Anda di halaman 1dari 2

Nama : Hafifa Novela

NIM : 11732029

Prodi : Bimbingan dan Konseling Islam

Matkul : Patologi Sosial

Anak Jalanan

Menurut de Moura (2002), anak-anak jalanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yakni anak yang bekerja di jalanan dan anak yang hidup di jalanan. Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, alasan anak bekerja adalah karena
membantu pekerjaan orangtua (71%), dipaksa membantu orangtua (6%), menambah biaya
sekolah (15%), dan karena ingin hidup bebas, untuk uang jajan, mendapatkan teman, dan
lainnya (33%). Secara umum, pendapat yang berkembang di masyarakat mengenai anak
jalanan adalah anak-anak yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dan menghabiskan
waktu untuk bermain, tidak bersekolah, dan kadang kala ada pula yang menambahkan bahwa
anak-anak jalanan mengganggu ketertiban umum dan melakukan tindak kriminal (Martini dan
Agustian dalam Terloit 2001). 1

Menurut Yulianti (1999) rata-rata per har anak jalanan dapat memperoleh penghasilan
5-15 ribu. Dibandingkan dengan pegawai negeri golongan I dan II, misalnya, tidak mustahil
penghasilan kotor yang diperoleh anak jalanan lebih besar. Namun karena penghasilan itu
biasanya tidak mereka nikmati sendiri atau karena salah dalam pengelolaannya, acap kali
terjadi anak-anak jalanan seolah identik dengan kemiskinan. Diberbagai kota besar, disinyalir
sebagai anak jalanan diorganisasi dan dimanfaatkan oleh semacam sindikat untuk memperalat
mereka. Praktik pemerasan dan pemaksaan kerja terhadap anak-anak gelandangan biasanya
dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, kerja mereka sangat rai. Meski hanya sekedar
mengamen atau mengemis, tetapi penghasilan yang diperoleh anak-anak tersebut diperkirakan
cukup besar. Ironisnya yaitu sebagian besar penghasilan anak-anak jalanan tersebut biasanya
harus diserahlan kepada sindikat.

1
Pardede, Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Jurnal Psikologi Volume 1, No. 2, Juni 2008
Studi yang dilakykan Hadi Utomo (1998) menemukan bahwa anak-anak jalanan
cenderung rawan terjerumus dalam tindakan yang salah. Salah satu perilaku menyimpang yang
populer di kalangan anak-anak jalanan adalah ngelem yang secara harfiah memang berarti
menghisap lem. Diperkirakan sekitar 65-70 persen anak yang seharian hidup dan mencari
nafkah di jalanan menggunakan zat teersebut. Mereka menghirup lem untuk melupakan
oenderitaan mereka; seolah dengan itu mereka merasa telah memperoleh pengganti narkotika.
2
Patologi sosial merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan,
stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun
bertetangga, disiplin, kebaikan dan hukum formal. (Kartini Kartono, Patologi Sosial, 2005).3

Sebagai anak, mereka (anak jalanan) mempunyai fungsi dan kebutuhan, namun pada
kenyataannya anak jalanan tidak terpenuhi kebutuhan dan fungsinya sebagai anak. Kebutuhan
akan pendidikan, kesehatan, aktualisasi diri dan partisipasi anak jalanan dalam masyarakat
tidak terpenuhi dengan baik, ditambah dengan kesadaran kolektif dari masyarakat untuk
menerima keberadaan anak jalanan yang rendah menjadikan kemunculan anak jalanan sebagai
gejala patologi. Dari sinilah muncul wacana tentang hukuman bagi masyarakat yang melanggar
ketentuan sosial atau norma sosial. Pada kasus ini adanya upaya hukum bagi anak jalanan
dilakukan untuk memperbaiki kembali anak jalanan agar dapat diterima masyarakat. Hukum
restitutif berlaku pada masyarakat dengan solidaritas organik (Abdullah, 1986: 14). 4

Mengapa anak jalanan dikatakan sebagai bagian dari patologi? Anak-anak pada
dasarnya memiliki kebutuhan baik dari pendidikan, kesehatan dan aktualisasi diri tadi. Anak-
anak harusnya sedang menempuh pendidikan dengan kesehatan yang optimal dan penyaluran
minat bakat sebagai aktualisasi diri mereka pada saat itu. Namun berbeda dengan anak-anak
jalanan, mereka tidak memenuhi semua itu, mereka tidak mendapatkan semua kebutuhan itu
sehingga kemunculan anak jalanan merupakan gejala patologi dalam masyarakat modern,
sehingga perlu adanya upaya penanganan anak jalanan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
Dinas Sosial. Upaya tersebut termasuk ke dalam hukum restitutif yakni memperbaiki kondisi
anak jalanan untuk menjaga keutuhan sosial yang ada.

2
Bagong Sosiologi Anak (Jakarta: Kencana, 2019) Hlm. 121.
3
Sidik Jatmika, Genk Remaja : Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi? (Yogyakarta: Kanisius.2010)
4
Anggraeni, Evaluasi Program Penanganan Anak Jalanan Melalui Pendidikan Layanan Khusus (PLK)
Berbasis Kelembagaan Lokal Di Kota Surakarta. Jurnal Sosialitas : Jurnal Ilmiah Pendidikan Sosial Ant.Vol 3.
No 1. 2013.

Anda mungkin juga menyukai