Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN RISIKO PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH

Dinda Elsha Aulia


Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Universitas Darussalam Gontor
dindaelshaa@gmail.com

Abstract

Islamic banks first developed, both in the country and abroad, it is often
said that Islamic banks are profit-sharing banks. This is done to distinguish Islamic
banks from conventional banks operating in the interest system. That's true, but not
entirely true. Because actually the profit sharing is only part of the Islamic bank
operating system. Profit sharing is a form of return from investment contracts,
which are included in natural uncertainty contracts. Profit sharing can be called
mudharabah. This Mudharabah is absolute in nature. In this mudharabah involves
between two or more people, namely the owner of the investor's capital who entrusts
his capital to the mudharib to be managed. Along with the times that are starting
to experience rapid development, Islamic banks will always face various types of
risks with varying degrees. These risks cannot be avoided, so it is necessary to carry
out identification, monitoring measurement, and control of risks arising from
business activities.

Kata Kunci: Mudharabah, Manajemen Risiko

Pendahuluan
Perbankan merupakan suatu lembaga yang memiliki peran dalam menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Pengertian bank
menurut Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 merupakan badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak. Sedangkan bank Syariah adalah
bang yang beroperasi dengan prinsip syariah uang mengacu kepada Al-Qur’an dan
Hadits Nabi.1
Perkembangan perbankan syariah tentunya juga harus didukung oleh
sumber daya insani yang memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Namun, realitas yang ada menunjukkan bahwa masih banyak sumber daya insani
yang selama ini terlibat di institusi syariah tidak memiliki pengalaman akademis
maupun praktis dalam bidang Islamic Banking.
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan
eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, bank
syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis risiko dengan tingkat
kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam
konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated)
yang berdampak negative terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko-risiko
tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena
itu, sebagaimana Lembaga perbankan pada umumnya, bank syariah juga
memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul
dari kegiatan usaha, atau yang biasa disebut sebagai manajemen risiko. 2
Sasaran kebijakan manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur,
memantau dan mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko
yang wajar secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Dengan demikian,
manajemen risiko berfungsi sebagai filter atau pemberi peringatan dini (early
warning system) terhadap kegiatan usaha bank.
Manajemen risiko dalam bank Islam mempunyai karakter yang berbeda
dengan bank konvensional, terutama karena adanya jenis-jenis risiko yang khas
melekat hanya pada bank-bank yang beroperasi secara syariah. Dengan kata lain,

1
Karnaen Purwaatmadja, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 2018), hlm. 1.
2
Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, Islam dan Perbankan Syariah, (Jakarta:
Karim Business Consulting, 2001), hlm. 1.
perbedaan mendasar antara bank Islam dengan bank konvensional bukan terletak
pada bagaimana cara mengukur, melainkan pada apa yang dinilai. 3
Menurut ketentuan BI bahwa penerapan manajemen risiko bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah, terdapat sepuluh jenis risiko yang dihadapi bank
Islam, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko
hukum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko kepatuhan, risiko imbal hasil, dan
risiko investasi.4 Sedangkan dua risiko terakhir pada bank syariah yaitu risiko imbal
hasil dan risiko investasi merupakan risiko unik yang khusus dihadapi oleh bank
Islam. Penambahan dua risiko ini sejalan dengan platform manajemen risiko yang
dikeluarkan oleh IFSB.5
Risiko pembiayaan muncul sebab kegagalan nasabah atau pihak lain dalam
memenuhi liabilitas kepada bank Islam sesuai kontrak. Risiko ini disebut juga risiko
gagal bayar (default risk), risiko pembiayaan (financing risk), risiko penurunan
rating (downgrading risk), dan risiko penyelesaian (settlemet risk). Termasuk dalam
kelompok risiko pembiayaan yaitu risiko konsentrasi pembiayaan. 6
Bank wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif, sekurang-
kurangnya mencakup pengawasan aktif dewan komisaris, keberadaan komite
manajemen risiko, keberadaan dewan pengawas syariah (DPS), satuan kerja audit
intern (SKAI) dan keberadaan bagian legal. 7

Pengertian Akad Mudharabah


Mudharabah adalah akad yang telah dikenal oleh umat Muslim sejak zaman
nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika
Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad
mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum Islam,

3
Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Depok: RajaGrafindo Persada,
2019), hlm. 257.
4
PBI Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum
Syariah dan Unit Usaha Syariah.
5
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta: Salemba Empat, 2013), hlm.
17.
6
Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, hlm. 25.
7
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003.
maka praktik mudaharabah ini dibolehkan, baik menurut Al-Qur’an. Sunnah,
maupun Ijma’. Dalam praktik mudharabah antara Khadijah dengan nabi, saat itu
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi Muhammad
SAW ke luar negeri. Dalam kasus ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal
(shahibul maal). Sedangkan Nabi Muhammad berperan sebagai pelaksana usaha
(mudharib). Bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai
pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak
kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut
akad mudharabah. Atau singkatnya, akad mudharabah adalah persetujuan kongsi
antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain. 8
Sedangkan mudharabah menurut para imam madzhab memiliki perbedaan
definisi, sebagai berikut:9
1. Madzahib Hanafi mengartikan mudharabah adalah akad atas suatu syarikat
dalam keuntungan dengan modal harta dan satu pihak dan dengan pekerjaan
(usaha) dari pihak lain.
2. Madzahib Maliki memberikan definisi bahwa mudharabah suatu pemberian
mandat (taukiil) untuk berdagang dengan mata uang tunai yang diserahkan
kepada pengelolalnya dengan mendapatkan sebagian dari keuntungannya,
jika diketahui jumlah dan keuntungan.
3. Madzahib Syafi’i memberikan definisi mudharabah adalah suatu akad yang
memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakannya dan
keuntungannya dibagi antara mereka berdua.
4. Madzahib Hambali mengartikan mudharabah adalah penyerahan suatu
modal tertentu dan jelas jumlahnya atau semakna, kepada orang yang
mengusahakan dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
5. Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah adalah akad antara dua belah pihak
dimana salah satunya menyerahkan modalnya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan.

8
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 204.
9
Abd. Ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah, Juz 3, (Bairut:
Darul Fikr), hlm. 35.
6. Menurut Taqiyyudin, mudharabah adalah perjanjian atas keuangan untuk
dikelola oleh seseorang (pekerja) didalam perdagangan.
7. Menurut Wahbah az-Zuhaily, Mudharabah adalahpemberian modal oleh
pemilik modal kepada pengelola untuk dikelola dalam bentuk usaha dengan
pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan.

Dasar Hukum Mudharabah


Dasar hukum mudharabah dapat dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadits Rasul sebagai berikut:
1. Surat Al-Baqarah: 198
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan)
dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah
kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.”

2. Surat Al-Jumu’ah: 10
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi;
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung.”

3. Surat Al-Muzammil: 20
“....dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian
karunia Allah...”

4. H.R. Tirmidzi
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul
Muthalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya secara
mudharabah, ia mensyarakan agar dananya tidak dibawa mengarungi
lautan, menuruni lembah yang bahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas
dana tersebut. Disampaikanlah kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah
pun membolehkannya.”

5. H.R. Ibnu Majah


“Dari Shalih r.a. bahwa Rasulullah SAW, bersabda: tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan; jual bei secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual.”

6. Ijma’
Diantara ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jama’ah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah.
Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.

7. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk
mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula
yang kaya. Disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi
tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah ditujukan
antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk
kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

Rukun Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada dalam akad mudharabah adalah:
1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2. Objek mudharabah (modal dan kerja)
3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)
4. Nisbah keuntungan
Bentuk-Bentuk Mudharabah
Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana shahibul maal tidak
menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib. Bentuk
mudharabah ini disebut mudharabah mutlaqah atau dalam bahasa Inggrisnya
dikenal sebagai Unrestricted Investment Account (URIA). Namun demikian apabila
dipandang perlu, shahibul maal boleh menetapkan batasan-batasan atau syarat-
syarat tertentu guna menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Syarat-syarat
atau batasan ini harus dipenuhi oleh si mudharib. Apabila mudharib melanggar
batasan-batasan tersebut, ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul.
Jenid mudharabah seperti ini disebut mudharabah muqayyadah (mudharabah
terbatas, atau dalam bahasa inggrisnya Restricted Investment Account. Jadi pada
dasarnya, terdapat dua bentuk mudharabah, yakni mutlaqah dan muqayyadah. 10

Definisi Manajemen Risiko


Manajemen risiko adalah mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan
mengendalikan jalannya kegiatan usaha bank dengan tingkat risiko yang wajar
secara terarah, terintegrasi, dan berkesinambungan. Manajemen risiko merupakan
unsur terpenting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada
bank sebagai salah satu lembaga keuangan. Secara umum risiko yang dihadapi
perbankan syariah merupakan risiko yang relatif sama dengan yang dihadapi bank
konvensional.11

Jenis-Jenis Risiko
Secara umum risiko yang melekat pada aktivitas fungsional bank syariah
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis risiko, yaitu risiko pembiayaan, risiko
pasar, dan risiko operasional.
a) Risiko Pembiayaan

10
Adiwarman A. Karim, Bank islam Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 212.
11
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013),
hlm. 134.
Yang dimaksud dengan risiko pembiayaan adalah risiko yang disebabkan
oleh adanya kegagalan counterparty dalam memenuhi kewajibannya.
Dalam bank syariah risiko pembiayaan mencakup risiko terkait produk dan
risiko terkait pembiayaan korporasi.

b) Risiko Pasar (Market Risk)


Yang dimaksud dengan risiko pasar adalah risiko kerugian yang terjadi pada
portfolio yang dimiliki oleh bank akibat adanya pergerakan variabel pasar
berupa suku bunga dan nilai tukar. Risiko pasar mencakup empat hal, yaitu
risiko tingkat suku bunga (interest rate risk), risiko pertukaran mata uang
(foreign exchange risk), risiko harga (price risk), dan risiko likuiditas
(liquidity risk).

c) Risiko Operasional
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh
ketidakcukupan atau tidak berfungsinya proses internal, human error,
kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi
operasional bank. Ada tiga faktor yang menjadi penyebab timbulnya risiko
ini, yaitu:
1) Infrastuktur, seperti teknologi, kebijakan, lingkungan, pengamanan,
perselisihan, dan sebagainya.
2) Proses.
3) Sumber daya.

Manajemen Risiko Pembiayaan Mudharabah

Manajemen risiko merupakan suatu proses analisis yang dilakukan oleh


lembaga keuangan syariah untuk menilai suatu permohonan pembiayaan yang telah
diajukan oleh calon nasabah. Dengan melakukan analisis permohonan pembiayaan,
lembaga keuangan syariah akan memperoleh keyakinan bahwa usaha yang akan
dibiayai layak atau feasible.
Lembaga keungan syariah melakukan analisis pembiayaan memiliki tujuan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya deafult oleh nasabah. Analisis
pembiayaan merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
lembaga keuangan syariah untuk meyakini kelayakan atas permohonan pembiayaan
nasabah.12

Beberapa prinsip dasar yang dilakukan untuk mempertimbangkan


pemberian pembiayaan mudharabah yang diajukan oleh calon nasabah antara lain:

a. Character
Character adalah watak atau sifat calon nasabah baik dalam
kehidupan pribadi maupun lingkungan usaha. Lembaga keuangan syariah
perlu melakukan analisis terhadap karakter calon nasabah dengan tujuan
untuk mengetahui bahwa calon nasabah mempunyai keinginan untuk
memenuhi kewajiban membayar kembali pembiayaan mudharabah yang
telah diterima hingga lunas.
Cara yang perlu dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk
mengetahui karakter calon nasabah antara lain:
1) BI Checking
Lembaga keuangan syariah dapat melakukan penelitian terhadap
calon nasabah dengan melihat data nasabah melalui komputer yang
online dengan Bank Indonesia.
2) Informasi dengan pihak lain
Lembaga keuangan syariah dapat meneliti calon nasabah melalui
pihak-pihak lain yang mengenal dengan baik calon nasabah. Misalnya,
mencari informasi tentang kepribadian calon nasabah melalui tetangga,
teman kerja, pimpinan pekerjaan, dan rekan usahanya.
3) Capacity
Kemampuan yang dimiliki oleh calon mudharb dalam menjalankan
usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan penelitian

12
Ismai, Perbankan Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 120.
ini untuk mengetahui atau mengukur sejauh mana calon mudharib
mampu mengembalikan atau melunasi utang-utangnya secara tepat
waktu, dari hasil usaha yang diperolehnya. 13
Ada beberapa cara untuk mengetahui variabel keuangan calon
mudharib, diantaranya:
A. Melihat laporan keuangan
Dalam laporan keuangan calon mudharib maka akan dapat
diketahui sumber dananya, dengan melihat laporan arus kas.
Didalam laporan arus kas secara keseluruhan dapat diketahui
kondisi keuangan secara tunai dari calon mudharib, dengan
membandingkan antara sumber dana yang diperoleh dan
penggunaan dana.
B. Memeriksa slip gaji dan rekening tabungan
Cara lain yang dapat ditempuh oleh lembaga keuangan
syariah, bila calon mudharib pegawai, maka bank dapat meminta
foto copy slip gaji tiga bulan terakhir dan didukung oleh
rekening tabungan sekurang-kurangnya untuk tiga bulan
terakhir.
C. Survei ke lokasi usaha calon mudharib
Survei ini diperlukan untuk mengetahui usaha calon mudharib
dengan melakukan pengamatan secara langsung. 14

b. Capital
Capital adalah jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh
calon mudharib. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan,
semakin tinggi kesungguhan calon mudharib menjalankan usahanya dan
lembaga keuangan syariah akan merasa lebih yakin memberikan
pembiayaan.15

13
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, hlm. 236.
14
Ismail, Perbankan Syariah, hlm. 122.
15
Khaerul Umum, Manajemen Perbankan Syariah, hlm. 235.
c. Collateral
Collateral adalah barang yang diserahkan mudharib sebagai jaminan
terhadap pembiayaan yang diterimanya. Collateral harus dinilai untuk
mengetahui sejauh mana risiko kewajiban finansial mudharib kepada
lembaga keuangan syariah. Penilaian terhadap jaminan ini meliputi jenis,
lokasi, bukti kepemilikan, dan status hukumnya.
Penilaian terhadap collateral ini dapat ditinjau dari dua segi, yaitu:
segi ekonomis dan segi yuridis. Segi ekonomis yaitu nilai ekonomis dari
barang-barang yang akan digunakan. Dan segi yuridis yaitu apakah
jaminan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk dipakai sebagai
jaminan.16

d. Condition of Economy
Condition of economy adalah situasi dan kondisi politik, sosial,
ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi keadaan perekonomian yang
kemungkinan suatu saat mempengaruhi kelancaran perusahaan calon
mudharib.
Terdapat beberapa analisis terkait dengan condition of economy antara
lain:
 Kebijakan pemerintah. Perubahan kebijakan pemerintah
digunakan sebagai pertimbangan bagi lembaga keuangan syariah
untuk melakukan analisis condition of economy.
 Lembaga keuangan syariah tidak terlalu fokus terhadap analisis
condition of economy pada pembiayaan konsumsi. Lembaga
keuangan syariah akan mengkaitkan antara tempat kerja calon
mudharib dan kondisi ekonomi saat ini dan saat mendatang,
sehingga dapat diestimasikan tentang kondisi perusahaan dimana
calon mudharib bekerja. Kelangsungan hidup perusahaan dan

16
Khaerul Umam, Manajemen Perbankan Syariah, hlm. 237.
pekerjaan calon mudharib menjadi bahan pertimbangan penting
dalam pengambilan keputusan pembiayaan.17

Kesimpulan

Manajemen risiko bisa dikatakan sebagai suatu proses analisis yang


dilakukan oleh lembaga keuangan syariah untuk menilai suatu permohonan
pembiayaan yang telah diajukan oleh calon nasabah. Dengan adanya analisis
permohonan pembiayaan, lembaga keuangan syariah akan memperoleh keyakinan
bahwa usaha yang akan dibiayai layak atau feasible.

Lembaga keungan syariah melakukan analisis pembiayaan memiliki


tujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya deafult oleh nasabah. Analisis
pembiayaan merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
lembaga keuangan syariah untuk meyakini kelayakan atas permohonan pembiayaan
nasabah. Prinsip dasar yang dilakukan untuk mempertimbangkan pemberian
pembiayaan mudharabah yang diajukan oleh calon nasabah diantaranya, character,
capital, collateral, dan condition of economy.

Daftar Pustaka
Adiwarman. 2019. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Depok: RajaGrafindo
Persada.

Al-Jaziri, Abd. Ar-Rahman. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba’ah. Bairut:


Darul Fikr.

Arifin, Zainal. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet.

Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2001. Islam dan Perbankan Syariah.
Jakarta: Karim Business Consulting.

Hasan, M. Ali. 2003 Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.

Ismail. 2011. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

17
Ismail, Perbankan Syariah, hlm. 125.
Khaerul Umam. 2013. Manajemen Perbankan Syariah. Bandung: CV Pustaka
Setia.

Nikensari, Sri Indah. 2012. Perbankan Syariah: Prinsip, Sejarah, Aplikasi.


Semarang: Pustaka Rizki Putra.

PBI Nomor 13/23/PBI/2011 Tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank


Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003.

Purwaatmadja, Karnaen. 2018. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa.

Wahyudi, Imam. 2013. Manajemen Risiko Bank Islam. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai