Anda di halaman 1dari 8

MEMANUSIAKAN ANAK JALANAN DARI PENGENALAN DIRI ANAK

Kata Pengantar
BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua di Asia Tenggara dengan penduduk miskin terbanyak,
setingkat lebih unggul dari Vietnam1. Salah satu indicator dari penduduk miskin adalah keberadaan anak
jalanan (Anjal) dan gelandangan-pengemis (Gepeng). Data stastistik Dinas Sosial pemerintah Propinsi
Jawa Timur menunjukkan bahwa jumlah populasi anjal dan Gepeng selalu mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dalam lima tahun terakhir2. Berdasarkan data Pemkot Malang tahun 2005 jumlah anak
jalanan sebanyak 555 anak, sedangkan tahun 2006 jumlahnya meningkat sebanyak 641 anak. Pada 2007
jumlah tersebut kembali meningkat menjadi 812 anak, atau meningkat sebanyak 78,9 % pada 2006-2007
dan meningkat sebanyak 15 % pada kurun 2005-2006. Di lain pihak jumlah keluarga pra sejahtera juga
mengalami peningkatan dari 18.680 KK pada tahun 2005 menjadi 19.555 KK sampai bulan Juni 2006.
Naiknya jumlah keluarga pra sejahtera diikuti dengan kenaikan jumlah anak terlantar di kota Malang,
tahun 2005 anak terlantar yang ada sebanyak 71.386 jiwa, sedangkan tahun 2006 menjadi 72.448 jiwa.

Banyak factor yang diduga turut menjadi penyebab dan penyubur keberadaan mereka di jalanan.
Menurut teori Sosiologi tentang masyarakat miskin atau kalangan kelas sosial menengah kebawah,
bahwa kekekalan status sosial tersebut merupakan hasil subkultur kelas sosial yang merupakan warisan
turun temurun. Anak-anak yang hidup dengan orang tuanya serta orang dewasa lainnya yang notabene
biasanya mereka jarang memiliki pekerjaan tetap dalam waktu lama, ekonominya tidak stabil,
memperoleh sesuatu dengan cara yang tidak benar, ritme hidup yang tidak teratur, perilaku criminal
menjadi hal yang biasa, maka anak tersebut tidak akan mempunyai perasaan malu dan risih untuk turut
mengikuti dan mewarisi apa yang dilakukan oleh lingkungannya.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dan swasta (Lembaga Swadaya Masyarakat) selama ini
untuk menekan angka peningkatan populasi mereka, diantaranya adalah pembekalan ketrampilan
otomotif, menjahit, handycraft, pemodalan usaha kecil, pendidikan formal maupun pendidikan luar
sekolah, sampai dengan upaya penampungan dalam asrama khusus, guna melancarkan program-
program pembinaan dan pemberdayaan lainnya5. Hasil yang nampak dari program tersebut menurut
beberapa hasil penelitian, baik yang dilakukan oleh Mustain dkk (1999) maupun oleh Irwanto (2002),
sebagian dari mereka telah mendapatkan berbagai macam ketrampilan dan tatacara berwirausaha,
sehingga bisa lepas dari rumah singgah dan menerapkan keilmuannya dengan membuka wirausaha
sendiri. Namun ternyata tidak sedikit juga dari mereka yang telah berwirausaha kemudian kembali pada
kehidupan jalanan dengan profesi sebagai pengamen dan pengemis lagi dengan berbagai factor
penyebab yang melingkupinya6. Hasil wawancara dengan salah satu pengasuh rumah singgah
menunjukkan bahwa alasan yang banyak dikemukakan oleh anak-anak adalah alasan merugi sehingga
tidak bisa melanjutkan usaha, sementara modal yang diberikan telah habis; alasan lain adalah karena
sepi tidak banyak menghasilkan uang sehingga mereka menjadi malas untuk melanjutkannya; ada juga
yang karena dipalak dan diancam oleh gelandangan lain yang lebih dewasa, sehingga mereka
menjadikan mereka trauma dan akhirnya kembali ke rumah singgah7.
Hasil penelitian Pudijogyanti (1988) dalam Tesisnya menunjukkan adanya salah satu penyebab kekalnya
anak jalanan hidup dalam lingkaran kehidupan jalanan dan kemiskinan, yaitu rendahnya self esteem. Hal
tersebut menunjukkan masih tingginya tingkat ketergantungan mereka terhadap gaya hidup jalanan,
penghasilan dari mengamen dan meminta dianggap lebih menjanjikan dari pada berwirausaha8. Upaya
lain yang telah dilakukan pemerintah guna menekan semakin meningkatnya jumlah anjal dan gepeng
adalah adanya Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan bahwa setiap warga negara harus
mempunyai tempat tinggal yang layak huni dan larangan untuk hidup menggelandang. Hal tersebut
diharapkan semakin mempersempit ruang gerak dan keberadaan anak jalanan dan orang-orang yang
hidup menggelandang tanpa tempat tinggal yang jelas. Ditambah dengan diberlakukannya Perda
tentang pelarangan pemberian uang terhadap pengemis maupun anak jalanan karena dianggap akan
menyuburkan keberadaan mereka. Namun belum juga menunjukkan hasil yang signifikan terhadap
penurunan jumlah mereka, sehingga masih diperlukan upaya lain untuk membantu mempercepat

Mengetahui tentang
program tersebut.

kehidupan anak jalanan


2. Untuk melihat factor
penyebab adanya anak jalanan
3. Untuk mengkaji apa itu anak
jalanan
Mengetahui tentang kehidupan
anak jalanan
2. Untuk melihat factor
penyebab adanya anak jalanan
3. Untuk mengkaji apa itu anak
jalanan
Mengetahui tentang kehidupan
anak jalanan
2. Untuk melihat factor
penyebab adanya anak jalanan
3. Untuk mengkaji apa itu anak
jalanan
. Mengetahui tentang kehidupan
anak jalanan
2. Untuk melihat factor
penyebab adanya anak jalanan
3. Untuk mengkaji apa itu anak
jalanan
. Mengetahui tentang kehidupan
anak jalanan
2. Untuk melihat factor
penyebab adanya anak jalanan
3. Untuk mengkaji apa itu anak
jalanan
Pembahasan

Pengertian Anak Jalanan


Terdapat yang menganggap anak jalanan bisa masuk ke area pekerja anak, tetapi
ada pula
yang menolaknya. Secara konseptual anak jalanan memang masuk ke dalam pekerja a
nak, tetapi
secara praktik anak jalanan lebih banyak diklaim sebagai gerombolan spesifik yang me
mpunyai
banyak perbedaan asal pekerja anak. oleh karena itu, anak jalanan ialah anak yang dip
aksa
keberadaannya oleh suatu keadaan (Hingga waktu ini, pengertian perihal anak jalanan
belum
mampu ditemukan secara kongkrit, serta belum terdapat keseragaman pendapat. bany
ak kata
atau sebutan yang ditujukan kepada mereka, seperti anak pasar, anak tukang semir, an
ak lampu
merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen, serta lain sebagainya (Seti
awan,
2007: 45).
Berdasarkan Pusdatin Kesos, Kementerian Sosial RI pada kaitannya menggunakan
penyajian data dasar Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), mendefinisik
an anak
jalanan menjadi anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar wak
tunya
untuk mencari nafkah serta berkeliaran di jalanan maupun kawasan-kawasan umum (S
uradi,
2011: 316). di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi merekan umum
nya
dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun umumnya d
ilepas
atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 hingga 21 tahun diklaim telah ma
mpu
bekerja atau mengontrak tempat tinggal sendiri bersama teman-temannya.
Selanjutnya, Lusk mendefinisikan anak jalanan merupakan “any girl or boy…for whom
the street (in the widest sense
of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, including
unoccupied dwellings, wasteland, etc) has become his or her habitual abode and/or sou
rce of
livelihood; and who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible ad
ults
[setiap anak perempuan atau laki-laki yang memanfaatkan jalanan (dalam pandangan y
ang luas
ditulis, meliputi tidak punya tempat tinggal, tinggal di tanah kosong, dan lain sebagainya
)
menjadi tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, dan tidak
dilindungi, diawasi atau
diatur oleh orang dewasa yang bertanggung jawab] (Setiawan, 2007: 45).
Sudiarja (1997:13), menyatakan bahwa sulit menghapus perkiraan awam bagi anak
jalanan, yang sudah terlanjur tertanam di masyarakat dimana mereka itu maling mungil,
anak
nakal, pengacau ketertiban, jorok dan mengotori kota.
Indrasari Tjandraningsih (1995:13), mengatakan bahwa anak yang bekerja secara
informal pada perkotaan yang lebih dikenal dengan anak jalanan, pula dilaporkan pada
kondisi
yang lebih rentan terhadap eksploitasi, kekerasan, kecanduan obat bius, dan
pemerkosaan.
Dari beberapa definisi tadi, terlihat jelas adanya perbedaan pada memandang persoala
n anak
jalanan inifaktor ekonomi, keharmonisan, keluarga, kriminalitas, serta sebagainya) yang
ia
sendiri tidak menghendakinya, sebagai akibatnya membentuk dirinya wajib mempertah
ankan
eksistensinya sebagai layaknya manusia dewasa untuk terus hidup dengan bekerja apa
saja,
dimana saja, serta kapan saja mereka mampu.
Tata Sudrajat (1999:lima) membagi anak jalanan dalam tiga grup berdasarkan korelasi
menggunakan orang tuanya, yaitu: Pertama, anak yang putus hubungan menggunakan
orang
tuanya, tidak sekolah, dan tinggal di jalanan (anak yang hidup di jalanan/ children the
street); ke
2, anak yang berhubungan tak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah, pulang ke or
ang
tuanya seminggu sekali, 2 minggu sekali, 2 bulan atau 3 bulan sekali, biasa disebut ana
k yang
bekerja di jalanan (children on the street ); Ketiga, anak yang masih sekolah atau telah
putus
sekolah, grup ini masuk kategori anak yang rentan menjadi anak jalanan (vulnerable to
be street
children).
Jika merunut pada kondisi anak jalanan pada negara lain, bukan hal yang tidak mungki
n
bisa terjadi juga di sini sebab kondisinya yang tidak jauh berbeda. ciri anak jalanan pad
a setiap
negara mempunyai beberapa kesamaan yang simpel untuk diamat
Faktor Adanya Anak Jalanan
Anak jalanan pada biasanya, menjadi persoalan sosial pada negara-negara
berkembang, termasuk di Indonesia. Banyak kita saksikan eksistensi anak jalanan di
sekitar perempatan lampu merah, pada bus-bus kota, di depan pertokoan, dan di rongg
a
bawah jembatan. Hal ini sebagai persoalan sosial bangsa yang wajib segera
diselesaikan.
Eksistensi anak jalanan ialah dampak langsung dari pemenuhan kebutuhan yang
tidak terpenuhi. Anak yang adalah bagian dari keluarga, tidak bisa memenuhi kebutuha
n
fisik, psikis, sosial, serta spiritualnya. Anak tidak tercukupi kebutuhan makan,
pendidikan, rasa nyaman, sampai tidak bisa menjalankan fungsi sosial sebagai anak
secara lumrah. oleh karenanya, anak melakukan upaya dengan cara mereka untuk
memenuhi kebutuhan dimaksud. untuk itu, anak-anak melakukan upaya mencari
pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, sosial, serta spiritualnya dengan cara turun ke jalan,
sebagai anak jalanan. Artinya, yang menjadi faktor primer dalam munculnya anak
jalanan
artinya aspek ekonomi.
Untuk mengetahui syarat sosial ekonomi keluarga, perlu diketahui aspek
pendukungnya. Aspek sosial ekonomi yang dimaksud di sini ialah pendidikan, pekerjaa
n
serta pendapatan (ekonomi), pula tradisi (Suyanto, 2010: 198), sebagaimana diuraikan
di
bawah ini:
a. Pendidikan
Pendidikan ialah hal yang sangat krusial pada kehidupan bermasyarakat serta
bernegara. Oleh karena itu, dengan pendidikan diharapkan setiap rakyat bisa memakai
logika pikirannya secara sehat, menjadi upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Intinya, pendidikan adalah hal sangat krusial dalam kehidupan manusia, baik
berasal dari individu maupun dalam warga. sebab pendidikan ialah kondisi untuk
menjadi
manusia berkualitas. Selain itu dengan memiliki pendidikan, masyarakat secara individu
mampu menaikkan status sosial ekonomi warg

Anda mungkin juga menyukai