Anda di halaman 1dari 11

KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN DAN

SULAWESI
SEJARAH INDONESIA
Kerajaan Islam di Kalimantan

1. Kesultanan Pasir (1516).


Kesultanan Paser (yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas) adalah sebuah
kerajaan yang berdiri pada tahun 1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang
dinamakan Putri Di Dalam Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten
Paser yang ada sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara, Balikpapan dan
Pamukan. Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Paser 30.000 jiwa.

2. Kesultanan Banjar (1526-1905).


Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk Islam 24
September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24
Januari 1905) adalah sebuah
kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia.
Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan
sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu
Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan
Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan
Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan,
Hulu Sungai Selatan.

3. Kesultanan Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan
Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah
yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun
1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637,
tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin
(Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya
tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya
Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.

4. Kerajaan Pagatan (1750).


Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah
Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah
Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan
wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar
Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
5. Kesultanan Sambas (1675).
Kesultanan Sambas adalah kesultanan yang terletak di wilayah pesisir utara Propinsi
Kalimantan Barat atau wilayah barat laut Pulau Borneo (Kalimantan)dengan pusat
pemerintahannya adalah di Kota Sambas sekarang. Kesultanan Sambas adalah penerus dari
kerajaan-kerajaan Sambas sebelumnya. Kerajaan yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau
Kalimantan ini telah ada paling tidak sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam
Kitab Negara Kertagama karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek"
yaitu salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M
muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena
kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan setelah itu selama
puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau mengangkat Raja lagi. Pada masa
kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas inilah kemudian pada awal abad ke-16 M
(1530 M) datang serombongan besar Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang
diperkirakan adalah Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa
(Jawa bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan Demak
ke-3 yaitu Sultan Trenggono.

6. Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.


Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300
oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun
2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta
yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22
September 2001.

7. Kesultanan Berau (1400).


Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Kabupaten
Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14 dengan raja pertama yang memerintah
bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama
Baddit Kurindan dengan gelar Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati,
Kecamatan Gunung Tabur. Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13, Kesultanan Berau
terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan Sambaliung.Menurut
Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-
afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8

8. Kesultanan Sambaliung (1810).


Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari pemecahan Kesultanan Berau,
dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun
1810-an. Sultan Sambaliung pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama
Raja Alam. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan
Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji
Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya
lagi bernama Pangeran Dipati. Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara
keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan
pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan
Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma. Raja
Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota kerajaannya di
Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung).

Kesultanan Gunung Tabur (1820). Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan yang
merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu
Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Kesultanan ini sekarang
terletak dalam wilayah kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.

9. Kesultanan Pontianak (1771).


Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh penjelajah dari Arab
Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah
dari Imam Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan
putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Ratu Syarif
Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I).Setelah mereka mendapatkan tempat di
Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan
Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

10. Kerajaan Tidung


Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah
kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang berkedudukan di Pulau
Tarakan dan berakhir di Salimbatu.

11. Kesultanan Bulungan(1731).


Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah
pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan
sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar
Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah
Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).

 Search

7 Kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku Beserta Penjelasannya


October 11, 2017 by Orang Hebat

Agama Islam menyebar ke seluruh Nusantar di mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi
dan Kemudian Maluku. Masuknya agama Islam di Sulawesi tidak lepas dari kerajaan-kerajaan
yang berada di Sulawesi. Bisa dikatakan bahwa kerajaan adalah kunci utamanya rakyat.

Apabila raja sudah menentukan maka, biasanya rakyatnya akan mengikuti. Kerajaan-kerajaan
Islam di Sulawesi antara lain Bone, Luwu, Soppeng, Gowa, Tallo, dan Wojo. Sebenarnya
kerajaan-kerajan tersebut pada awalnya bercorak Hindu.

Namun, setelah Kerajaan Gowa dan Tallo memeluk agama Islam. Kerajaan-kerajaan lain yang
ada di Sulawesi juga ikut memeluk agama Islam. Kerajaan Gowa-Tallo memiliki peran sejarah
yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Sulawesi.
Selain itu, kerajaan Gowa-Tallo juga berperan dalam perdagangan regional dan Internasional.
Proses Islamisasi di Sulawesi terjadi karena adanya jalinan hubungan baik ekonomi dan politik.
Dan kepentingan kerajaan dengan pihak di luar Pulau Sulawesi.

Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang


berlangsung waktu itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur
perdagangan. Seperti juga penyebaran agama Islam waktu di Sumatera, juga melalui pedagang-
pedagang dari Timur Tengah.

Kali ini saya akan membahas tentang kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi, yang sebelumnya
juga saya memaparkan kerajaan islam di Sumatera dan Jawa. Berikut ini kerajaan-kerajaan Islam
di Sulawesi :
Contents [hide]
 1 Kerajaan Gowa-Tallo
 2 Kerajaan Wajo
 3 Kerajan Ternate dan Tidore
o 3.1 Kerajaan Ternate
 3.1.1 Kemunduran Kerajaan Ternate
o 3.2 Kerajaan Tidore
 3.2.1 Kemunduran Kerajaan Tidore
 4 Kerajaan Bone
 5 Kerajaan Konawe
o 5.1 Share this:
Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya adalah dari suku bangsa
Makassar (Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu,Bone, Soppeng dan Wojo). Gowa dan Tallo
merupakan kerajaan yang memiliki hubungan baik.

Kerajaan ini juga dikenal dengan sebutan kerajaan Makassar. Kerajaan Gowa dan Tallo terletak
di daerah Sulawesi Selatan. Secara geografis daerah Sulawesi Selatan ini memilik posisi yang
sanagat bagus. Karena dekat dengan jalur pelayaran perdagangna Nusantara.

Selain itu, Makassar juga menjadi pusat persinggahan para pedagang, baik yang dari jalur Barat
maupun Timur. Hal ini mengakibatkan kerajaan Makassar berkembang menjadi besar dan
berkuasa atas jalur perdagangan Nusantara. Kerajaan Gowa Tallo memiliki pengaruh
dalam kerajaan Islam di Indonesia.
Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lain
yang ada di Sulawesi Selatan. Seperti dengan kerajaan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo dikalahkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo.

Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng melaksanakan persatuan. Untuk mempertahankan
kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellum Pocco, sekitar tahun 1582. Sejak Kerajaan
Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada tahun 1605, Gowa meluaskan pengaruh
politiknya.

Kerajaan-kerajaan yang patuh kepada Kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Wajo pada 10 Mei 1610,
dan Bone pada 23 Nopember 1611. Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan dilakukan oleh
para mubaligh yang disebut dengan Dato’ Tallu.

Baca juga: Sejarah Internet di Indonesia dan Dunia Beserta Penjelasannya

Antara lain Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’
Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Itulah
para Dato’ yang mengislamkan raja-raja kerajaan Islam di Sulawesi pada waktu itu.

Yaitu raja Luwu Dato’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad. Beliau
masuk islam pada tanggal 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Raja Gowa dan Tallo
yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng
Tallo).

Beliau masuk islam pada Jumat sore, tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M
dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ Rangi Daeng Manrabbia.
Beliau masuk Islam pada Jumat, tanggal 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Dalam sejarah kerajaan Gowa, Perjuangan sultan Hasanuddin dalam mempertahankan
kedaulatannya melawan penjajah VOC sangat gencar. Peristiwa peperangan melawan VOC terus
berjalan dan baru berhenti sekitar tahun 1637-1678 M. Perang ini berhenti setelah terjadi
perjanjian Bongaya pada tahun 1667. Dan perjanjian ini sangat merugikan bagi pihak Gowa dan
Tallo.

Kerajaan Wajo
Menurut sumber sejarah kerajaan Wajo yang terdapat di hikayat Lontara Sukkuna Wajo.
Menceritakan bahwa Kerajaan Wajo ini didirikan oleh tiga orang anak raja dari Kampung
tetangga Cinnotta’bi. Yang berasaal dari keturunan dewa yang mendirikan
Kampung Cinnotta’bi. Dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian bangsa Wajo. Antra lain,
Batempola, Talonlereng dan tua.
Kepala keluarga mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Sejak saat itu,
raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun. Namun, melalui pemilihan dari seorang keluarga raja
menjadi arung matoa (raja utama ).
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan
tiga pa’betelompo (pendukung panji). 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan tiga duta. Sehingga
jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang, mereka itulah yang memutuskan segala perkara.
Kerajaan Wajo memperluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang sangat
besar.
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan oleh kerajaan Gowa dalam upaya memperluas agama Islam,
dan tunduk pada tahun 1610. Diceritakan juga pada hikayat tersebut bahwa bagaiman Dato’
Ribandang dan Dato’ Sulaeman mengajarkan agama Islam, terhadap raja-raja Wajo dan
rakyatnya. Dato’ Ribandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran tentang masalah kalam
dan fikih.

Pada tahun 1643, 1660 dan 1667, kerajaan Wajo sering membantu kerajaan Gowa pada
peperangan baru dengan kerajaan Bone. Kerajaan Wajo juga pernah di taklukan oleh kerajaan
Bone. Tetapi karena didesak, maka kerajaan Bone takluk kepada kerajaan Gowa dan Tallo.

Kerajan Ternate dan Tidore


Secara geografis kerajaan Ternate dan Tidore memiliki tata letak yang sanagt strategis dalam
dunia perdagangan pada waktu itu. Kedua kerajaan ini terletak di pulau Maluku.
Baca juga: 25+ Kerajaan Islam di Indonesia Beserta Sejarah Perkembangannya

Pada zaman dahulu, kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar di dunia.
Sehingga di juluki sebagai “The Spice Island”. Rempah-rempah menjadi barang dagangan utama
dalam dunia pelayaran perdagangan pada waktu itu.
Kerajaan Ternate

Kerajaan Ternate berdiri pada abad ke 13 di Maluku. Ibu kota kerajaan Ternate terletak di
Sampalu (Pulau Ternate). Selain kerajaan Ternate, di Maluku juga ada kerajaan lain, seperti
Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi.

Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang paling maju diantara yang lainnya. Sehingga
kerajaan Ternate banyak di kunjungi oleh para pedagang. Baik itu dari Nusantara maupun dari
pedagang asing.

Kemunduran Kerajaan Ternate


Kemunduran kerajaan Ternate ini disebabkan karena diadu domba dengan kerajaan Tidore.
Pelaku adu dombanya adalah bangsa-bangsa asing (Portugis dan spanyol). Yang bertujuan untuk
memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut.

Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis
dan Spanyol. Kemudian mereka bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol keluar
pulau Maluku.

Tapi kemenangan tersebut tidak beratahan lama, sebab VOC menguasai perdagangan rempah-
rempah di Maluku. VOC juga menaklukan kerajaan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang
teratur, rapi dan terkontrol.
Kerajaan Tidore

Kerajaan Tidore terletak disebelah Selatan Ternate. Menurut silsilah raja-raja Ternate dan
Tidore, raja pertama Ternate adalah Muhammad Naqal yang naik kedudukan pada tahun 1081
M. Agama Islam masuk di kerajaan Ternate pada tahun 1471 M, yang dibawa oleh Ciriliyah
(raja Tidore ke-9). Proses Islamisasi kerajaan Tidore dilakukan oleh Syekh Mansur dari Arab.

Kerajaan Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku pada tahun
1780-1805 M. Sultan Nuku dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan
Belanda dengan bantuan Inggris.

Dalam peperangan melawan Belanda, akhirnya Ternate dan Tidore berhasil mengusir Belanda
dari Maluku. Semantar itu, Inggris tidak mendapat apa-apa, hanya saja hubungan dagang biasa.
Sultan Nuku ini memeng cerdik, berani, ulet dan selalu waspada.

Setelah berhasil mengusir belanda dan bangsa asing lainnya, kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Dan bisa merebut kembali daerah-daerah yang dulunya dikuasai oleh bangsa asing.
Meliputi pulau seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai dan Papua.

Kemunduran Kerajaan Tidore


Kemunduran Kerajaan Tidore ini juga seperti kemunduran kerajaan Ternate. Sama-sam di adu
domba oleh bangsa asing (Portugis dan Spanyol). Dan Tujuannya pun sama dengan kemunduran
kerajaan Ternate.

Kerajaan Bone
Proses Islamisasi Kerajaan Bone tidak terlepas dari Islamisasi Kerajaan Gowa. Sultan Alauddin
(raja ke-14 Gowa) melakukan penyebaran islam secara damai. Pertama-tama yang beliau
lakukan adalah dakwah islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga.

Islam Masuk di Bone pada masa raja La Tenri Ruwa pada tahun 1611 M, dan dia hanya berkuasa
selama tiga bulan. Karena, Beliau telah menerima islam sebagai agamanya. Padahal dewan adat
Ade Pitue bersama rakyatnya menolak ajaran agama Islam.

Baca juga: Biografi Singkat Ir. Soekarno Sang Proklamator dan Pahlawan Indonesia

Perlu diketahu, bahwa sebelum Sultan Adam Matindore Ri Bantaeng dan La Tenri Ruwa masuk
Islam. Ternyata sudah ada rakyat Bone yang telah berislam lebih duluan. Bahkan, Raja
sebelumnya yaitu We Tenri Tuppu karena mendengar sidendreng masuk agama islam.

Beliau pun tertarik belajar agama Islam dan akhirnya wafat disana. Sehingga, beliau diberi
gelar Mattinroe Ri Sidendren.
Kerajaan Konawe
Islam Masuk di Kerajaan Konawe pada akhir abad ke 16. Dan kurang lebih 16 tahun setelah
kesultanan Buton menerima Islam. Islam masuk di kerajaan Konawe secara tidak resmi pada
masa pemerintahan Tebowo.

Islam masuk didaerah-daerah pesisir Pantai, yang langsung berhubungan dengan pedagang-
pedagang dari luar. Tapi, agama Islam yang dibawa oleh para pedagang belum dapat diterima
secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe. Karena masyrakat pada umumnya masih
menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Pada masa pemerintahan Mokole Lakidende (raja Lakidende II) sekitar abad ke -18 M. Agama
Islam mulai diterima secara luas oleh masyarakat kerajaan Konawe. Mokole Lakidende ini
mendapat gelar Sangia Ngginoburu, karena beliau sebagai raja Konawe yang memeluk Islam
pertama kali.

Pada saat pemerintahan ayahnya, Maago Lakidende sudah belajar agama Islam dipulau
Wawonii. bahkan ketika beliau diangkat menjadi raja di konawe beliau tidak berada di tempat
kerajaan, tetap sementara di pulau Wawonii.

Setelah selesai belajar di Wawonii, beliau melanjutkan memperdalam seni baca Al-Qur’an di
Tinanggea. Selama memperdalam pengetahuan agama Islam. Pelaksana sementara raja Konawe
dialihkan ke Pakandeate dan Alima Kapita Anamolepo.

Mereka menjadi pejabat sementara pada abad yang sama (Ke-18). Kemudian dilanjutkan oleh
Latalambe, Sulemandara merangkap pelaksana sementara raja Konawe. Dan We Onupe menjadi
pejabat sementara, masing-masing pada abad ke-19.

Anda mungkin juga menyukai