Anda di halaman 1dari 2

Nama Mahasiswa : AKH JHOLIANTO

NIM Mahasiswa : 043005085


Tanggal Lahir : 01/12/1998
Mata Kuliah : IPEM430

1. jawab
Masa Orde Baru merupakan tatanan kekuasaan yang berada di bawah kepemimpinan Presiden
Suharto. Era tersebut berlangsung selama 32 tahun, menggantikan masa Order Lama. Pada era
Orde Baru, segala bentuk kehiduan masyarakat Indonesia mengalami kemajuan, seperti inflasi
menurun dan mata uang nasional yang stabil. Dilansir dari buku Sistem Pemerintahan Presidensial
Indonesia dari Soekarno ke Jokowi (2018) karya Diana Fawzia, secara ekonomi masa Orde Baru
terbilang maju, namun kekuasaan yang dijalankan penuh otoriter. Karena tidak puas dengan
kepemimpinan Suharto dan kroni-kroninya, sehingga masyarakat bersatu untuk menggulingkan
kekuasaan yang ada dan munculah reformasi.
Perubahan masyarakat masa Orde Baru Dalam buku Hari-Hari yang Panjang (Transisi Orde Lama
ke Orde Baru) (2008) karya Sulastomo, pada tahun 1966 lahirlah Orde Baru dengan
kepemimpinan Suharto sebagai presiden. Awalnya masa ini untuk menata kembali kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD1945.

Namun, pemerintahan tersebut dinilai tidak konsisten dalam melaksanakan cita-cita awal Orde
Baru. Selama 32 tahun memimpin, ternyata Presiden Suharto justru mementingkan kelompok-
kelompok tertentu saja, Sebab terjadinya perubahan masyarakat pada masa Orde Baru karena
masyarakat mulai merasa kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok. Pada buku Di Masa Orde Baru
(1997) karya A.H. Nasution, masyarakat merasa harga kebutuhan pokok sudah mulai tinggi,
seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah, gula, susu, tekur, ikan kering, dangaram.
Selain itu situasi politik di Indonesia semakin tidak menentu dan tidak terkendali. Akibatnya
masyarakat Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan Orde Baru.

2. Jawab
Pluralisme merupakan salah satu ciri dari multikulturalisme. Dua ciri lainnya ialah adanya cita-cita
mengembangkan rasa kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk terus mempertahankan
kebhinekaan itu. Secara konstitusional, Indonesia bercita-cita mewujudkan masyarakat
multikultural. Faktanya, masih banyak tantangan yang harus dihadapi, baik berkait dengan soal-
soal kebangsaan maupun keagamaan. Memerlukan tiga pilar utama untuk menuju masyarakat
multikultural tersebut. Pertama, ialah adanya para pengambil kebijakan publik yang adil yang
mampu mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh kebijakan publik yang akan
diambilnya. Kedua, ialah adanya para pemimpin agama yang berwawasan kebangsaan yang luas
dan lebih mengedepankan agama sebagai nilai daripada agama institusional. Ketiga, ialah adanya
masyarakat yang berpendidikan dan rasional dalam menyikapi keragaman keagamaan (religious
market) dan perubahan sosial (M. Atho Mudzhar, 2005: 18- 19). Terjadinya beberapa peristiwa
SARA beberapa bulan lalu, misalnya kasus Sunni–Syiah di Sampang Madura bukan merupakan
faktor agama atau ideologi tertentu melainkan oleh berbagai sebab yang saling terkait. Agama
biasanya dibawa serta sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang sesungguhnya.
Pertama, krisis di berbagai bidang yang terjadi beberapa tahun yang lalu, pada akhirnya selain
menciptakan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap aparat pemerintah yang
terlanjur bertahun-tahun menunjukkan sikap kurang simpatik sebagian masyarakat, juga
memunculkan sikap saling curiga yang tinggi antarberbagai kelompok masyarakat. Kedua, akibat
arus globalisasi informasi, berkembang pula paham keagamaan yang semakin menciptakan
eksklusifitas dan sensitifitas kepentingan kelompok. Ketiga, kesenjangan sosial, ekonomi, dan
politik.

Anda mungkin juga menyukai