Anda di halaman 1dari 19

YURISDIKSI DAN KOMPETENSI HUKUM ISLAM

Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah
Studi Filsafat Hukum Islam

Disusun Oleh :
NAZIFATUL AZIZAH
NIM : 10122029

Dosen Pembimbing :
Dr. ARSAL, M.Ag

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM


PROGRAM MEGISTER PASCA SARJANA
UIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji sukur senantiasa kita ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya. Shalawat serta salam tidak lupa kita lantunkan untuk nabi Muhammad SAW
yang menjadi suri tauladan bagi kita semua dalam menjalankan kehidupan di muka bumi
ini.

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata kuliah
ushul fikih dan pembaharuan hukum pada program studi Hukum Islam Program Magister
Pasca Sarjana UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi yang dibimbing oleh Bapak Dr.
Arsal, M.Ag. Makalah ini ditulis dengan judul “Yurisdiksi dan Kompetensi Hukum Islam”

Payakumbuh, 10 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................3

A. Yurisdiksi ............................................................................................................. 3

B. Kompetensi Hukum Islam .................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 15

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 15

B. Saran .................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yurisdiksi adalah ucapan atau sabda yang memiliki dasar hukum. Memiliki
dasar hukum hukum dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan
berdasarkan hukum. Dalam kekuasaan tersebut di dalamnya mencakup hak dan
wewenang yang didasarkan oleh hukum. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh
pemegang yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan
kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh nilai - nilai hukum. Yurisdiksi
adalah ciri pokok dan sentral dari kedaulatan negara, karena merupakan
pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat atau mengakhiri
hubungan dan kewajiban hukum. Yurisdiksi dapat dicapai dengan kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Di Indonesia, legislatif merupakan parlemen yang mengeluarkan undang -
undang yang mengikat, eksekutif merupakan pemerintah yang memiliki yurisdiksi
atau otoritas kewenangan untuk menjalankan undang - undang, dan yudikatif adalah
kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk memutus dan mengadili.
Yurisdiksi sangat lekat hubungannya dengan teritorial. Yurisdiksi akan sangat kuat
keberadaannya terhadap segala sesuatu yang ada dalam wilayah suatu negara.
Tetapi keterkaitan antara yurisdiksi dengan wilayah negara bukan sesuatu yang
bersifat mutlak. Negara - negara tetap dapat memiliki yurisdiksi untuk menghukum
pelanggaran yang terjadi di luar wilayah mereka contohnya.
Kompetensi seringkali juga dimaknai kewenangan, dan dimaknai dengan
kekuasaan. Adapun kompetensi yang dimaksud disini adalah kewenangan
mengadili oleh lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi kompetensi menjadi
dua; kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut. Kompetensi Relatif diartikan
sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan
lainnya. Atau dengan kata lain bahwa setiap lembaga Peradilan mempunyai wilayah

1
hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten.
Kompetensi Absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya,
pengadilan Agama berkompeten atas perkara perkawinan bagi mereka yang
beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi Peradilan
Umum

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan apa itu yurisdiksi?
2. Jelaskan tentang kompetensi hukum islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Untuk mengetahui yurisdiksi
2. Untuk mengetahui kompetensi hukum islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Yurisdiksi
1. Pengertian Yurisdiksi
Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang,
benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi negara (state jurisdiction) tidak dapat
dipisahkan dari asas kedaulatan negara (state souvereignty), konsekuensi logis
dari asas kedaulatan negara, karena negara memiliki kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi dalam batas-batas teritorialnya (territorial souvereignty).
Terminologi Yurisdiksi akan sangat berkaitan dengan kedaulatan dan
kewenangan negara-negara. Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti
memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau
pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara
memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya
sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus
dilindunginya. Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu
negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah
negara itu.
Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau
kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata
lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan
hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara
lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa
yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum
internasional.
Yurisdiksi tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi
teritorial sebagai konsekuensi adanya kedaulatan teritorial, akan tetapi juga

3
mencakup yurisdiksi negara yang bukan yurisdiksi teritorial (yurisdiksi ekstra
teritorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari
hukum internasional, seperti yurisdiksi negara pada jalur tambahan, ZEE, landas
kontinen, laut bebas, ruang angkasa dan sebagainya.
Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional dapat lahir karena adanya
tindakan:
a. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau menetapkan peraturan atau
keputusan-keputusan;
b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang (benda atau
peristiwa) menaati peraturan (hukum) yang berlaku; 3. Yudikatif, yaitu
kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan atas suatu peristiwa.

2. Prinsip-Prinsip Yurisdiksi
a. Yurisdiksi Teritorial
Dalam hukum, dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial (the
extention of territorial jurisdiction) yang timbul akibat kemajuan iptek,
khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-
hasilnya. Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat
dan hukum internasional, guna mengantisipasi pemanfaatan dan
penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh orang-orang yang terlibat dalam
pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu negara.1
Perluasan yurisdiksi teritorial dibedakan oleh dua pendekatan yaitu:
a. Prinsip teritorial subyektif (the subjective territorial principle).
Prinsip ini memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan
menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai
dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir
atau diselesaikan di negara lain.

1
DJ Harris, Cases and Materials on International Law,3rd Ed, (London: Sweet &Maxwell,1998), hal. 210.

4
b. Prinsip teritorial obyektif (the objective territorial principle)
Prinsip ini memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan
menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di
luar negeri (negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan
membahayakan negaranya sendiri.
Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi
terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini
adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional.
Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap
semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas
wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat.

b. Yurisdiksi Personal
Dalam hukum internasional diakui atau dikenal adanya yurisdiksi
personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu negara
dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction
according to personality principle). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi
terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing.
Dalam hal ini orang yang bersangkutan tidak berada dalam
wilayahnya atau dalam batas-batas teritorial dari negara yang mengklaim
yurisdiksi tersebut. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya
baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang
yang bersangkutan sudah datang dan berada dalam batas-batas teritorialnya,
apakah dia datang dengan cara suka rela atau dengan cara terpaksa, misalnya
melalui proses ekstradisi.
Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili
warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga.
Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan
diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah

5
2
diterima secara universal. Menurut praktek internasional dewasa ini,
yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
berikut:
a. Prinsip nasionalitas aktif
Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap
warga negaranya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini
adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah
melakukan suatu tindak pidana ke luar negeri.
b. Prinsip nasionalitas pasif
Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila
seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip
nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga
negaranya di luar negeri , dan apabila negara teritorial di mana tindak
pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian
tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana
itu, apabila orang itu berada di wilayahnya.

c. Yurisdiksi Menurut Prinsip Perlindungan


Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat
melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan
kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan
keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara. Penerapan prinsip ini
dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar
belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada
umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan
di dalam suatu negara yang dapat mengancam atau mengganggu keamanan,
integritas, dan kemerdekaan orang lain.

2
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2002),hal.162.

6
Prinsip ini dibenarkan atas dasar perlindungan kepentingan negara
yang sangat vital. Hal ini dibenarkan karena pelaku bisa saja melakukan
suatu tindak pidana yang menurut hukum dimana ia tinggal tidak
dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi terhadapnya
tidak dimungkinkan (ditolak) bila tindak pidana tersebut termasuk kejahatan
politik.
Dalam prakteknya kemudian yurisdiksi perlindungan berkembang
terhadap adanya proteksi dari sistem peradilan dan policy suatu negara
dimana warganegara diantara beberapa negara melakukan hubungan
dagang.Contoh kasus Yurisdiksi perlindungan bisa meliputi persoalan
kegiatan investasi dan bisnis antar warganegara beberapa negara. Dalam
kasus seperti ini bahkan berkaitan dengan yurisdiksi proses peradilan antar
negara yang kerap memunculkan konflik yurisdiksi. Salah satu kasus Merek
Sony yang terjadi di Selandia Baru, di mana Pengadilan Selandia Baru harus
membuat suatu penilaian dan putusan pengadilan terkait dengan pelanggaran
Undang-Undang Hak Cipta Selandia Baru dan Undang-Undang Hak Cipta
Hongkong dan Inggris.

d. Prinsip Yurisdiksi Universal


Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap
tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini
lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang
melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis
kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga
disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus
mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu). Hukum
internasional mengakui adanya yurisdiksi berdasarkan azas universal
(universal jurisdiction). Semua negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan
menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat beberapa

7
tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memungkinkan
atau memperkenankan semua negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan
menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa
pelakunya (warganegaranya sendiri atau orang asing), siapa korbannya
(warganegaranya sendiri atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat
terjadinya maupun waktu terjadinya.
Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan
perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against
international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity),
perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan
terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang
dinilai dapat membahayakan nilainilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam
hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di
antara berbagai negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara negara
tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan negara korban,
negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri dan sebagainya. Untuk
dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti
itu, maka negara-negara yang berkepentingan masing-masing seharusnya
telah membuat peraturan peraturan hukum nasional yang dapat digunakan
untuk menangani tindak pidana seperti itu.

B. Kompetensi Hukum Islam


1. Pengertian Kompetensi
Menurut Roihan Rasyid, kompetensi seringkali juga dimaknai kewenangan,
dan dimaknai dengan kekuasaan. Adapun kompetensi yang dimaksud disini
adalah kewenangan mengadili oleh lembaga peradilan. Roihan Rasyid membagi
kompetensi menjadi dua; kompetensi Relatif dan Kompetensi Absolut.
Kompetensi Relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan

8
satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama
jenis dan sama tingkatan lainnya. Atau dengan kata lain bahwa setiap lembaga
Peradilan mempunyai wilayah hukum tertentu, dalam hal ini meliputi satu
kotamadya atau satu kabupaten.3 Kompetensi Absolut artinya kekuasaan
pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan, atau
tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan, atau tingkatan pengadilannya. Misalnya, pengadilan Agama
berkompeten atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam,
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kompetensi Peradilan Umum.4
R.Soeroso membagi kewenangan mengadili dibagi dalam kekuasaan
kehakiman atribusi, dan kekuasaaan kehakiman distribusi. Atribusi kekuasaan
kehakiman adalah kewenangan mutlak, atau juga disebut kompetensi absolut.
Yakni kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara tertentu
dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain. Sedangkan
tentang distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang dinamakan kompetensi
relatif, atau kewenanan nisbi ialah bahwa Pengadilan Negeri ditempat tergugat
tinggal (berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak.5
Sedangkan menurut Subekti, kompetensi juga dimaknai sebagai kekuasaan
atau kewenangan. Subekti sendiri membagi kompetensi atau kewenangan
menjadi dua, yakni kompetensi absolut (kewenangan absolut) dan kompetensi
relatif (kewenangan relatif). Kompetensi absolut terkait dengan kekuasaan atau
wewenang membagi jenis pengadilan dalam suatu Negara yang diatur di dalam
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan kekuasaan relatif
berkaitan dengan pembagian kekuasaan antara badan-badan pengadilan dari

3
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.27.
4
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, h.28.
5
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata; Tata Cara dan Proses Persidangan (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),
h.7.

9
tiaptiap jenis pengadilan tersebut, yang umumnya diatur dalam UndangUndang
tentang Hukum Acara.6
Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kompetensi
relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu
berdasarkan yuridiksi wilayahnya. Sedangkan kompetensi Absolut adalah
menyangkut kewenangan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara. Sehingga kompetensi absolut tersebut berkaitan dengan
pengadilan apa yang berwenang untuk mengadili.

2. Kompetensi Peradilan Agama


a. Kompetensi Relatif Peradilan Agama
Yang dimaksud dengan kompetensi relatif (relative competentie)
Peradilan Agama adalah kewenangan ataupun kekuasaan mengadili suatu
perkara berdasarkan wilayah atau daerah hukum (yurisdiksi) Pengadilan
Agama. Dalam Pasal 54 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 telah
ditentukan bahwasanya Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan
Peradilan Umum adalah Hukum Acara yang berlaku pula pada lingkungan
Peradilan Agama.7
Oleh sebab itu maka, landasan hukum untuk menentukan kewenangan
relatif pengadilan agama ini merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR atau
Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989. 8Dan dalam Pasal 118 Ayat (1) HIR/Pasal 142 Ayat (5) R.Bg.
menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan ditempat
kediaman tergugat, dan asas ini dalam bahasa latin disebut “actor sequitor

6
R. Subekti, Hukum Acara Perdata (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.23.
7
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
8
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih. 2017. Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia. Cet. I. Bandung:
Pustaka Setia. Hal. 120

10
forum rei”. 9Namun ada beberapa pengecualian yaitu yang tercantum dalam
Pasal 118 Ayat (2) dan Ayat (4), diantaranya:10
1) Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah
seorang dari tergugat,
2) Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan
diajukan kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat,
3) Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan
kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak,
4) Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka
gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih
dalam akta tersebut.

b. Kompetensi Absolut Peradilan Agama


Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan
ataupun kewenangan peradilan agama yang berhubungan dengan kekuasaan
mutlak untuk mengadili suatu perkara yang mana jenis perkara tersebut
hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama saja. Dalam hal
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di
kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam
merupakan kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.
Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama
terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai
Pengadilan Tingkat Banding.11

9
Ibid. Hal. 124.
10
Ibid. Hal. 125.
11
M. Yahya Harahap. (I). Op.cit. Hal. 134.

11
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ditentukan
bahwa, pengadilan agama berwenang untuk sekaligus memutus sengketa
milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur
dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama
Islam.12
Dengan perkataan lain, dalam bidang-bidang tertentu dari hukum
perdata yang menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang
hukum keluarga dari orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena itu,
Prof. Busthanul Arifin berpendapat, beliau menyatakan bahwasanya
peradilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-
orang yang beragama Islam, seperti halnya yang terdapat dibeberapa negara
lain. Peradilan agama sebagai suatu peradilan keluarga yang secara khusus
menangani perkara-perkara dibidang Hukum Keluarga, maka tentulah
jangkauan tugasnya berbeda dengan peradilan umum. Oleh karena itu,
segala persyaratan yang harus dipenuhi oleh para hakim, panitera dan
sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban peradilan agama.13
Untuk lebih mendalami lagi perkara-perkara yang menjadi kewenangan dari
Pengadilan Agama, maka tiap-tiap perkaranya akan dibahas lebih lanjut
dalam pembahasan berikut:
1) Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang
Perkawinan
Mengenai perkara dalam bidang perkawinan ini adalah segala
sesuatu yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Dan yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan Agama adalah perkara

12
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama
13
Retnowulan Sutantio. 1996. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Gema insani Press. Hal. 11.

12
perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

2) Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang


Kewarisan, Wasiat, dan Hibah
Menurut Pasal 49 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, di
jelaskan bahwa kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan yang
disebut dalam Pasal 49 Ayat (1) huruf b adalah mengenai:
a) Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
b) Penentuan harta peninggalan
c) Penentuan bagian masing-masing ahli waris dan
d) Melaksanakan pembagian harta peninggalan
e) Menentukan kewajiban ahli waris terhadap pewaris
f) Pengangkatan wali bagi ahli waris yang belum cakap hukum

3) Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang


Wakaf, Zakat, Infaq, dan Sedekah
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf.
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selamaselamanya untuk kepentingan
peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama
Islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudut pelembagaan
keagamaan. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan
peraturan perwakafan dalam ajaran Islam yang telah menjadi hukum
positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap.

13
Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks,
seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu,
jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka
penyelesaiannya dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan
ketentuan perundangundangan yang berlaku.

4) Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang


Ekonomi Syari’ah
Ekonomi syari’ah adalah segala perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syari’ah atau hukum Islam. Hal-hal
mengenai ekonomi syari’ah tersebut merupakan wewenang atau
kompetensi absolut pengadilan agama, baik perkara-perkara dalam
perbankan Islam maupun asuransi Islam. Dengan demikian, kewenangan
dan kekuasaan peradilan agama semakin luas dengan adanya ekonomi
Islam yang berkembang di Indonesia, yaitu berwenang untuk menerima,
memeriksa, dan memutus sengketa mengenai ekonomi Islam atau
asuransi Islam di Indonesia.

5) Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang


Yang Lain
Dalam Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
disebutkan bahwa peradilan agama juga diberikan tugas dan kewenangan
lain, yaitu dalam hal memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta. Akan tetapi, pemberian keterangan, pertimbangan, dan
nasihat tentang hukum Islam tersebut tidak dibenarkan dalam hal-hal
yang berhubungan dengan perkara yang sedang atau akan diperiksa di
pengadilan.

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yurisdiksi adalah ucapan atau sabda yang memiliki dasar hukum. Memiliki
dasar hukum hukum dapat diartikan sebagai kekuasaan atau kewenangan
berdasarkan hukum. Dalam kekuasaan tersebut di dalamnya mencakup hak dan
wewenang yang didasarkan oleh hukum. Sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh
pemegang yurisdiksi bukanlah merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri melainkan
kekuasaan yang berdasarkan hukum, dibatasi oleh nilai - nilai hukum. Kompetensi
seringkali juga dimaknai kewenangan, dan dimaknai dengan kekuasaan. Adapun
kompetensi yang dimaksud disini adalah kewenangan mengadili oleh lembaga
peradilan.

B. Saran
Dari awal sampai akhir dalam penyusunan makalah ini saya sadar banyak
kesalahan, dan kesalahan seseorang tidak bisa di lihat oleh diri sendiri dan hanya
bisa dilihat oleh orang lain, oleh karena itu untuk membangun dan memaksimalkan
penulisan makalah ini kami membutuhkan kritik dan saran dari segenap para
pembaca karena mungkin dengan cara ini kami bisa mengoreksi kekurangan-
kekurangan kami dan mudah-mudahan membuat kami menjadi lebih baik untuk
kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bisri, Cik Hasan. Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 1996.
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni.
Mardani. Hukum Acara Peradilan Agama & Mahmakah Syariah. Jakarta: Sinar Grafika.
2009
Mardani. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Musthofa. Kepaniteraan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana. 2005.
Prof. R. Subekti, SH. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.
R. Soeroso. Praktik Hukum Acara Perdata : Tata Cara Dan Proses Kesatu Dan Kedua.
Jakarta :Sinar Grafika. 2011.
Roihan, Rasyid. 2000. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 2005. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.

16

Anda mungkin juga menyukai