Anda di halaman 1dari 3

Masyarakat Agresif

(Dipublish di Qureta.com tanggal 16 September 2017)

http://www.qureta.com/post/masyarakat-agresif

Perilaku Agresif mudah kita jumpai pada pribadi-pribadi yang frustasi secara psikologis,
dan kelompok sosial yang sedikit memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Kecemasan dan
keputusasaan mendorong manusia ingin “survive” menghadapi konflik baik secara individual
maupun kolektif (spesies). Namun tak jarang cara-cara perilaku survive yang dilakukan justru ini
memantik konflik baru mengarah budaya sadisme.

Sepanjang sejarah umat manusia, pola pergulatan konflik timbul tenggelam tak pernah
final sepanjang hayat. Konflik akan terus terbangun dan membelenggu setiap makhluk.
Adakalanya ia bisa diredam, namun tak jarang konflik justru mengeksploitasi hasrat untuk
melukai orang dan memunculkan praktik-praktik menyimpang layaknya persekusi. Lantas,
Apakah yang dimaksud persekusi?

Persekusi adalah perlakuan buruk atau penganiyaan secara sistematis oleh individu atau
kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan
politik. Persekusi dibaca sebagai bentuk krisis kemanusiaan atas tubuh yang paling fatal.

Saya tak akan ceroboh mengatakan bahwa dulu tidak pernah ada gejala persekusi dalam
masyarakat. Rentetan catatan kekerasan masalalu selalu siap mencabik ingatan kolektif setiap
warga Indonesia atas tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa negeri ini. Bahkan, sebagian
besar belum dituntaskan! Namun sungguh kepopuleran praktik persekusi dan penyakit main
hakim sendiri dewasa ini benar benar mencapai kriris yang kian memburuk. Mengapa demikian?

Sayembara Persekusi
Abi Qowi Suparto, pemuda 20 tahun, tewas diduga dikeroyok orang-orang dari toko
Rumah Tua Vape. Dia dituduh mencuri vape senilai Rp 1,6 juta dari toko tersebut. Seolah hilang
kewarasan, para pelaku memilih tak melaporkan pencurian itu ke polisi. Ironis, mereka
justru membuat sayembara di Instagram dengan memasang foto dan identitas Abi sebagai
pencuri vape di akun Instagram @rumahtuavape dengan hadiah Rp 5 juta.

Fenomena sayembara persekusi ini mengingatkan kita pada pola-pola perburuan disertai
hadiah yang tidak lazim. Benarkah kita sebenarnya adalah manusia pemburu? Mengingat fakta
bahwa secara historis manusia adalah para pemburu yang ulung. Washburn menyebutnya
“psikologi karnivora” untuk dorongan atau kegemaran membunuh yang dimiliki manusia secara
naluriah. Ia memiliki kenikmatan ketika melakukan pemburuan dan pembunuhan.
Apapun itu, reaksi yang ditunjukkan pembuat sayembara saya rasa sudah diluar rambu-
rambu kemanusiaan. Jika membunuh dianggap sebagai kegemaran, maka kini tidak usah
bertanya lagi kenapa manusia menjadi begitu keji dan berhasrat menjadi pemangsa atas
sesamanya (homo homini lupus) ?

Apabila diperhatikan, menarik menyimak beragam persepsi masyarakat terhadap kasus


sayembara persekusi ini. Diantara mereka yang mengecam terdapat salah satu komentar dari
netizen yang tak kalah gilanya dengan pelaku sayembara persekusi, ia menuliskan:“ Makanya
jangan mencuri kalau tidak mau dihajar massal sampe meninggal!!!.”

Seketika saya sadar bahwa sebagian masyarakat kita masih terjebak dalam perilaku
primitif yang tidak beradab. Jadi bagaimana bisa praktik kekerasan semacam ini masih dianggap
tindakan yang sah dan bisa dibenarkan? Jelas ini menunjukkan kecenderungan bahwa betapa
penegakan hukum mudah dilupakan dan kurang dipercaya untuk mampu mengakomodasi
permasalahan masyarakat

Pesta perayaan Kematian


Adakah syarat tertentu jika ingin menggelar sebuah pesta perayaan? Ritual perayaan
sejatinya bentuk apresiasi atas prestasi atau wujud kebanggaan yang identik dengan suasana
kebahagiaan. Namun apabila tradisi perayaan semacam ini ditujukan untuk penganiayaan,
kebrutalan, kekejian, dan pesta kekerasan massal berujung kematian, pantaskah hal demikian itu
dirayakan oleh umat manusia?

Secara alamiah, kematian bagi manusia memang bersifat universal. Apa-apa yang ada
akan tiada, dan yang hidup akan mati. Hakikat kematian alamiah sebagai kuasa Tuhan Namun
proses kematian ini nyata-nyata bisa dipercepat yakni melalui tangan-tangan manusia yang
merasa mampu menjadi wakil Tuhan. Persekusi dibaca sebagai ritual merayakan kematian
dengan mengorbankan hak hidup orang lain. Mereka menjadi wakil wakil tuhan atau bahkan
tuhan lain dari yang mereka imani.

Tidak berlebihan menganggap persekusi sudah di”pesta”kan, toh setiap saat kasus-kasus
persekusi terus menghiasi wajah laman berita media sosial tak habis-habisnya. Untuk melukis
seberapa parah penyakit hukum rimba masyarakat dewasa ini, mari sejenak berkaca pada kasus-
kasus yang mengebiri kemanusiaan akhir-akhir ini:

Pada 30 juli 2017 lalu, media sosial dihebohkan dengan adanya orang yang dibakar oleh
warga hidup-hidup di Babelan, Kabupaten Bekasi. Pria yang diduga maling itu meregang nyawa
setelah mengalami luka bakar hingga 80 persen. Bayangkan, manusia membakar manusia yang
lain atas nama keadilan!

Sekarang mari beralih ke kasus lain, dimana kasus persekusi tidak tunggal namun
melibatkan ormas agama. Pada bulan juni 2017 masih segar dalam ingatan kita tentang praktik
persekusi berupa pengeroyokan terhadap seorang remaja dikerumuni belasan orang karena
dituduh mengolok-olok salah satu ormas keagamaan beserta pimpinannya.

Nah, di era pluralisme apakah kita masih akan terjebak dalam pragmtisme perbudakan
dan penindasan tubuh?. Tubuh manusia bukanlah barang sehingga dalam kondisi inilah konsep
hak atas tubuh dasar yang kuat untuk dilindungi. Jangankan untuk disakiti individu lain, terhadap
dirinya sendiri terdapat pembatasan penggunaan tubuh oleh diri manusia. Tubuh dan nyawa
seperti sebuah kesatuan dimana terdapat satu nilai yang harus diterapkan yakni nilai
kemanusiaan.

Menolak Hukum Rimba

Menyitir kalimat dari Yuval Noah Harari : “orang bisa menjadi raja, menjadi Tuhan jika
sudah bisa menakhlukkan 3 hal, pertama adalah bencana kelaparan, bencana penyakit dan
terakhir bencana kematian.” Diprediksi, apabila telah sanggup mengatasi ketiga problem
tersebut maka manusia tidak lagi membutuhkan segala aturan dalam berpraktek kehidupan
sebagai makluk hidup. Jika sudah demikian akankah manusia masih membutuhkan nilai-nilai
kemanusiaan?

Pada kasus warga Bekasi yang dibakar kita bisa belajar bahwa betapa kekecutan hati dan
ketidakpercayaan akan keadilan dan hukum di negeri ini merupakan sebab orang berdalih
menjadi algojo-algojo persekusi dibanding meyerahkan persoalan pada pihak berwajib. Hukum
sebagai wadah praktik praktik realisasi keadilan tertinggi nyatanya tak mampu selalu menjaga
kepatuhan masyarakat.

Pengadilan massal melalui persekusi hukum rimba adalah bentuk kejahatan kemanusiaan
yang paling kritis. Sekalipun benar orang tersebut adalah maling, tetap saja tidak ada seorangpun
berhak menggelar pengadilan sepihak atas manusia dengan penghakiman biadab.

Declaration of Human rights 1958 jelas mengakui Kepemilikan tubuh individu dalam
ruang privat sebagai individu seutuhnya atau dalam ruang publik. Di Indonesia, sebenarnya telah
disediakan pasal-pasal untuk menjerat pelaku persekusi, misalkan Pasal 80 ayat 1 jo Pasal 76c
UU nomor 35 tahun 2014 untuk perlindungan anak, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan,
Pasal 368 tentang pemerasan dan pengancaman, Pasal 351 tentang penganiayaan.
Patut direnungkan, sebagai upaya preventif menaggulangi persekusi dapat dimulai
dari membangun kesadaran apakah kita memilih menjadi masyarakat yang cerdas dan patuh dan
memanfaatkan bantuan hukum sebagai alat penjaga eksistensi hak atas tubuh manusia? Atau
justru memilih untuk main hakim sendiri dan menjunjung tinggi kedaulatan hukum rimba?

Anda mungkin juga menyukai