Anda di halaman 1dari 6

Nama : Desi Fitriyani

Kelas : AS 2018 B
NIM : 41801009

Tugas Fikih Muamalah II


Contoh Transaksi Yang Dilarang
1. Two in One adalah kondisi di mana suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus,
sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan/berlaku.
Dalam terminologi fikih, kejadian ini disebut dengan shafqatain fi al-shafqah.
Two in one terjadi bila semua dari ketiga faktor di bawah ini terpenuhi:
a. Objek sama;
b. Pelaku sama;
c. Jangka waktu sama. Bila satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, two in one tidak
terjadi, dengan demikian akad menjadi sah.
Contoh dari two in one adalah transaksi lease and purchase (sewa beli). Dalam
transaksi ini, terjadi gharar dalam akad, karena ada ketidakjelasan akad mana yang berlaku:
akad beli atau akad sewa. Oleh karena itulah, transaksi sewa beli ini diharamkan.

2. Dana non halal adalah sumber dana kebajikan yang berasal dari transaksi bank syariah
dengan pihak lain yang tidak menggunakan skema syariah.
Contoh nya : Bunga atau interest, Dana pada sektor industry yang tidak halal. dana denda telat
bayar untuk kategori ta'zir atau sanksi bagi nasabah zhalim. Dana ini merupakan sanksi atau
penalti yang dikenakan bagi nasabah mampu, namun terfakta telat bayar.

3. Ihtikar adalah menahan barang yang merupakan hajat orang banyak dengan tidak menjualnya
agar permintaan bertambah dan harga menjadi naik, saat itulah kemudian ia menjualnya.
Contoh : Menimbun masker dan hadsanitizer saat wabah virus corona, sehingga barang jadi
langka dan menjual dengan harga yang mahal.

4. Bai' najasy (rekayasa pasar dalam demand) yaitu bila seorang produsen (pembeli)
menciptakan permintaan palsu seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk,
sehingga harga jual produk itu naik.
Di antara praktik rekayasa pasar dalam demand adalah praktik goreng-menggoreng saham
dalam bursa saham. Cara yang ditempuh biasanya bermacam-macam, mulai dengan
menyebarkan isu, melakukan pemesanan (order) pembelian sampai benar-benar melakukan
pembelian pancingan agar tercipta sentimen pasar untuk ramai-ramai membeli saham (atau
mata uang) tertentu.

5. Ba’I Ad dai bil dain adalah Jual beli hutang dengan hutang
Contohnya Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah
terima dilakukan setelah satu bulan.’
· Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu ketika
jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya, lantas berkata
kepada pembeli, ‘;Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu lagi dengan imbalan
tambahan barang’. Lalu pembeli menyetujui permintaan penjual dan kedua belah pihak tidak
saling sarah terima barang.
Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah ‘berikan tambahan waktu
dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.
6. Bai’ Al-‘inah adalah seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan akan
menjualnya kembali kepada penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Contohnya adalah, Ogi membutuhkan uang untuk pembayaran semester. Lalu, Ogi meminjam
uang kepada Agi sebesar Rp. 8.000.000,-. Agi adalah seorang penjual laptop, jika Agi
meminjamkan uang kepada Ogi maka ia tidak boleh mengambil keuntungan dari Ogi. Tetapi,
Ogi adakah orang yang membutuhkan uang bukan laptop. Maka, Agi menjual laptopnya
kepada Ogi seharga Rp. 10.000.000,- secara kredit. Karena Ogi tidak membutuhkan laptop
maka ia menjual kembali laptop tersebut kepada Agi seharga Rp. 8.000.000,- dan dibayar
tunai.

Contoh Transaksi Kontemporer

1. Jual Beli Sistem Dropshiper


Sistem ini berbeda sekali dengan sistem jual beli reseller, yaitu sistem jual beli yang
dilakukan dengan jalan menjual kembali barang yang dikulak oleh pedagang dari
pedagang stok. Dalam sistem ini, penjual harus menyediakan stok barang terlebih dahulu
sebelum bergerak selaku penjual. Tanggung jawab pengiriman barang melekat pada
dirinya sendiri. Dengan membedakan kedua sistem antara dropshipping dan reseller ini,
maka bisa diketahui bahwa dropshipping merupakan sistem jual beli tanpa modal (urudlu
al-tijârah). Pedagang hanya bergerak selaku makelar (samsarah) atau selaku orang yang
diberi hak kuasa menjualkan barang (wakil) oleh pedagang stok (supplier). Barang yang
diperjualbelikan mengikuti klasifikasi barang yang disediakan oleh penyedia stok-nya.
Adapun harga barang, maka ada dua kemungkinan, yaitu: pertama, pedagang
memberikan harga sendiri atas barang yang dijual, yang berbeda dengan harga pokok
pemilik stok. Kedua, pedagang hanya berperan selaku orang yang mendapatkan izin
menjualkan barang milik supplier (seharga yang sudah ditetapkan pemilik stok, dengan
tetap mendapat keuntungan sesuai kesepakatan, red).
Untuk hukum seputar jual beli reseller, para ulama sepakat membolehkan disebabkan
karena barang sudah menjadi milik dari supplier. Sistem jual beli reseller masuk kategori
bai’u maushufin fi al-dzimmah, yaitu jual beli barang yang sudah menjadi milik dari
pedagang. Akad yang berlaku adalah akad salam, yaitu sistem jual akad pesan. Cirinya
adalah:
- Barang sudah berada dalam kuasa pedagang
- Diketahui ra’sul maal-nya (modal pokoknya)
Ikhtilaf terjadi pada sistem perdagangan dropshipping. Ada beberapa pangkal ikhtilaf
mengingat sistem jual beli dropshipping ini ada dua, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dropshipping dengan barang yang belum mendapatkan izin dari supplier
Biasanya sistem ini dilakukan dengan jalan, penjual membuat akun sendiri. Ia
mencantumkan banyak ragam barang yang ditawarkan, sementara barangnya masih
berada di tangan orang lain yang menjadi pedagang aslinya. Ia hanya berperan
mencarikan barang, tanpa kesepakatan imbalan (ujrah) dengan pedagang pertama.
Sebagai gambaran mudahnya adalah perdagangan ala makelaran. Barang yang ditawarkan
belum menjadi milik makelar, dan belum mendapat izin atau meminta izin kepada
pedagang aslinya, tapi dia sudah menawarkan barang.
Jual beli sistem dropship model makelaran seperti ini disepakati oleh mayoritas ulama
sebagai haram, kecuali mazhab Hanafi yang masih membolehkan, asalkan ia mengetahui
ciri-ciri umum dari barang. Sebagian dari kalangan Syafi’iyah juga masih ada yang
menyatakan boleh, namun sifatnya hanya terbatas pada barang tertentu yang mudah
dikenali dan tidak gampang berubah ciri khasnya. Contoh makelar sepeda motor dengan
merek Jupiter Z1, atau makelar mobil dengan merek Avanza. Baik sepeda motor maupun
mobil Avanza adalah merupakan jenis barang yang tidak gampang berubah dan mudah
dikenali oleh pembelinya, meskipun barangnya itu tidak ada di tempat penjualnya. Untuk
jual beli barang seperti ini termasuk jual beli ainun ghaibah, yaitu jual beli barang yang
belum ada di tempat.
Pangkal hukum yang memperlemah status kebolehan dropshipping sistem pertama ini
adalah masalah izin yang belum didapatkan oleh dropshipper dari supplier. Itulah
sebabnya ia dikelompokkan dalam sistem samsarah (makelar) yang hanya di mazhab
Hanafi saja yang membolehkannya. Salah satu ulama dari kalangan Malikiyyah, yakni
Syekh Wahbah Zuhaily juga menyatakan kebolehan dari akad samsarah ini. Dalam Al-
Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, beliau menyampaikan:
‫ ﻭاﻷﺟﺮ اﻟﺬﻱ ﻳﺄﺧﺬﻩ اﻟﺴﻤﺴﺎﺭ ﺣﻼﻝ؛ ﻷﻧﻪ ﺃﺟﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﻤﻞ ﻭﺟﻬﺪ ﻣﻌﻘﻮﻝ‬،‫ﻭاﻟﺴﻤﺴﺮﺓ ﺟﺎﺋﺰﺓ‬
Artinya: “Jual beli makelaran adalah boleh. Dan upah yang diambil oleh makelar
adalah halal karena ia didapat karena adanya amal dan jerih payah yang masuk akal.”
(Lihat: Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Darul Kutub Al-
Ilmiyyah, tt.,: 5/21!).
Namun, sayangnya dalam mazhab Maliki tetap mensyaratkan adanya al-ajru, yaitu
upah bagi makelar, yang berarti harus ada izin langsung dari pihak supplier. Jadi, satu-
satunya mazhab yang membolehkan dalam masalah ini adalah mazhab Hanafi saja.

Dropshipping dengan barang yang mendapat izin dari supplier


Untuk sistem kedua ini, biasanya dilakukan dengan jalan pihak dropshipper meminta
izin kepada supplier untuk ikut menjualkan barangnya. Dengan demikian pedagang
berperan selaku orang yang diizinkan atau mendapatkan kuasa menjualkan. Selaku orang
yang mendapatkan hak kuasa, maka kedudukannya hampir sama dengan pedagang
reseller. Hanya saja, kondisi barang yang dijual belum ada di tangan pedagang.
Selaku orang yang diberi izin menjualkan barang, maka dropshipping sistem kedua
ini masuk kategori bai’u ainin ghaibah maushufatin bi al-yad, yaitu jual beli barang yang
belum ada di tempat namun bisa diketahui sifat dan ciri khas barangnya dan
diperbolehkan sebab pemberian kuasa. Kalangan ulama mazhab Syafi’i ada yang
memandang hukumnya sebagai boleh sebagaimana pendapat berikut ini:
‫وقوله لم تشاهد يؤخذ منه أنه إذا شوهدت ولكنها كانت وقت العقد غائبة أنه يجوز‬
Artinya: “Maksud dari pernyataan Abi Syujja’ “belum pernah disaksikan”, difahami
sebagai “apabila barang yang dijual pernah disaksikan, hanya saja saat akad dilaksanakan
barang tersebut masih ghaib (tidak ada)”, maka hukumnya adalah boleh.” (Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati al-Ikhtishâr,
Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/240)
Namun kebolehan ini disertai dengan syarat mutlak yaitu apabila contoh barang
tersebut pernah disaksikan oleh pembeli, mudah dikenali dan tidak gampang berubah
modelnya, sebagaimana pendapat ini tercermin dari pernyataan berikut ini:
‫إن كانت العين مما ال تتغير غالبا كاألواني ونحوها أو كانت ال تتغير في المدة المتخللة بين الرؤية والشراء صح‬
‫العقد لحصول العلم المقصود‬
Artinya: “Jika barang “‘ain ghaibah” adalah berupa barang yang umumnya tidak
mudah berubah, misalnya seperti wadah (tembikar) dan sejenisnya, atau barang tersebut
tidak mudah berubah oleh waktu ketika mulai dilihat (oleh yang dipesani) dan dilanjutkan
dengan membeli (oleh yang `memesan), maka akad (jual beli ‘ain ghaibah) tersebut
adalah sah disebabkan tercapainya pengetahuan barang yang dimaksud.” (Lihat:
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hushny, Kifâyatu al-Akhyar fi hilli Ghâyati
al-Ikhtishâr, Surabaya: Al-Hidayah, 1993: 1/241).
Adapun akad jual beli untuk dropshipping model kedua ini adalah akad salam, yaitu
jual beli dengan sistem pemesanan. Hukumnya adalah boleh (jaiz).
Kesimpulan
Dropshipping adalah jual beli online tanpa modal dengan barang yang masih belum
menjadi milik pihak penjual. Ada dua sistem dropshipping berdasarkan keberadaan izin
yang dipegang oleh penjual. Pertama, dropshipping tanpa izin menjualkan barang oleh
supplier. Hukumnya adalah haram menurut mayoritas ulama. Hanya mazhab Hanafi saja
yang memperbolehkan sistem jual beli ini. Akad yang dibangun dalam sistem pertama ini
adalah akad makelaran (samsarah).
Kedua, dropshipping dengan izin menjualkan barang oleh supplier. Akad yang
dibangun dalam model kedua ini adalah akad salam. Ulama empat mazhab menyatakan
status kebolehan hukumnya. Khusus untuk mazhab Syafi’i, ada catatan khusus terkait
dengan barang yang dijual, yaitu apabila barang terdiri atas barang yang tidak mudah
berubah baik model maupun sifat barangnya. Untuk barang yang mudah berubah model
dan sifat barangnya, maka hukumnya sepakat tidak boleh.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri
Putri, P. Bawean, JATIM

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/95584/hukum-jual-beli-sistem-dropship-dan-
reseller

2. E-Money
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa
yang berkaitan dengan uang elektronik, dan menyatakan bahwa hukum uang elektronik
itu pada dasarnya boleh asal dengan syarat-syarat:
1. Uang elektronik (electronic money) adalah alat pembayaran yang memenuhi
unsur-unsur berikut:
a. Diterbitkan atas dasar jumlah nominal uang yang disetor terlebih dahulu
kepada penerbit;
b. Jumlah nominal uang disimpan secara elektronik dalam suatu media yang
teregistrasi;
c. Jumlah nominal uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan
merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang
mengatur mengenai perbankan; dan
d. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan
merupakan penerbit uang elektronik tersebut.
2. Uang elektronik syariah adalah uang elektronik yang sesuai dengan prinsip- prinsip
syariah.

Akad yang Digunakan dalam Uang Elektronik


Akad antara penerbit dengan pemegang uang elektronik adalah akad wadi’ah
atau akad qardh. Dalam hal akad yang digunakan adalah akad wadi'ah, maka berlaku
ketentuan dan batasan akad wadi'ah sebagai berikut:
1. Jumlah nominal uang elektronik bersifat titipan yang dapat diambil/digunakan
oleh pemegang kapan saja;
2. Jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan tidak boleh digunakan oleh
penerima titipan (penerbit), kecuali atas izin pemegang kartu;
3. Dalam hal jumlah nominal uang elektronik yang dititipkan digunakan oleh
penerbit atas izin pemegang kartu, maka akad titipan (wadi’ah) berubah
menjadi akad pinjaman (qardh), dan tanggung jawab penerima titipan sama
dengan tanggung jawab dalam akad qardh;
4. Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana titipan dari
pemegang kartu (dana float);
5. Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah
dan peraturan pemndang-undangan.
Dalam hal akad yang digunakan adalah akad qardh, maka berlaku ketentuan dan
batasan akad qardh sebagai berikut:
1. Jumlah nominal uang elektronik bersifat hutang yang dapat diambil serta dapat
digunakan oleh pemegang kapan saja;
2. Penerbit dapat menggunakan (menginvestasikan) uang hutang dari pemegang
uang elektronik;
3. Penerbit wajib mengembalikan jumlah pokok piutang pemegang uang
elektronik kapan saja sesuai kesepakatan;
4. Otoritas terkait wajib membatasi penerbit dalam penggunaan dana pinjaman
(utang) dari pemegang kartu (dana float);
5. Penggunaan dana oleh penerbit tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah
dan peraturan perundang-undangan.
Di antara akad yang dapat digunakan penerbit dengan para pihak dalam
penyelenggaraan uang elektronik (prinsipal, acquirer, pedagang merchant,
penyelenggara kliring, dan penyelenggara penyelesaian akhir) adalah akad ijarah, akad
ju’alah, dan akad wakalah bi al-ujrah. Di antara akad yang dapat digunakan antara
penerbit dengan agen layanan
keuangan digital adalah akad ijarah, akad ju'alah, dan akad wakalah bi al-ujrah. DSN
MUI pun menambahkan aturan mengenai uang elektronik yaitu jumlah nominal uang
elektronik yang ada pada penerbit harus ditempatkan di bank syariah, serta dalam hal
kartu yang digunakan sebagai media uang elektronik hilang maka jumlah nominal uang
yang ada di penerbit tidak boleh hilang. Penggunaan uang elektronik memiliki dimensi
insani yang dominan27 sehingga tidak bertentangan dengan dimensi ilahi dari tujuan
syariah.
Bertentangan dengan pendapat Karl Marx yang terkenal bahwa agama adalah
salah satu bentuk hasil ekspresi manusia yang tertindas, sehingga menyamakan agama
dengan opium, dan menyatakan bahwa untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki,
manusia harus melepaskan sumber kebahagiaan semu yaitu agama28, agama Islam
merupakan agama menyeluruh yang dinamis, akan tetapi tidak overly flexible, dan
agama yang kokoh akan tetapi tidak kaku (rigid), yang merupakan sumber kebahagiaan
yang mutlak. Tanpa agama manusia justru akan hampa, dan kehilangan arah, yang
berujung kepada kerusakan tatanan kehidupan sosial.

3. Cashback Aplikasi GoPay, OVO, DANA

Dewan Syariah Wahdah Islamiyah, Dr Muhammad Yusran Anshar Lc MA dan


Harman Tajang Lc MHI dalam ketetapan 13 Maret 2019 memutuskan sebagai berikut.

Pertama, hukum asal penggunaan Go-Pay dan sejenisnya adalah dibolehkan selama
memenuhi kaidah-kaidah sharf atau tukar-menukar uang.

Kedua, diskon yang didapatkan melalui pembayaran Go-Pay dan sejenisnya termasuk
athaya (pemberian) yang diperbolehkan dan tidak termasuk faedah dari piutang (riba).

MENETAPKAN, MEMUTUSKAN

1. Hukum asal penggunaan Go-Pay dan sejenisnya adalah dibolehkan selama memenuhi
kaidah-kaidah sharf (tukar-menukar uang);

2. Diskon yang didapatkan melalui pembayaran Go-Pay dan sejenisnya termasuk athaya
(pemberian) yang diperbolehkan dan tidak termasuk faedah dari piutang (riba);

3. Mengimbau kepada seluruh kaum muslimin untuk menjaga persatuan dan ukhuwah
serta saling menghargai perbedaan dalam menyikapi masalah ini.
Ditetapkan di Makassar
Pada Tanggal 06 Rajab 1440 H 13 Maret 2019 M

DEWAN SYARIAH WAHDAH ISLAMIYAH

Ketua Dr Muhammad Yusran Anshar Lc MA dan Sekretaris Harman Tajang Lc MHI.

Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Diskon atau Cashback Go-
Pay dan OVO Disebut Riba, Ini Penegasan Wahdah Islamiyah dan Al Irsyad,
https://lampung.tribunnews.com/2019/03/23/diskon-atau-cashback-go-pay-dan-ovo-
disebut-riba-ini-penegasan-wahdah-islamiyah?page=all.
Penulis: Andi Asmadi
Editor: Andi Asmadi

Anda mungkin juga menyukai