Anda di halaman 1dari 2

MEDIA BARU DAN DEMOKRATISASI

“New media”, kata Martin Lister dalam New Media: A Critical Introduction, “…refers to a wide range of
changes in media production, distribution and use”(2003:13). Sedangkan Nicholas dan Bryan dalam
Dictionary of Media Studies menyatakan media baru sebagai:”Communication based upon digital
technology and acces to the internet” (2007:243).”Selama tiga dasawarsa”,lanjut mereka, “produksi,
distribusi dan komsumsi semua jenis media, telah berubah melalui teknologi komunikasi dan informasi
baru. Disebut media baru karena trennya sudah berbeda dengan media lama yang sering disebut media
massa:film, radio, suratkabar dan televise yang bersifat massal, linear dan atomistik.

Ada beberapa karaktersitik media baru yang membedakannya dengan media lama. Pertama, bahwa
media baru bersifat digital atau computer-mediated communication sehingga sering dianalogkan juga
dengan teknologi komunikasi digital. Kedua, cara distrubusi dan konsumsi baru melalui data base yang
menggabungkan teks, gambar, dan bunyi sehingga disebut dengan hypertext. Bila dulu pendistribusian
bersifat massal, satu arah dan asimetris, maka sekarang berubah menjadi interaktif, equal dan dari
khalayak pasif ke aktif. Ketiga, media baru disebut dispersal yakni informasi yang ada semakin
terdistribusikan secara lebih merata sehingga posisi individu menjadi lebih sentral. Keempat, media baru
bersifat virtual yakni berkembang lewat dunia maya. Bila dalam media lama lingkungannya bersifat fisik,
maka pada media baru lingkungannya bersifat virtual (maya).

Munculnya media baru telah mempersempit media lama dalam memperluas pasar, melakukan
penetrasi dan intensitas pengaruhnya yang semakin lemah. Akibatnya banyak pengelola media lama
melakukan berbagai adaptabiitas dengan berbagai upaya konvergensi dan aliansi bisnis. Meski
demikian, media baru telah memberi pilihan-pilihan yang lebih murah, efisien dan mudah kepada
khalayak. Tren demikian digambarkan oleh Neuman (1991:53) dengan kata-kata sebagai berikut:”New
media technologies alter the flow and increase the volume of social communication by decreasing the
cost and distance sensitivity of moving information; increasing the speed and volume of communication ;
increasing channel diversity and user control over content; increasing possibilities for two way
communication”.

Lalu apa hubungan media baru dengan proses demokratisasi? Untuk menjawab pertanyaan
ini, diperlukan identifikasi terlebih dahulu apa fungsi dan makna dan fungsi demokrasi. Bila
demokrasi disebut pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka posisi rakyat
harus memiliki kedaulatan yang tinggi. Dalam demokratisasi refresentatif, hak dan kedaulatan
rakyat sudah dimandatkan kepada wakilnya di eksekutif atau legislative. Maka terbentuklah
suprastruktur politik yang tugasnya memeroses dukungan dan permintaan publik melalui
berbagai kebijakannya. Inilah yang disebut Almond dan Verba sebagai political output
(kebijakan politik) berupa keluarnya Kepres, Inpres dan perundangan lainnya.

Permintaan (demand) dan dukungan (support) biasanya datang dari “bawah” yang disebut
dengan infrastruktur politik. Partai politik, kelompok penekan (pressure group) dan kelompok
kepentingan (interest group). Dalam system politik yang liberal-demokratis apalagi dengan
jumlah partai yang banyak dan pengelompokan masyarakat yang juga plural, aspirasi rakyat
akan sangat beragam sehingga proses pembentukan opini public membutuhkan waktu yang
relative lama. Namun, kestabilan pemerintah dan legitimasinya akan sangat tergantung pada
seberapa jauh penguasa (the rulling elite) menampung aspirasi mereka. Inilah yang disebut
dengan proses input politik (political input).

Dalam konteks hubungan input dan output politik ini, posisi dan peran baik media massa
maupun media baru, sangat strategis. Posisi media terletak di antara input dan output politik
yang perannya sering disebut, meminjam istilah Habermas sebagai public sphere (ruang publik).
Di ruang ini, setiap gagasan atau aspirasi bebas dari individu, kelompok “diadu” dalam
panggung terbuka, termasuk mempersoalkan sebuah kebijakan publik. Dalam media lama atau
media massa, fungsi media bukan sekedar memberi informasi dan mendidik dalam arti sempit,
melainkan membuka ruang perdebatan publik dalam iklim “free-market ideas”. Yang lebih
istimewa dari media baru adalah bahwa pesan tidak lagi satu arah (one way traffic of
communication) tetapi lebih bersifat dua arah (two way traffic of communication) karena sifat
media baru bersifat interaktif atau dialogis daripada monologis.

Kalau demokrasi itu secara kultural diartikan “liberty, equality dan fraternity”, maka media
baru akan mampu menjadi katalisator yang lebih otentik atas prinsip-prinsip tadi disbanding
media lama. Nilai-nilai demokrasi yang bertolak dari penghargaan terhadap pluralism,
persamaan, pemerataan, penghargaan terhadap otoritas dan kemerdekaan individu adalah
pilar-pilar penting apakah sebuah demokrasi dijalankan atau tidak. Dengan titk-tolak pemikiran
di atas, maka dapat dengan terang tergambar bagaimana hubungan media baru dengan
demokratisasi.

Pertama, akses yang lebih murah dan cepat dari media baru akan melahirkan pemerataan
informasi (information gap devide) di tingkat global, nasional maupun lokal. Bila dahulu
informasi lebih banyak dikuasai kaum elit, sekarang informasi sudah semakin merata hingga
internet masuk desa. Kedua, kebebasan misalnya, lewat media baru memungkinkan orang
dengan mudah untuk mengakses informasi yang lebih beragam bahkan boleh dikatakan tak
terbatas. Ini berbeda dengan media lama yang masih terbatas memberi pilihan-pilihan
informasi. Ragam dan volume yang tinggi akan melahirkan gambaran dunia yang lebih beragam
(plural) dan salah satu nilai demokrasi menuntut keanekaragam informasi.

Ketiga, nilai persamaan misalnya, akan lebih dijumpai dalam media baru. Proses
komunikasinya yang interaktif memberi kesempatan watak dan sikap equal antara para
peserta komunikasi. Keempat, di atas ragam informasi yang tak terbatas, ia harus memilih dan
sekaligus merespons informasi yang dipilihnya. Jadi keputusan indvidu lebih merdeka dilakukan.
Bahkan untuk beberapa hal, individu lah yang menentukan media baru. Dengan demikian
media baru akan mempercepat “kedaulatan individu”(individual soverignity) dan konsep inilah
yang menjadi tujuan demokrasi. Kelima, media baru akan memungkinkan partisipasi langsung
atas berbagai persoalan yang dihadapi publik. Kasus Prita misalnya, sangat fenomenal sebagai
ilustrasi peran media baru dalam meningkatkan partisipasi politik. Demikian juga kasus tentang
anggota DPR Komisi X yang kunjungan ke Australia. Opini publik mampu digalang untuk
melakukan “perlawanan” terhadap segala sesuatu yang mengganggu nurani publik. ***

Anda mungkin juga menyukai