Anda di halaman 1dari 11

BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA BELANDA

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata perancis (Code Napoleon). Kode
Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu
dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat
dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu
buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu
Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda.
Bahkan 24 tahun sesudah negeri belanda merdeka dari perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu
masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum
mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas
konkordansi). Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersendiri
yang lepas dari kekuasaan perancis.

Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda mulai disusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (sipil) atau KHUS Negeri Belanda, berdasarkan rencana
kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh Mr.J.M Kemper disebut Ontwerp Kemper. Sebelum
selesai kamper meninggal dunia pada tahun 1974 dan usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan
Nicolil Colai, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia, pada waktu itu Belgia dan Belanda masih
merupakan satu negara. Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua
kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama burgerlijk wetboek yang disingkat BW atau
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda. Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan
KUHpdt.

Wetboek Van koophandel disingkat WVK atau yang dikenal dengan kitab undang-undang
hukum dagang dalam perkuliahan koma kitab ini akan disingkat dengan KUHD. Pembentukan
hukum perdata Belanda ini selesai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Februari 1830.
Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda atau kerajaan Belgia
sehingga kodifikasi masih ditangguhkan dan baru terlaksana tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun
BW dan WVK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda sebagian besar serupa dengan

1
Code Civil dan Code De commerse Prancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari
Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa Nasional-Belanda.1

B. PENGERTIAN HUKUM PERDATA

Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat. Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua Hukum Privat materiil. Dan
pengertian dari hukum privat (hukum perdata materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan
yang mengatur hubungan antara perseoranan didalam masyarakat dan kepentingan dari masing-
masing orang yang bersangkutan. Dalam arti bahwa didalamnya terkandung hak dan kewajiban
seseorang dengan sesuatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain di
dalam suatu masyarakat tertentu.

Disamping hukum privat materiil, juga dikenal hukum perdata formil yang lebih dikenal sekarang
yaitu dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat
segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan
pengadilan perdata.2

Bilamana kita baca literatur-literatur yang ditulis para sarjana hukum, kita akan menjumpai
pelbagai macam definisi hukum perdata, yang satu sama lain berbeda-beda, tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang terlalu prinsipil. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum
perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan
hukum publik sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat). Prof. R. Subekti,
S.H. misalnya, menyatakan bahwa yang dimaksud hukum perdata adalah segala hukum pokok
yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Selanjutnya, Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi
Masjhoen SofM-an, S.H. menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata adalah
hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga
negara perseorangan yang lain. Oleh karena itu, secara umum dapat kita simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang

1 Sriwaty Sakkirang, Hukum Perdata, (Yogyakarta:Penerbit Teras, 2011) hlm.1


2 Qomar Udin, “Makalah Hukum Perdata”, diakses dari
https://www.academia.edu/33804275/makalah_hukum_perdata pada tanggal 8 november 2018 pukul 23:21

2
satu dengan orang yang lain di dalam masyarakat yang menitik-beratkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi).

Kendatipun hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan, tidak berarti semua hukum
perdata tersebut secara murni mengatur kepentingan perseorangan, melainkan karena perkem-
bangan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa
oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan, perburuhan, dan sebagainya.

Selanjutnya, hukum perdata ini ada yang tertulis dan ada yang tidak terulis. Hukum perdata
yang tertulis ialah hukum perdata yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis ialah Hukum Adat.[3]

C. ASAS-ASAS HUKUM PERDATA TENTANG ORANG

Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPdt yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:

1. Asas kebebasan berkontrak,

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga,
baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang
(lihat Pasal 1338 KUHPdt).

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt,
yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

3 H. RIDUAN SYAHRANI, Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata (Bandung: P.T. Alumni,2006) hlm.11

3
2. Asas Konsesualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut
ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak
diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak.

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan
perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan
dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan).

3. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi (hasil atas usaha yang dilakukan seseorang) yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari.

4. Asas Kekuatan Mengikat

Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya
mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya
mengikat ke dalam

Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi
mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana
dalam Pasal 1317 KUHPdt yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan
pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

4
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk
kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal
1318 KUHPdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk
kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian
untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal
1317 KUHPdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPdt memiliki ruang
lingkup yang luas.

5. Asas Persamaan hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan
perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak
boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit,
agama, dan ras.

6. Asas Keseimbanga

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika
diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul
pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik

7. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas
ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Asas kepatian hukum atau pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan

5
oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum,
yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.

8. Asas Moral

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang
tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat
dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang
bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya.
Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum
itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya

9. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus
dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena
pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para
pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-
hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan
mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak

10. Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

11. Asas Kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.

6
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.

12. Asas Itikad Baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.

Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif..

Selain asas tersebut diatas terdapat pula Asas Hukum Perdata Eropa Tentang Orang yaitu:
1. Asas yang melindungi hak asasi manusia, jangan sampai terjadi pembatasan atau
pengurangan hak asasi manusia karena Undang-undang atau keputusan hakim. (Pasal 1dan
3 KUHPdt)

2. Asas setiap orang harus mempunyai nama dan tempat kediaman hukum (domisili), tiap orang
yang mempunyai hak dan kewajiban mempunyai identitas yang sedapat mungkin berlainan
satu dengan lainnya (Pasal 5a dan Bagian 3 Bab 2 Buku I KUHPdt)

Pentingnya Domisili :

a. Dimana orang harus menikah


b. Dimana orang harus dipanggil oleh pengadilan
c. Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang, dsb
3. Asas Perlindungan kepada Orang yang tak lengkap, orang yang dinyatakan oleh hukum tidak
mampu melakukan perbuatan hukum mendapat perlindungan bila ingin melakukan
perbuatan hukum (Pasal 1330 KUHPdt), contoh :

7
a. Orang yang belum dewasa diwakili oleh walinya baik itu orang tua kandung atau wali yang ditnjuk
oleh hakim atau surat wasiat.
b. Mereka yang diletakkan dibawah pengampuan, bila mereka hendak melakukan perbuatan hukum
diwakili oleh seorang pengampu (Curator)
c. Wanita yang bersuami bila hendak melakukan perbuatan hukum harus didampingi suaminya.
4. Asas monogami dalam hukum perkawinan barat, bagi laki-laki hanya boleh mengambil seorang
wanita sebagai istri dan wanita hanya boleh mengambil seorang laki-laki sebagai suaminya(Pasal
27 KUHPdt). Dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2
pengadilan diperbolehkan memberi ijin seorang suami untuk beristri lebih dari satu bila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

5. Asas bahwa suami dinyatakan sebagai kepala keluarga, ia betugas memimpin dan mengurusi
kekayaan keluarga (Pasal105 KUHPdt)

Selain dalam hukum orang (persoonen recht) dalam Hukum Benda (Zaakenen Rescht)
yaitu keseluruhan kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur
hak atas benda. Asasnya adalah asas yang membagi benda atau barang ke dalam benda bergerak
dan benda tetap.

B. ASAS HUKUM TENTANG BENDA


1. Asas yang membagi hak manusia kedalam hak kebendaan dan hak perorangan.

Hak Kebendaan, adalah hak untuk menguasai secara langsung suatu kebendaan dan
kekuasaan tersebut dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang (hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan)
Hak Perorangan, adalah hak seseorang untuk menuntut suatu tagihan kepada seseorang
tertentu. Dalam hal ini hanya orang ini saja yang harus mengakui hak orang tersebut.
2. Asas hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.

Asas ini mempunyai arti bahwa orang tidak dibenarkan untuk membiarkan atau menggunakan hak
miliknya secara merugikan orang atau masyarakat. Jika merugikan akan dituntut berdasarkan Pasal
1365 KUHPdt

8
Hukum Benda yang mengatur tentang tanah telah dicabut dan diatur dalam Undang-undang
Pokok Agraria tahun 1960 No 5. Namun aturan tentang Hipotik masih diatur dalam Hukum Benda.
Hukum Benda ini sifatnya tertutup, jadi tidak ada peraturan lain yang berkaitan dengan benda
selain yang diatur oleh Undang-undang.
Asas-asas Umum Hak Kebendaan
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H. dalam bukunya “Mencari Sistem
Hukum Benda Nasional” menjelaskan ada 10 asas umum yang sifatnya relative konkrit yang ada
dalam bidang tertentu, yaitu:

1. Asas system tertutup, artinya bahwa hak-hak atas benda bersifat limitative, terbatas hanya
pada yang diatur undang-undang. Di luar itu dengan perjanjian tidak diperkenankan
menciptakan hak-hak yang baru

2. Asas hak mengikuti benda, yaitu hak kebendaan selalu mengikuti bendanya di mana dan
dalam tangan siapapun benda itu berada.

Asas ini berasal dari hukum romawi yang membedakan hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
dalam hak kebendaan (zaakkelijkrecht) dan hak perseorangan (persoonlijkrecht).

3. Asas publisitas, yaitu dengan adanya publisitas (openbaarheid) adalah pengumuman


kepada masyarakat mengenai status pemilikan.

Pengumuman hak atas benda tetap/tanah terjadi melalui pendaftaran dalam buku tanah/register
yang disediakan untuk itu sedangkan pengumuman benda bergerak terjadi melalui penguasaan
nyata benda itu.

4. Asas spesialitas. Dalam lembaga hak kepemilikan hak atas tanah secara individual harus
ditunjukan dengan jelas ujud, batas, letak, luas tanah. Asas ini terdapat pada hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan atas benda tetap.

5. Asas totalitas. Hak pemilikan hanya dapat diletakan terhadap obyeknya secara totalitas
dengan perkataan lain hak itu tidak dapat diletakan hanya untuk bagian-bagian benda.

9
Misalnya: Pemilik sebuah bangunan dengan sendirinya adalah pemilik kosen, jendela, pintu
dan jendela bangunan tersebut. Tidak mungkin bagian-bagian tersebut kepunyaan orang
lain.

6. Asas accessie/asas pelekatan. Suatu benda biasanya terdiri atas bagian-bagian yang
melekat menjadi satu dengan benda pokok seperti hubungan antara bangunan dengan
genteng, kosen, pintu dan jendela

Asas ini menyelesaikan masalah status dari benda pelengkap (accessoir) yang
melekat pada benda pokok (principal). Menurut asas ini pemilik benda pokok dengan
sendirinya merupakan pemilik dari benda pelengkap. Dengan perkataan lain status hukum
benda pelengkap mengikuti status hukum benda pokok. Benda pelengkap itu terdiri dari
bagian (bestanddeed) benda tambahan (bijzaak) dan benda penolong (hulpzaak).

7. Asas pemisahan horizontal

KUHPdt menganut asas pelekatan sedang UUPA menganut asas horizontal yang diambil
alih dari hukum Adat. Jual beli hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan
dan tanaman yang terdapat di atasnya. Jika bangunan dan tanaman akan mengikuti jual beli
hak atas tanah harus dinyatakan secara tegas dalam akta jual beli.

Pemerintah menganut asas vertical untuk tanah yang sudah memiliki sertifikat untuk tanah
yang belum bersertifikat menganut asas horizontal (Surat menteri pertanahan/agraria tanggal 8
Februari 1964 Undang-Undang No.91/14 jo S.Dep. Agraria tanggal 10 desember 1966 No.
DPH/364/43/66.

8. Asas dapat diserahkan

Hak pemilikan mengandung wewenang untuk menyerahkan benda. Untuk membahas


tentang penyerahan sesuatu benda kita harus mengetahui dulu tentang macam-macam benda
karena ada bermacam-macam benda yang kita kenal seperti tidak dijelaskan pada Bab
sebelumnya. Cara-cara penyerahan secara mendalam akan dibahas dalam bab selanjutnya.

9. Asas perlindungan

10
Asas ini dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu perlindungan untuk golongan ekonomi
lemah dan kepada pihak yang beritikad baik (to goeder trouw) walaupun pihak yang
menyerahkannya tidak wenang berhak (beschikkingsonbevoegd). Hal ini dapat kita lihat
dalam Pasal 1977 KUHPdt.

10. Asas absolute (hukum pemaksa)

Menurut asas ini hak kebendaan itu wajib dihormati atau ditaati oleh setiap orang yang
berbeda dengan hak relative

C. ASAS HUKUM TENTANG PERIKATAN:

1. Undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pacta sun servanda )


2. Asas kebebasan dalam membuat perjanjian atau persetujuan.
3. Asas bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikat baik
4. Asas bahwa semua harta kekayaan seseorang menjadi jaminan atau tanggungan semua hutang-
hutangnya.
5. Asas Actio Pauliana yaitu aksi yang dilakukan oleh seorang kreditur untuk membatalkan semua
perjanjian yang dibuat oleh debiturnya dengan itikat buruk dengan pihak ketiga, dengan
pengetahuan bahwa ia merugikan krediturnya. Pembatalan perjanjian harus dilakukan oleh hakim
atas permohonan kreditur (Pasal 1341 KUHPdt)
Asas ini memberi peringatan kepada seorang debitur bahwa ia akan dikenakan sanksi
penuntutan, bila ia mengurangi harta kekayaan miliknya, dengan tujuan untuk menghindari
penyitaan dari pengadilan.[4]

4 Yosep Aliyin,S.H, “Asas-asas Hukum Perdata”, diakses dari http://yosepaliyinsh.blogspot.com/2012/09/asas-


asas-hukum-perdata.html, pada tanggal 1 november 2018 pukul 00:02.

11

Anda mungkin juga menyukai