Anda di halaman 1dari 25

Anak jalanan adalah anak yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan, dan/atau

anak yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghasilkan sebagian besar waktunya untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari.
Kriteria :
a. menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan maupun ditempat-tempat umum; atau
b. mencari nafkah dan/atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat-tempat umum.
anak jalanan adalah anak yang menghabiskan waktunya di jalanan, baik untuk bekerja maupun
tidak, yang terdiri dari anak-anak yang mempunyai hubungan dengan keluarga atau terputus
hubungannnya dengan keluarga , dan anak yang mandiri sejak kecil karena kehilangan
orangtua/keluarga (Huraerah, 2006: 80).

Berdasarkan hasil kajian dilapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan ke dalam tiga
kelompok :

1. Children On the Street (Anak Jalanan yang bekerja di jalanan), yakni anak-anak yang
mempunyai kegiatan ekonomi- sebagai pekerja anak-di jalan, namun masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Fungsi anak jalanan pada kategori ini
adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau
tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua
orangtuanya.

2. Children of the street (Anak Jalanan yang hidup dijalanan), yakni anak-anak yang
berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara
mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan
mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu
sebab lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak
pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial-emosional,
fisik maupun seksual.

3. Children from families of the street atau children in street, yakni anak-anak yang berasal
dari keluarga yang hidup dijalanan. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah
pemampangan kehidupan jalaan sejak anak masih bayi bahkan sejak masih dalam
kandungan. Di Indonesia, kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai kolong
jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api, dan sebagainya walau secara
kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti (Bagong, 1999: 41- 42).

Menurut Dwi Astutik, selaku pembina lembaga Kharisma Surabaya, bahwa anak
jalanan adalah anak usia (618 tahun) yang menghabiskan sebagian besar
waktunya di jalanan karena sebab apapun, mereka yang sehari-harinya hidup di
jalanan baik pengamen, pemulung, maupun penyemir sepatu (hasil wawancara,
tanggal Juni 2005).
Pengertian anak jalanan telah dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya oleh
Utoyo (dalam Munawir Yusuf dan Gunarhadi, 2003: 7) menyebutkan bahwa anak
jalanan adalah anak yang waktunya sebagian besar dihabiskan di jalan, mencari
uang dan berkeliaran di jalan dan di tempat-tempat umum lainnya yang usianya 7
sampai 15 tahun.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Soedijar (dalam Dwi Hastutik, 2005: 15)
bahwa anak jalanan adalah anak-anak berusia 7-15 tahun, bekerja di jalanan dan
tempat umum lainnya yang dapat membahayakan keselamatan dirinya.
Sedangkan Sugeng Rahayu (dalam Dwi Astutik, 2005: 15) berpendapat lain bahwa
anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di
jalanan untuk mencari nafkah dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis,
gelandangan, bekerja di toko/kios).
Sandyawan memberikan pengertian bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang
berusia maksimal 16 tahun, telah bekerja dan menghabiskan waktunya di jalanan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan anak jalanan adalah anak yang melewatkan atau
memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-
hari di jalanan. Selain itu juga ada yang masih bersekolah dan ada yang tidak
bersekolah serta ada yang masih berhubungan dengan keluarga dan ada yang
sudah lepas dari keluarga.

Adapun ciri-ciri anak jalanan secara umum, antara lain:


a. Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, temapt hiburan) selama 3-24 jam sehari;
b. Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, dan sedikit sekali yang tamat SD);
c. Berasal dari keluarga-keluarga yang tidak mampu (kebanyakan kaum urban, dan beberapa di
antaranya tidak jelas keluarganya);
d. Melakukan aktivitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor informal). ( 3 )

Adanya ciri umum tersebut di atas, tidak berarti bahwa fenomena anak jalanan merupakan
fenomen yang tunggal. Penelusuran yang lebih empatik dan intensif ke dalam kehidupan mereka
menunjukkan adanya keberagaman. Keberagaman tersebut antara lain : latar belakang keluarga,
lamanya berada di jalanan, lingkungan tempat tinggal, pilihan pekerjaan, pergaulan, dan pola
pengasuhan. Sehingga tidak mengherankan jika terdapat keberagaman pola tingkah laku,
kebiasaan, dan tampilan dari anak-anak jalanan.

indikator anak jalanan antara lain:


a. Usia berkisar antara 6 sampai dengan 18 tahun.
b. Waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4 jam setiap hari.
c. Tempat anak jalanan sering dijumpai di pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman
kota, daerah lokalisasi PSK, perempatan jalan raya, pusat perbelanjaan atau mall, kendaraan
umum (pengamen), dan tempat pembuangan sampah.
d. Aktifitas anak jalanan yaitu; menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau
majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli
angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau penjual jasa.
e. Sumber dana dalam melakukan kegiatan: modal sendiri, modal kelompok, modal
majikan/patron, stimulan/bantuan.
f. Permasalahan: korban eksploitasi seks, rawan kecelakaan lalu lintas, ditangkap petugas, konflik
dengan anak lain, terlibat tindakan kriminal, ditolak masyarakat lingkungannya.
g. Kebutuhan anak jalanan: aman dalam keluarga, kasih sayang, bantuan usaha, pendidikan
bimbingan ketrampilan, gizi dan kesehatan, hubungan harmonis dengan orangtua, keluarga dan
masyarakat.

Permasalahan Anak Jalanan

Secara mental anak-anak jalanan tidak punya harapan hidup masa depan, bagi mereka
bisa bertahan hidup saja sudah cukup. Kehidupan mereka harus berhadapan dengan realita di
jalan yang penuh dengan resiko dan tantangan. Anak jalanan sering dicap sebagai anak nakal,
biang kerusuhan, biang onar dan pernyataan-pernyataan miring lainnya. Perkataan-perkataan itu
tentunya akan membawa dampak psikis bagi anak. Selain masalah pribadi sehari-hari di jalanan,
perkawanan dan pekerjaan, anak jalanan secara langsung menerima pengaruh lingkungan dari
keluarga maupun jalanan tempat ia berada. Adapun resiko yang dihadapi anak jalanan antara lain
:
a. Korban eksploitasi seks ataupun ekonomi.
b. Penyiksaan fisik.
c. Kecelakaan lalu lintas
d. Ditangkap polisi
e. Korban kejahatan dan penggunaan obat
f. Konflik dengan anak-anak lain.
g. Terlibat dalam tindakan pelanggaran hukum baik sengaja maupun tidak sengaja

Solusi Dalam Menangani Anak Jalanan


Masalah anak jalanan merupakan masalah serius yang perlu mendapatkan
penanganan oleh semua pihak. Olehnya itu, kita perlu bersama-sama memahami akar
permasalahan anak jalanan kemudian sampai kepada solusi real yang perlu dilakukan ke depan.
Adapun solusi yang dapat dilakukan adalah :

1. Penanganan Anak Jalanan


Secara teoritis, fokus utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah pada perlindungan
sosial (social protection). Oleh karena itu, model pertolongan terhadap anak jalanan bukan
sekadar menghapus anak-anak dari jalanan. Melainkan harus bisa meningkatkan kualitas hidup
mereka atau sekurang-kurangnya melindungi mereka dari situasi-situasi yang eksploitatif dan
membahayakan.
Mengacu pada prinsip-prinsip profesi pekerjaan sosial, maka kebijakan dan program
perlindungan sosial mencakup bantuan sosial, asuransi kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial
dan pemberdayaan sosial yang dikembangkan berdasarkan right-based initiatives; yakni
memperhatikan secara sungguh-sungguh hak-hak dasar anak sesuai dengan aspirasi terbaik
mereka (the best interest of the children) (Suharto, 2006; 2007). Strategi intervensi pekerjaan
sosial tidak bersifat parsial, melainkan holistik dan berkelanjutan
Dalam garis besar, alternatif model penanganan anak jalanan mengarah kepada 4 jenis model,
yaitu:
a. Street-centered intervention.
Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di jalan dimana anak-anak jalanan biasa
beroperasi. Tujuannya agar dapat menjangkau dan melayani anak di lingkungan terdekatnya,
yaitu di jalan.
b. Family-centered intervention.
Penanganan anak jalanan yang difokuskan pada pemberian bantuan sosial atau
pemberdayaan keluarga sehingga dapat mencegah anak-anak agar tidak menjadi anak jalanan
atau menarik anak jalanan kembali ke keluarganya.
c. Institutional-centered intervention.
Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di lembaga (panti), baik secara sementara
(menyiapkan reunifikasi dengan keluarganya) maupun permanen (terutama jika anak jalanan
sudah tidak memiliki orang tua atau kerabat). Pendekatan ini juga mencakup tempat berlindung
sementara (drop in), Rumah Singgah atau open house yang menyediakan fasilitas panti dan
asrama adaptasi bagi anak jalanan.
d. Community-centered intervention.
Penanganan anak jalanan yang dipusatkan di sebuah komunitas. Melibatkan program-
program community development untuk memberdayakan masyarakat atau penguatan kapasitas
lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi
baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat. Community-Centered
Intervention Sebagai Model Penanganan Problema Anak Jalanan

Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dan diefektifkan yaitu :


a. Peningkatan kesadaran masyarakat
Penanggulangan dapat dilakukan yaitu dengan membuat program peningkatan kesadaran
masyarakat. Aktivitas program ini untuk menggugah masyarakat agar mulai tergerak dan peduli
terhadap masalah anak jalanan. Kegiatan ini dapat berupa penerbitan bulletin, poster, buku-buku,
iklan layanan masyarakat di TV, program pekerja anak di radio dan sebagainya.
Program penanggulangan diatas diharapkan bisa memberikan kesadaran penuh kepada anak-
anak jalanan bahwa manusia dapat memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan
mengorganisir tindakan kolektif dan tindakan kolektif tersebut dapat dilakukan oleh masyarakat
untuk melakukan perubahan menuju kondisi yang lebih sejahtera.
b. Penggalakan lembaga-lembaga penampung anak
Pemerintah juga perlu mendirikan lembaga-lembaga penampung seperti halnya LSM
maupun instansi lainnya. Lembaga tersebut ddapat dijadikan sebagai wadah bagi anak jalanan
untuk mengasah keterampilan dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih produktif dan
ekonomis.
c. Pemberian fasilitas pendidikan yang layak
Pemerintah harus mampu memfasilitasi pendidikan dan keterampilan yang layak bagi anak
jalanan agar mereka tidak kembali lagi ke jalan. Karena mereka adalah asset bangsa yang tak
ternilai harganya juga penerus-penerus bangsa. Mereka yang seharusnya duduk dibangku sekolah
karna himpitan ekonomi mereka harus turun kejalanan untuk menyambung hidup mereka
padahal sebagai anak bangsa mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak dari
pemerintah. Jika UUD pendidikan yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus di
alokasikan sebesar 20% dari APBN dapat terimplementasi maka negara akan mampu untuk
menyediakan pendidikan gratis, sehingga dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan anak
jalanan dapat diminimalisir.

d. Pencegahan Urbanisasi
Urbanisasi tentu sangat mempengaruhi jumlah pertumbuhan anak jalanan dan pemerintah
harus menekan tingkat urbanisasi.

Pemberdayaan Rumah Singgah dalam Meningkatkan Mutu Layanan PAUD Non Formal Bagi Anak
Jalanan
Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah.
Konferensi Nasional II Masalah Pekerja anak di Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan
rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak
bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses
pembinaan lebih lanjut (Sander, 2007). Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, rumah
singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu
mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat realisasi
anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya
rumah singgah adalah membantu anak mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif
untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah:
a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat.
b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga
pengganti lainnya jika diperlukan.
c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak
dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting.
Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain:

a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dan anak jalanan. Dalam hal ini
sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan
pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.
b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagai tempat melakukan
diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan
sosial bagi anak jalanan.
c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan
lembaga lainnya.
d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk
kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual
ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.
e. Pusat Informasi tentang anak jalanan.
f. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.
g. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus
akses kepada berbagai pelayanan sosial.
h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan salah
satu upaya mengenalkan pendidikan dini penanaman norma dan kehidupan bermasyarakat bagi
anak jalanan.

Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat
terhadap penanganan masalah anak jalanan. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain
melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program:

a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak
permanen.
b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan
berada atau langsung ke jalanan.
c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan
baik keluarga maupun lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan model pembinaan anak jalanan dapat dilakukan dengan cara
memberikan pendidikan alternatif (pendidikan luar sekolah) sebagai kegiatan untuk mencegah
munculnya masalah sosial anak jalanan, seperti pelatihan dan peningkatan keterampilan, dan
pada akhir 2009 diharapkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD nonfomal minimal telah
mencapai 35 persen (Anonim, 2006).

3. Program Untuk Anak Jalanan


Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai
adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah rumah
singgah dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu: anak jalanan dilayani di rumah
singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.
Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan
kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta
strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning
strategy).
Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa: Kejar Usaha; Kejar
Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan
watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata);
Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak
Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000: 371).
Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-
menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.
Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation
berikut: (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3)
pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.
Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan
atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada
papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi
kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan
program diungkapkan secara berkala: Harian, Mingguan, Bulanan, danTahunan.

Anak jalanan adalah contoh dari anak-anak yang terlantar, baik dari pengasuhan maupun
pendidikannya. Keberadaan dan berkembangnya anak jalanan merupakan persoalan yang perlu
mendapat perhatian. Anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, baik untuk mencari nafkah atau
berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial RI, 2005: 5).
Anak jalanan mempunyai ciri-ciri, berusia antara 6 sampai dengan 18 tahun, melakukan
kegiatan atau berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak
terurus, mobilitasnya tinggi. Masalah anak jalanan masih merupakan masalah kesejarteraan
sosial yang serius dan perlu mendapat perhatian. Hal ini mengingat bahwa anak-anak yang hidup
di jalan sangatlah rentan terhadap situasi buruk, perlakuan yang salah dan eksploitasi baik itu
secara fisik maupun mental. Hal ini akan sangat mengganggu perkembangan anak secara mental,
fisik, sosial, maupun kognitif, serta anak tidak mendapatkan hak dalam memperoleh pendidikan
dan penghidupan yang layak. Kondisi yang tidak kondusif di jalanan dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi anak akan berpengaruh pula pada kehidupan anak di masa
mendatang. UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 (2) menyatakan bahwa
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal, sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
deskriminasi. Melihat UU tentang perlindungan anak tersebut, seharusnya setiap anak
mendapatkan hak yang sama, tidak terkecuali bagi anak jalanan. tetapi fenomena yang ada di
masyarakat menunjukkan bahwa hak tersebut belum didapatkan oleh anak jalanan.
Merujuk pada ciri-ciri anak jalanan yang dijelaskan oleh Departemen Sosial RI, bahwa
anak jalanan adalah anak yang berusia antara 6 sampai 18 tahun dan menghabiskan banyak
waktu untuk melakukan aktivitas di jalanan atau tempat-tempat umum. Dari ciri-ciri rentang usia
anak jalanan tersebut, penulis mengkategorikan anak jalanan menjadi 2, yakni anak jalanan yang
berusia anak-anak (6 11 tahun) dan anak jalanan yang berusia remaja (12 18 tahun). Kategori
ini menunjukkan bahwa anak jalanan menurut usianya, juga mengalami tahap tumbuh kembang
menuju kedewasaan yang penting untuk diperhatikan, yakni masa remaja.
Masa remaja merupakan masa yang penting untuk diperhatikan, karena di sinilah
seseorang mengalami proses pencarian jati diri. Banyak fenomena-fenimoena anak jalanan
remaja yang terjadi di masyarakat. Anak jalanan remaja sangatlah rawan untuk mendapatkan
pengaruh yang tidak baik dari kehidupan jalanan yang keras. Mereka akan lebih berpotensi untuk
melakukan tindak kejahatan ataupun berbagai tindakan negatif lainnya.
Selain itu, Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial
(2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya
dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya,
usia mereka berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan
lebih dari 4 jam dalam satu hari. Pada dasarnya anak jalanan menghabiskan waktunya di jalan
demi mencari nafkah, baik dengan kerelaan hati maupun dengan paksaan orang tuanya. Dari
definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak jalanan adalah anak-anak yang sebagian
waktunya mereka gunakan di jalan atau tempat-tempat umum lainnya baik untuk mencari
nafkahmaupun berkeliaran. Dalam mencari nafkah, ada beberapa anak yang rela melakukan
kegiatan mencari nafkah di jalanan dengan kesadaran sendiri, namun banyak pula anak-anak
yang dipaksa untuk bekerja di jalan (mengemis, mengamen, menjadi penyemir sepatu, dan lain-
lain) oleh orang-orang di sekitar mereka, entah itu orang tua atau pihak keluarga lain, dengan
alasan ekonomi keluarga yang rendah. Ciri-ciri anak jalanan adalah anak yang berusia 6 18
tahun, berada di jalanan lebih dari 4 jam dalam satu hari, melakukan kegiatan atau berkeliaran di
jalanan, penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, dan mobilitasnya tinggi.
Karakteristik Anak Jalanan
2.2.1 Berdasarkan Usia
Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30)
memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk
mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka
berkisar dari 6 tahun sampain 18 tahun. Selain itu dijelaskan oleh Departemen Sosial RI (2001:
2324), indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6
sampai 18 tahun.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai
anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.
2.2.2 Berdasarkan Pengelompokan
Menurut Surbakti dkk. (1997: 59), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis
besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: Pertama, Children on the street, yakni
anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak- di jalan, tetapi masih
mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka
dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya. Kedua, Children of the street, yakni anak-anak
yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara
mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka
tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab lari atau pergi
dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan
terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual. Ketiga, Children
from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan.
Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi
hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Salah
satu ciri penting dari kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi,
bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat
ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran
sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN,
2000: 2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu:
1) Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:
a) Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tuanya
b) 8 10 jam berada di jalanan untuk bekerja (mengamen, mengemis, memulung) dan sisinya
menggelandang/tidur
c) Tidak lagi sekolah
d) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun
2) Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria:
a) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
b) 8 16 jam berada di jalanan
c) Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua atau saudara, umumnya di daerah
kumuh
d) Tidak lagi sekolah
e) Pekerjaan: penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir, dll.
f) Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.
3) Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria:
a) Bertemu teratur setiap hari/tinggal dan tidur dengan keluarganya
b) 4 5 jam bekerja di jalanan
c) Masih bersekolah
d) Pekerjaan: penjual koran, penyemir sepatu, pengamen, dll
e) Usia rata-rata di bawah 14 tahun
4) Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:
a) Tidak lagi berhubungan/berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya
b) 8 24 jam berada di jalanan
c) Tidur di jalanan atau rumah orang tua
d) Sudah taman SD atau SMP, namun tidak bersekolah lagi
e) Pekerjaan: calo, mencuci bus, menyemir, dll.
Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis
Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Menurut Departemen
Sosial RI (2001: 2324), karakteristik anak jalanan pada ciri-ciri fisik dan psikis, yakni 1) Ciri
Fisik: warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak
terururs, dan 2) Ciri Psikis meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif,
berwatak keras, serta kreatif. Sedang menurut Departemen Sosial RI (2005: 5), anak jalanan
mempunyai ciri-ciri, berusia antara 5 sampai dengan 18 tahun, melakukan kegiatan atau
berkeliaran di jalanan, penampilannya kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus,
mobilitasnya tinggi.
Dari beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan
berdasarkan ciri-ciri fisik dan psikis mereka adalah:
1) Ciri-ciri fisik
a) Penampilan dan warna kulit kusam
b) Rambut kemerah-merahan
c) Kebanyakan berbadan kurus
d) Pakaian tidak terurus
2) Ciri-ciri psikis
a) Mobilitas tinggib) Acuh tak acuh
b) Penuh curiga
c) Sangat sensitif
d) Berwatak keras
e) Kreatif
2.2.4 Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga
Aktivitas utama anak jalanan adalah berada di jalanan baik untuk mencari nafkah maupun
melakukan aktivitas lain. Hal ini membuat intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga
mereka kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan
menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu:
1) Masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari
2) Frekuensi dengan keluarga sangat kurang
3) Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga
Selain itu, menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2000: 2-4),
intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orang tua, berhubungan tidak teratur dengan
orang tua, dan bertemu teratur setiap hari atau tinggal dan tidur bersama orang tua mereka.
Menurut Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62), beberapa macam intensitas anak
jalanan dengan keluarga mereka adalah: hubungan orang tua sudah putus, masih ada hubungan
dengan orang tua tetapi tidak harmonis, maupun pulang antara 1 sampai 3 bulan sekali. Dari
beberapa sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak jalanan berdasarkan
intensitas anak jalanan berhubungan dengan keluarga ada tiga macam, yaitu:
1) Masih berhubungan teratur dengan orang tua atau keluarga
2) Masih berhubungan dengan orang tua atau keluarga tetapi tidak teratur dengan frekuensi sangat
kurang
3) Sudah tidak berhubungan lagi dengan orang tua maupun keluarga.
2.2.5 Berdasarkan Tempat Tinggal
Anak jalanan yang ditemui memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut
Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya adalah:
1) Tinggal bersama orang tua
2) Tinggal berkelompok bersama teman-temannya
3) Tidak mempunyai tempat tinggal
Sedangkan menurut penelitian Departemen Sosial RI dan UNDP (BKSN, 2002: 13-15), beberapa
macam tempat tinggal anak jalanan adalah: menggelandang atau tidur di jalanan, mengontrak
kamar sendiri atau bersama teman, maupun ikut bersama orang tua atau keluarga yang biasanya
tinggal di daerah kumuh. Menurut BKSN(2000: 61-62), beberapa tempat tinggal anak jalanan
adalah:
1) bertempat tinggal di jalanan dan tidur di sembarang tempat seperti emper toko, kolong jembatan,
taman, terminal, maupun stasiun;
2) bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri atau bersama teman; dan 3) tinggal dan tidur
bersama orang tua atau wali.
Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan beberapa tempat tinggal anak jalanan adalah:
1) Tidak mempunyai tempat tinggal sehingga menggelandang dan tinggal di jalanan serta tidur di
sembarang tempat
2) Mengontrak sendiri atau bersama dengan teman
3) Tinggal bersama orang tua atau wali.
2.2.6 Berdasarkan Aktivitas
Dari definisi anak jalanan, dapat diidentifikasi bahwa anak jalanan menghabiskan
sebagian besar waktu mereka di jalanan. Berbagai macam aktivitas banyak dilakukan di jalanan.
Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut aktivitas yang
dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas: menyemir sepatu, mengasong,
menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan, menjadi
pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, menjadi penghubung atau
penjual jasa. Menurut Departemen Sosial RI (2002: 13-15), aktivitas yang dilakukan anak
jalanan di jalanan di antaranya adalah bekerja baik itu mengamen, mengemis, memulung,
menjual koran, mengasong, mencuci bus, menyemir sepatu, menjadi calo, dan menggelandang.
Selain itu Badan Kesejahteraan Sosial Nasional (2000: 61-62) menyebutkan bahwa beberapa
aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah bekerja sebagai pengamen, pemulung,
pengemis, penjual koran, pengasong, pencuci bus, penyemis, maupun calo; dan menggelandang.
Dari berbagai sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam aktivitas
anak yang dilakukan di jalanan di antaranya adalah untuk bekerja maupun sekedar
menggelandang. Aktivitas bekerja anak jalanan di antaranya adalah menyemir sepatu,
mengasong, menjadi calo, menjajakan koran atau majalah, mengelap mobil, mencuci kendaraan,
menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, menyewakan payung, dan menjadi
penghubung atau penjual jasa.
Aspek Regulasi Anak Jalanan
Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen keempat disebutkan bahwa "fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh negara". Perlindungan hak-hak anak juga diatur dalam
sejumlah undang-undang yang terkait yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 28 B ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua disebutkan "setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi".
Selanjutnya dijelaskan bahwa perlindungan terhadap anak dan kesejahteraan anak di
Indonesia telah tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 pasal 4 menyebutkan bahwa setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pada pasal 11 dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri (Redaksi Sinar Grafika, 2003:
6-7).
Dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2002 dijelaskan pula pada pasal 21 bahwa
negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak
asasi anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan
bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Undang-
Undang inilah yang menjadi dasar pemerintah untuk melindungi dan memberdayakan anak-anak
bangsa, tidak terkecuali anak jalanan yang notabene kurang memperoleh hak mereka sebagai
seorang anak.
Tahun 1990 Negara Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak kedalam Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On TheRights Of The
Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). Setelah peratifikasian dilakukan, maka secara hukum
menimbulkan kewajiban kepada negara Indonesia untuk mengimplementasikan hak-hak anak
tersebut.11 Akhirnya Tahun 2002 dibentuklah UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UUPA) yang disahkan dan diberlakukan di Indonesia pada tanggal 22
Oktober 2002. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 pada penjelasan umumnya menyebutkan
anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga
karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus
dijunjung tinggi.
Di Indonesia, Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak
Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan
diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Selain dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 sampai 34 dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, hukum di Indonesia juga telah membebankan kepada orang tua, keluarga,
dan masyarakat untuk bertanggung jawab dalam menjaga serta memelihara hak anak. Demikian
pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak. Negara maupun pemerintahbertanggung
jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak terutama dalam menjamin pertumbuhan
serta perkembangan anak secara optimal dan terarah. Dengan dikeluarkannya salah satu
pengaturan tentang anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak tersebut, diharapkan adanya kejelasan tentang batasan bagaimana anak dikatakan sebagai
pekerja atau bukan. Kerangka Konseptual anak jalanan sebagai berikut :
a. Menurut pasal 1 Konvensi Hak Anak, Anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun,
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagianak ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.13
b. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak mengatakan
anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
c. Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
d. Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang ada dalam kandungan.
e. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun,termasuk anak yang masih dalam
kandungan (pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
f. Anak adalah tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita bangsa, mereka memiliki peran
strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan negara pada masa yang akan datang. Anak agar
kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang
seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun
spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan.
Karenanya, segala bentuk tindakan kekerasan terhadap anak perlu dicegah dan diatasi.
g. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal
1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).
h. Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-
anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan
keluarganya.
i. Anak jalanan adalah seseorang yang berumur di bawah 18 tahun yang menghabiskan sebagian
atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan guna mendapatkan uang atau
mempertahankan hidupnya.
j. Anak jalanan adalah yang berusia di bawah 18 tahun yang sebagian besar waktu dan
aktivitasnya dihabiskan di jalanan. l. Anak jalanan adalah laki-laki atau perempuan yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja dan hidup dijalanan dan di tempat-tempat
umum seperti pasar, terminal, stasiun, dan taman kota.
k. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara (pasal 1 angka 12 UU Nomor 23
Tahun 2002).
Hak-hak anak ini diatur dalam pasal 4 sampai pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Hak-hak anak itu seperti:
b. Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
c. Hak untuk mendapatkan nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal5).
d. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat
kecerdasan dan usianya,dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).
e. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7
angka (1) ).
f. Hak untuk diasuh sebagai anak asuh atau diangkat sebagai anak angkat (Pasal 7 angka (2) ).
g. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8).
h. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya,
bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi
pengembangan diri (Pasal 11).
i. Hak untuk mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, serta
perlakuan salah lainnya (Pasal 13 angka (1) )
j. Hak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan
dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan
peperangan (Pasal 15).
3.2 Aspek Aktor atau Kelembagaan yang Terlibat dalam Penanganan Anak Jalanan
Mencermati permasalahan anak yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak,
atas inisiatif Departemen Sosial RI, Tokoh Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi non
Pemerintah dan Pemerintah, Media Massa, dan kalangan profesi serta dukungan United Nations
Childrens Fund (UNICEF), pada tanggal 26 Oktober 1998 dibentuklah Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak). Perlindungan anak di Indonesia dalam
penyelenggaraannya memiliki asas dan landasan yang kuat. Penyelenggaraan perlindungan anak
di Indonesia berasaskan pada Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 serta memiliki prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
yang meliputi:
d. Prinsip Non Diskriminasi. Prinsip ini artinya tidak membedakan anak berdasarkan asal usul,
suku, agama, ras dan sosial ekonomi.
e. Prinsip Kepentingan yang terbaik bagi anakPrinsip ini mempunyai arti bahwa dalam semua
tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah,masyarakat,badan legislatif,dan
badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
f. Prinsip untuk hidup,kelangsungan hidup dan perkembangan. Prinsip ini maksudnya hak asasi
yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga
dan orang tua.
g. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak. Penghormatan atas hak-hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapat dalam mengambil keputusan terutama jika menyangkut
hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Anak agar bisa menjadi generasi penerus keluarga
dan bangsa yang kuat, maka hak-hak mereka haruslah dilindungi oleh pihak-pihak yang
memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan perlindungan anak seperti orang tua, keluarga,
masyarakat, bangsa dan juga negara.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang
Berkeadilan ditetapkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai program prioritas
nasional yang meliputi Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita, Program Kesejahteraan Sosial
Anak Terlantar, Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan, Program Kesejahteraan Sosial
Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Kecacatan
dan Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Membutuhkan Perlindungan Khusus.
Departemen Sosial RI melalui Kementerian Sosial (2010: 10) meluncurkan Program
PKSA Kementerian Sosial RI dalam upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang
dilakukan pemerintah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial untuk memenuhi
kebutuhan anak meliputi subsidi kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial, penguatan
orang tua/keluarga dan lembaga kesejahteraan sosial. Selain itu, dalam pedoman pelaksanaan
PKSA Kementerian Sosial RI (2010: 10), dijelaskan pula bahwa PKSA dibagi menjadi 6
kelompok (kluster) program, yaitu:
a. Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB)
b. Program Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar (PKS-Antar)
c. Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS- Anjal)
d. Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum (PKS- ABH)
e. Program Kesejahteraan Sosial Anak dengan Kecacatan (PKS-ADK)
f. Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Perlindungan Khusus (PKS-AMPK)
Hal ini menunjukkan bahwa anak jalanan merupakan salah satu sasaran pemerintah
dalam Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) ini. Disebutkan pula dalam pedoman PKSA
Kementerian Sosial RI (2010:34) bahwa, lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang
menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak jalanan, seperti Rumah Singgah,
Rumah Perlindungan Anak dan lembaga sejenis lainnya.
Peran Kementerian Sosial dalam memberdayakan anak jalanan, Program dan kegiatan
Bidang Sosial dalam memberdayakan anak jalanan, Peran LSM dalam memberdayakan anak
jalanan, Hasil kemitraan antara Kementerian Sosial dalam memberdayakan anak jalanan.
Bimbingan LSM, rumah singgah ataupun lembaga sosial lainnya yang diberikan kepada anak
jalanan yaitu: a) bimbingan moral dan mental, b) bimbingan sosial, c) bimbingan hukum, d)
bimbingan agama, dan e) bimbingan kesehatan. Sedangan pelatihan yang diberikan kepada anak
jalanan meliputi: a) pelatihan otomotif, b) pelatihan mengemudi, c) pelatihan elektronika.
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang
desentralisasi pemerintahan daerah melakukan kerjasama dengan Dinas Kesehatan, Kementrian
Agama, Kepolisian, Dinas Pendidikan, dan Satpol PP dalam memberikan pembinaan dan
bimbingan anak jalanan. Sedangkan untuk kegiatan pelatihan, dinas Sosial dalam
memberdayakan anak jalanan membuat program dan kegiatan bidang sosial dalam
memberdayakan anak jalanan, LSM dalam memberdayakan anak jalanan dan hasil kemitraan
antara Kementerian Sosial, dinas sosial, SKPD dengan lembaga swadaya masyarakat atau
berbagai komunitas yang peduli terhadap pemberdayaan anak jalanan yang mengajak kalangan
profesional untuk bekerjasama, seperti lembaga pelatihan mengemudi, elektronika, dan otomotif
untuk memperbaiki masa depan anak jalanan dan mewujudkan kesejahteraan sosial disegala
aspek tatanan masyarakat.
3.3 Aspek Pendanaan
Sumber pendanaan tidak semata bertumpu pada APBN tetapi menggalang juga kerjasama
luar negeri, APBD, dan dukungan organisasi non-pemerintah dalam negeri maupun internasional,
termasuk sumber pendanaan Corporate Social Responsibilty.
Sumber dana untuk kegiatan pelatihan anak jalanan dipengaruhi oleh faktor pendorong
dalam pemberdayaan anak jalanan antara lain: a) adanya peran aktif LSM, b) koordinasi dengan
SKPD lain, c) tersedianya dana walaupun terbatas, d) adanya donatur dari masyarakat dan
swasta. Sedangkan faktor penghambat diantaranya: a) terbatasnya dana, sarana dan prasarana, b)
terbatasnya sumber daya manusia, dan c) rendahnya kesadaran anak jalanan untuk mengikuti
pelatihan.
Pengembangan Kemampuan Teknis Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) dalam
pelaksanaan program PKSA adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan personil dalam menyelenggarakan setiap tahapan pelayanan PKSA termasuk dalam
pencarian sumber pendanaan program. Upaya tersebut meliputi antara lain:
g. Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga sosial, nasional
maupun internasional
h. Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana kepada lembaga-lembaga usaha yang
memiliki kepedulian sosial, termasuk upaya pemanfaatan kewajiban penyisihan dana untuk CSR
(Corporate Social Responsibilities)
i. Pembuatan dan pengajuan proposal pencarian dana dari sumber Anggaran Pendapatan & Belanja
Daerah (APBD)
j. Penggalangan dana masyarakat

Solusi yang relevan untuk mengatasi makin pesatnya pertumbuhan angka keberadaan
anak jalanan Sejauh ini terdapat tiga model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang
berbeda:
1. Community Based adalah model penanganan yang berpusat di masyarakat dengan menitik
beratkan pada fungsi-fungsi keluarga dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhirnya adalah
anak tidak menjadi anak jalanan / sekalipun dijalan, mereka tetap berada dilingkungan keluarga.
Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan peningkatan pendapatan keluarga, penyuluhan dan
bimbingan pengasuhan anak, dan kesempatan anak untuk memperoleh pendidikan dan kegiatan
waktu luang.
2. Street Based adalah kegiatan dijalanan atau penjangkauan penanganan terhadap anak langsung
dilakukan ditempat anak tersebut sering berada, kegiatan ini berupa pendamingan terhadap anak
agar mendapatkan perlindungan dari orang yang berperan sebagai pengganti orang tuanya.
3. Centre Based adalah kegiatan di panti, untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya.
panti menjadi lembaga pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak seperti
kesehatan, pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal, pekerjaan dan
sebagainya.
4. Selther Based adalah model pendekatan dengan menggunakan rumah singgah sebagai transit
dari aktifitas sehari-hari anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai sasaran antara bag! anak
untuk kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
Program penanggulangan anak jalanan harus bersifat lintas sektoral, terpadu,
komprehensif dan holistik, hal tersebut mencakup :
a. Program penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu jajaran pemerintah daerah dan aparat
penegak hukum.
b. Program pencegahan yang mencakup program pengentasan kemiskinan pedesaan dan perkotaan,
program pcmbakuan dan penyediaan lapangan kerja melalui padat karya, program kesejahteraan
sosial serta program bantuan modal usaha.
c. Program penyembuhan dan pemulihan dengan pelaku utama Departemen Kesehatan,
Departemen sosial, Departemen Agama, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, dan
Departemen Pendidikan Nasional.
d. Program pemberdayaan melalui kegiatan pelatihan keterampilan dengan pelaku utama
Departemen sosial, Departemen Tenaga Kerja, Lembaga Swadaya Masyarakat, Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, dan Departemen Pendidikan Nasional.
e. Program penunjang yang mencakup kegiatan pendataan, identifikasi masalah, penyiapan sumber
daya masyarakat dan penyediaan sarana serta wahana pendukung seperti rumah tinggal, sarana
mobilitas dan pondokan.
Menurut Nugroho ada tiga pendekatan untuk mengatasi masalah anak jalanan,
yaitu:
1. Pendekatan Penghapusan (abolition)
Lebih mendekatkan pada persoalan struktural dan munculnya gejala anak jalanan.
Anak jalanan adalah produk dari kemiskinan, dan merupakan akibat dari
bekerjanya sistem ekonomi politik masyarakat yang tidak adil. Untuk mengatasi
masalah anak jalanan sangat tidak mungkin tanpa menciptakan struktur sosial yang
adil dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan kepada perubahan
struktur sosial atau politik dalam masyarakat, dalam rangka melenyapkan masalah
anak jalanan.
1. Pendekatan Perlindungan (protection)
Mengandung arti perlunya perlindungan bagi anak-anak yang terlanjur menjadi
anak jalanan. Karena kompleksnya faktor penyebab munculnya masalah
kemiskinan, maka dianggap mustahil menghapus kemiskinan secara tuntas. Untuk
itu anak-anakyang menjadi korban perlu di lindungi dengan berbagai cara,
misalnya:melalui perumusan hukum yang melindungi hak-hak anak.
Fungsionalisasi lembaga pemerintah, LSM dan lembaga-lembaga sosial lainnya.
Perlindungan ini senada dengan pendapat pemerintah melalui departemen sosial,
praktisi-praktisi LSM dan UNICEF di mana tanggal 15 Juni 1998 membentuk
sebuah lembaga independent yang melakukan perlindungan pada anak. Yaitu
lembaga perlindungan anak (LPA) membentuk LA tersebut didasarkan pada prinsip
dasar terbentuknya embrio LPA, yaitu:1) Anak di fasilitasi agar dapat melaporkan
keadaan dirinya.2) Menghargai pendapat anak.3) LPA bertanggung jawab kepada
masyarakat bukan kepada pemerintah.4) Accountability Menurut Nugroho, sisi
negatif dari pendekatan perlindungan tersebutadalah strategis perlindungan hanya
akan menjadi ajang kepentingan para elitdan tokoh masyarakat sehingga
berimplikasi pada tidak tuntasnyapenyelesaian problem anak jalanan. Produk-
produk hukum yang dirumuskan sebagai wujud bagi perlindungan terhadap anak.
1. Pendekatan Pemberdayaan (empowerment)
Menekankan perlunya pemberdayaan bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini
bermaksud menyadarkan mereka yang telah menjadi anak jalanan agar menyadari
hak dan posisinya dalam konteks social, politik ekonomi yang abadi di masyarakat.
Pemberdayaan biasanya di lakukan dalam bentuk pendampingan. Yang berfungsi
sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator bagi anak jalanan. Pemberdayaan ini
dikatakan berhasil jika anak jalanan berubah menjadi kritis dan mampu
menyelesaikan permasalahannya secara mandiri.
Selain itu ada cara lain yang mampu mengatasi masalah anak jalanan, yaitu sebagai
berikut:
1. Melakukan pembatasan terhadap arus urbanisasi (termasuk arus masuknya anak-
anak) ke Jakarta, dengan cara operasi yustisi, memperkuat koordinasi dengan
daerah asal, pemulangan anak jalanan ke daerah asal dll.
2. Melakukan identifikasi terhadap akar permasalahan guna menyelesaikan masalah
anak jalanan tersebut dengan menyentuh pada sumber permasalahannya. Sebagai
contoh: banyak diantara anak jalanan yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Jika ini yang terjadi, maka pemerintah tidak bisa hanya melatih, membina atau
mengembalikan si anak ke sekolah. Tapi lebih dari itu, pemerintah harus
melakukan pendekatan dan pemberdayaan ekonomi keluarganya.
3. Mengembalikan anak jalanan ke bangku sekolah.
4. Memberikan perlindungan kepada anak jalanan tanpa terkecuali. UU nomor 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan anak
perlu dilakukan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia
dan sejahtera.
5. Menciptakan program-program yang responsif terhadap perkembangan anak,
termasuk anak jalanan.
6. Melakukan penegakan hukum terhadap siapa saja yang memanfaatkan keberadaan
anak-anak jalanan.
7. Membangun kesadaran bersama bahwa masalah anak jalanan sesungguhnya
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
orang tua.

1. Pentingya Rumah Singgah

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah.
Konferensi Nasional II Masalah pekerja anak di Indonesia pada bulan juli 1996 mendefinisikan
rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anakanak
bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses
pembinaan lebih lanjut. Sedangkan menurut Departemen Sosial RI rumah singgah didefinisikan
sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah
singgah merupakan proses informal yang memberikan suasana pusat realisasi anak jalanan
terhadap system nilai dan norma di masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah
adalah membantu anak jalanan mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah:

a. Membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat.

b. Mengupayakan anak-anak kembali kerumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga
pengganti lainnya jika diperlukan.

c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan
masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting.
Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain:

a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja social dan anak jalanan. Dalam hal ini
sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan
pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.

b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagi tempat melakukan
diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan
social bagi anak jalanan.

c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti,
dan lembaga lainnya.
d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk
kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual
ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.

e. Pusat informasi tentang anak jalanan

f. Kuratif dan rehabilitatif, yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi social anak.

g. Akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus
akses kepada berbagai pelayanan sosial.

h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan


salah satu upaya mengenalkan kembali norma, situasi dan kehidupan bermasyarakat bagi anak
jalanan. Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat
terhadap penanganan masalah anak jalanan.

Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan
melalui program-program :

a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak
permanen.

b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan
berada atau langsung ke jalanan.

c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak
jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.

G. Kesejahteraan Sosial Anak dan Stabilitas

Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, karena itu pembinaan
dan pengembangannya (pemberdayaan) dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara
optimal bagi pembangunan bangsa dan negara.

Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas generasi bangsa (termasuk didalamnya anak
jalanan) tidak dapat dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya dan khususnya anak yang diwarnai dengan upaya pendalaman di bidang pendidikan,
kesehatan, keagamaan, budaya yang mampu meningkatkan kreativitas keimanan, intelektualitas,
disiplin, etos kerja dan keterampilan kerja.

Di sisi lain stabilitas nasional adalah gambaran tentang keaadan yang mantap, stabil dan
seimbang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan ditanganinya
dengan baik masalah anak jalanan akan memperkuat sendi-sendi kesejahteraan sosial serta
stabilitas nasional kita di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai