Anda di halaman 1dari 18

A.

Berdirinya Bani Umayyah


Serangkaian peristiwa penting mengawali Periode Klasik sejarah perkembangan umat
islam : Perang Siffin (657 M), Tahkim (658 M), dan Amul Jama’ah (661M ). Rangkaian
peristiwa ini menjadi awal naiknya Bani Umayyah ke tangga puncak kekuasaan atas umat
islam.
Setelah Khalifah Usman bin Affan terbunuh, Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
khalifah. Namun, ternyata tidak seluruh kaum muslim mau membaiatnya, termasuk Muawiyah
yang saat itu menjadi Gubernur Syam. Muawiyah bersedia membaiat Ali jika para pembunuh
Khalifah Usman sudah diadili. Perlu diketahui bahwa Muawiyah merasa berhak menuntut
keadilan atas tumpahnya darah Usman karena keduanya masih mengadili para pembunuh
Usman bukan perkara mudah, karena dilakukan oleh banyak orang.
Akibat penentangan Muawiyah, pecahlah perang Siffin pada tahun 657 M. ketika
tentaranya terdesak, pihak Muawiyah meminta Arbitrase dengan pihak Ali. Peristiwa yang
mengakhiri perang Siffin ini dikenal dengan sebutan Tahkim. Tahkim dimulai dengan
melaksanakannya perundingan untuk menentukan utusan tiap-tiap pihak. Pada perundingan
tersebut, pihak Muawiyah yamg diwakili Amr bin Ash mengkhianati hasil kesepakatan dengan
menyatakan Muawiyah tetap sebagai Gubernur Syiria.i[1]
Beberapa tahun setelah tahkim khalifah Ali terbunuh tepatnya pada 19 Ramadhan 40
H/670 M. Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh bekas pengikutnya sendiri ini,
maka keadaan poilitik umat Islam semakin tidak menentu, dan kekacauan semakin meluas.
Oleh sebab itu para pengikut Ali bin Abi Thalib dan umat Islam di Kufah, Bashrah dan
Madinah melakukan baiat kepada Hasan bin Ali sebagai khalifah menggantikan ayahnya. Baiat
yang di pimpin oleh Qais bin Saad ini bukan merupakan rekayasa, tatapi karena tidak ada
pilihan lain saat itu. Umat Islam menyadari, bahwa Hasan bukan tokoh yang tegas dan tegar
seperti ayahnya, tetapi umat Islam membutuhkan pemimpin yang kharismatik dan shalih.
Pengangkatan atas Hasan bin Ali sebagai khalifah ini tetap tidak mendapat persetujuan
dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para pengikutnya. Mereka berharap sebagai pengganti Ali
adalah Mu’awiyah. Oleh sebab itu Mu’awiyah berusaha merebut kekuasaan dari Hasan, dengan
cara membendung arus masa pendukung Hasan, khususnya dari Kufah dan Bashrah. Ia sudah
mempunyai kekuatan yang besar, sementara Hasan mempunyai banyak kelemahan dan tidak
sekuat ayahnya. Kondisi yang demikian ini tidak disia-siakan oleh Mu’awiyah. Ia segera
menyusun pasukan untuk menyerang Hasan bin Ali.
Melihat kondisi demikian, Qais bin Saad dan Abdullah bin Abbas mengusulkan kepada
Hasan agar melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang Mu’awiyah. Usul kedua
tokoh ini diterima oleh Hasan, yang kemudian ia memberangkatkan pasukan dengan kekuatan
12.000 tentara di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut. Pasukan Hasan ini kemudian bertemu
dengan pasukan Mu’awiyah dan terjadilah pertempuran di Madain. Mu’awiyah tiak hanya
melakukan peperangan fisik, tetapi mereka menggunakan perang urat syaraf dengan
menyebarkan berbagai macam isu untuk melemahkan kekuatan pasukan Hasan. Akibatnya
pasukan Hasan terpengaruh dan mulai lemah dalam peperangan, mereka ingin mengakhiri
peperangan, bahkan sebagian mulai berbalik dengan tidak menyukai Hasan. Sehingga Hasan
akhirnya terpaksa memlilih jalan negosiasi dengan Mu’awiyah untuk mengakhiri perseteruan
di antara mereka. Hasan bin Ali mengirim utusan Amr bin Salmah untuk mengajak perdamaian.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah dengan berbagai persyaratan,
antara lain menyerahkan harta baitul Mal kepada Hasan untuk menutup kerugian peperangan
yang dilakukannya. Dan pihak Mu’wiyah tidak mencaci maki bapaknya dan keluarganya lagi.
Muawiyah juga harus meneruskan kebijakan ayahnya terhadap para ahli Madinah, Kufah dan
Bashrah untuk tidak menarik sesuatu dari mereka. Dan yang paling penting permintaan Hasan
adalah sepeninggal Mu’awiyah menjadi Khalifah, kekhalifahan harus diserahkan kepada Umat
Islam melalui pemilihan umum.ii[2]
. Semua permintaan Hasan ini disetujui oleh Mu’awiyah. Kemudian keduanya bertemu
di salah satu tempat yang dikenal dengan nama Maskin untuk mengadakan serah terima
kekuasaan dan kemudian Hasan melakukan baiat kepada Mu’awiyah sebagai Khalifah. Hasan
kemudian meminta para pendukungnya untuk melakukan baiat kepada Mu’awiyah sabagai
Khalifah umat Islam. Akan tetapi karena alasan-alasan tertentu tidak semua pendukung Hasan
bersedia melakukan bai’at, khususnya ahli Bashrah. Mu’awiyah terus mempropagandakan
dirinya untuk mendapatkan pengakuan sebagai khalifah. Karena bagaimanapun juga Hasan
sudah menyerahkan kekhalifahan kepadanya
Peristiwa ini menandakan rekonsiliasi umat Islam (Am al-Jama’ah) artinya tahun di
mana umat Islam bersatu kembali dalam satu kepemimpian, setelah umat Islam bertikai
beberapa tahun lamanya. Hasan melakukan baiat terhadap Muawiyah pada tahun 41 H/661
M.iii[3] Jabatan tertinggi umat Islam secara de facto dan de jure berada di tangan Mu’awiyah
bin Abi sufyan. Terlepas apakah untuk memperoleh kekuasaan itu dilakukan dengan cara paksa
atau tidak, dan terlapas apakah persyaratan yang diminta oleh Hasan akan dipenuhi oleh
Mu’awiyah atau tidak, yang jelas kekuasaan khilafah dipegang oleh Mu’awiyah, dan sudah
tidak ada lagi kelompok yang mengaku berkuasa dan menentangnya.
Umat Islam mulai dengan lembaran baru. Daulah Bani Umayah berdiri (41 – 132 H/661
– 750 M.) tatanan politik dan pemerintahan yang dibangun oleh Khulafaur Rasyidin berubah
dengan sistem politik dan pemerintahan baru yang dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan para khalifah penggantinya.iv[4]

B. Ketatanegaraan Bani Umayyah


Bani Umayyah berkuasa sejak 41 H/661 M sampai dengan 133 H/750 M. Muawiyah
bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti Bani Umayyah. Dan ia juga merupakan khalifah
pertama yang namanya disejajarkan dengan Khulafaur Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang
menghianati prinsip pemilihan kepala negara oleh rakyat dapat dilupakan karena jasa-
jasanyav[5] dan kebijaksanaan politiknya yang mengagumkan.vi[6]
Dinasti Bani Umayyah berkuasa hampir satu abad, dengan 14 orang khalifah. Dimulai
dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditutup oleh Marwan bin Muhammad. Adapun urutan
khalifah Bani Umayyah adalah sebagai berikut:vii[7]

1. Muawiyah bin Abi Sufyan (42-60 H/661-680 M)


2. Yazid bin Muawiyah (60-64 H/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64 H/683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/684-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Al- Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik bin Marwan (101 H/720 M)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Al- Walid bin Yazid bin Abdul Malik (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid an-Naqis bin al-Walid (126 H/744 M)
13. Ibrahim bin al-Walid bin Abdul Malik (126 H/744 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/744-750 M)
Sebagai administrator yang ulung dan politikus yang cerdik, Muawiyah memainkan
peranannya memimpin Dunia Islam yang luas tersebut. Ia merangkul kembali tokoh-tokoh
yang pernah dipecat oleh Ali. Sebelumnya, ia telah merangkul Amr bin Ash sebagai
mediatornya dalam tahkim dengan Ali. Ini merupakan salah satu kelihaian Muawiyah. Padahal,
ketika Usman bin Affan berkuasa, Amr pernah dipecat dari Gubernur Mesir. Amr merupakan
diplomat ulung yang tenaga dan pikirannya sangat dibutuhkan oleh Muawiyah dalam
menjalankan pemerintahannya. Selain itu, Al-Mughirah ibn Syu’bah diangkat menjadi
Gubernur di Kufah dengan tugas khusus menumpas perlawanan pendukun Ali yang masih
setia. Ziyad bin Abihi yang semula mendukung Ali pun dirangkulnya dengan cara
menasabkannya dengan ayahnya (Abu Sufyan) dan mengangkatnya sebagai gubernur Bashrah.
Ziyad bertugas mengamankan Persia bagian selatan dari rongrongan oposisi.
Setelah merasa aman, mulailah Muawiyah membenahi negara dan melakukan berbagai
kebijakan politik. Perubahan politik yang dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota
negara ke Damaskus. Kota ini adalah “kampung halaman” kedua baginya dan merupakan basis
Muawiyah dalam memperoleh dukungan rakyat. Selain jauh dari pusat oposisi di Kufah,
Damaskus terletak diantara daerah-daerah kekuasaan Bani Umayyah.viii[8]
Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah adalah menggantikan sistem pemerintahan
yang bercorak syura menjadi sistem kerajaan atau monarki.ix[9] Berbeda dengan empat
khalifah sebelumnya, Muawiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat Islam, tetapi
menunjuk puteranya sendiri, yakni Yazid sebagai penggantinya. Kemudian Muawiyah
agaknya meniru corak kerajaan yang berkembang di Persia dan Romawi.
Dalam perluasan wilayah, Muawiyah dan dinasti Bani Umayyah umumnya, melakukan
berbagai penaklukan. Setidaknya, ekspansi ini meliputi tiga front, yaitu front pertempuran
menghadapi bangsa Romawi di Asia kecil, Konstantinopel dan pulau-pulau di Laut Tengah ;
front Afrika Utara dari Selat Gibraltar hingga Spanyol; dan front timur hingga Sindus, India.
Hingga akhir Bani Umayyah pada 750 M, kekuasaan Islam sudah mencapai Lautan Atlantik di
barat dan Lembah Indus di timur.
Untuk pertama kalinya, Muawiyah memperkenalkan lembaga pengawal pribadi (hajib)
dalam sistem pemerintahan. Para pengawal inilah yang menjalankan tugas protokoler khalifah
dalam menentukan dan menerima siapa yang berhak untuk bertemu khalifah. Selain karena
tragedi Ali yang tewas terbunuh, Muawiyah juga mendapat inspirasi pelembagaan hajib ini dari
pengaruh Syam dan Persia. Muawiyah tidak ingin tragedi yang menimpa Ali terjadi pada
dirinya. Ia sadar bahwa orang-orang yang tidak senang padanya, terutama kelompok Syi’ah,
selalu berusaha mencelakakan dirinya. Dalam perkembangannya para hajib ini memiliki
kekuasaan yang luas, karena merekalah yang mengatur pertemuan pejabat-pejabat negara
lainnya, delegasi negara sahabat maupun anggota masyarakat dengan khalifah.
Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima departemen :x[10]

1. Diwan al-Jund (militer)


2. Diwan al-Kharaj (perpajakan dan keuangan)
3. Diwan al-Rasa’il (surat menyurat)
4. Diwan al-Khatam (arsip dan dokumentasi negara)
5. Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk)
Masing-masing dari dewan dipimpin oleh seorang sekretaris. Dalam pemerintahan
daerah, wilayah kekuasaan Bani Umayyah dibagi menjadi lima provinsi besar, yaitu : 1)Hijaz,
Yaman, dan Arabia, 2)Mesir bagian utara dan selatan, 3)Irak dan Persia, 4)Mesopatamia,
Armenia, dan Azarbaijan 5)Afrika utara, Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia, dan Sardinia.
Tiap-tiap provinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas menjalankan administrasi
politik dan militer untuk wilayah masing-masing.
Bani umayyah juga mencatat dalam sejarah perkembangan yang pesat dalam
perokonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada masa pemerintahan Abdul
Malik bin Marwan, alat tukar mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku sebelumnya
diganti dengan mata uang dicetak sendiri dan memakai bahasa arab. Kemudian pada masa
pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik Daulah Umayyah mengalami puncak kemakmuran. Ia
memberi jaminan hidup untuk anak yatim dan orang yang cacat serta menyediakan pendidikan
untuk mereka.
Pada masa Bani Umayyah yang menjadi hal penting yang menunjang pendapatan
negara adalah zakat dari umat Islam, rampasan perang (ghanimah), pajak atas tanah dari warga
non-muslim (kharaj), pajak perdagangan (usyr), dan pajak kepala warga non-muslim (jizyah).
Sumber keuangan ini dimanfaatkan untuk menjalankan pemerintahan dan kesejahteraan
masyarakat.xi[11]
C. Kelemahan dan Kehancuran Bani Umayyah
Kekuasaan wilayah Bani Umayyah yang sangat luas dalam waktu yang singkat tidak
berbanding lurus dengan komunikasi yang baik, menyebabkan kadang-kadang suatu wilayah
situasi keamanan dan kejadian-kejadian tidak segera diketahui oleh pusat. Di samping itu
kemunduran Bani Umayyah tidak terlepas dari pengaruh sikap dan kebijakan khalifah ataupun
gubernur Bani Umayyah itu sendiri.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam istana, antara lain:
a) Perselisihan antar keluarga khalifah.
Perselisiha antar keluarga khalifah, yaitu para putra mahkota yang menjadikan
rapuhnya kekuatan kekhalifahan. Apabila yang pertama memegang kekuasaan, maka ia
berusaha untuk mengasingkan yang lain dan menggantikannya dengan anaknya sendiri.
Hal ini menimbulkan permusuhan dalam keluarga dan tidak hanya terbatas pada tingkat
khalifah dan gubernur saja.xii[12]
b) Moralitas Khalifah atau gebernur yang jauh dari konsep Islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup
berfoya-foya, bersuka ria dalam kemewahan, terutama pada masa Khalifah Yazid II naik tahta.
Ia terpikat pada dua biduanitanya, Sallamah dan Hababah serta suka minum-minuman keras
yang berlebihan. Namun gelar peminum terhebat dipegang anaknya, al-Walid II yang terkenal
keras kepala dan suka berfoya-foya. Ia diriwayatkan terbiasa berendam di kolam anggur, yang
biasa ia minum airnya hingga kedalamannya berkurang. Kemudian para wazir dan panglima
Bani Umayyah sudah mulai korupsi dan mengendaliakan negara karena para khalifah pada saat
itu sangat lemah.

2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar istana,antara lain:
a) Perlawanan dari Kaum Khawarij
Semenjak berdirinya Dinasti Umayyah, para khalifahnya sering menghadapi tantangan
dari golongan Khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
telah melakukan dosan besar. Perbedaan pandangan politik antara Khawarij, Syi’ah dan
Muawiyah menjadikan Khawarij mengangkat pemimpin dikalangannya sendiri. Hal ini tentu
mempengaruhi stabilitas politik pada masa itu.
b) Perlawanan dari Kaum Syi’ah.
Kaum Syi’ah yang tidak pernah menyetujui pemerintahan Dinasti Umayyah dan tidak
pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Hasan semakin aktif dan mendapat
dukungan publik. Di sisi mereka berkumpul orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi
politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.xiii[13]
c) Perlawanan Golongan Mawali
Asal mula Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan
kemudian istilah ini berkembang pada orang Islam bukan Arab. Secara teoritis, orang Mawali
memiliki derajat yang sama dengan orang Arab. Namun itu tidak sepenuhnya tampak pada
dinasti Umayyah bahkan mereka memandang kelompok Mawali sebagai masyarakat bawahan
sehingga terbukalah jurang sosial yang memisahkan. Padahal orang Mawali ini turut serta
berjuang membela Islam dan Bani Umayyah, mereka adalah basis infantry yang bertempur
dengan kaki telanjangdi atas panasnya pasir, tidak di atas unta maupun kuda. Basis militer ini
kemudian bergabung dengan gerakan anti pemerintah, yakni pihak Abbasiyah dan
Syiah.xiv[14]
d) Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
Pada masa kekuaasaan Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara
(Bani Qaisy) dan Arabia Selatan (Bani Qalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin
meruncing.n Apabila khalifah tersebut berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab
Utara akan iri demikian pula sebaliknya. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani
Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
e) Perlawanan dari Golongan Abbasiyah
Keluarga Abbas, para keturunan paman Rasulullah mulai bergerak aktif dan
menegaskan tuntutan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik, mereka
bergabung dengan pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan
memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan diri sebagai pembela sejati agama Islam,
para keturunan Abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.xv[15]
Inilah faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran yang membawa kehancuran bagi
Bani Umayyah. Apalagi ketika tiga gerakan terbesar yakni Abasiyah, Syi’ah dan Mawali
bergabung dalam gerakan koalisi untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah dan
bertujuan mendirikan kerajaan baru yang ideal.
Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus yang telah
dirintis oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan ditandai dengan terbunuhnya Marwan bin
Muhammad sebagai khalifah dari Bani Umayyah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberhasilan Muawiyah mendirikan Dinasti Bani Umayyah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Siffin dan terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejak semula gubernur
suriah itu memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politikya dimasa
depan. Pertama, dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umayyah
sendiri. Kedua, sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam menempatan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Ketiga, Muawiyah memiliki kemampuan
menonjol sebagai negarawan.
Corak sistem pemerintahan Bani Umayyah adalah Muawiyah telah merubah gaya
kepemerintahan menjadi sistem kerajaan atau monarki. Langkah ini ia lakukan karena
ambisinya untuk menguasai dunia Islam yang harus dipimpin oleh golongannya sendiri.
Kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor
internal disebabkan karena perselisihan antar keluarga khalifah serta moralitas khalifah yang
jauh dari konsep agama Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah perlawanan dari Kaum
Khawarij, Kaum Syiah, golongan Mawali, adanya pertentangan antara Arab Utara dengan Arab
Selatan serta puncaknya ketika adanya perlawanan dari Golongan Abbasiyah .
AB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan
yang berpola dinasti atau kerajaan. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung
bersifat kekuasaan foedal dan turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya
unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan
hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti Umayyah
merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan. Perintisan
dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan
strategi politik yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Mu’awiyah
juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali) membunuh
khalifah Ali, meskipun kemudian tampak kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun
tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun
hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan
kepada Mu’awiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan kepemimpinan sesudahnya
adalah diserahkan kepada ummat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H
dan dikenal dengan nama jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi
satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam
kemajuan peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam
perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini adalah:
1. Agar bisa mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Agar bisa mengetahui bagaimana sistem pemerintahan Dinasti Umayyah.
3. Untuk mengetahui apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Umayyah.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti Umayyah.

BAB II
DINASTI UMAYYAH (662- 750)
A. Pengertian Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn
‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. Bani
Umayyah baru masuk agama Islam setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain
memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad berserta beribu-ribu pengikutnya yang benar-
benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu masuk ke dalam kota
Makkah. Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan ummat
Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam.
Setelah khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Iraq mengangkat al-Hasan putra tertua
Ali sebagai khalifah yang sah. Sementara itu Mu’awiyah sebagi gubernur propinsi Suriah
(Damaskus) juga menobatkan dirinya sebagai Khalifah.
Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertambah
kuat, maka Hasan bin Ali menyerahkan pemerintahannya kepada mu’awiyyah bin abi
sufyan.Mu'awiyah sebagai pendiri dinasti Umayyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka
Quraisy yang menjadi musuh Nabi Muhammad saw. Mu'awiyah dan keluarga keturunan Bani
Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan kota Makkah. Nabi pernah
mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi saudaranya yang
perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik Mu'awiyah mulai meningkat pada masa
pemerintahan Umar Ibn Khattab. Setelah kematian Yazid Ibn Abu Sufyan pada peperangan
Yarmuk, Mu'awiyah diangkat menjadi kepala di sebuah kota di Syria. Karena keberhasilan
kepemimpinannya, tidak lama kemudian dia diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah
Umar. Mu'awiyah selama menjabat sebagai gubernur Syria, giat melancarkan perluasan
wilayah kekuasaan Islam sampai perbatasan wilayah kekuasaan Bizantine.Pada masa
pemerintahan khalifah Ali Ibn Abu Thalib, Mu'awiyah terlibat konflik dengan khalifah Ali
untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.Sejak saat itu Mu'awiyah mulai
berambisi untuk menjadi khalifah dengan mendirikan dinasti Umayyah. Setelah menurunkan
Hasan Ibn Ali, Mu'awiyah menjadi penguasa seluruh imperium Islam,dan menaklukan Afrika
Utara merupakan peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya[1].
B. Sistem Pemerintahan Bani Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan memperluas batas wilayah Islam, Mu’awiyah sangat
mengandalkan orang-orang Suriah. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu
sangat menjunjung tinggi kesetian terhadap khalifah tersebut.
Sebagai organisator militer, Mu’awiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan
se-zamannya. Ia mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu
kekuatan militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi, ia membangun sebuah Negara
yang stabil dan terorganisir. Ketika berkuasa, Mu’awiyah telah banyak melakukan perubahan
besar dan menonjol di dalam pemerintahan negeri waktu itu. Mulai dari pembentukan angkatan
darat yang kuat dan efisien, dia juga merupakan khalifah pertama yang yang mendirikan suatu
departemen pencatatan (diwanulkhatam) yang fungsinya adalah sebagai pencatat semua
peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah. Dia juga telah mendirikan (diwanulbarid) yang
memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam pemerintahan
provinsi. Dengan cara ini, Mu’awiyah melaksanakan kekuasaan pemerintahan pusat.
Pada 679 M, Mu’awiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Ketika
itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh
dinasti-dinasti besar Islam, termasuk dinasti Abbasiyah.
Pada perkembangan berikutnya, setiap khalifah mengikuti caranya, yaitu menobatkan
salah seorang anak atau kerabat sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya.
Pemindahan kekuasaan Mu’awiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi
monarchi heridetis (kerajaan turun temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan atau
suara terbanyak. Sikap Mu’awiyah seperti ini di pengaruhi oleh keadaan Syiria selama dia
menjadi gubernur disana[2].
Sistem dan model pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini mengundang
kritik keras, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Sebagian besar khalifahnya sangat
fanatik terhadap kearaban dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah
orang non-Arab dan memposisikan mereka sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut
menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani Umayyah. Di bidang yudikatif,
para qadi (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh khalifah. Ketika Abdul
Malik naik tahta, perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan umum
digalakkan. Ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor
pemerintahan. Sebelum itu, bahasa Yunani digunakan di Suriah, bahasa Persia di Persia, dan
bahasa Qibti di Mesir.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik, para gubernur yang diangkatnya menjalankan
fungsinya dengan baik. Gubernur Mesir saat itu, Abdul Aziz bin Marwan, membuat alat
pengukur Sungai Nil, membangun jembatan, dan memperluas Masjid Jami Amr bin Ash.
Sementara itu, gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf, melakukan perbaikan sistem irigasi dengan
mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat ke seluruh pelosok Irak sehingga kesuburan tanah
pertanian terjamin. Ia juga melarang keras perpindahan orang desa ke kota. Kehidupan
ekonomi juga dibangun dengan memperbaiki sistem keuangan, alat timbangan, takaran, dan
ukuran.
Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, seorang gubernur juga mempunyai wewenang
penuh dalam hal administrasi politik dan militer dalam provinsinya. Ketika al-Walid I naik
tahta menggantikan Abdul Malik, kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia
mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan hidup, dan menyediakan guru untuk
mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus yang diberi gaji. Orang
buta diberikan penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga mendirikan
bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dirawat sesuai dengan persyaratan kesehatan.
Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu,
digali sumur untuk menyediakan air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-
sumur itu, ia mengangkat pegawai. Pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia melakukan
pembersihan di kalangan keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah
diberikan kepada orang tertentu dimasukkannya ke dalam baitul mal. Terhadap para gubernur
dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang, ia tidak ragu-ragu mengambil tindakan tegas
berupa pemecatan. Kebijakannya di bidang fiskal mendorong orang non-Muslim memeluk
agama Islam. Pajak yang dipungut dari orang Nasrani dikurangi. Jizyah atau pajak yang masih
dipungut dari orang yang telah masuk Islam di antara mereka dihentikan. Dengan demikian,
mereka berbondong-bondong masuk Islam. Selama masa pemerintahannya, Umar bin Abdul
Aziz melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti
perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat
penginapan bagi para musafir, memperbanyak masjid, dan sebagainya[3].
C. Kemajuan yang Dicapai Dimasa Pemerintahan Umayyah
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara islam
yang besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-
benih kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih
banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan arab[4] .
pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih Ibn Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj,
mencoba menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi di seluruh negeri. Meskipun, bahasa-
bahasa asal tidak sepenuhnya dihilangkan. Orang-orang non Arab telah banyak memeluk Islam
dan mulai pandai menggunakan bahasa arab. Perhatian bahasa arab mulai diberikan untuk
menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa arab.Hal inilah yang mendorong
lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair arab
jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.
Bidang pembangunan juga di perhatian para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid di
semenanjung Arabia dibangun, katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan
kadetral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini
gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan
filsafat. Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di Iraq[5] .
Ekspansi ke barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn
Abdul Malik. Pada masa ini dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban.
Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah
barat daya benua Eropa yaitu pada tahun 771 M. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Tariq bin
Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dan benua Eropa. Mereka
kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan Gibraltar (jabal tariq).Tariq
berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan dapat menguasai Kordova, Seville, Elvira, dan
Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dinasti
Umayyah disamping telah berhasil dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan
sebelumnya, dalam berbagai bidang, diantaranya adalah:
Dalam bidang administrasi pemerintahan meliputi:
1. Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
2. Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi menjadi beberapa provinsi, yaitu: Syiria dan
Palestina, Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan
Yamamah, Arenia, Hijaz, Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman
dan Arab Selatan,serta Andalusia.
3. Bidang administrasi pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk
dewan. Departemen pajak dinamakan dengan dewan Al-Kharaj, departemen pos dinamakan
dengan dewan Rasail, departemen yang menangani berbagi kepentingan umum dinamakan
dengan dewan Musghilat, departemen dokumen negara dinamakan dengan dewan Al- Khatim.
4. Organisasi keuangan. Terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah,
perorangan bagi non muslim. Percetakan uang dilakukan pada khalifah Abdul Malik bin
Marwan.
5. Bidang arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang
didirikan pada masa khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 691 M.
6. Bidang pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan kuat dalam memajukan pendidikan
dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal tersebut dilakukan agar para ilmuan, ulama’
dan seniman mau melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya serta dapat
melakukan kadernisasi terhadap generasi setelahnya.
Pada masa ini telah dilakukan penyempurnaan penulisan al-Quran dengan memberikan
baris dan titik pada huruf-hurufnya. Hal tersebut dilakuakn pada masa pemerintahan Abd Malik
Ibn Marwan yang menjadi khalifah antara tahun 685-705M. Pada masa Dinasti ini juga telah
dilakukan pembukuan hadist tepatnya pada waktu pemerintahan khalifah Umar Ibn Abd Al-
Aziz (99-10 H), mulai saat itu ilmu hadist berkembang dengan sangat pesat. Khalifah-khalifah
dinasti Umayyah juga menaruh perhatian pada perkembangan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu
agama yang mencakup al-Qur’an, hadist,fikih,sejarah dan geografi. Ilmu sejarah dan geografi,
yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.Ubaid Ibn
Syariyah Al Jurhumi telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.Ilmu pengetahuan
bidang bahasa, yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu
mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan itu, serta ilmu
kedokteran. Khalifah Al-Walid mendirikan sekolah kedokteran, ia melarang para penderita
kusta meminta-minta di jalan bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para penderita
kusta tersebut, pada masa ini sudah ada jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan anak terlantar.
D. Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Dinasti Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh Daulah Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan
kemunduran dinasti yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa
factor yang kemudian mengantarkan pada titik kehancuran. Diantara fakto-faktor tersebut
adalah:
1. Terjadinya pertentangan keras antara kelompok suku Arab Utara (Irak) yang disebut
Mudariyah dan suku Arab Selatan (Suriah) Himyariyah, pertentangan antara kedua kelompok
tersebut mencapai puncaknya pada masa Dinasti Umayyah karena para khalifah cenderung
berpihak pada satu etnis kelompok.
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru
dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu status yang
menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama orang Arab mengalami beratnya
peperangan dan bahkan diatas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan
tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan
kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada
orang Arab.
3. Konfllik-konflik politik yang melatar belakangi terbentuknya Daulah Umayyah. Kaum syi`ah
dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat
mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada
masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut
kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa faktor-faktor keruntuhan dinasti
Bani Umayyah secara umum ada dua yaitu:
a. Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti
Umayah adalah karena kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibaringi dengan komunikasi
yang baik, sehingga menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera
diketahui oleh pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Diantara khalifah-khalifah
yang ada, hanya beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan
stabilitas negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan
hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya. Situasi semacam ini
pun mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima yang sudah
berani korup dan mengendalikan negara.
b. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada
saat Umar II berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah
tak ada yang memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut
mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa
pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas mampu
berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang tidak
pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah
gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah. Gerakan yang dilancarkan
untuk mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka
memproklamasikan berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap
pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pemimpin gerakan
diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-
sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak
berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu[6].
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk
menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara
tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya
di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran
itu.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah
pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid
mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan
sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan oleh Abu Ja’far al-Mansur yang
akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan disahkan oleh As-Saffah sebagai
jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu
Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada As-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani
Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti
ini sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun
baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh
rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan Ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di
Irak menyerahkan kekuasaanya pada Mu’awiyah setelah melakukan perundingan dan
perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan
tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah) tahun 41 H (661 M).
Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai
oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang
dipimpinnya pada tahun 679 M,yang kemudian diikuti oleh dinasti-dinasti besar islam yaitu
dinasti Abbasyiah.
Kemajuan dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi,sehingga menjadi negara islam
yang besar luas serta sangat memperhatikan kemajuan pembangunan. Pada masa pemerintahan
Al-walid Ibn Abdul Malik,ekspansi kebarat dilakukan secara besar-besaran,dan pada masa itu
dikenal dengan masa ketentraman,kemakmuran dan ketertiban. Pada masa itulah
disempurnakan penulisan al-Qur’an dengan memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.
Kekuasaan Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor
yang sangat berpengaruh yaitu faktor internal dan eksternal.
B. Saran
Dari pembahasan makalah diatas kami mangharapkan kritik dan saran dari pembaca
sangatlah di perlukan,guna untuk perbaikan dan penyempurnaan tugas pada masa yang akan
datang.

DAFTAR PUSATAKA
al-Usairy, Ahmad. 2007. Sejarah Islam. Jakarta:Akbar.
Bisri, M. Jaelani. 2007. Ensiklopedi Islam . Yogyakarta: Panji Pustaka.
Murodi. 2004. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah.html, diakses tanggal 5 Nopember 2012.
http://mtsbahrululumawipari.wordpress.com/2010/04/21/dinasti-bani umayah/, diakses tanggal 5
Nopember 2012 jam 18:51 WIB.

[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah.html, sabtu 05 november 2012


[2]http://mtsbahrululumawipari.wordpress.com/2010/04/21/dinasti-bani-umayah/18:51,
sabtu 05 november2012
[3]Ibid
[4]Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal. 436
[5]Bisri M. Jaelani, loc. cit. hal. 437
[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta:Akbar, 2007), hal. 211.

Anda mungkin juga menyukai