PENDAPATAN NASIONAL
(National Income)
Dosen pengampu :Dr. Syahriah Semaun, S.E., M.M
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Ekonomi Makro Islam
Oleh:
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, taufik,
kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing kita menuju jalan yang
diridhoi oleh-Nya.
Terima kasih kepada dosen yaitu Ibu Dr. Syahriah Semaun, S.E., M.M
selaku dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya dan membimbing kepada
kami selama proses perkuliahan. Dalam pembuatan makalah ini penulis telah
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita, dan penulis mengharapkan
masukan, kritik dan saran dari para pembaca. Karena penulis menyadari bahwa
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan dan perkembangan perekonomian suatu negara dapat dinilai
dengan beberapa ukuran. Ukuran baku yang digunakan selama ini di antaranya
adalah: Produk Domestik Bruto, Produk Nasional Bruto, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan nasional, pendapatan per kapita, rasio pajak, rasio hutang, indeks gini,
dan indeks pembangunan manusia. Selain itu, sejak dua dasawarsa terakhir,
dikenal pula ukuran baru, seperti: indeks daya saing dan indeks kenyamanan
investasi.
Dalam konteks ekonomi, sebagian kelompok masyarakat kerap memiliki
tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya
memperoleh gambaran tentang tingkat ekonomi yang sudah dicapai dalam suatu
negara Pendapatan nasonal dapat dihitung setelah diketahui nilai dari unsur
ekonomi negara lainnya, antara lain Gross Domestic Product atau GDP. Dalam
1
pendapatan perkapita (income per capita) negara tersebut. Selain itu, dalam
makalah ini akan dibahas juga mengenai pendapatan nasional perspektif ekonomi
islam.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
pertama.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Jakarta: Kencana, 2008, h.21
2
Muhammad, MAKROEKONOMI ISLAM: Suatu Pengantar, Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2020, h.90
3
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.36
3
Perlu juga kita ketahui bahwa, Pendapatan Nasional (national income)
merupakan tolok ukur (yang dinilai paling baik) untuk menunjukkan keberhasilan
dan kegagalan perekonomian suatu negara, dari tingkat kesempatan kerja, tingkat
harga barang dan posisi neraca pembayaran luar negeri, serta pendapatan per
kapitanya. Jika factor-faktor yang memengaruhi tersebut menunjukkan posisi
yang sangat menguntungkan atau positif, maka tingkat keberhasilan atau tingkat
kemajuan ekonomi suatu Negara akan mudah tercapai, dan begitu pula
sebaliknya. Dari berbagai tolak ukur tersebut yang menjadi pokok bahasan kali ini
adalah pendapatan nasional (national income) atau produksi nasional (national
product).
Untuk menghitung Produk Nasional, seluruh perekonomian negara dipecah
pecah ke dalam 11 sektor atau lapangan usaha (industrial origin). Pemecahan ke
dalam 11 sektor ini dianggap sudah tuntas, tak ada yang tersisa. Pengertian sektor
di sini berbeda dengan pengertian dalam metode pengeluaran atau mungkin pula
dalam Repelita. Masing-masing sektor dibagi-bagi lagi ke dalam subsektor-
subsektor. Kegiatan dalam satu sektor atau lebih dipegang oleh satu departemen
atau lebih. Tapi tidak semua kegiatan dipegang oleh departemen, misalnya
kegiatan swasta, baik berupa perdagangan, perindustrian maupun pertanian.
Produk Nasional adalah volume produksi barang akhir kali harga (nilai), atau nilai
tambah barang-barang dan jasa-jasa kali harga (nilai).
Contoh yang paling jelas adalah pertanian subsistens. Apa yang di konsumsi
tidak didapat dengan jalan dibeli dari pasar tapi berasal dari hasil produksi sendiri.
Karena itu Perhitungan Pengeluaran Nasional lebih sukar daripada Produk
Nasional. Bahkan beberapa pengeluaran tidak mungkin dapat dihitung tanpa ada
Produk Nasional. Mengingat kesulitan-kesulitan yang demikian banyak itu, maka
usaha BPS untuk menghitung Produk Nasional dan Pengeluaran Nasional patut
dihargai4.
6
modal yang dapat menaikkan produksi barang dan jasa di masa akan datang.
Membangun gedung perkantoran, mendirikan bangunan industri, membeli alat-
alat memproduksi adalah beberapa bentuk pengeluaran yang tergolong sebagai
investasi. Pengeluaran untuk investasi ini dilakukan bukan untuk dikonsumsi,
tetapi untuk digunakan dalam kegiatan memproduksi di waktu akan datang.
Dalam pengumpulan data mengenai investasi, pengeluaran tersebut
dibedakan kepada tiga jenis perbelanjaan berikut:
i. Pengeluaran ke atas barang modal dan peralatan produksi.
ii. Perubahan-perubahan dalam nilai inventori pada akhir tahun.
iii. Pengeluaran-pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal.
d. Ekspor Neto
Nilai ekspor yang dilakukan sesuatu negara dalam suatu tahun tertentu
dikurang dengan nilai impor dalam periode yang sama dinamakan ekspor neto.
Ekspor sesuatu negara, seluruh atau sebagian dari nilainya, merupakan barang dan
jasa yang dihasilkan di dalam negara. Oleh sebab itu nilainya harus dihitung ke
dalam pendapatan nasional. Barang impor merupakan produksi dari negara lain;
oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu dihitung ke dalam pendapatan nasional.
Dalam praktek penghitungan pendapatan nasional tidak dapat dielakkan keadaan
di mana nilai barang impor termasuk dalam penghitungan. Sebagai contoh, ketika
seorang konsumen membeli mobil yang dipasang di dalam negeri, dia akan
membayar nilai barang impor-yaitu benda-benda yang dipasang dalam mobil
tersebut yang berasal dari impor. Contoh ini menunjukkan bahwa banyak di antara
barang jadi yang dibeli di dalam negeri (dan dibayar pada harga pasar) meliputi
juga nilai barang impor.
Contoh lain: sepatu yang dihasilkan di pabrik sepatu di Bandung
menggunakan kulit yang diimpor dari India. Nilai kulit yang di impor tersebut
tidak termasuk dalam pendapatan nasional Indonesia dan harus dikurangi dari
harga sepatu. Oleh karena keadaan-keadaan seperti yang dicontohkan ini, tidak
dapat dielakkan keadaan di mana nilai barang impor termasuk dalam
penghitungan pendapatan nasional. Untuk mengatasi kelemahan ini nilai impor
7
harus dikurangi dari nilai perbelanjaan lain. Dengan perkataan lain yang perlu
dihitung ke dalam pendapatan nasional hanyalah ekspor neto, yaitu ekspor setelah
dikurangi dengan impor6.
2. Menghitung Produk Domestik dan Produk Nasional Bruto
Seperti telah dinyatakan pada bagian yang terdahulu, pendapatan nasional
dapat dihitung menurut harga yang berlaku dan menurut harga tetap.
Penghitungan menurut harga tetap yang dilakukan di Indonesia pada masa ini
menggunakan harga-harga pada tahun 1993. Kedua cara penghitungan itu-
menurut harga tetap dan harga yang berlaku ditunjukkan dalam Tabel 1. Data
yang dikemukakan adalah data Pendapatan Domestik Bruto, Pendapatan Nasional
Bruto, dan data Pendapatan Nasional (yaitu Pendapatan Nasional Bersih (Neto)
pada harga faktor).
Berdasarkan kepada harga yang berlaku, Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun 2002 mencapai Rp 1.610 triliun. Pendapatan neto faktor-
faktor produksi bernilai negatif, yaitu sebesar Rp -77,8 triliun, yang berarti
Indonesia lebih banyak membayar ke luar dibandingkan dengan penerimaan dari
luar negeri. Sebagai akibatnya nilai Produk Nasional Bruto (PNB) lebih kecil dari
Produk Domestik Bruto-yaitu hanya mencapai Rp 1.532,2 triliun.
Komponen pengeluaran agregat yang terbesar adalah pengeluaran konsumsi
rumah tangga, yaitu sebanyak Rp 1.138,3 triliun dan meliputi 70,7 persen dari
Pendapatan Domestik Bruto. Ekspor juga relatif penting peranannya dalam
perekonomian dan nilai mencapai Rp 569,9 triliun dan meliputi 35,4 persen dari
Produk Domestik Bruto, Investasi hanya meliputi 20,2 persen dari PNB dan
pengeluaran pemerintah peranannya lebih kecil lagi, yaitu hanya meliputi 8,2
persen dari PDB.
6
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.39.
8
Tabel 1. Perhitungan Pendapatan Nasional Indonesia, 2002 (Triliun Rupiah)
Menurut harga Menurut
Jenis Pengeluaran berlaku harga tetap
Nilai Persentasi 1993
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 1.138,3 70,7 302,1
2. Pengeluaran konsumsi pemerintah 132,1 8,2 35,3
3. Pembentukan modal tetap domestic
325,3 26,2 96,1
bruto
4. Perubahan stok -96,0 -6,0 -25,7
5. Ekspor barang dan jasa 569,9 35,4 116,9
6. Dikurangi: Impor barang dan jasa 459,6 28,5 98,0
PRODUK DOMESTIK BRUTO
1.610,0 100 426,7
(PDB)
7. Pendapatan neto factor dari luar negeri -77,8 -4,8 -22,2
PRODUK NASIONAL BRUTO 1.532,2 95,2 404,5
Dikurangi: Pajak tak langsung 71,2 4,4 18,9
Dikurangi: Depresiasi 80,5 5,0 21,3
PENDAPATAN NASIONAL 1.380,5 85,8 364,3
Sumber: Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002.
Konsep pendapatan nasional, seperti telah diterangkan, perlu dibedakan di
antara pengertian neto dan bruto. PNB (Pendapatan Nasional Bruto) perlu
dikurangi oleh depresiasi untuk memperoleh Pendapatan Nasional Neto atau Net
National Product (NNP). Selanjutnya NNP dapat dibedakan menurut harga pasar
dan menurut harga faktor. NNP menurut harga faktor adalah Pendapatan Negara.
Di banyak negara, hubungan di antara Produk Nasional Bruto (PNB) dan
Pendapatan Negara (PN) dapat dinyatakan dengan persamaan.
PN = PNB - Pajak tak langsung + Subsidi - Depresiasi
Akan tetapi, dalam penghitungan di Indonesia Subsidi tidak dihitung. Oleh sebab
itu di antara PNB dan PN terdapat hubungan yang berikut:
PN = PNB - Pajak tak langsung - Depresiasi
9
Dalam Tabel 1 juga dihitung Pendapatan Nasional, yaitu dengan mengurangi (6)
Pajak tak langsung dan (1) depresiasi dari Pendapatan Nasional Bruto. Pada tahun
2002 Pendapatan Nasional atau Pendapatan Nasional Neto pada harga faktor
bernilai Rp 1.380,5 triliun.
Di samping dihitung menurut harga yang berlaku, PDB, PNB dan PP - dan
komponen komponennya, juga dihitung menurut harga tetap dan tahun dasarnya
adalah tahun 1993. Data pendapatan nasional dan komponennya yang terdapat
dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai menurut harga tetap jauh lebih rendah
dari menurut harga yang berlaku. Perbedaan yang besar tersebut terutama
disebabkan oleh kenaikan harga yang tinggi dalam periode 1993 hingga 2002, dan
bukan karena pertumbuhan output negara yang pesat. PDB menurut harga tetap
hanya mencapai Rp 426,7 triliun, dan PNB pada harga tetap adalah Rp 404,5
triliun7.
3. Masalah Penghitungan Dua Kali
Dengan cara pengeluaran, pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlahkan nilai perbelanjaan dari berbagai golongan masyarakat ke atas
barang-barang jadi dan jasa-jasa yang diproduksikan dalam perekonomian
tersebut. Barang-barang atau jasa-jasa yang diimpor tidak dimasukkan dalam
penghitungan ini. Begitu juga, barang-barang produksi dalam negeri yang akan
diproses kembali oleh perusahaan-perusahaan lain untuk dijadikan barang-barang
lain, tidak turut dihitung untuk menentukan besarnya pendapatan nasional.
Barang-barang yang masih akan diproses lagi, nilainya tidak turut ditambahkan
dalam penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran adalah untuk
menghindari berlakunya penghitungan dua kali.
Ditinjau dari sudut apakah sesuatu barang itu mengalami proses produksi
selanjutnya atau tidak, barang-barang yang diproduksikan dalam perekonomian
perlu dibedakan dalam dua jenis: barang-barang jadi dan barang-barang setengah
jadi atau barang antara. Barang jadi adalah barang yang tidak mengalami proses
produksi lebih lanjut, dan dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan
7
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.41.
10
masyarakat. Contohnya: baju, celana dan sepatu. Sedangkan barang setengah jadi
atau barang antara adalah barang yang harus mengalami proses produksi lebih
lanjut sebelum ia dapat digunakan oleh masyarakat. Contohnya: tepung, karet,
minyak kelapa sawit dan benang tenun.
4. Nilai Barang Jadi dan Nilai Tambah
Dalam menghitung nilai pendapatan nasional menurut cara pengeluaran
adalah penting untuk membedakan dengan sebaik-baiknya di antara barang-
barang jadi dan barang-barang setengah jadi. Tindakan itu perlu dilakukan, seperti
telah dikatakan, untuk menghindari penghitungan dua kali ke atas nilai barang-
barang dan jasa-jasa yang diproduksikan dan dihitung dalam pendapatan nasional.
Di dalam setiap perekonomian kebanyakan barang, sebelum menjadi barang
jadi, harus melalui beberapa tingkat proses produksi. Di dalam perekonomian
seringkali berlaku keadaan di mana sesuatu barang itu diproses oleh beberapa
perusahaan sebelum menjadi barang jadi. Ini berarti sesuatu barang tertentu sudah
beberapa kali diperjualbelikan di pasar sebelum ia selesai mengalami proses
produksi. Apabila semua nilai jual beli yang berlaku dalam perekonomian
dijumlahkan ke dalam pendapatan nasional, maka nilai yang diperoleh adalah
lebih besar dari nilai produksi yang sebenarnya telah diciptakan. Perhitungan nilai
pendapatan nasional yang terlalu besar ini terjadi karena nilai barang yang sama
telah beberapa kali dijumlahkan dalam pendapatan nasional.
Untuk menghindari terjadinya hal seperti ini, yang harus dijumlahkan di
dalam menghitung pendapatan nasional adalah: (i) nilai barang-barang jadi saja,
atau (ii) nilai-nilai tambahan yang diciptakan dalam setiap tingkat proses
produksi. Penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran dilakukan
dengan menjumlahkan nilai barang-barang jadi yang dihasilkan dalam per
ekonomian.
Perhitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran adalah sebagai
berikut:
Y=C+I+G+(X–M)
11
Keterangan:
Y = Pendapatan Nasional
C = Pengeluaran Konsumsi
I = Pengeluaran Investasi
G = Pengeluaran Pemerintah
X = Eksport
M = Import
13
Dengan demikian jumlah nilai tambah yang diwujudkan oleh keempat
kegiatan itu adalah: ( ) . (Catatan: Jumlah
nilai penjualan adalah Rp 1.650 ribu). Pengeluaran konsumen untuk membeli
perabot ini adalah Rp 800 ribu juga. Ini berarti dalam penghitungan menurut cara
produk neto, nilai pendapatan nasional yang disumbangkan berbagai kegiatan di
atas adalah sama dengan dalam penghitungan menurut cara pengeluaran. Contoh
ini jelas menunjukkan bahwa terdapat dua alternatif dalam menghitung
pendapatan nasional, yaitu cara pengeluaran dan cara produk neto. Dalam cara
pengeluaran yang diperhatikan adalah nilai barang jadi (perabot) yang dijual toko
perabot, sedangkan dalam cara produk neto yang diperhatikan adalah tambahan
nilai yang diwujudkan oleh empat kegiatan ekonomi di atas8.
8
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.43.
14
Tabel 3. Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha, 2002 (Triliun
Rupiah)
(ii) listrik, gas dan air, dan (iii) bangunan digolongkan kepada sektor
sekunder, dan sektor ke-6 hingga ke-9 digolongkan sebagai tektor pasa atau sektor
tertier. Data PDB menurut harga yang berlaku untuk tahun 2002 memberikan
informasi yang berikut9:
9
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.44.
15
D. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Ketiga Yaitu Cara
Pendapatan
1. Pendekatan Pendapatan
Pendekatan lainnya untuk mengukur pendapatan nasional biasanya
dinamakan factor payment approach dan kadang-kadang dinamakan factor
income approach. Pendekatan pendapatan ini terdiri dari empat komponen utama,
yaitu: (1) rent, yang berarti bayaran bagi jasa-jasa tanah dan factor-faktor lain
yang di sewa; (2) wages and salaries atau disingkat wages, yang berarti
pembayaran bagi jasa tenaga kerja; (3) interest atau bunga modal; dan (4) profit,
yang berarti keuntungan. Bunga dan keuntungan merupakan bayaran untuk jasa
modal (capital). Untuk memperoleh barang-barang modalnya, perusahaan
membutuhkan uang yang dipinjam dari pemilik modal .
Interest di dapatkan oleh mereka yang meminjamkan uangnya pada
perusahaan , dan profit didapatkan oleh mereka yang memiliki perusahaan.
Sebagian profit dikeluarkan sebagai dividents kepada milik modal/uang, sisanya
ditahan untuk digunakan oleh perusahaan. Yang pertama disebut distributed profit
dan yang kedua di sebut undistributed profit. Perluh diingat, bahwa dalam
komponen factor payment tersebut masih termasuk pajak dan pajak ini harus
dibayarkan kepada pemerintah oleh penerima factor payment tersebut. Hingga
saat ini Indonesia belum menerapkan perhitungan pendekatan pendapatan. Selama
ini perhitungan yang dilakukan yaitu pendekatan produksi dan pendekatan
pengeluaran10.
Ditinjau dari pendekatan pendapatan, penghitungan pendapatan nasional
dilakukan dengan cara mengumpulkan data pendapatan yang diperoleh oleh
rumah tangga keluarga. Atau dengan cara menjumlahkan pendapatan yang
diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu masyarakat selama satu tahun.
Pendapatan ini berupa sewa, upah dan gaji, bunga, dan laba usaha. Perhitungan
pendapatan nasional dengan pendekatan Pendapatan dapat menggunakan rumus
berikut:
10
Ali Ibrahim Hasyim, Ekonomi Makro, Ed.I, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2016, h.49-50.
16
Y=R+W+I+P
Keterangan:
Y = Pendapatan Nasional
R = Rent (Sewa)
P = Profit (laba)
W = Wages (upah)
I = Interest (bunga)
19
Pendapatan Nasional adalah US$ 6.650 milyar dan nilai ini adalah sama dengan
yang di hitung dalam tabel 4.
Tabel 5. Perhubungan di antara GNP dan NI di Amerika Serikat, 1997
Jenis pendapatan Nilai (US $ milyar)
Produk Nasional Bruto 8.063
Kurang: Depresiasi 868
Produk Nasional Neto 7.195
Kurang: pajak tak langsung setelah dikurangi subsidi 545
Pendapatan Nasional 6.650
12
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018, h.27
20
ukuran kesejahteraan suatu negara masih digunakan. Beberapa keberatan
penggunaan GDP riil/kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu negara sebagai
berikut:
1. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP.
Produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP.
2. GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini
sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang
akan semakin menginginkan waktu istirahat.
3. Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal
kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan.
4. Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali
pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air
maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan.
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang
hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, di mana komponen-komponen
rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah
sistem ekonomi (nidhom al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat
mengantar umat manusia kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang
sebenarnya.
Memang benar bahwa semua sistem ekonomi baik yang sudah tidak eksis
lagi dan telah terkubur oleh sejarah maupun yang saat ini sedang berada di puncak
kejayaannya, bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan kepada para
pemeluknya. Namun lebih sering kesejahteraan itu diwujudkan pada peningkatan
GNP yang tinggi, yang kalau dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan
perkapita income yang tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern
akan mendapat angka maksimal. Akan tetapi, pendapatan perkapita yang tinggi
bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya
merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficient
condition. Al-falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang
21
manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena
itu seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja
untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan
ruhani di mana roh merupakan esensi manusia.
Maka dari itu, selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis
kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus
mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen instrumen wakaf, zakat, dan
sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat,
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk
mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem
moral dan sosial Islam. Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur
dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga
tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Empat hal
tersebut adalah13:
1. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Penyebaran Pendapatan
Individu Rumah Tangga
Kendati GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi
yang terjadi di pasar, GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi
nyata dari output perkapita. Semestinya, penghitungan pendapatan nasional
islami harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari output perkapita
tersebut, karena dari sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa
masuk. Jika penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa dideteksi
secara akurat, maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Barangkali inilah yang menjelaskan, ketika pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada
rakyat miskin, terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang nyata dari
rakyat yang dikategorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat.
Penghitungan dari BPS didasarkan pada survei yang kurang mencerminkan
13
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018,h. 29
22
kenyataan sesungguhnya, sementara angka GNP memang tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi jumlah penduduk miskin.
Demikian pula GNP tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang
tidak ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang
langsung dikonsumsi dan tidak memasuki ke pasar tidak tercatat di dalam
GNP. Padahal kenyataan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.
Sesungguhnya angka ini bisa diperoleh melalui satu survei nasional yang
menyeluruh. Pendapatan perkapita yang diperoleh melalui survei demikian,
bisa diduga, akan menghasilkan angka yang lebih besar ketimbang GNP
perkapita.
Persoalan lainnya adalah, di dalam penghitungan GNP konvensional,
produksi barang-barang mewah memiliki bobot yang sama dengan produksi
barang-barang kebutuhan pokok. Maksudnya, produksi beras yang
menghasilkan uang Rp 10 juta, sama nilainya dengan produksi perhiasan
emas yang juga menghasilkan Rp 10 juta. Maka untuk lebih mendekatkan
pada ukuran kesejahteraan, ekonomi Islam menyarankan agar produksi
kebutuhan pokok memiliki bobot yang lebih berat ketimbang produksi
barang-barang mewah.
2. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaan
Sangatlah disadari bahwa tidaklah mudah mengukur secara akurat
produksi komoditas subsistens, namun bagaimanapun juga perlu satu
kesepakatan untuk memasukkan angka produksi komoditas yang dikelola
secara subsistens ke dalam penghitungan GNP. Paling tidak, dugaan kasar
dari hasil produksi subsistens tersebut harus masuk ke dalam penghitungan
pendapatan nasional. Komoditas subsistens ini, khususnya pangan,
sangatlah penting di negara-negara Muslim yang baru dalam beberapa
dekade ini masuk dalam percaturan perekonomian dunia.
Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas
subsistens ini adalah, kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui berapa
sesungguhnya pendapatan masyarakat desa dari sektor subsistens ini. Oleh
23
karena itu, kita juga tidak mengetahui, sekarang ini kondisinya dan apakah
sedang naik atau malah sedang turun. Padahal informasi itu sangat
dibutuhkan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, khususnya
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat lapisan bawah yang secara
masa memiliki jumlah terbesar.
Untuk mengetahui tingkat produksi komoditas subsistens ini, harus
diketahui terlebih dahulu tingkat harga yang digunakan. Pada umumnya ada
dua jenis harga pasar, yakni harga yang secara nyata diterima petani atau
diharapkan akan diterima oleh petani, dan satu set harga lainnya adalah nilai
yang dibayar oleh konsumen di pasar eceran. Peningkatan produksi
pertanian di tingkat rakyat pedesaan, umumnya justru mencerminkan
penurunan harga produk-produk pangan di tingkat konsumen suburban, atau
sekaligus mencerminkan peningkatan pendapatan para pedagang perantara,
yang posisinya berada di antara petani dan konsumen14.
Ketidakmampuan mendeteksi secara akurat pendapatan dari sektor
subsisten ini jelas satu kelemahan yang harus segera diatasi, karena di sektor
inilah bergantung nafkah rakyat dalam jumlah besar, dan di sinilah inti
masalah dari distribusi pendapatan.
3. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami
Kita sudah melihat bahwa angka rata-rata perkapita tidak
menyediakan kepada kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejah
teraan yang sesungguhnya. Adalah sangat penting untuk mengekspresikan
kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan jasa, sebagai
persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena, kemampuan
untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya,
sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahteraan dari
suatu negara atau bangsa.
14
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018,h.30
24
Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan
Tobin dengan Measures for Economics Welfare (MEW), dalam konteks
ekonomi Barat. Kalau GNP mengukur hasil, maka MEW merupakan ukuran
dari konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi kepada kesejahteraan
manusia. Perkiraan MEW di dasarkan kepada asumsi bahwa kesejahteraan
rumah tangga yang merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan ekonomi
sesungguhnya sangat bergantung pada tingkat konsumsinya.
Beranjak dari definisi konsumsi yang ada selama ini, kedua profesor
itu lalu membagi jenis konsumsi ke dalam tiga kategori:
a. Belanja untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa
polisi dan lain-lain.
b. Belanja rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang barang
yang habis dipakai.
c. Memperkirakan berkurangnya kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi,
polusi, dan kemacetan.
Di samping tiga kategori di atas, kedua profesor itu juga membuat tiga
tambahan pendekatan lagi, yakni:
a. Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang tahan lama yang
dikonsumsi selama setahun.
b. Memperkirakan nilai dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sendiri,
yang tidak melalui transaksi pasar.
c. Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur dalam konteks Barat, konsep ini sebenarnya
menyediakan petunjuk-petunjuk yang berharga untuk memperkirakan level
kebutuhan hidup minimum secara islami.
4. Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran dari Ke sejahteraan
Sosial Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antar saudara dan
Sedekah
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan
transfers payments seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah
25
memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat Islam. Dan ini bukan
sekadar pemberian secara sukarela pada orang lain namun merupakan
bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam
masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang
sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh
datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat
menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya
sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.
Di sejumlah negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan
transaksi yang didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan,
memiliki peran lebih penting dibanding di negara Barat. Tidak hanya karena
luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi yang diambil alih oleh keluarga
maupun suku, tetapi juga ada begitu banyak ragam kewajiban santunan di
antara anggota keluarga. Tidak semuanya melibatkan jumlah uang yang
besar, karena yang terjadi kadang-kadang hanya merupakan hibah berupa
barang atau jasa yang kecil nilainya. Ada satu kesenjangan keterkaitan
antara jasa dan pembayaran, misalnya donasi untuk pemeliharaan masjid,
menggaji imam masjid, kegiatan pedesaan, dan lain-lain. Adalah penting
untuk menentukan sifat alami dan tingkatan dari amal shadaqah antar
saudara15.
Melalui peningkatan pencatatan dan sektor tambahan dan jenis
tambahan dari aktivitas ini dapat dikaji untuk pengambilan keputusan.
Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada
mereka yang kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi
zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di negara
muslim. Kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai
persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagai
variabel kebijakan di dalam pengambilan keputusan di bidang sosial dan
ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan.
15
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018, h.31.
26
Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-
negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.
27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
28
B. Saran
29
Daftar Pustaka
Ibrahim Hasyim Ali, Ekonomi Makro, Ed.I, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2016.
Huda Nurul, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih,
Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta:
Kencana, 2018.
30