Anda di halaman 1dari 34

KAJIAN BIOETIK

SKIZOFRENIA
Kelompok Tutorial 7
1. Jelaskan tentang Mood Disforik, Afek, Reality Testing
Of Ability, Tilikan, Psikofarmaka, Waham, Risperidone
Mood

Mood adalah suasana perasaan yang bersifat pervasif dan bertahan lama, yang mewarnai persepsi seseorang terhadap kehidupannya. Macam-
macam mood:

1. Mood eutimia: adalah suasana perasaan dalam rentang normal, yakni individu mempunyai penghayatan perasaan yang luas dan serasi
dengan irama hidupnya.
2. Mood hipotimia: adalah suasana perasaan yang secara pervasif diwarnai dengan kesedihan dan kemurungan. Individu secara subyektif
mengeluhkan tentang kesedihan dan kehilangan semangat. Secara obyektif tampak dari sikap murung dan perilakunya yang lamban.
3. Mood disforia: menggambarkan suasana perasaan yang tidak menyenangkan. Seringkali diungkapkan sebagai perasaan jenuh,
jengkel, atau bosan.
4. Mood hipertimia: suasana perasaan yang secara perfasif memperlihatkan semangat dan kegairahan yang berlebihan terhadap berbagai
aktivitas kehidupan. Perilakunya menjadi hiperaktif dan tampak enerjik secara berlebihan.
5. Mood eforia: suasana perasaan gembira dan sejahtera secara berlebihan.
Afek
Afek

Afek adalah respons emosional saat sekarang, yang dapat dinilai lewat ekspresi wajah, pembicaraan, sikap dan
gerak gerik tubuhnya (bahasa tubuh). Afek mencerminkan situasi emosi sesaat. Macam-macam afek:

1. Afek luas: adalah afek pada rentang normal, yaitu ekspresi emosi yang luas dengan sejumlah variasi yang
beragam dalam ekspresi wajah, irama suara maupun gerakan tubuh, serasi dengan suasana yang dihayatinya.
2. Afek menyempit: menggambarkan nuansa ekspresi emosi yang terbatas.Intensitas dan keluasan dari
ekspresi emosinya berkurang, yang dapat dilihat dari ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang kurang bervariasi.
3. Afek menumpul: merupakan penurunan serius dari kemampuan ekspresi emosi yang tampak dari tatapan
mata kosong, irama suara monoton dan bahasa tubuh yang sangat kurang.
4. Afek mendatar: adalah suatu hendaya afektif berat lebih parah dari afek menumpul. Pada keadaan ini dapat
dikatakan individu kehilangan kemampuan ekspresi emosi. Ekspresi wajah datar, pandangan mata
kosong,sikap tubuh yang kaku, gerakan sangat minimal, dan irama suara datar seperti ’robot’.
Reality Testing dan Tilikan
Reality Testing of Ability

Merupakan kemampuan seseorang untuk menilai realitas atau dapat dikatakan kemampuan seseorang
dalam membedakan kenyataan dan fantasi.

Tilikan

Merupakan kesadaran dan pemahaman diri pasien terhadap keadaan diri dan sakitnya. Terdapat 6 derajat
tilikan yaitu :

1. Menyangkal total bahwa dirinya sakit.


2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta pertolongan tetapi menyangkalinya pada
saat yang bersamaan
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar, medis atau faktor organik
yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada dirinya.
5. Menyadari penyakitnya dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakitnya namun tidak
menerapkan dalam perilaku praktisnya.
6. Tilikan yang sehat, yaitu sadar sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai motivasi untuk mencapai
perbaikan (kesembuhan)
Waham
Waham adalah suatu keyakinan seseorang yang tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat
diubah secara logis. Keyakinan ini berasal dari pemikiran seseorang yang memiliki gangguan mental.

Waham dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu primer dan sekunder. Waham primer timbul secara tidak logis, tanpa penyebab dari
luar. Sedangkan waham sekunder biasanya logis kedengarannya, dapat diikuti, dan merupakan cara untuk menerangkan
gejala-gejala skizofrenia lain.

Risperidone
Risperidone adalah obat dengan fungsi untuk mengatasi gangguan mental/mood tertentu, seperti schizophrenia, gangguan
bipolar, dan iritabilitas yang berhubungan dengan gangguan autis. Pengobatan ini dapat membantu Anda untuk berpikir jernih
dan beraktivitas normal dalam kehidupan sehari-hari. Risperidone termasuk dalam golongan obat yang disebut jenis antipsikotik.
Obat ini bekerja membantu memperbaiki keseimbangan substansi alami tertentu pada otak. Dosis awal : 2 mg / hari, dititrasi 1-2
mg per hari dengan dosis maksimal 16 mg per hari
Psikofarmaka

psikofarmaka adalah obat yang bekerja secara selektif pada susuna saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek
utama terhadap aktivitas mental dan prilaku dan digunakan pada pasien yang terdiagnosa gangguan psikiatr
Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan
yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus ekstren atau persepsi palsu. Ada dua faktor
penyebab halusinasi yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
Faktor predisposisi:

- Faktor Perkembangan, tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.

- Faktor Psikologis, tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien mengambil keputusan
tegas, klien lebih suka memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

- Faktor Sosiokultural, seseorang yang merasa tidak diterima lingkungan sejak bayi sehingga akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan nya.
- Faktor Biokimia, hal ini berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang berlebihan
dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang bersifat halusogenik
neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter otak.

- Faktor Genetik dan Pola asuh, penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
Faktor presipitasi:

- Dimensi Fisik, Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan luar biasa,
penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium dan kesulitan tidur dalam waktu yang lama.

- Dimansi Emosional, Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi.
Halusinasi dapat berupa perintah memasa dan menakutkan. Klien tidak tidak sanggup menentang
sehingga klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

- Dimensi Intelektual, Dalam hal ini klien dengan halusinasi mengalami penurunan fungsi ego. Awalnya
halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
Faktor presipitasi:

- Dimensi Sosial, Klien mengalami gangguan interaksi sosial di dalam fase awal dan comforting
menganggap bahwa bersosialisasi nyata sangat membahayakan. Klien halusinasi lebih asyik dengan
halusinasinya seolah-olah itu tempat untuk bersosialisasi

- Dimensi Spritual, Klien halusinasi dalam spritual mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, dan hilangnya aktivitas beribadah. Klien halusinasi dalam setiap bangun merasa hampa dan
tidak jelas tujuan hiduonya
SKIZOFRENIA
Etiologi
1. Model diatesi- stress
Model ini merumuskan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik
(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stress akan
memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia.
2. Faktor biologis
Semakin banyak penelitian telah melibatkan peranan patofisiologis untuk daerah tertentu di
otak termasuk sistem limbik, korteks frontalis dan ganglia basalis.Ketiga daerah tersebut
saling berhubungan sehingga disfungsi pada salah satu daerah tersebut mungkin
melibatkan patologi primer di daerah lainnya sehingga menjadi suatu tempat potensial
untuk patologi primer pasien skizofrenik.
SKIZOFRENIA
Etiologi
3. Genetika
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang kemungkinan menderita
skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia, dan
kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah hubungan dengan
dekatnya persaudaraan
SKIZOFRENIA
Etiologi

4. Faktor psikososial

a. Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik

skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan, dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar, Secara umum
kerusakan ego mempengaruhi interpretasi terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari dalam.

b. Teori tentang keluarga

Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non psikiatri berasal dari keluarga dengan
disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus
dihadapi oleh pasien skizofrenia
GEJALA SKIZOFRENIA
Gejala Primer :
1.Gangguan proses pikiran (bentuk, proses, isi pikiran).
Pada skizofrenia gangguan utama terdapat pada proses pikiran. Adapun yg terganggu terutama adalah asosiasi. Satu ide
belum selesai diutarakan, sudah timbul ide lain.
2.Gangguan keinginan
Banyak penderita skizofrenia mempunyai kelemahan dalam keinginan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan., tidak
dapat bertindak dalam suatu keadaan
3.Gangguan afek dan emosi
Kedangkalan afek dan emosi (“emotional blunting”), misalnya penderita menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting
untuk dirinya sendiri seperti keadaan keluarganya dan masa depan-nya. Perasaan halus sudah hilang.
Pada skizofrenia terdapat hilangnya kemampuan untuk melakukan hubungan emosi (“emotional rapport”)
Gejala Sekunder :
1. Waham
● Waham primer -> tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-apa dari luar.
● Waham sekunder -> logis, dapat diikuti dan merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain.
Waham dinamakan menurut isinya : waham kebesaran atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejar , waham
persekutorik, dan sebagainya.

2. Halusinasi
● Paling sering ialah halusinasi (auditorik atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan.
Kadang-kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi cita rasa (gustatorik) atau halusinasi sentuhan
(taktil).

3. Gejala psikomotor
● Dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perilaku.
Gejala Skizofrenia juga terbagi menjadi 3 kategori :
1. Gejala Positif

•Delusi/waham, yaitu keyakinan yang tidak rasional


•Halusinasi, yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu yang sebenarnya tidak ada.
•Pikiran paranoid, yaitu kecurigaan yang berlebihan, dll

2. Gejala Negatif

•Motivasi rendah (low motivation). Penderita akan kehilangan ketertarikan pada semua aspek kehidupan.
•Menarik diri dari masyarakat (social withdrawal). Penderita akan kehilangan ketertarikan untuk berteman, lebih suka
menghabiskan waktu sendirian dan merasa terisolasi, dll
3. Gejala Kognitif

•Mengalami problem dengan perhatian dan ingatan.


•Sulit berkonsentrasi, sehingga sulit membaca, menonton televisi dari awal hingga selesai, sulit mengingat/ mempelajari
sesuatu yang baru.
•Miskin perbendaharaan kata dan proses berpikir yang lambat. Misalnya saat mengatakan sesuatu dan lupa apa yang telah
diucapkan, perlu usaha keras untuk melakukannya.
Menurut (DSM-IV-TR) :
1. Terdapat 2 atau lebih gejala dibawah ini selama 1 bulan atau kurang dari sebulan jika pengobatan berhasil
•Waham
•Halusinasi
•Bicara disorganisasi
•Perilaku disorganisasi/katatonik yang jelas
•Simptom negatif (afek datar, alogia, avolition)
•Catatan = dapat hanya 1 gejala bila dijumpai waham bizarre/halusinasi dengar
2. Disfungsi sosial/pekerjaan
3. Durasi gangguan terus menerus selama 6 bulan
4. Bukan karena gangguan penggunaan zat atau kondisi medis umum
5. Jika terdapat gangguan perkembangan pervasif, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat bila waham dan
halusinasi menonjol.
SKIZOFRENIA

Diagnosis Banding

- Gangguan skizoafektif
- Gangguan skizotipal
- Gangguan waham menetap
SKIZOFRENIA
Tatalaksana

Antipsikotik Antipsikotik
Tipical /APG I Atipical /APG II Refrakter
1. Haloperidol 1. Risperidone 1. Clozapine
2. Trifluopherazine 2. Olanzapine
3. Thioridazine
3. Quetiapine
4. Clorpromazine
4. Aripiprazole, dll
5. Fluphenazine

6. Perphenazine, dll
No. Nama Generik Sedian Dosis

1 Klorpromazin Tablet 25 dan 100 mg 150-600 mg/hari

Injeksi 25 mg/ml

2 Haloperidol Tablet 0,5 mg,1,5 mg, 5mg 5-15 mg/hari

Injeksi 5mg/ml

3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12-24 mg/hari

4 Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/hari

5 Flufenazin Dekanoat Injeksi 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu

6 Trifluperazin Tablet 1 mg, 5 mg 10-15 mg/hari

7 Tioridazin Tablet 50 mg, 100 mg 150-600 mg/hari


ASPEK ETIK
Penanganan gangguan jiwa di Indonesia

Di Indonesia, penderita gangguan jiwa berat skizofrenia dan psikosis belum


sepenuhnya mendapatkan perlakuan yang baik serta memenuhi Hak asasi
manusia. Hasil RISKESDAS 2013 menyebutkan terdapat 1,7 per 1000 penduduk
Indonesia yang menderita skizofrenia atau psikosis. Di antara para penderita
tersebut, kurang lebih 14,8% pernah dipasung dalam masa hidupnya.
Aspek Etik
Penanganan gangguan jiwa di Indonesia
Aspek Etik
Penaganan gangguan jiwa di Indonesia
Aspek Etik
Penanganan gangguan jiwa di Indonesia
ASPEK ETIK

Pemasungan terhadap orang yang diduga mengidap gangguan kejiwaan merupakan


tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Tindakan pemasungan
merupakan gejala yang umum ditemukan di negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Ketiadaan aturan hukum, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan pemahaman
terhadap gejala gangguan kejiwaan, serta keterbatasan ekonomi merupakan faktor yang
mendeterminasi munculnya kejadian pasung. Penyandang skizofrenia belum mendapat
tempat yang layak untuk mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk
memulihkan dirinya. Hampir di semua lingkungan dan mendapat perlakuan yang tidak
manusiawi. Pemasungan penyandang skizofrenia melanggar beberapa undang-undang,
dan secara hati nurani tidak bisa dibenarkan.
Konvensi tentang hak-hak penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan
kedalam Undang-Undang No.19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Disabilitas
menurut undang-memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu yang
lama yang dalam berinteraksinya mengalami hambatan dengan lingkungannya.”

Kemudian dijelaskan tentang Hak-Hak penyandang Disabilitas, adalah : “Setiap penyandang Disabilitas
harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat
manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk
mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang
lain.

Orang-orang yang dipasung akan mengalami keterbatasan ruang gerak dan akan kesulitan mendapatkan
akses informasi, akses pendidikan atau akses kesehatan.
Jika pasien skizofrenia mengancam keselamatan dirinya dan orang lain, pasien tersebut harus dibawa dan
dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Kondisi krisis tersebut perlu penanganan segera, yakni dengan manajemen krisis.
Manajemen krisis dilakukan secara bertahap, mulai secara persuasif hingga manajemen aktif berupa
pemberian psikofarmakologi dan pengekangan mekanik (restrain).

Pengekangan merupakan strategi terakhir dalam mengelola perilaku kekerasan, mengurangi penderitaan,
menjaga keselamatan pasien, orang lain dan lingkungan. Restrain diterapkan apabila tim krisis gagal saat
intervensi awal, yakni proteksi diri secara verbal dan teknik d’eskalasi. Sebelum tindakan restrain, persetujuan
keluarga sangat penting sebagai pengesahan aspek legal etik terhadap tindakan medis dan perawatan
terhadap klien. Intervensi aktif ini dilakukan selama 15–20 menit oleh tim krisis yang terdiri dari seorang dokter,
minimal 2 perawat dan 2 petugas keamanan. Dokter pemeriksa sebelum memerintahkan pelaksanaan restrain,
bersama tim krisis melakukan proteksi diri secara verbal (tehnik de eskalasi). Anggota tim atas petunjuk ketua
tim melakukan teknik four point restrain, dimana pergelangan tangan dan kaki menjadi point utama dalam
pengikatan dan pasien dalam posisi terlentang diatas tempat tidur. Selanjutnya diakhiri dengan evaluasi yang
menyeluruh dengan melihat respon perilaku, verbal, emosi, dan respon fisik pasien
Dasar Hukum

Permenkes RI No. 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan
Gangguan Jiwa
Pemasungan pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) merupakan pelanggaran HAM berat, karena
dilakukan pada orang dengan disabilitas yang mengakibatkan tidak mampu mengakses layanan yang
dapat mengurangi tingkat disabilitasnya. Tindakan pemasungan adalah “upaya pengikatan atau
pengekangan fisik pada orang dengan gangguan jiwa dan orang agresif/“berbahaya“ di komunitas
yang berakibat hilangnya kebebasan untuk mengakses layanan yang dapat membantu pemulihan
fungsi ODGJ tersebut. Pemasungan adalah segala bentuk pembatasan gerak ODGJ oleh keluarga
atau masyarakat yang mengakibatkan hilangnya kebebasan ODGJ, termasuk hilangnya hak atas
pelayanan kesehatan untuk membantu pemulihan. Penanggulangan Pemasungan adalah upaya
pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi bagi ODGJ dalam rangka penghapusan Pemasungan.
Menyadari hal tersebut, Kementerian Kesehatan mencanangkan program “Indonesia Bebas
Pasung” tahun 2010 diperkuat dengan pencanangan program “Stop Pemasungan” oleh
Kementerian Sosial pada tahun 2016. Kedua program tersebut memiliki beberapa tujuan:
1. Meningkatkan kapasitas semua pemangku kepentingan yang terlibat
2. Meningkatkan akses ke layanan yang berkualitas di semua tingkat layanan
3. Menyediakan skema pembiayaan yang memadai
4. Terselenggaranya kerja sama dan koordinasi lintas sektor untuk menjamin terlaksananya
berbagai bentuk upaya kesehatan jiwa
5. Pengembangan rumah antara
6. Terselenggaranya sistem pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan.
Hasil dari program tersebut salah satunya adalah dilengkapinya berbagai peraturan
perundang-undangan yang telah ada sejak Undang-undang Dasar 1945, terbitnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang disusul oleh berbagai
rancangan peraturan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi dasar
pengembangan yang sangat baik.
Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.”

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)

(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya

(2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

(3) Setiap orang berhak ataslingkungan hidup yang baik dan sehat
Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-haknya dalam Pasal 42 UU
HAM yang berbunyi:

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental
berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas
biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Anda mungkin juga menyukai