Anda di halaman 1dari 13

PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYAH DI DAMASKUS

Keberhasilan Muawiyah mencapai ambisi mendirikan kekuasaan dinasti Umayyah


disebabkan di dalam diri Muawiyah terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan
adiministratur. Ia pandai bergaul dengan berbagai temperamen manusia, sehingga ia dapat
mengakumulasikan berbagai kecakapan tokoh-tokoh pendukungnya, bahkan bekas lawan
politiknya sekalipun.
Berdirinya pemerintahan dinasti Umayyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa
prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan
perkembangan umat Islam.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah,
pemerintahan yang bersifat demokaratis berubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun
temurun).
  
A.      Perkembangan Islam di Masa Bani Umayyah
            Daulat Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin
Umayyah pada tahun 41 H. Berdirinya daulah ini, karena Muawiyah tidak mau meyakini
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sehingga pada waktu itu terjadi perang saudara di antara
umat Islam yaitu anatar pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah. Dalam pertempuran yang
sengit itu banyak mengorbankan jiwa kaum muslimin, hingga pada akhirnya diadakan
perundingan.
Dalam perundingan itu Ali mengutus Abu Musa Al-Asy’ari seorang ahli hukum,
zakelyk dan jujur. Sedang Muawiyah mengutus Amr bin Ash, seorang diplomat yang ulung,
cerdik dan pandai mengatur siasat. Dari perundingan tersebut keduanya memutuskan akan
menurunkan Ali serta Muawiyah dari kekhalifahan, dan untuk selanjutnya khalifah akan
diangkat oleh kaum muslimin.
Atas kelicikan Amr bin Ash, maka Abu Musa dipersilahkan terlebih dahulu untuk
mengumumkan penurunan Ali dari jabatannya sebagai khalifah, dengan alasan karena Abu
Musa lebih tua usianya dari Amr bin Ash, maka sudah sepantasnyalah diberi kesempatan
yang pertama.
Sesudah Abu Musa mengumumkan penurunannya Ali sebagai khalifah di hadapan kaum
muslimin, naiklah Amr bin Ash, dan berkata: “Wahai kaum muslimin tadi barulah kita
dengar bersama pernyataan dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa beliau pada hari ini telah
menurunlkan Ali bin Abi Thalib dari jabatannya sebagai khalifah. Dengan kekosongan
khalifah itu, maka pada hari ini saya mengangkat Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai
khalifah”.
Sejak itulah Muawiyah menjadi khalifah kaum muslimin secara resmi, meskipun
diperoleh dengan tidak wajar dan sekaligus menyimpang dari ajaran Islam.[1]
Sejak berdirinya pemerintahan Bani Umayah pada tahun 661 M dimulai pula tradisi baru
dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemilihan secara demokratis yang dikembangkan
selama masa kekhalifahan ar-Rasyidin telah tidak dikenal lagi dalam proses pemilihan
khlaifah. Proses pergantian khalifah untuk seterusnya dilakukan mengikuti sistem turun-
temurun. Dalam literatur Islam sistem itu dikenal sebagai Daulah Islamiyah, yang berarti
kekuasaan Islam yang berciri kedinastian atau ashobiyah.
Dalam pada itu pemerintahan Islam yang ditegakkan dengan cara perebutan
kekuasaan oleh Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang sah, harus tetap waspada terhadap
setiap pengkritik. Oleh karenanya selalu menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan
terjadinya intrik istana maupun gerakan perlawanan terhadap khalifah. Oleh karenanya
tidaklah mengherankan kalau Bani Umayyah menjadi sangat kuat, sehingga berhasil
menegakkan kekhalifahan Bani Umayyah selama 90 tahun. Selama itu pula telah memerintah
14 orang khalifah, sebagai berikut:
1.        Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-689 M)
2.        Khalifah Yazid I (680-683 M)
3.        Khalifah Muawiyah II (683-684 M)
4.        Khalifah Marwan I bin al-Hakam (684-685 M)
5.        Khalifah Abdul Malik (685-705 M)
6.        Khalifah Al-Walid (705-715 M)
7.        Khalifah Sulaiman (715-717 M)
8.        KhalifahUmar bin Abdul Aziz (717-720 M)
9.        Khalifah Yazid II (720-724 M)
10.     Khalifah Hisyam (724-743 M)
11.     Khalifah Al-Walid II (743-744 M)
12.     Khalifah Yazid III dan Ibrahim (744-744 M)
13.     Khalifah Marwan II bin Muhammad (744-750 M)[2]
B.       Tokoh-Tokoh Bani Umayah
.           Empat orang khalifah memegamg kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah,
Abdul Malik, al-Walid I, dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya
memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya sependapat
bahwa khalihah-khalifah terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin
Abdul Aziz.
            Muawiyah adalah bapak pendiri dinasti Umayah. Dialah pembangun besar. Namanya
disejajarkan dalam deretan Khulafa ar-Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang mengkhianati
prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan
kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan
setelah Hasan ibn Ali ibn Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam
sebagiannya membaiat Hasan setelah ayahnya itu wafat. Namun Hasan menyadari
kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan kepemimpinan umat kepada
Muawiyah sehingga tahun itu dinamakan ‘amul jama’ah, tahun persatuan. Muawiyah
menerima kekhalifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Hasan, yakni:
1.        Agar Muawiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak.
2.        Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3.        Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
4.        Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham.
5.        Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani
Abdis Syams.
Muawiyah dibaiat oleh umat Islam di Kufah sedangkan Hasan dan Husain
dikembalikan ke Madinah. Hasan wafat di kota Nabi itu tahun 50 H. diantara jasa-jasa
Muawiyah ialah mengadakan dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu
siap di tiap pos. ia juga berjasa mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang), dan lain-lain.
[3]
Miawiyah bin Abi Sufyan dapat menduduki kursi khalifah dengan berbagai cara dan
tiga, yaitu dengan ketajaman mata pedangnya, dengan siasatnya yang halus dan dengan tipu
muslihatnya yang amat licin. Bukanlah ia mendapat pangkat yang mulia itu dengan ijma’ dan
persetujuan umat Islam, melainkan karena licinnya jua.
Dengan kenaikan Muawiyah, berakhirlah hukum syura, pilihan menurut hasil
permusyawaratan yang terbanyak, yang berlaku di zaman al-Khulafaur Rasyidin, yaitu
hukum yang menyerupai aturan pemerintahan Republik (Jumhuriyah) di zaman kita ini. Dan
pangkat khalifah menjadi pusaka turun-temurun, maka daulat Islampun telah berubah
sifatnya menjadi daulat yang bersifat kerajaan (monarchie).
Sesungguhnya Muawiyah telah amat terpengaruh oleh peraturan-peraturan peninggalan orang
Romawi di negeri Syam, yakni di negeri tempat ia memerintah.
Kemegahan dan kemuliaan raja-raja yang belum pernah ditiru oleh khalifah-khalifah
yang terdahulu daripadanya, telah diteladan dan dipakainya. Dia telah memakai singggasana
dan kursi kerajaan serta mengadakan barisan pengawal yang senantiasa menjaga dirinya
siang malam. Bahkan dalam mesjidpun dibuatnya suatu kamar istimewa, tempat dia
sembahyang sorang diri, dijaga oleh pengawalnya dengan pedang tercabut. Hal ini
dilakukannya karena ia takut kalau-kalau terjadi pula atas dirinya apa yang telah terjadi atas
diri Ali bin Abi Thalib.[4]
Muawiyah wafat tahun 60 H. di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya,
Yazid yang telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat
ayahnya dalam memerintah, banyak tantangan yang yang dihadapinya, antara lain ialah
membereskan pemberontakan kaum Syi’ah yang telah membaiat Husain sepeninggal
Muawiyah. Terjadi perang di Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu nabi
SAW itu. Yazid menghadapi para pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras.
Dinding Ka’bah runtuh dikarenakan terkena lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah
lawan. Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada masanya.
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya untuk kemudian
mengangkat Abdullah ibn Hanzalah dari kaum Anshar. Mereka juga memenjarakan kaum
Umaiyah di Madinah dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu, sehingga
terjadilah bentrok pisik antara pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim
ibn Uqbah al-Murri, dan penduduk Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di
al-Harrah yang dimenangkan oleh pasukan Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy
mengangkat Abdullah ibn Muti’ sebagai pemimpin mereka tanpa pengkuan terhadap
kepemimpinan Yazid.
Penduduk Makkah lain lagi keadaannya, sebagian dari mereka membaiat Abdullah
ibn Zubair sebagai khalifah. Maka, pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah
meneruskan perjalanannya ke Makkah untuk menguasainya. Abdullah ibn Zubair selamat
dari gempuran pasukan Yazid karena ada berita bahwa Yazid mangkat sehingga ditariklah
pasukannya ke Suriah. Tetapi kota Mekkah menjadi porak poranda akhir perlakuan pasukan
Yazid tersebut. Yazid meninggal tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh
anaknya, Muawiyah II.[5]
Sebelum Yazid meniggal dunia dia telah berwasiat supaya putranya Muawiyah diangkat
menggantikan dia menjadi khalifah, menurut cara yang telah dilakukan oleh ayahandanya
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Akan tetapi Muawiyah II bin Yazid ini hanya memerintah 40 hari saja lamanya. Oleh
karena dia berpenyakitan dan jiwanya sendiri memberontak, tidak dapat menanggung jawab
atas perobahan-perobahan dan kerusakan-kerusakan yang ditinggalkan ayahnya. Maka
turunlah dia dengan kemauan sendiri dari singgasana khilafat dan pangkat khalifah itupun
diserahkannya kepada permusyawaratan umat Islam, agar mereka dengan merdeka memilih
dan mengangkat siapa yang mereka kehendaki. Tetapi cita-citanya itu tidak dapat berlaku,
sebab pemilihan khalifah telah ditentukam oleh kemauan Bani Umayyah.[6]
Muawiyah diganti oleh Marwan ibn Hakam, seorang yang memegang stempel
khilafah pada masa Utsman ibn Affan. Ia adalah Gubernur Madinah dimasa Muawiyah dan
penasehat Yazid di Damaskus dimasa pemerintahan putra pendiri Daulah Umayyah itu.
Ketika Muawiyah II wafat dan tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar
Muawiyah mengangkatnya sebagai khalifah. Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan
kekuasaan karena pengalamannya, sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan
khilafah itu tidak didapatkannya. Padahal keadaan begitu rawan dengan perpecahan di tubuh
bangsa Arab sendiri dan ditambah dengan pemberontakan kaum Khawarij dan Syi’ah yang
bertubi-tubi. Khalifah yang baru itu menghadapi segala kesulitan satu demi satu. Ia dapat
mengalahkan kabilah ad-Dahhak ibn Qais. Kemudian menduduki Mesir, dan menetapkan
putranya, Abdul Aziz sebagai Gubernurnya. Abdul Aziz adalah ayah Umar, seorang khalifah
Bani Umayyah yang masyhur itu. Marwan menundukkan Palestina, Hijaz, dan Irak. Namun
ia cepat pergi, hanya sempat memerintah 1 tahun saja, ia wafat tahun 65 H dan menunjuk
anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebgai pengganti sepeniggalnya secara berurutan.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khlaifah
Bani Umayyah yang disebut-sebut sebgai ‘Pendiri Kedua’ bagi kedaulatan Umayyah. Ia
dikenal sebagai seorang khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih. Dia
telah berhasil mengembalikan sepenuhnya intregitas wilayah dan wibawa dan kekuasaan
keluarga Umayyah dari sagala pengacau negara yang merajalela pada masa-masa
sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah ibn Zubair di Hijaz, pemberontakan
kaum Syi’ah dan Khawarij sampai kepada aksi teror yang dilakukan oleh Mukhtar ibn
Ubaidah as-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang dipimpin oleh Mus’ab ibn
Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja membuat kegoncangan
sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan pemakaian bahasa Arab sebagai
bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih memakai bahasa yang
bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan bahas Qibti
di Mesir. Ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun gedung-
gedung, masjid-masjid dan saluran-saluran air.
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para
pembantunya yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti al-Hajjaj
ibn Yusuf yang gagah berani di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya
memegang jabatan sebagai Gubernur Mesir. Yang tersebut pertama itu menjadi Gubernur
wilayah Hijaz setelah menundukkan Abdullah ibn Zubair yang memberontak di wilayah
tersebut. Gubernur itu dipindahkan ke Irak setelah dapat pula menaklukkan raja bangsa Turki,
Ratbil yang berusaha menyerang Sijistan yang sudah menjadi wilayah Islam dan membunuh
Gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh Abdurrahman ibn al-Asy’as. Padahal telah
disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak, sehingga penguasa Turki itu harus
membayar jizyah kepada Umayyah. Tetapi pasukan Islam berakhir dengan tragis karena
perselisihan intern yang terdapat dalam elite penguasa Muslim sendiri, yakni antara al-Hajjaj
dengan al-Asy’as. Tidak terelakkan lagi terjadinya kontak senjata antara keduanya yang
akhirnya dimenangkan oleh pasukan al-Hajjaj karena dibantu oleh Khalifah Abdul Malik.
Disamping berjaya di medan perang al-Hajjaj juga berhasil memperbaiki saluran-saluran
sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran
timbang, takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan tulisan mushhaf al-Quran
dengan titik pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti
oleh putranya yang bernama al-Walid.
Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H).
pada masa pemerintahannya kejayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam
melangkah ke Spanyol di bawah pimpinan pasukan tariq ibn Ziyad ketika Afrika Utara
dipegang oleh Gubernur Musa ibn Nusair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan
gedung-gedung, pabrik-pabrik, dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para
kafilah yang berlalu lalang di jalur tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal
hingga masa kini di Damaskus. Di samping itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk
menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan pederita cacat seperti orang lumpuh, buta,
sakit kusta. Khalifah itu wafat tahun 96 H dan digantikan oleh adiknya, Sulaiman
sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik tidak sebijaksana kakaknya, ia kurang bijaksan,
suka harta sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang
(ganimah) dari Spanyol yang dibawa oleh Musa ibn Nusair. Ia menginginkan harta itu jatuh
ke tangannya, bukan ke tangan kakaknya, al-Walid yang saat itu masih hidup walau dalam
keadaan sakit. Musa ibn Nusair diperintahkan oleh Sulaiman agar memperlambat datangnya
ke Damaskus dengan harapan harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun Musa
enggan melaksanakan perintah Sulaiman tersebut, yang mengakibatkan ia disiksa dan dipecat
dari jabatannya ketika Sulaiman naik menjadi Khalifah menggantikan al-Walid.
Ia dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya
terpecah belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa dimasa para
pendahulunya disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad ibn Qasim
yang menundukkan  India. Ia menunjuk Umar ibn Adul Aziz sebagai penggantinya sebelum
meninggal pada tahun 99 H.
Adapun khalifah ketiga yang besar ialah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun masa
pemerintahannya sangat pendek, namun Umar merupakan ‘lembaran putih’ Bani Umayyah
dan sebuah periode yang berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh
kebijaksanaan-kebijaksanaan Daulah Umayyah yang banyak disesali. Dia merupakan
personifikasi seorang khalifah yang takwa dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali
ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah yang adil itu adalah putra Abdul Aziz, Gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan
dekat Kairo, atau Madinah kata sumber yang lain. Rupanya keadilannya itu menurun dari
Khalifah Umar ibn Khattab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan
waktunya di Madinah untuk mendalami ilmu pengetahuan dimasa kecil, dan memang kota
tersebut menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada saat itu. Ia mendalami ilmu agama
Islam khususnya ilmu hadits, dan ketika ia menjadi khalifah memerintahkan kaum Muslimin
untuk menuliskan hadits, dan inilah perintah resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah
orang yang rapi dalam berpakaian, memakai wewangian dengan rambut yang panjang dan
cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu ditiru banyak orang di masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, Khalifah Umayyah yang sekaligus
sebagai pamannya. Ia diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah al-Walid ibn Abdul
Malik, salah seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra
mahkota. Berbekal dengan pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta sebagi
bangsawan Arab yang mulia, ia diangkat menjadi Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-
Walid. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid,
sederhana, bekerja keras, dan berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya
memerintah kurang lebih dua tahun saja.
Khalifah yang kaya itu dengan menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syam,
Mesir, Yaman, dan Bahrain, yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun, setelah
menduduki jabatan barunya mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk
diserahkan hasil penjualannya ke baitul mal. Disamping itu ia mengadakan perdamaian antara
Amawiyah dan Syi’ah serta Khawarij, menghentikan peperangan, mencegah caci maki
terhadap Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam khutbah Jum’at dan diganti dengan bacaan ayat:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.”(An-Nahl: 90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa
kekhalifahannya, sepeti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan
memberikan santunan kepada para fakir dan miskin, dan memperbaharui dinas pos. Ia juga
menyamakan kedudukan orang-orang non Arab yang menempati sebagai warga negara kelas
dua, dengan orang-orang Arab ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran
jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh
Yajid II ibn Abdul Malik (101-105 H) pada masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan
antara kaum Mudhariyah dan Yamaniyah. Pemerintahannya yang singkat itu mempercepat
proses kemunduran Umayyah.
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar ibn Abdul Aziz.
Walau tidak secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana tersebut di atas, Khalifah
Hisyam ibn Abdul Malik perlu dicatat juga sebagai khalifah yang sukses. Ia memerintah
dalam waktu yang panjang, yakni 20 tahun (105-125 H). Ia dapat pula dikategorikan sebagai
khalifah Umayyah yang terbaik, karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada
keindahan, berakhlak mulia dan tergolong teliti terutama dalam soal keuangan, disamping
bertaqwa dan berbuat adil. Dalam masa pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh
kaum Syi’ah yang bersekutu dengan kaum Abbasiyah. Mereka menjadi kuat karena
kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz yang bertindak lemah
lembut kepada semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah sendiri terjadi perselisihan
tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu
tujuh tahun, yakni al-Walid II ibn Yazid II, Yazid III ibn al-Walid, Ibrahim ibn al-Walid dan
Marwan ibn Muhammad. Yang tersebut terakhir adalah penguasa Umayyah penghabisan
yang terbunuh di Mesir oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M.[7]

C.       Kejayaan dan Kemunduran


Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian
tertumpu kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman
Khulafa ar-Rasyidin terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di penjuru
empat mata angin beramai-ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah
Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara, Jazirah Arab, Suriyah, Palestina, separoh daerah
Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan negeri-negeri  yang sekarang dinamakan
Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk Sovyet Rusia.[8]
Memasuki kekuasaan masa Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah,
pemerintah yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun
temurun). Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu daya,
tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun
dimulai ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia terhadap
anaknya, Yazid. Muawiyah mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang
menggunakan istilah khalifah, namun dia menberikan interprestasi baru dari kata-kata itu
untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutkan “khalifah Allah” dalam pengertian
“penguasa” yang diangkat oleh Allah.[9]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara
dipindahkan Muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa menjadi gubernur
sebelumnya. Khalifah-khalifah besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi
Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abd Malik (705-
715), Umar ibn Abdul Aziz (71720 M) dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). 
Ekspansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan oleh dinasti ini. Di
zaman Muawiyah, Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan afganistan sampai ke Kabul. Angkatan-angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang
dilakukan Muawiyah kemudian dilakukan oleh Abd al-Malik. Dia mengirim tentaranya
menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukan Balk, Bukhara, Khawarizm,
Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai
Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan oleh al-Walid ibn Abd al-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat
Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih
sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wliyah barat daya,
Benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan,
Thariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi laut yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan.
Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova,
dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan
Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan rakyat setempat yang
sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar ibn Abd Aziz, serangan
dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abd al-
Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana dia
menyerang Tours, namun peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh,
dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-
pulau yang berada di laut tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat,
wilayah kekuasaan Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi
Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang ini disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia
Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam
pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat
tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia
juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya,
jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi
adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik mengubah mata uang Bizantium dan
Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang
tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul
Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan
memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Islam. Keberhasilan Khalifah
Abdul Malik diikuti oleh putranya al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-
panti untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji
oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu
daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-
masjid yang megah.[10]
Ibu kota Daulah Umayyah pindah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam yang
telah penuh dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.
Daerah kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula
menguasai Andalu, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur sampai benteng
Tiongkok. Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan, seperti: Yunani,
Iskandariyah, Antiokia, Harran, Yunde, Sahfur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan
beragama Yahudi, Nasrani dan Zoroaster. Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap
memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara
mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istama Khalifah. Ada yang menjadi dokter
pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka, sedikit banyak,
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[11]
Dinasti Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, ditandai dengan melemahnya
sistem politik dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti
ini. Diantaranya adalah masalah polotik, ekonomi, dan sebagainya.[12]
Adapun sebab-sebab kemunduran dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1.        Khalifah memiliki kekuasaan yang absolute. Khalifah tidak mengenal kompromi.
Menentang khalifah berarti mati. Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para
pengikutnya di Karbala. Peritiwa ini menyimpan dendam dikalangan para penentang Bani
Umayyah. Sehingga selama masa-masa kekhalifahan Bani Umayyah terjadi pergolakan
politik yang menyebabkan situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
2.        Gaya hidup mewah para khalifah. Kebiasaan pesta dan berfoya-foya dikalangan istana,
menjadi faktor penyebab rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan
Negara. Contohnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah
yang suka berfoya-foya dan memboroskan uang Negara. Sifat-sifat inilah yang tidak disukai
masyarakat, sehingga lambat laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk
menggulingkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah.
3.        Tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini
berujung pada perebutan kekuasaan diantara para calon khalifah.
4.        Banyaknya gerakan pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir
pemerintahan Bani Umayyah. Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dan
dana yang tidak sedikit, sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
5.        Pertentangan antara Arab Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab
Himariyah) semakin meruncing, sehingga para penguasa Bani Umayah mengalami kesulitan
untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan serta keutuhan Negara.
6.        Banyaknya tokoh agama yang kecewa dengan kebijaksanaan para penguasa Bani
Umayah, karena tidak didasari dengan syari’at Islam.[13]
D.      Keruntuhan Dinasti Umayyah dan Hikmahnya
            Setelah sekian lama mengalami masa-masa kemunduran, akhirnya dinasti Bani
Umayah benar-benar mengalami kehancuran atau keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada
masa pemerintahan Marwan bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 6 tahun (744-
750 M).
Keruntuhan dinasti Bani Umayyah ditandai dengan kekalahan Marwan bin
Muhammad dalam pertempuran zab hulu melawa pasukan Abu Muslim al-Khurasani pada
tahun 748 M. pada peristiwa itu terjadi pembersihan etnis terhadap anggota keluarga Bani
Umayyah. Selain itu, pasukan Marwan bin Muhammad yang ditawan dibunuh. Sementara
yang tersisa dan masih hidup, terus dikejar dan kemudian dibunuh. Bahkan Marwan bin
Muhammad yang sempat melarikan diri dapat ditangkap dan kemudian dibunuh oleh pasukan
Abu Muslim al-Khurasani.
Pertikaian dan pembunuhan ini menimbulkan kekacauan sosial dan politik, sehingga
negara menjadi tidak aman dan masyarakat yang pernah merasa tersisih bersatu dengan
kelompok Abu Muslim dan Abul Abbas. Bergabungnya masyarakat untul mengalahkan
kekuatan Bani Umayyah, menandai berakhirnya masa-masa kejayaan Bani Umayyah,
sehingga sekitar tahun750 M Bani Umayyah tumbang.
Adapun sebab-sebab utama terjadinya keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai
berikut:
1.        Terjadinya persaingan kekuasaan di dalam anggota keluarga Bani Umayyah.
2.        Tidak ada pemimpin politik dan militer yang handal yang mampu mengendalikan
kekuasaan dan menjaga keutuhan negara.
3.        Munculnya berbagai gerakan perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah,
antara lain gerakan kelompok Syi’ah.
4.        Serangan pasukan Abu Muslim al-Khurasani da pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat
pemerintahan dan menghancurkannya.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari kehancuran dinasti Bani Umayyah. Diantaranya
adalah:
1.        Tidak boleh rakus dalam kekuasaan.
2.        Tidak boleh boros, apalagi menggunakan uang negara yang sumbernya berasal dari
uang rakyat.
3.        Harus berlaku adil dalam segala hal ketika menjadi penguasa dan setelahnya.
4.        Berakhlak mulia dan jangan sombong.
5.        Harus dekat dengan Tuhan dan rakyat yang mendukung kekuasaannya.
6.        Mengasihi fakir miskin dan orang-orang lemah.

Simpulan
Berdirinya pemerintahan dinasti Bani Umayyah tidak semata-mata peralihan
kekuasaan, namun peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah
perubahan beberapa prinsif dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi
imperium dan perkembangan umat Islam.
Muawiyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy telah sekian lama
menjadi musuh nabi yang sangat kejam. Muawiyah beserta seluruh keluarganya dan seluruh
keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan Makkah.
Muawiyah adalah penguasa Islam pertama yang menggantikan sistem demokratis republik
Islam menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Ia pendiri dinasti Bani Umayyah dan penguasa
imperium Islam yang sangat luas. Selama 19 tahun masa pemerintahannya ia terlibat
sejumlah peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut.
Penguasa sesudah Muawiyah antara lain Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah II, Marwan, Abdul
Malik, Walid ibn Abdul Malik/Walid I, Sulaiman ibn Abul Malik, Umar ibn Abdul Aziz,
Yazid II, hisyam, al-Walid II, Yazid III dan ibrahim, Marwan bin Muhammad.
    

Anda mungkin juga menyukai