Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN KEBEBASAN BERAGAMA DI

INDONESIA PADA MASA REFORMASI

Riski Rismawati1, Alfiani Rhamadani2


Program Studi Pendidikan Sejarah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
Jl. Prof.Dr.Ir. Sumantri Brojonegoro No. 1, Gedong Meneng, Kec. Rajabasa, Kota
Bandar Lampung, Lampung 35141.
riskirisma2905@gmail.com

rhamadanialfiani@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini membahas perkembangan dan tantangan kebebasan beragama di


Indonesia selama masa reformasi. Sejak reformasi politik pada akhir tahun 1990-
an, Indonesia telah mengalami perubahan sosial dan politik yang signifikan,
termasuk dalam hal kebebasan beragama. Perkembangan kebebasan beragama di
Indonesia selama masa reformasi telah melibatkan beberapa aspek penting.
Pertama, konstitusi Indonesia yang diamandemen pada tahun 2002 menjamin
kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia. Ini memberikan dasar hukum
yang kuat bagi perlindungan kebebasan beragama di negara ini. Artikel ini
menganalisis perkembangan dan tantangan kebebasan beragama di Indonesia
selama masa reformasi, dengan menyoroti perubahan yang positif dan tantangan
yang masih dihadapi. Dengan memahami tantangan ini, diharapkan upaya lebih
lanjut dapat dilakukan untuk memperkuat kebebasan beragama dan memastikan
perlindungan yang lebih baik bagi minoritas agama di Indonesia.

Kata kunci: Perkembangan, tantangan,Kebebasan Beragama, Reformasi.

ABSTRACT

This article examines developments and challenges to freedom of religion in


Indonesia during the reform period. Since political reforms in the late 1990s,
Indonesia has experienced significant social and political changes, including in

1
terms of freedom of religion. The development of freedom of religion in Indonesia
during the reform period involved several important aspects. First, the Indonesian
constitution which was amended in 2002 guarantees freedom of religion as a
human right. This provides a strong legal basis for the protection of religious
freedom in the country. This article analyzes developments and challenges to
freedom of religion in Indonesia during the reform period, highlighting positive
changes and challenges that are still being faced. By understanding this
challenge, it is hoped that further efforts can be made to strengthen religious
freedom and ensure better protection for religious minorities in Indonesia.
Keywords: Developments, challenges, Religious Freedom, Reform.

PENDAHULUAN
Pembicaraan mengenai kebebasan beragama telah berkembang sejak
sebelum bangsa ini diproklamirkan pada tahun 1945. Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah membahas wacana
ini sejak dahulu kala, khususnya dalam merumuskan pasal 29 UUD 1945.
Namun, masalah ini tetap diperdebatkan hingga saat ini. Pasal 29 awalnya
berbunyi, "Negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Namun, pada rapat PPKI tanggal 18
Agustus 1945, rumusan ini diubah menjadi "Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa." Perubahan ini menghilangkan tujuh kata yang dianggap
prinsipil bagi kalangan nasionalis-Islam. Meskipun telah mengalami empat kali
amandemen, rumusan ini tetap dipakai dalam konstitusi Indonesia hingga saat
ini ( Handayani, 2009).
Diskusi tentang kebebasan beragama di Indonesia sebenarnya sudah
berlangsung sejak sebelum proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sangat
aktif membahas masalah ini, terutama dalam merumuskan pasal 29 UUD 1945.
Namun, perdebatan tentang kebebasan beragama masih berlanjut hingga saat
ini. Awalnya, pasal 29 UUD 1945 menegaskan bahwa "Negara berdasarkan
ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya". Namun, melalui keputusan rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus

2
1945, rumusan ini diubah menjadi "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Perubahan ini menghilangkan tujuh kata yang dianggap prinsipil oleh
kalangan nasionalis-Islam. Meskipun telah mengalami empat kali amandemen,
rumusan ini masih digunakan dalam konstitusi Indonesia hingga saat ini.
( Zainudin, 2009).
Wacana kebebasan beragama sebenarnya telah berkembang sejak bangsa
ini diproklamirkan pada tahun 1945 lalu, bahkan sebelum itu. Melalui Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), topik
ini dibahas dengan hangat oleh founding father, terutama dalam perumusan
pasal 29 UUD 1945. Namun, masalah kebebasan beragama tidak pernah
sepenuhnya terselesaikan hingga saat ini. Awalnya, pasal 29 dalam UUD 1945
BPUPKI berbunyi: "Negara didirikan atas dasar ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Kemudian, melalui
keputusan rapat PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan ini diubah
menjadi "Negara didirikan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa". Perubahan
ini menghilangkan tujuh kata (dengan kewajiban menjalankan syar'at Islam
bagi pemeluk pemeluknya), yang dianggap prinsipil oleh kalangan nasionalis-
Islam. Hingga saat ini, rumusan ini masih digunakan dalam konstitusi
Indonesia dan belum mengalami perubahan meskipun telah mengalami empat
kali amandemen: 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Berdasarkan pendahuluan di atas yang juga menjadi latarbelakang
penelitian. Dalam penelitian ini peneliti akan mendeskripsikan bagaimana
perkembangan kebebasan beragama di Indonesia pada masa reformasi, lalu
bagaimana pengaruh kebebasan beragama di Indonesia pada dinamika sosial
dan politik hukum, selanjutnya tantangan kebebasan beragama di Indonesia
pada masa reformasi dan juga bagaimana toleransi menjadi bentuk kebebasan
beragama di Indonesia.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dan jenis penelitian
yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif. Metode fenomenologi
merupakan sebuah metode penelitian untuk menghubungkan anatra ilmu

3
pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari, sedangkan kegiatan dan
pengalaman sehari-hari merupaan sebuah sumber dan akar dari pengetahuan
ilmiah. Pedekatan fenomenologi ini termasuk pada pendekatan subjektif atau
interpretif yang digunakan sebagai sebuah istilah yang merujuk pada semua
pandangan ilmu sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna
subjektifnya sebagai fokus untuk memahami sebuah tindakan sosial yang
terjadi di masyarakat. Adapun sumber yang digunakan merupakan sumber
sekunder. Serta teknik pengumpulan datanya dengan cara menulis,
menganalisis dan menjadikan data yang diperoleh dari sumber yang tertulis.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis untuk menarik sebuah kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan Kebebasan Beragama di Indonesia Masa


Reformasi

Selama periode Reformasi di Indonesia, yaitu sejak tahun 1998 hingga


saat ini, terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal kebebasan beragama.
Reformasi politik yang terjadi setelah jatuhnya rezim otoriter Orde Baru
membuka ruang yang lebih besar bagi kebebasan beragama dan ekspresi
keagamaan di negara ini. Selama masa reformasi, banyak produk hukum lahir
sebagai hasil kontestasi politik etnis dari berbagai kelompok masyarakat, baik
di tingkat nasional maupun daerah. Reformasi ini diikuti oleh upaya legislatif
yang beragam untuk mengisi ruang hukum di Indonesia dengan berbagai
produk hukum. Proses ini terjadi dalam konteks politik dan ekonomi negara
yang kompleks, serta berbagai agenda kepentingan yang berbeda. Sebagai
akibatnya, reformasi menghasilkan beragam produk hukum, mulai dari
undang-undang hingga peraturan daerah (Sustiono, 2022).

Dalam perkembangan kebebasan beragama pada era Reformasi terdapat


tantangan dan peluang yang terjadi apabila dilihat dari berbagai perspektif
yaitu:

4
1) Perspektif hukum, Banyak regulasi hukum yang dihasilkan pada masa
reformasi sebagai hasil persaingan politik etnis dari berbagai kelompok
masyarakat, baik di pusat maupun di daerah. Reformasi berlangsung
dengan berbagai upaya legislasi untuk mengisi kerangka hukum Indonesia
dengan berbagai produk hukum. Namun, reformasi tersebut dipengaruhi
oleh kondisi politik dan ekonomi negara, serta berbagai agenda
kepentingan lainnya. Akibatnya, sejumlah peraturan hukum telah dibuat,
mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Namun demikian,
masih terdapat berbagai tindakan kekerasan dan pemaksaan yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat dan pemerintah. Jika kita mengacu
pada UUD 1945, hal ini sangat disayangkan. UUD 1945 menegaskan
bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal
28E Pasal 29 ayat 1). Padahal, Pasal 28I UUD 1945 menyatakan bahwa
kebebasan beragama tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun.
Ketentuan ini juga diperkuat dengan Konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik yang mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal
18), serta Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2) Perspektif Sosio-Kultural, Di era reformasi setidaknya ada tiga pola


organisasi keagamaan yang dapat diidentifikasi. Pertama, adanya
kelompok eksklusif yang memiliki sikap moderat dan progresif. Dalam
kategori kelompok eksklusif, ada beberapa organisasi yang bisa
disebutkan, seperti Laskar Jihad (yang kini sudah tidak aktif), Front
Pembela Islam (FPI), Front Hizbullah, dan lain-lain. Di sisi lain, peran
moderasi masih dilakukan oleh ormas-ormas besar seperti Nahdlatul
Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Selain itu, ada kelompok keagamaan
yang bercorak sufistik seperti kelompok Majelis Az-zikra. Selain kedua
kelompok tersebut, ada pula kelompok pembangunan yang tidak hanya
terbuka, tetapi juga kritis terhadap isu-isu agama dan sosial. Beberapa
organisasi yang bisa disebutkan di sini antara lain Wahid Institute Jakarta,
Lakpesdam NU, dan Lembaga Dialog Antarfidei (Interfidei) di
Yogyakarta.

5
3) Ranah Politik; Dampak era reformasi terhadap kehidupan demokrasi di
Indonesia membuat perubahan yang signifikan di bidang politik.
Masyarakat Indonesia mulai menyadari pentingnya menyuarakan pendapat
di depan umum, berorganisasi dan berserikat, bahkan mendirikan partai
politik sebagai wujud dari perubahan ini. Pada pemilihan umum 1999,
terdapat 48 partai politik yang berpartisipasi, namun jumlah ini kemudian
dikurangi menjadi 24 partai pada pemilihan umum 2004. Meski begitu,
jumlah ini masih lebih besar dibanding era Orde Baru. Namun, masalah
kebebasan beragama tidak sepenuhnya diselesaikan hanya melalui
ketentuan konstitusi. Hal ini mungkin karena adanya perbedaan dalam
menemukan dan menerapkan di tingkat implementasi, atau mungkin
karena ketidakjelasan dari pelaksana di lapangan mengenai isi dari
ketentuan tersebut. Yang jelas, beberapa peristiwa yang melanggar konsep
kebebasan beragama atau berkeyakinan terus terjadi hingga saat ini.
Kekerasan berlatar belakang agama masih sering terjadi di berbagai
daerah, mempengaruhi kelompok sosial dan komunitas agama yang
berbeda (Mulia, 2010).

2. Pengaruh Kebebasan Beragama di Indonesia pada Dinamika


Sosial dan Politik Hukum

Kebebasan beragama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap


dinamika sosial, politik, dan budaya masyarakat indonesia.

1. Dinamika sosial

Dalam menganalisis situasi Kebebasan Beragama, terlihat bahwa


pelanggaran atau ketiadaan kebebasan beragama dan berkeyakinan muncul
ketika prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) tidak dihormati,
terutama di negara-negara dengan kelompok mayoritas berdasarkan etnis
tertentu. ras dan agama, seperti halnya juga di Indonesia. Dalam konteks
ini, secara teoretis kelompok mayoritas memiliki kekuatan dominan dalam

6
menentukan wacana sosial, dan tanpa disadari hal ini dapat menimbulkan
intoleransi dan kewaspadaan terhadap kelompok minoritas. Untuk
mengatasi masalah intoleransi antar umat beragama, perlu dibangun
integrasi sosial yang kuat dalam masyarakat. Integrasi sosial merupakan
langkah yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih stabil,
aman dan berkeadilan bagi seluruh anggota masyarakat. Dalam upaya
mencapai integrasi sosial, setiap individu berperan aktif dengan hak dan
kewajiban yang melekat pada dirinya masing-masing. Dalam menganalisis
kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, ada empat hal yang perlu
diperhatikan lebih detail. Prinsip pertama integrasi sosial harus menjadi
acuan dalam upaya memahami dinamika dan tantangan terkait kebebasan
beragama. Kedua, kondisi sosial masyarakat dan hubungan antar individu
harus dipahami secara mendalam, mengingat faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi dinamika kebebasan beragama. Ketiga, perlu melibatkan
semua pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah, masyarakat
sipil, kelompok agama dan akademisi, untuk mencapai pemahaman yang
komprehensif dan solusi yang inklusif. Keempat, perlu adanya lembaga
atau lembaga yang memiliki kapasitas dan keberanian untuk melakukan
intervensi yang efektif dalam mempromosikan dan melindungi kebebasan
beragama dan berkeyakinan (Fauzia, 2011). Dengan mempertimbangkan
aspek-aspek tersebut, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang lebih
komprehensif tentang kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta
dapat menghasilkan langkah-langkah yang lebih efektif untuk mengatasi
masalah tersebut.

Terdapat empat prinsip utama yang perlu diperhatikan dalam


menganalisis kasus-kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dengan
tujuan untuk memahami praktiknya dan memberikan masukan yang dapat
memastikan bahwa setiap anggota masyarakat dapat menikmati hak-hak
tersebut. Empat prinsip tersebut meliputi integrasi sosial, kondisi
masyarakat dan hubungan sosial, pemangku kepentingan, dan lembaga
intervensi. Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan Kebebasan
Beragama, integrasi sosial dalam masyarakat merupakan syarat penting.

7
Integrasi sosial terjadi ketika ada hubungan sosial yang melibatkan
pertemuan, saling mengunjungi, dialog komunikasi, interaksi aktif,
kerjasama, kolaborasi, bantuan, dan kepentingan pihak yang berbeda.
Melalui integrasi sosial, terbentuk rasa saling menghargai, toleransi,
solidaritas dan kohesi sosial di antara anggota masyarakat. Ketika
hubungan sosial mencapai tingkat kohesi yang baik, konflik sosial dapat
diatasi, implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat
berjalan dengan baik, dan dakwah agama dapat memiliki karakter inklusif
yang mendorong toleransi dan perdamaian. Oleh karena itu, penting untuk
memperhatikan dan menangkap keempat unsur tersebut guna mendukung
terciptanya lingkungan yang memungkinkan setiap individu menikmati
hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan ( Fauzia, 2011).

2. Dinamika Politik Hukum

Setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto, Reformasi konstitusi


seharusnya dapat memperbaiki sistem hukum nasional, terutama dalam hal
penegakan hak asasi manusia. Namun, ternyata reformasi ini juga terjebak
dalam situasi yang sulit. Meskipun demikian, undang-undang lama yang
diskriminatif terhadap pelaksanaan hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan masih dipertahankan, terutama melalui interpretasi
operasionalnya yang didorong oleh gagasan superioritas mayoritas yang
ternyata juga mempengaruhi struktur dan politik hukum Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu, tindakan pelanggaran hak kebebasan
beragama dan berkeyakinan kelompok minoritas terus terjadi secara
konsisten dan menyebar ke berbagai daerah, karena tindakan tersebut telah
mendapatkan legitimasi hukum dan diberdayakan oleh negara. (Muktiono,
2012).

Pembatasan hukum terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan


beragama dan berkeyakinan, terutama untuk kelompok minoritas, sering
kali dilakukan dengan kebijakan administratif yang tidak sah dan bias
menurut prinsip-prinsip hak asasi manusia. Namun, dalam prakteknya,
pendekatan ini seringkali terbukti berhasil. Hal ini disebabkan oleh sistem

8
politik dan hukum yang mendukung kepentingan mayoritas tanpa adanya
mekanisme objektif untuk menentang keputusan peradilan, yang harus
bebas dari campur tangan politik dan tekanan publik. Hak atas kebebasan
beragama dan berkeyakinan, yang berasal dari norma-norma internasional,
seringkali bertentangan dengan nilai-nilai agama tertentu di negara tempat
hak tersebut berlaku, terutama jika agama tersebut dianut oleh mayoritas
penduduk. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
mensosialisasikan norma-norma universal hak asasi manusia kepada
seluruh pemangku kepentingan negara dan kelompok masyarakat.
Diharapkan melalui proses ini, tercipta perilaku yang sejalan dengan
prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal. (Busro, 2008).

3. Tantangan Kebebasan Beragama di Indonesia Masa Reformasi

Toleransi antar umat beragama hanyalah percakapan yang dibicarakan


tetapi tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Multikulturalisme
yang di atas segalanya menghargai perbedaan dan hidup berdampingan secara
saling menghormati, tanpa saling mencampuri, merupakan impian yang sulit
diwujudkan (Putri, 2011).

Keberagaman agama di Indonesia sudah ada sejak lama. Saat itu, agama
yang berbeda hidup berdampingan secara damai dan agama menjadi penyebab
konflik antara kedua kelompok tersebut. Konflik ini menjadi tantangan bagi
kebebasan beragama di Indonesia saat ini, konflik kecil seperti penyerangan
rumah ibadah di berbagai tempat dapat meningkat menjadi konflik besar jika
negara tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut secara memadai. Karena
cara terbaik untuk menyelesaikan konflik bukanlah dengan mengabaikannya,
menekannya, atau berpura-pura tidak ada. Sebaliknya, penting bagaimana
konflik diperiksa dan dianalisis dan bagaimana penyebabnya dipahami,
sehingga konflik di masa depan dapat dikenali pada waktunya.  (Jufri, 2016).

Selain konflik antar umat beragama, sikap tertutup dan saling tidak
percaya antar pemeluk agama menjadi tantangan serius bagi kebebasan

9
beragama di Indonesia saat ini. Yang mana sikap tertutup ini menganggap
bahwa keberadaan agama lain mengancam agamanya. Pendirian rumah ibadah
dianggap melemahkan keberadaan agama lain  (Putri, 2011).

Selain itu, tantangan kebebasan beragama di Indonesia saat ini adalah


asosiasi yang berlebihan dengan simbol-simbol agama. Saat ini, kelompok
tertentu tidak lagi memandang tempat ibadah sebagai tempat ibadah namun
sebagai simbol keagamaan yang bisa dibanggakan. Kemudian agama yang
semula merupakan tujuan, menjadi alat untuk mencapai sesuatu. Hal ini
tercermin dari desentralisasi kegiatan keagamaan yang saat ini digunakan
sebagai sumber daya politik, sebagai alat kampanye pemilu. Kondisi kerangka
kerja politik, sosial dan ekonomi saat ini juga menjadi tantangan bagi
kebebasan beragama. Diyakini bahwa ketidakstabilan politik dan kekacauan
sosial dan ekonomi memiliki pengaruh yang kuat terhadap munculnya konflik
agama.  (Indriyany, 2017).

Penyebab munculnya konflik agama di ruang publik sebenarnya adalah


masalah yang cukup sederhana, yaitu kurangnya batasan yang jelas antara hak
individu dan hak kelompok dalam masyarakat Indonesia. Kesalahpahaman
mengenai hak individu dan kelompoklah yang memicu hak orang kafir,
pembangkang kelompok agama, dan sebagainya. Fokus utama dari hak
sebenarnya adalah individu, karena individu menjadi pemicu dari segala
tindakan, baik itu tindakan individu maupun kelompok (Saphiro, 2006).

4. Toleransi sebagai Bentuk Kebebasan Beragama dalam Kehidupan


Masyarakat Indonesia

Di dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang lainnya, kebebasan


beragama sudah diatur di dalamnya dengan sedemikan rupa. Hal ini membuat
setiap orang bebas memilih dan mengikuti suatu agama tertentu, yaitu tidak
bebas untuk tidak memeluk suatu agama. Apabila di Indonesia tidak terdapat
aturan untuk memilih agamanya sendiri, kebebasan beragama di Indonesia
menjadi hal tidak mungkin terjadi. Setiap orang harus memiliki keyakinan

10
mereka sendiri, tanpa paksaan atau ancaman dari orang lain. Tidak ada orang
atau pihak lain yang dapat melarang individu untuk menerima agama pilihan
mereka. Karena setiap agama menyebarkan ajarannya dengan cara yang
berbeda-beda, maka tidak diperbolehkan melarang kelompok atau individu lain
untuk beribadah guna menghindari berbagai konflik yang berkaitan dengan
kehidupan sosial.  (Sohrah, 2020).

Toleransi adalah salah satu prinsip utama dari sistem demokrasi, namun
memiliki pengaruh ganda yang terlihat dalam dua tipe, yakni tipe yang
konsisten dan tipe demokratis.. Toleransi berarti membiarkan atau membiarkan
orang lain menjadi dirinya sendiri, menghormati orang lain, menghormati asal
usul dan asal usulnya. Toleransi mengajak berdialog untuk menyampaikan
suatu bentuk pengakuan. Ini adalah gambaran toleransi dalam bentuk
konsolidasinya. Toleransi berarti keterbukaan dan penerimaan akan indahnya
perbedaan, sedangkan benih toleransi adalah cinta kasih yang bersumber dari
kasih sayang dan kepedulian.  (Hakim, 2021).

Toleransi beragama merupakan toleransi yang mencakup pertanyaan


tentang kepercayaan masyarakat terhadap akidah atau ketuhanan yang mereka
yakini. Seseorang harus diberi kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama
pilihannya serta menghormati pengamalan ajaran yang dianut atau diyakininya.
Sebagai umat beriman, toleransi harus kita perjuangkan untuk menjaga
stabilitas sosial sehingga timbul konflik fisik dan non fisik atau konflik
pemahaman antar umat yang berbeda keyakinan. 

Toleransi adalah sikap yang sangat positif. Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan Pancasila memberikan dan menjamin kebebasan beragama kepada
warga negaranya tanpa paksaan. Toleransi beragama diyakini dapat menjamin
stabilitas sosial masyarakat dan menghindari konflik antar masyarakat.
Prasyarat untuk tujuan ini adalah pengembangan masyarakat terpelajar dan
orang-orang yang religius dan terbuka. Toleransi beragama yang ideal harus
dibangun melalui partisipasi aktif masyarakat  (Faridah, 2018).

Kesadaran antar umat beragama yang termanifestasi dalam bentuk


toleransi dapat membatasi atau mengurangi konflik di antara mereka. Tingkat

11
toleransi agama yang lebih tinggi tidak hanya menghargai doktrin dan
kepercayaan dari setiap agama dan paham, tetapi juga memahami dan
menghargai kebudayaan paham tersebut.. Toleransi beragama dapat
mendukung terbentuknya masyarakat madani yang dijiwai oleh nilai-nilai
supranatural. Dalam hal toleransi, seseorang hanya harus siap untuk
menghormati pilihan orang lain dan menghargai apa yang mereka anggap
benar, tanpa mengurangi keyakinan dan pilihan mereka tentang agama mereka.
Tidak ada lagi toleransi ketika pemeluk agama diharuskan bersikap dan
berperilaku seperti pemeluk agama lain. Apalagi jika dicapai melalui toleransi
untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran agama lain. Dalam ranah toleransi,
setiap pemeluk suatu agama harus tetap setia pada agamanya  (Muharam,
2020).

KESIMPULAN

Perkembangan Kebebasan Beragama di Indonesia Pada Masa Reformasi


Selama reformasi keagamaan di Indonesia sejak tahun 1998 hingga saat ini,
telah terjadi perkembangan yang signifikan dalam hal kebebasan beragama.
Reformasi politik yang terjadi pasca tumbangnya Orde Baru yang otoriter
semakin membuka ruang kebebasan beragama dan kebebasan beragama di
negeri ini. Pada masa reformasi, banyak produk hukum yang muncul sebagai
hasil dari pertarungan politik etnis antar kelompok masyarakat yang berbeda,
baik di tingkat nasional maupun daerah. Reformasi ini diikuti dengan beberapa
inisiatif legislasi untuk mengisi ruang hukum Indonesia dengan berbagai
produk hukum. Proses ini terjadi dalam konteks politik dan ekonomi suatu
negara yang kompleks serta banyak kepentingan yang berbeda. Akibat
reformasi tersebut, muncul berbagai produk hukum, mulai dari undang-undang
hingga peraturan daerah. Dalam perkembangan kebebasan beragama pada
masa reformasi terdapat tantangan dan peluang yang muncul dari berbagai
sudut pandang, yaitu dari sudut pandang hukum. Pada masa reformasi banyak
peraturan hukum yang muncul sebagai akibat dari persaingan etnopolitik antar
kelompok masyarakat yang berbeda. , baik di pusat maupun di daerah.

12
Reformasi tersebut dilaksanakan melalui berbagai langkah legislasi untuk
mengisi kerangka hukum Indonesia dengan berbagai produk hukum. Namun
demikian, reformasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi
negara, serta beragam tujuan dari kepentingan lain. Alhasil, berbagai peraturan
mulai diterapkan, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Namun,
berbagai tindakan kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat dan pemerintah terus berlanjut. Kalau kita mengacu pada UUD
1945, sangat disayangkan. UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pasal 28E Pasal 29(1) Padahal, Pasal
28I UUD 1945 menyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dibatasi
dalam keadaan apapun. Ketentuan ini juga diperkuat dengan Konvensi
Internasional Hak Sipil dan Politik yang mengakui hak atas kebebasan
beragama atau berkeyakinan, Pasal 18 dan Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. 

Setidaknya ada tiga pola organisasi keagamaan yang terlihat pada masa
Reformasi. Pertama, adanya kelompok eksklusif dengan sikap moderat dan
progresif. Dalam kategori kelompok eksklusif, bisa disebutkan beberapa
organisasi, antara lain Laskar Jihad yang sudah bubar, Front Pembela Islam
FPI, Front Hizbullah, dan lain-lain. Di sisi lain, peran moderasi terus diambil
oleh ormas-ormas besar seperti Nahdlatul Ulama NU dan Muhammadiyah.
Selain itu, ada kelompok agama sufi seperti kelompok tarekat Az-zikra. Selain
kedua kelompok tersebut, ada pula kelompok pembangunan yang tidak hanya
terbuka, tetapi juga kritis terhadap isu-isu agama dan sosial. Beberapa
organisasi yang dapat disebutkan di sini adalah Wahid Institute Jakarta,
Lakpesdam NU dan Interfidei Interfidei Dialogue Institute di Jogyakarta.
Lingkup politik Dampak masa reformasi terhadap kehidupan demokrasi di
Indonesia menyebabkan perubahan yang signifikan pada ranah politik. Sebagai
ekspresi dari perubahan tersebut, masyarakat Indonesia mulai memahami
pentingnya bersuara, berorganisasi dan bersatu, bahkan membentuk partai
politik. 48 partai politik ikut serta dalam pemilihan umum 1999, namun
jumlahnya turun menjadi 24 pada pemilihan umum 2004. Namun, jumlah
tersebut masih lebih tinggi dibandingkan pada masa Orde Baru. Namun,

13
masalah kebebasan beragama tidak sepenuhnya diselesaikan oleh ketentuan
konstitusi. Hal ini mungkin karena perbedaan dalam penemuan dan penegakan
di tingkat penegakan, atau mungkin karena ketidakjelasan antara pelaku
industri mengenai isi dari ketentuan tersebut. Jelas bahwa saat ini pun masih
banyak peristiwa yang melanggar konsep kebebasan beragama atau
berkeyakinan. Kekerasan agama tetap umum terjadi di berbagai daerah dan
mempengaruhi kelompok sosial dan agama yang berbeda. Dampak Kebebasan
Beragama Indonesia terhadap Dinamika Sosial dan Politik Hukum. Kebebasan
beragama berdampak signifikan terhadap dinamika sosial, politik, dan budaya
masyarakat Indonesia. Aspek pertama menyangkut dinamika sosial.
Menganalisis situasi kebebasan beragama, terlihat bahwa pelanggaran atau
kurangnya kebebasan beragama atau berkeyakinan terjadi ketika prinsip-
prinsip hak asasi manusia tidak dihormati, terutama di negara-negara
berpenduduk mayoritas. berdasarkan kelompok etnis tertentu. Ras dan Agama
dan di Indonesia. Dalam konteks ini, kelompok mayoritas secara teoretis
memiliki kekuatan dominan dalam menentukan wacana sosial, yang secara
tidak sengaja dapat menimbulkan intoleransi dan ketidakpercayaan terhadap
kelompok minoritas. Untuk mengatasi masalah intoleransi antar umat
beragama, perlu dibangun integrasi sosial yang kuat dalam masyarakat. Inklusi
sosial merupakan langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih
stabil, aman dan adil bagi semua anggota masyarakat. Dalam pencarian
integrasi sosial, setiap individu secara aktif bertindak dan memiliki hak dan
kewajibannya masing-masing. 

Dalam menganalisis kasus kebebasan beragama atau berkeyakinan, ada


empat aspek yang perlu ditelaah lebih dalam. Prinsip pertama inklusi sosial
harus menjadi acuan dalam upaya memahami dinamika dan tantangan terkait
kebebasan beragama. Kedua, situasi sosial masyarakat dan hubungan antar
individu harus dipahami secara mendalam, mengingat faktor-faktor tersebut
dapat mempengaruhi dinamika kebebasan beragama. Ketiga, perlu melibatkan
semua pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah, masyarakat sipil,
kelompok agama dan akademisi, untuk mencapai pemahaman yang
komprehensif dan solusi yang inklusif. Keempat, diperlukan suatu lembaga

14
atau institusi yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk bertindak
secara efektif dalam mempromosikan dan melindungi kebebasan beragama
atau berkeyakinan. Dengan menelaah aspek-aspek tersebut, diharapkan dapat
memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang masalah kebebasan beragama
atau berkeyakinan dan mengembangkan cara yang lebih efektif untuk
menangani masalah tersebut. Dalam menganalisis kasus-kasus kebebasan
beragama atau berkeyakinan, ada empat prinsip utama yang harus diperhatikan
untuk memahami praktiknya dan memberikan informasi yang dapat
memastikan bahwa setiap anggota masyarakat dapat menikmati hak-hak
tersebut. Empat prinsip tersebut meliputi integrasi sosial, kondisi masyarakat
dan hubungan sosial, kelompok kepentingan dan lembaga intervensi. Untuk
berhasil melaksanakan kebebasan beragama, integrasi sosial ke dalam
masyarakat merupakan prasyarat penting. Integrasi sosial terjadi ketika ada
hubungan sosial yang melibatkan pertemuan, kunjungan, dialog, interaksi aktif,
kerjasama, kolaborasi, dukungan dan saling menguntungkan. Integrasi sosial
membentuk rasa saling menghargai, toleransi, solidaritas dan kohesi sosial
antar anggota masyarakat. Ketika hubungan sosial mencapai tingkat kohesi
yang baik, maka konflik sosial dapat teratasi, perwujudan kebebasan beragama
atau berkeyakinan dapat berjalan dengan baik, dan dakwah agama dapat
bersifat inklusif serta mengedepankan toleransi dan perdamaian. Oleh karena
itu, penting untuk mempertimbangkan dan menangkap keempat elemen ini
untuk membantu menciptakan lingkungan di mana setiap orang dapat
menikmati hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Dinamika Politik
Hukum Proses reformasi konstitusi pasca tumbangnya rezim otoriter Suharto
bisa saja membawa perbaikan sistem hukum nasional, khususnya dalam hal
pembelaan hak asasi manusia. 

15

Anda mungkin juga menyukai