Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

FIQIH MUNAKAHAT KONTEMPORER


MENIKAHI WANITA HAMIL
Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Fiqih Munakahat Kontemporer

Dosen Pengampu : Zaki Mubarok., MSI

Disusun Oleh

Hamzah Nur Islam

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA TEGAL
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan suci, karena merupakan ibadah dan
lambang kesucian hubungan kedua jenis manusia berdasarkan perintah Allah dan Sunnah
Rasul karena dengan menikah akan membentengi diri dari perbuatan zina, dan hakikat
pernikahan adalah untuk mencari keridhaan Allah dan rela diatur oleh aturan-Nya.
Ketaatan ini dimulai sejak awal pernikahan, yaitu dari sejak menentukan kriteria pasangan
hidup, proses memilih, khitbah, serta proses berumah tangga. Islam mengatur hak dan
kewajiban anggota keluarga (suami/ayah, isteri/ibu, anak-anak) secara sempurna, komplit,
harmonis, dan bersifat saling mengisi. Dimana pola relasi suami-isteri adalah mitra/partner,
sepasang kekasih, sahabat suka dan duka, satu sama lainnya saling mengisi kekurangan,
saling mengingatkan kesalahan, saling mendorong berbuat amar ma’ruf nahi munkar dan
taat kepada Allah. Kalau terjadi pertengkaran, maka solusinya bukan baku hantam tetapi
melalui nilai dan hukum serta tahap-tahap yang telah ditetapkan Allah.

Namun di era globalisasi ini banyak kita temukan penyimpangan dalam pergaulan
antara pria dan wanita yang mengakibatkan banyaknya terjadi perzinaan yang
menyebabkan kehamilan. Akibatnya banyak terjadi pernikahan akibat kehamilan terlebih
dahulu.

Atas dasar itulah kami merasa penting membahas tentang masalah tersebut karena
hal ini sering terjadi dalam masyarakat kita saat ini, yang umumnya hanya untuk menutupi
aib keluarga.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana Islam memandang menikahi wanita yang sedang hamil?

b. Bolehkah menikahi wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam kondisi hamil?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Islam tentang Menikahi Wanita Hamil

Islam adalah agama yang universal yang mencakup semua sisi kehidupan. Tidak
ada suatu masalah pun dalam kehidupan ini yang tidak dijelaskan. Dan tidak ada satu pun
masalah yang tidak disentuh nilai Islam, walau masalah tersebut nampak kecil dan ringan
karena Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi sekalian alam. Dalam masalah
perkawinan, Islam telah berbicara banyak. Dari mulai bagaimana mencari kriteria calon
pendamping hidup, hingga bagaimana memperlakukannya setelah resmi menjadi sang
penyejuk hati.

Islam sangat menganjurkan perkawinan karena memiliki dampak yang sangat


positif bagi masyarakat dan seluruh umat manusia. Dengan perkawinan, kita dapat
menahan nafsu yang paling kuat, dapat juga menyempurnakan setengah agama, selain
memelihara kita dari perbuatan yang bersifat haram dalam agama islam.

Perkawinan juga bertujuan untuk menghasilkan keturunan-keturunan yang sholih


dan sholihah yang bisa menjadi ladang amal bagi kedua orang tuanya. Alangkah indahnya
jika pernikahan dilakukan bukan karena adanya suatu keterpaksaan, apalagi demi menutup
aib akibat perzinaan. Bukankah Allah SWT telah melarang kita melakukan perbuatan zina,
hal ini dapat kita lihat dalam firman-Nya:

‫اح َش ًة َو َسا َء َس ِبيلًا‬ ِّ ‫َولَا َت ْق َربُوا‬


َ ‫الزنَا إِنَّ ُه َك‬
ِ ‫ان َف‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isro’: 32)

Dan dalam firman-Nya:

‫س الَّتِي َح َّر َم‬ َ ُ‫ون َم َع اللَّ ِه إِلَ ًها آَ َخ َر َولَا َي ْقتُل‬


َ ‫ون النَّ ْف‬ َ ‫ْع‬ ُ ‫ِين لَا َيد‬ َ ‫َوالَّذ‬
‫ِك َي ْل َق أََثا ًما‬
َ ‫ون َو َم ْن َي ْف َع ْل َذل‬
َ ُ‫اللَّ ُه إِلَّا ِب ْال َح ِّق َولَا َي ْزن‬
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak “
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia
.mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68)

Bahkan Allah SWT melarang orang-orang mukmin untuk menikahi wanita penzina, seperti
:tertulis pada ayat berikut ini

‫ان أَ ْو‬
ٍ ‫ِح َها إِلَّا َز‬ َّ ‫ِح إِلَّا َزا ِن َي ًة أَ ْو ُم ْش ِر َك ًة َو‬
ُ ‫الزا ِن َي ُة لَا َي ْنك‬ ُ ‫الزانِي لَا َي ْنك‬
َّ
َ ‫ِك َعلَى ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ِين‬ َ ‫ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّر َم َذل‬
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau“
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
orang-orang yang mukmin.” (QS. An Nur: 3)

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Hai pemuda-pemuda, barang siapa yang


mampu diantara kamu serta berkeinginan hendak kawin, hendaklah dia kawin. Karena
sesungguhnya perkawinan itu akan memejamkan matanya terhadap orang yang tidak halal
dilihatnya dan akan memeliharakannya dari godaan syahwat. Dan barang siapa yang tidak
mampu kawin hendaklah dia puasa, karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap
perempuan akan berkurang”

Nyatanya fenomena yang menjamur di kalangan muda-mudi saat ini akibat per-
gaulan bebas, dan terjadi sebelum mendapat label sah sebagai pasangan suami istri adalah
perzinaan. Hal ini sudah dianggap biasa di tengah-tengah masyarakat kita. Si wanita den-
gan menahan malu telah memiliki isi dalam perutnya. Namun masalah yang timbul adalah
bolehkah wanita tersebut dinikahi ketika ia dalam kondisi hamil? Dan Bagaimana pandan-
gan Islam terhadap hal tersebut?

Dalam Islam boleh menikahi wanita yang telah dizinai, dengan catatan jika seseo-
rang mengetahui bahwa wanita tersebut adalah wanita yang telah dizinai, maka ia boleh
menikahinya jika memenuhi dua syarat, yakni:
1. Pertama: Yang berzina tersebut bertaubat dengan sesungguhnya pada Allah Ta’ala.

2. Kedua: Istibro’ (wanita tersebut membuktikan kosongnya rahim).

Jika dua syarat ini telah terpenuhi, maka wanita tersebut baru boleh dinikahi. Dalil yang
mengharuskan adanya istibro’ adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫يض‬ ِ ‫ال َغ ْي ُر َذ‬


َ ‫ات َح ْم ٍل َحتَّى َت ِح‬ ٌ ‫وطأُ َحام‬
َ ‫ِل َحتَّى َت‬
َ ‫ض َع َو‬ َ ُ‫ال ت‬
َ
‫ض ًة‬
َ ‫َح ْي‬
“Wanita hamil tidaklah disetubuhi hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil
istibro’nya (membuktikan kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.”

Ringkasnya, menikahi wanita yang telah dizinahi jika wanita tersebut betul-betul
telah bertaubat pada Allah dan telah melakukan istibro’ (membuktikan kosongnya rahim
dari mani hasil zina), maka ketika dua syarat ini terpenuhi boleh menikahi dirinya dengan
tujuan apa pun. Jika tidak terpenuhi dua syarat ini, maka tidak boleh menikahinya
walaupun  dengan maksud untuk menutupi aibnya di masyarakat.

B. Pendapat Ulama tentang Menikahi Wanita Hamil

Ada dua pendapat ulama tentang menikahi wanita hamil akibat perzinahan, yaitu
yang melarang dan yang membolehkan.

a. Pendapat Pertama yang melarang menikah dengan wanita hamil

Pendapat para ulama yang melarang pernikahan ini Adalah pendapat Malikiyah,
Hanabilah dan Abu Yusuf. Menurut Imam Malik, menikahi wanita yang hamil yang
sedang dalam masa iddah haram hukumnya, demi menjaga nama baik suami dan men-
jauhkan percampuran darah antara janin yang dikandung dengan air mani pria yang
menikahi wanita tersebut.

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika seorang wanita berzina, maka siapa yang
mengetahui hal itu tidak halal untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat: pertama,
wanita itu telah menyelesaikan iddahnya, jika dia hamil karena zina maka selesainya iddah
adalah dengan melahirkan, sebelum dia melahirkan tidak halal untuk dinikahi. (Al-Mughni
7/107).

Alasan yang mendukung pendapat ini:

 Wanita hamil berada dalam masa iddah, masa iddahnya adalah melahirkan, wanita
yang berada dalam masa iddah dilarang menikah. Kewajiban masa iddah ini bersi-
fat umum, dari pernikahan yang shahih atau fasid atau batil, bahkan dari perzinaan
sekali pun.

 Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari berkata, ketahuilah bahwa aku tidak berkata
kepada kalian kecuali apa yang aku dengarkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda
pada hari Hunain, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” Maksudnya adalah meng-
gauli wanita-wanita hamil(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

 Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda tentang wanita-wanita
tawanan perang Hunain, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia
melahirkan, demikian juga dengan yang tidak hamil sehingga dia mendapatkan satu
haid.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)

b. Pendapat Kedua yang membolehkan menikah dengan wanita hamil

Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Muhammad bin Al-Hasan, dan Zhahiriyah berpenda-
pat bahwa seorang pria bisa menikahi wanita dalam keadaan sekalipun hamil, karena hal
semacam ini tidak menyebabkan wanita tersebut haram untuk dinikahi. Hanya saja menu-
rut Abu Hanifah, Zhahiriyah, dan Muhammad bin Al-Hasan, jika pria yang menikahinya
bukanlah pria yang menghamili maka, “tidak boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut
melahirkan agar dia tidak menyiramkan airnya ke ladang orang lain.”

Alasan yang mendukung pendapat ini:

 Kewajiban iddah hanya berlaku jika kehamilan berasal dari pernikahan atau syub-
hat pernikahan bukan karena zina, hal ini karena zina adalah haram dan yang haram
tidak memliki harga yang perlu dipertimbangkan.
 Nabi saw melarang menyiramkan air ke ladang orang lain, lalu wanita hamil dari
zina ladang siapa? Dia bukan ladang siapa pun karena di sini tidak ada akad atau
syubhat akad

 Nabi saw, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan.”
berlaku untuk para tawanan wanita yang telah hamil oleh suami mereka atau ma-
jikan mereka, sebab hadits ini menunjukkan hal itu karena ia untuk para tawanan
perang Hunain

Pihak yang membolehkan pernikahan terhadap wanita hamil karena zina berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya menggauli wanita tersebut. Perbedaan ini terbagi menjadi
dua pendapat. Pendapat pertama, jika kehamilan berasal dari orang yang menikahinya
maka persetubuhan boleh, jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan
Zhahiriyah. Sedangkan Pendapat kedua, boleh menggaulinya secara mutlak. Ini adalah
pendapat Imam Syafi'i.

c. Pendapat yang umum digunakan

Boleh menikahi wanita hamil karena zina, jika yang menikahinya adalah orang
yang menghamilinya maka dia juga boleh menggaulinya karena dia tidak menyiram airnya
ke ladang orang lain, akan tetapi ladang sendiri. Dan pernikahan dapat dilakukan secepat-
nya tanpa menunggu kelahiran si bayi. Dengan dilangsungkan pernikahan pada saat itu,
maka tidak perlu diadakan pernikahan ulang setelah anak itu lahir. Hal ini untuk melin-
dungi hak-hak anak tersebut, dan juga memberi kesempatan pada pelaku zina tersebut agar
segera bertaubat dan kembali ke jalan Allah SWT.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang boleh tidaknya menikahi
wanita yang sedang hamil. Imam Malik memiliki pendapat yang tegas mengenai hal ini,
yakni tidak boleh menikahi wanita yang sedang hamil kecuali selesai masa iddahnya yakni
sampai ia melahirkan anaknya, hal ini demi menjaga nama baik suami dan menjauhkan
percampuran darah antara janin yang dikandung dengan air mani pria yang menikahi
wanita tersebut.

. Sedangkan Imam Syafi’I memiliki pendapat yang lebih lunak, yaitu


membolehkan menikahi dan menggauli wanita yang tengah hamil sekalipun bukan pria
tersebut yang menghamili. Sedangkan Abu Hanafi sepakat dengan pendapat Imam Syafi’I ,
bahwa boleh menikahi wanita yang sedang hamil, hanya saja menurut beliau sang suami
tidak boleh menggauli isterinya sampai ia melahirkan anak.
Perbedaan-perbedaan mahzab ini adalah apabila pria yang menikahi wanita
tersebut adalah pria yang tidak menghamili, akan tetapi jika pria tersebut yang berzina dan
menghamili wanita tersebut, maka para ulama sepakat memperbolehkan pernikahan
tersebut.
Akan tetapi pernikahan itu tidaklah mengurangi dosa perbuatan zina, karena hal
itu hanya bisa ditebus dengan penyesalan dan taubat yang sungguh-sungguh. Allah SWT
menyindir para pelaku zina dengan mensetarakannya dengan orang-orang musyrik dan
mengharamkan orang-orang mukmin melakukannya.
Allah SWT berfirman:

‫ان أَ ْو‬
ٍ ‫ِح َها إِلَّا َز‬ َّ ‫ِح إِلَّا َزا ِن َي ًة أَ ْو ُم ْش ِر َك ًة َو‬
ُ ‫الزا ِن َي ُة لَا َي ْنك‬ ُ ‫الزانِي لَا َي ْنك‬
َّ
َ ‫ِك َعلَى ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫ِين‬ َ ‫ُم ْش ِر ٌك َو ُح ِّر َم َذل‬
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.” (QS. An Nur: 3 )
DAFTAR PUSTAKA

● Kompilasi hukum islam tahun1998/1999

● Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, Moh. Thalib, PT. Alma' Arif cet. 7 jilid 6
tahun 1990

● http://id.shvoong.combooksguidance-self-improvement1966424-menikahi-wanita-
hamil-dari-zina

Anda mungkin juga menyukai