mengurung diri di kamar? (salsa)
6. Mengapa pada pasien tersebut sering melakukan gerakan mematung dan saat diajak bicara
tidak mau menjawab? (naura)
7. Apa hubungan antara keluhan pasien tersebut dengan hasil lab yang normal dan tidak
adanya hubungan dengan penggunaan NAPZA? (dwiki)
8. Jelaskan mengenai cara penilaian GAF! (alvina)
Sumber :
PPDGJ III.(1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III: cetakan pertama. Jakarta : Departemen Kesehatan
PPDGJ II (1983). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III. Jakarta : Departemen Kesehatan
Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
Selain penggunaan obat-obatan, intervensi psikologis dan sosial (psikososial) juga penting
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mencegah hospitalisasi
3. Kemandirian: bekerja atau sekolah, setidaknya setengah hari, serta mampu mengurus
keuangan dan pengobatannya sendiri
Kebanyakan individu dengan gangguan ini memerlukan beberapa bentuk dukungan untuk
dapat melakukan kegiatan sehari-harinya. Anjurkan pasien untuk bergabung dengan
komunitas penderita schizophrenia yang dapat membantu pasien untuk dapat memiliki
fungsi sosial yang baik, bekerja, serta membantu dalam situasi krisis.
Psikoterapi
Psikoterapi dapat membantu pasien untuk menormalkan pola pikirnya, belajar untuk
mengatasi stress, mengidentifikasi tanda-tanda schizophrenia serta meminimalisir gejala
jika terjadi kekambuhan. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi individu,
kelompok, atau cognitive behavioral therapy (CBT). Psikoterapi juga bermanfaat untuk
memastikan pasien tetap patuh terhadap pengobatannya
SUMBER :
Siti Zahnia & Dyah Wulan Sumekar | Kajian Epidemiologis Skizofrenia MAJORITY I Volume
5 I Nomor 4 I Oktober 2016 I 162