Anda di halaman 1dari 15

FIQIH MAWARIS

“PEMBAGIAN AHLI WARIS”

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih

Oleh :

Siti Mahmudah ( 210110076)

Dosen :

Khoerul Imam Mahdi, M. H

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL HUDA AL-AZHAR

KOTA BANJAR

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah mata kuliah fiqih dengan judul “Pembagian Ahli Waris” . Sholawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Tidak lupa
kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah fiqih atas
bimbingan yang telah diberikan serta pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penyusun sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah


pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak


kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.

Sidareja, 27 Desember 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Istilah Fiqih Mawaris (‫وارث‬22‫ه الم‬22‫ )فق‬sama pengertiannya dengan hukum


kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara
pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu
yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (‫ )علم الموارث‬dan
ilmu fara'id ( ‫ )علم الفرائض‬Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-
Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi
istilahnya jelas berbeda.

Kata ‫ الموارث‬adalah jama' dari ‫ ميراث‬dan miras itu sendiri sebagai masdar
dari ‫يراث‬22‫ ارثا – وم‬-‫ يرث‬- ‫ورث‬. Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa
arti, diantaranya: al-baqa' (‫‘ )البقا‬yang kekal”, al-intiqal (‫" )االنتقال‬yang berpindah"
dan al-maurus (‫ )الموروت‬yang maknanya at-tirkah (‫" )التزكة‬harta peninggalan orang
yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih
menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.

Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu
yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang
dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang
meninggal dunia (dari kata miras yang intiqal), atau karena yang dibahas oleh
ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras
yang berarti tirkah).

Adapun kata fara'id menurut bahasa ‫( )الفرائض‬merupakan bentuk jama' dari


kata faridah (‫)الفريضة‬. Kata ini berasal dari kata fardu (‫ )الفرض‬yang mempunyai
arti cukup banyak. Oleh para ulama, kata fara'id diartikan sebagai almafrudah(
‫ ) المفروضة‬yang berarti al-muqaddarah( (‫درة‬222‫المق‬bagian-bagian yang telah
ditentukan. Dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan
demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris
yang bagiannya sudah ditentukan.

Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata


mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk
menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang
yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.

Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama,


tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata
mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya
memakai judul bab al- fara'id atau kitab al fara'id, sebagai judul pembahasan
kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih
banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az Zuhaili dalam karyanya "al-
Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu".

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja sebab-sebab kewarisan dalam islam?

2. Bagaimana pembagian ahli waris dalam islam?

C. Tujuan

1. Untuk menjelaskan sebab-sebab kewarisan dalam islam.

2. Untuk menjelaskan pembagian ahli waris dalam islam.

D. Manfaat

1. Secara Teoritis

Untuk menemukan pemikiran baru tentang pembagian ahli waris yang


seuai dengan al qur’an dan hadist..
2. Secara Praktis

Sebagai sumber informasi dan rujukan bagi seseorang untuk


memecahkan masalah tentang pembagian ahli waris secara tepat dan benar
sesuai dengan al qur’an dan hadist.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ahli Waris

Ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima hak pemelikan harta
(tirkah) peninggalan pewaris. Pada diri pewaris seperti telah diuraikan, harus
didasari oleh adanya kematian. Sedangkan pada diri ahli waris sebaliknya yaitu
benar-benar hidup disaat kematian pewaris.

Pasal 171 huruf c dirumuskan sebagai berikut :

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.1

Pasal 171 huruf c dijelaskan pada kalimat “orang yang pada saat
meninggal dunia”, kalimat ini jelas memberikan pemahaman bahwa kematian
harus terjadi pada diri pewaris. Sedangkan benar-benar hidupnya ahli waris
disaat kematian pewaris, secara tersurat tidak dapat dipahami pada pasal 171
huruf c tersebut. Yang dapat dipahami segera secara tersurat tersebut pada
pasal 171 huruf c terebut, adalah sebab-sebab dan syarat-syarat waris-
mewarisi.

Kejelasan hidupnya seseorang disebut ahli waris dapat dipahami secara


terbaik dari kriteria seseorang dikatakan pewaris. Seperti disebutkan dalam
uraian dibawah ini seseorang dikatakan pewaris apabila meninggal atau
dinyatakan meninggal berdasarkan pemahaman secara terbalik bahwa selain
yang mati adalah termasuk ahli waris.

Untuk jelasnya kriteria ahli waris ini, penulis menyarankan kepada phak-
pihak pembuat kebijakan hidupnya seseorang bisa dikatakan seorang ahl waris.
Sebab tanpa rumusan yang jelas tentang kriteria yang dimaksud, ada
1
H. Zainal abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama (Cet. III; Jakarta, 1993), hal. 348
kemungkinan orang sudah meninggal dunia, yang mempunyai sebab-sebab
yang memenuhi syarat waris-mewarisi, seperti dirumuskan pada pasal 171
huruf c, keluarganya keeeratab dan menuntut hak orang yang telah meninggal
dunia lebih awal dari pada calon pewaris dengan alasan mempunyai sebab dan
memenuhi syarat seperti dirumuskan pada pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum
Islam (KHI). Fatchurrahman menjelaskan “para ahli waris yang benar-benar
hidup disaat kematian muwarris, baik mati haqiqi, mati hukmi maupun mati
tadiri, berhak mewarisi harta peninggalannya”.2

Kriteria ahli waris yang dijelaskan oleh Fatchurrahman, benar-benar


harus hidup disaat kematian pewaris. Berbeda dengan rumusan pasal 171 huruf
e Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang hanya menjelaskan kriteria ahli waris
dilihat dari segi hubungan mewarisi (ssebab-sebab waris). Oleh karena itu
untuk jelasnya kriteria ahli waris, sehingga tidak ada atau terjadi kemungkinan
seperti dijelaskan dalam uraian ini, maka perlu perbaikan atau perumusan
kembali kriteria ahli waris yang ada pada pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum
Islam (KHI) seperti saran sebelumnya. Selain seseorang benar-benar hidup
disaat kematian pewaris dikatakan sebagai ahli waris, harus mempunyai sebab-
sebab waris dan memenuhi syarat-syarat waris. Kaitannya dengan sebab-sebab
dan syarat-syarat waris, pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI)
merumuskan sebab dan syarat-syarat mewarisi.

B. Sebab-sebab Kewarisan
Sebab-sebab kewarisan yang dapat dipahami pada pasal 171 huruf c
tersebut, yaitu:
1. Hubungan arah atau kekerabatan;
2. Hubungan pernikahan;
3. Hubungan wala’ dan;
4. Hubungan agama.3

C. Dasar Hukum Kewarisan

2
Fatchur Rahman, Ilmu Waris,(Cet.III; Bandung:Al-Ma’arif, 1994)hal. 80
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Cet. X; Yogyakarta:1995) hal. 15
Dasar hukum yang mengatur pembagian warisan dalam Islam adalah al-
Qur'an dan al-hadis. Kedua sumber hukum ini kemudian diperkaya dengan
ijtihad para ulama.
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam yang pertama telah
menjelaskan hukum kewarisan secara perbuat cukup jelas. Menurut para
ulama, tidak ada dalam syari'at Islam hukum-hukum yang begitu jelas
diterangkan oleh al-Qur'an sebagaimana hukum-hukum kewarisan. Di
dalam al-Qur'an aturan kewarisan sebagian besarnya diatur dalam surat an-
Nisa', yaitu ayat 11, 12, 176, yang menerangkan para ahli waris dan
bagiannya. Sebenarnya dalam surat an-Nisa' ayat 1, 7, 8. 9, 10, 13, 14, 33
mempunyai konteks dengan kewarisan [intisari dari ayat- C. A ayat ini, baca
bukunya Ahmad Azhar Basyir: "Hukum Waris Islam", hlm. 8-9].
2. Al-Hadist
Meskipun al-Qur'an sudah menerangkan secara cukup rinci tentang
ahli waris dan bagiannya, hadis juga menerangkan beberapa hal tentang
pembagian warisan terutama yang tidak disebutkan dalam al-Qur'an, seperti
anjuran untuk mempelajari hukum kewarisan.

‫الحقوا الفرائض باهلها فما بقي فهو الولى رجل ذكر‬

Dalam al-hadis juga diatur mengenai keadaan atau perbuatan yang


menyebabkan seseorang tidak berhak mendapatkan warisan dari
pewarisnya, yaitu pembunuh tidak bisa mendapat warisan dari pewaris yang
dibunuhnya:

(‫ليس لقاتل ميراث (رواه ابن ماجة‬

Dalam hadis riwayat Abu Dawud dari Buraidah disebutkan bahwa


nenek mendapat 1/6 bagian jika tidak ada bersamanya ibu.4

D.Unsur-Unsur Pewarisan

4
Drs. Supriatna, M. Si, Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, 1997 hal.10-11
Untuk terlaksananya pewarisan yaitu beralihnya harta orang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup diperlukan adanya
tiga -unsur pewarisan, yaitu :
1. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta
peninggalan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pewaris disyaratkan dia
harus sudah meninggal dunia baik secara hakiki maupun hukmi. Mati
hakiki yaitu berpisahnya nyawa dari raga, sedangkan mati secara hukmi
yaitu seseorang dinyatakan mati berdasarkan keputusan pengadilan,
sedangkan orangnya ada kemungkinan sudah mati atau mungkin masih
hidup, seperti dalam kasus orang yang mafqud.
2. Ahli waris, yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya pewaris
karena ia dengan pewaris ada hubungan kekerabatan atau ikatan
perkawinan. Ahli waris disyaratkan harus dalam keadaan hidup meskipun
hanya sesaat ketika pewarisnya meninggal dunla, balk hidup secara hakiki
maupun secara hukmi
3. Harta warisan, yaitu apa-apa yang ditinggalkan pewaris, yang dalam al-
Qur'an disebut dengan Harta warisan ini bisa berwujud benda, baik benda
tetap maupun benda bergerak.5

E. Ahli Waris

Ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al hadis tidaklah hanya
satu macam dan sederajat, tetapi ada beberapa macam dan berbeda derajatnya.
Dilihat dari jenis kelaminnya ahli waris dibedakan kepada ahli waris laki-laki
dan ahli waris perempuan.

a. Ahli waris laki-laki


1. Anak laki-laki ; 2. Cucu laki-laki dari anak laki laki dst ke bawah; 3.
Ayah; 4. Kakek/ayahnya ayah dst ke atas; 5. Saudara laki-laki sekandung;
6. Saudara Iaki-laki seayah; 7. Saudara laki-laki seibu; 8. Anak laki-laki
dari saudara sekandung; 9. Anak laki laki dari saudara seayah; 10. Saudara

5
Ibid, hal. 29
Iaki-laki nya ayah yang sekandung/Paman sekandung; 11. Saudara laki-laki
nya ayah yang seayah/Paman seayah; 12. Anak Iaki-laki dari paman
sekandung; 13. Anak laki-laki dari paman ayah seayah;14. Suami.
b. Ahli waris Perempuan
1. Anak Perempuan; 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki dst ke bawah 3.
Ibu; 4. Nenek dari ibu atau ayah dst keatas; 5. Saudari perempuan
sekandung; 6. Saudari perempuan seayah; 7. Saudari perempuan seibu; 8.
Istri.6
c. Menurut ulama Sunni
Ulama Sunni dalam memahami ayat al-Qur'an dan hadis tentang
kewarisan, telah melahirkan ajaran kewarisan sunni. Pengelompokkan ahli
waris yang sangat prinsip dalam ajaran kewarisan sunni adalah
pengelompokkan ahli waris furud/ashabul furud, `asabah, dan zawul arham.
1. Ahli waris zawul furud atau ashabul furud yaitu ahli waris yang
bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur'an dan hadis. Para ahli waris
kelompok ini sudah mempunyai bagian yang baku. Dalam al-Qur'an
dan al-hadis ada enam macam bagian yang sudah ditentukan atau
furudul muqaddarah ( bagi para ahli waris, yaitu: 2/3, 1/3, 1/2, 1/4, 1/6,
dan 1/8. Adapun ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan ada 12
terdiri dari 8 orang ahli waris ahli waris laki-laki. Mereka. itu ialah:
anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke
bawah; ibu; bapak; nenek; kakek; saudari perempuan sekandung;
saudari perempuan sebapak; saudari perempuan seibu; saudara laki-laki
seibu ; suami, dan isteri. Mereka ini harus didahulukan dalam menerima
warisan dari ahli waris yang lain selama tidak terhijab. Bagian bagi para
ahi waris zawul furud/ashabut furud itu sebagai berikut:
a. Ahli waris yang mendapat 2/3 bagian ada empat orang, yaitu:
1. Dua orang atau lebih anak perempuan dan tidak bersama anak laki-
laki.

6
Ibid, hal. 37-38
2. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari laki-laki dan tidak
bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki
3. Dua orang atau lebih saudari sekandung dan tidak bersama saudara
sekandung
4. Dua orang atau lebih saudari sebapak dan tidak bersama saudara
sebapak.
b. Ahli waris yang mendapat ½ bagian ada lima yaitu:
1. Seorang anak perempuan dan tidak bersama anak orang laki-laki
2. Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan tidak bersama cucu
laki-laki
3. Seorang saudari sekandung dan tidak bersama saudara sekandung
4. Seorang saudari sebapak dan tidak bersama saudara sebapak
5. Suami apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau
cucu)
c. Ahli waris yang mendapat 1/3 bagian ada dua orang yaitu:
1. Ibu apabila tidak ada ahli waris keturunan (anak atau cucu)
2. Dua orang atau lebih saudara/saudari seibu, baik laki-laki semua
atau perempuan semua atau laki laki dan perempuan.
d. Ahli waris yang mendapat 1/4 bagian ada dua orang yaitu:
1. Suami apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
2. Isteri apabila pewaris tidak mempunyai keturunan (anak atau cucu)
e. Ahli waris yang mendapat 1/6 bagian ada enam orang, yaitu:
1. Cucu perempuan apabila mewarisi dengan seorang anak perempuan
dan tidak bersama cucu laki-laki
2. Ibu apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
3. Bapak apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu)
4. Kakek apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu) dan
tidak ada bapak
5. Saudari perempuan sebapak apabila mewarisi dengan seorang
saudari sekandung dan tidak bersama saudara laki-laki sebapak
6. Seorang saudara atau saudari seibu
f. Ahli waris yang mendapat 1/8 bagian hanya seorang yaitu isteri
apabila pewaris mempunyai keturunan (anak atau cucu).7
2. Ahli waris asabah, yaitu ahli waris yang bagiannya belum ditentukan,
mereka ini menerima sisa setelah diambil bagiannya ashabul furud lebih
dahulu, atau mengambil semua harta peninggalan apabila tidak ada ahli
waris selainnya, atau ada ahli waris yang lain tetapi mahjub.
Selanjutnya ulama sunni membagi ahli waris ‘asabah kepada tiga macam,
yaitu:
a. ‘Asabah binafsi, yaitu ahli waris menjadi asabah karena dirinya
sendiri. Mereka ini semuanya laki-laki yaitu semua kerabat pewaris
dirinya dengan pewaris tidak dihubungkan oleh perempuan. Mereka
ini ialah: anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
seterunya kebawah, bapak, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-
laki sebapak, anak dari sudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari
saudara laki-laki sebapak, paman sekandung, paman sebapak, anak
laki-laki paman sebapak.
b. Asabah bil gair yaitu ahli waris perempuan (yang semula ashabul
furud) asabah karena ditarik oleh ahli waris laki-laki yang menjadi
asabah. Antara yang ditarik menjadi ‘asabah dengan yang menarik
menjadi "asabah adalah sederajat. Mereka ini ialah:
1. anak perempuan bersama anak laki-laki
2. Cucu perempuan bersama cucu laki-laki
3. Saudari perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung
4. Saudari perempuan sebapak bersama saudari laki-laki sebapak.

3. Ahli waris zawul arham, yaitu karib kerabat pewaris atau orang yang
mempunyai hubungan nasab dengan pewaris yang tidak termasuk
ashabul furud atau pun 'asabah. Di kalangan ulama sunni sendiri
diperselisihkan apakah zawul arham berhak mewarisi atau tidak, bagi
yang berpendapat bisa mewarisi tetapi mereka sepakat bahwa zawul
arham baru menerima warisan setelah tidak ada seorang pun ahli waris
7
Ibid, hal. 38-41
dari ashabul furud atau asabah, selain suami atau isteri (zawul arham bisa
mewarisi dengan suami atau isteri). Adapun ahli waris zawul arham
antara lain:

- Keturunan dari anak perempuan

- Keturunan dari cucu perempuan pancar laki-laki

- Ayahnya ibu (kakek dari pihak ibu)

- Keturunan dari semua saudari

- Keturunan dari saudara seibu

- Keturunan yang perempuan dari saudara sekandung dan sebapak

- Paman seibu

- Keturunan yang perempuan dari paman

- Bibi (saudari perempuannya ayah)

- Semua saudara/saudari ibu (khal dan khalah).8

8
Ibid, hal. 41-45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ahli waris adalah orang-orang yang akan menerima hak pemelikan
harta (tirkah) peninggalan pewaris. Pada diri pewaris seperti telah
diuraikan, harus didasari oleh adanya kematian. Sedangkan pada diri ahli
waris sebaliknya yaitu benar-benar hidup disaat kematian pewaris.
1. Sebab-sebab kewarisan yang dapat dipahami pada pasal 171 huruf c
tersebut, yaitu:
a. Hubungan arah atau kekerabatan;
b. Hubungan pernikahan;
c. Hubungan wala’ dan;
d. Hubungan agama.
2. Dasar hukum kewarisan itu ada dua, yaitu:
- al qur’an
- al hadist.
3. Unsur-unsur pewarisan ada tiga, yaitu :
- Pewaris
- Ahli waris
- Harta warisan
Ahli waris yang disebutkan dalam al-Qur'an dan al hadis tidaklah
hanya satu macam dan sederajat, tetapi ada beberapa macam dan berbeda
derajatnya. Dilihat dari jenis kelaminnya ahli waris dibedakan kepada ahli
waris laki-laki dan ahli waris perempuan.
B. Saran

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih


banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran yang
membangun. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan
dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin Abubakar, H. Zainal, 1993. Kumpulan Peraturan Perundang-


Undangan dalam Lingkungan Peradilan Agam. Jakarta.
Rahman, Fatchur, 1994. Ilmu Waris. Bandung : Al-Ma’arif.
Azhar Basyir, Ahmad. 1995 Hukum Waris Islam. Yogyakarta.
Drs. Supriatna, 1997. Hukum Kewarisan Islam. Yogyakarta : Balai
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai