Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PENDAPATAN NASIONAL
(National Income)
Dosen pengampu :Dr. Syahriah Semaun, S.E., M.M
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Ekonomi Makro Islam

Oleh:

BUNGA PURNAMASARI 2220203860102007


SUMI 2220203860102008

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH PASCASARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, taufik,

serta inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pendapatan

Nasional (National Income)”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan

kepada Nabi Muhammad SAW yang membimbing kita menuju jalan yang

diridhoi oleh-Nya.

Terima kasih kepada dosen yaitu Ibu Dr. Syahriah Semaun, S.E., M.M

selaku dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya dan membimbing kepada

kami selama proses perkuliahan. Dalam pembuatan makalah ini penulis telah

berusaha semaksimal mungkin agar dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dan pemenuhan tugas

mata kuliah Ekonomi Makro Islam.

Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita, dan penulis mengharapkan

masukan, kritik dan saran dari para pembaca. Karena penulis menyadari bahwa

makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Parepare, 19 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendapatan Nasional ............................................................ 3
B. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Pertama Yaitu Cara
Pengeluaran ............................................................................................ 5
C. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Kedua Yaitu Cara
Produk Neto .......................................................................................... 12
D. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Ketiga Yaitu Cara
Pendapatan ............................................................................................ 16
E. Pendapatan Nasional dalam Pendekatan Ekonomi Islam ..................... 20
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 28
B. Saran ..................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keadaan dan perkembangan perekonomian suatu negara dapat dinilai
dengan beberapa ukuran. Ukuran baku yang digunakan selama ini di antaranya
adalah: Produk Domestik Bruto, Produk Nasional Bruto, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan nasional, pendapatan per kapita, rasio pajak, rasio hutang, indeks gini,
dan indeks pembangunan manusia. Selain itu, sejak dua dasawarsa terakhir,
dikenal pula ukuran baru, seperti: indeks daya saing dan indeks kenyamanan
investasi.
Dalam konteks ekonomi, sebagian kelompok masyarakat kerap memiliki

tingkat pendapatan yang tinggi. Pendapatan tersebut tentu saja tidak sepenuhnya

digunakan untuk aktifitas konsumsi. Bahkan dalam level tertentu, ketika

masyarakat memiliki pendapatan yang sangat tinggi kecenderungan mereka untuk

menggunakan pendapatannya untuk konsumsi makin menurun. Kelebihan

pendapatan tersebut tentu saja dialokasikan untuk ditabung dan atau

diinvestasikan pada berbagai portofolio investasi.

Pendapatan nasional adalah suatu alat ukur untuk menentukan tingkat

perekonomian suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional bertujuan untuk

memperoleh gambaran tentang tingkat ekonomi yang sudah dicapai dalam suatu

negara Pendapatan nasonal dapat dihitung setelah diketahui nilai dari unsur

ekonomi negara lainnya, antara lain Gross Domestic Product atau GDP. Dalam

perhitungan pendapatan nasional ada beberapa pendekatan yaitu pendekatan

produksi, pendekatan pendapatan, dan pendekatan pengeluaran. Dari tingkat

pendapatan nasional, kemudian dibagi jumlah penduduk, maka akan ditemukan

1
pendapatan perkapita (income per capita) negara tersebut. Selain itu, dalam

makalah ini akan dibahas juga mengenai pendapatan nasional perspektif ekonomi

islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian pendapatan nasional?

2. Bagaimana perhitungan pendapatan nasional dengan cara pertama?

3. Bagaimana perhitungan pendapatan nasional dengan cara kedua?

4. Bagaimana perhitungan pendapatan nasional dengan cara ketiga?

5. Bagaimana pendapatan nasional dalam pendekatan ekonomi islam?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian pendapatan nasional.

2. Untuk mengetahui perhitungan pendapatan nasional dengan cara

pertama.

3. Untuk mengetahui perhitungan pendapatan nasional dengan cara kedua.

4. Untuk mengetahui perhitungan pendapatan nasional dengan cara ketiga.

5. Untuk mengetahui pendapatan nasional dalam pendekatan ekonomi islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendapatan Nasional


Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty
dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya (Inggris)
pada tahun 1665. Secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan sebagai
jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu Negara pada periode tertentu
biasanya satu tahun.1 Dalam perhitungannya, menggunakan anggapan bahwa
pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama
setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi
modern, sebab menurut pandangan para ahli ilmu ekonomi modern, konsumsi
bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional.
Menurut mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian
adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product (GNP)), yaitu seluruh
jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan
diukur menurut harga pasar pada suatu negara2. Pengertian lain dari pendapatan
nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh factor-faktor produksi yang
digunakan untuk memproduksikan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu.
Dalam sistem perhitungan pendapatan nasional, jumlah pendapatan itu dinamakan
Produk Nasional Neto pada harga factor atau secara ringkas3.
Jadi Pendapatan Nasional adalah jumlah seluruh pendapatan yang diterima
oleh pemilik faktor-faktor produksi/rumah tangga (RT), yang digunakan untuk
memproduksi barang dan jasa dalam sebuah negara pada suatu periode tertentu
(biasanya dalam kurun waktu 1 tahun). Secara sederhana pendapatan nasional
(national income), merupakan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu
negara pada periode tertentu biasanya satu tahun.

1
Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Jakarta: Kencana, 2008, h.21
2
Muhammad, MAKROEKONOMI ISLAM: Suatu Pengantar, Yogyakarta: UPP STIM
YKPN, 2020, h.90
3
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.36
3
Perlu juga kita ketahui bahwa, Pendapatan Nasional (national income)
merupakan tolok ukur (yang dinilai paling baik) untuk menunjukkan keberhasilan
dan kegagalan perekonomian suatu negara, dari tingkat kesempatan kerja, tingkat
harga barang dan posisi neraca pembayaran luar negeri, serta pendapatan per
kapitanya. Jika factor-faktor yang memengaruhi tersebut menunjukkan posisi
yang sangat menguntungkan atau positif, maka tingkat keberhasilan atau tingkat
kemajuan ekonomi suatu Negara akan mudah tercapai, dan begitu pula
sebaliknya. Dari berbagai tolak ukur tersebut yang menjadi pokok bahasan kali ini
adalah pendapatan nasional (national income) atau produksi nasional (national
product).
Untuk menghitung Produk Nasional, seluruh perekonomian negara dipecah
pecah ke dalam 11 sektor atau lapangan usaha (industrial origin). Pemecahan ke
dalam 11 sektor ini dianggap sudah tuntas, tak ada yang tersisa. Pengertian sektor
di sini berbeda dengan pengertian dalam metode pengeluaran atau mungkin pula
dalam Repelita. Masing-masing sektor dibagi-bagi lagi ke dalam subsektor-
subsektor. Kegiatan dalam satu sektor atau lebih dipegang oleh satu departemen
atau lebih. Tapi tidak semua kegiatan dipegang oleh departemen, misalnya
kegiatan swasta, baik berupa perdagangan, perindustrian maupun pertanian.
Produk Nasional adalah volume produksi barang akhir kali harga (nilai), atau nilai
tambah barang-barang dan jasa-jasa kali harga (nilai).
Contoh yang paling jelas adalah pertanian subsistens. Apa yang di konsumsi
tidak didapat dengan jalan dibeli dari pasar tapi berasal dari hasil produksi sendiri.
Karena itu Perhitungan Pengeluaran Nasional lebih sukar daripada Produk
Nasional. Bahkan beberapa pengeluaran tidak mungkin dapat dihitung tanpa ada
Produk Nasional. Mengingat kesulitan-kesulitan yang demikian banyak itu, maka
usaha BPS untuk menghitung Produk Nasional dan Pengeluaran Nasional patut
dihargai4.

4 Ace Partadiredja, Perhitungan Pendapatan Nasional, Cet. 9, Jakarta: PT Pustaka LP3ES


Indonesia, 1994, h.52-53
4
B. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Pertama Yaitu Cara
Pengeluaran
Di negara-negara yang perekonomiannya sudah sangat maju seperti Negara
Belanda, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat, penghitungan pendapatan
nasional dengan cara pengeluaran/perbelanjaan adalah cara yang paling penting.
Hal ini disebabkan karena cara tersebut dapat memberikan keterangan-keterangan
yang sangat berguna mengenai tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai.
Data pendapatan nasional yang dihitung dengan cara pengeluaran akan
dapat memberi gambaran tentang (a) sampai di mana buruknya masalah ekonomi
yang dihadapi atau sampai di mana baiknya tingkat pertumbuhan yang dicapai dan
tingkat kemakmuran yang sedang dinikmati, dan (b) memberikan informasi dan
data yang dibutuhkan dalam analisis makroekonomi5.
Data pendapatan nasional dan komponen-komponen data yang dihitung
dengan cara pengeluaran dapat digunakan sebagai landasan untuk mengambil
langkah-langkah dalam mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi.
1. Komponen Pengeluaran Agregat dalam Perekonomian
Penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran membedakan
pengeluaran ke atas barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian kepada
4 komponen, yaitu: konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah,
pembentukan modal sektor swasta (investasi) dan ekspor neto (ekspor dikurangi
impor).
a. Konsumsi Rumah Tangga
Nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli
berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu dinamakan pengeluaran
konsumsi rumah tangga atau dalam analisis makroekonomi lebih lazim disebut
sebagai konsumsi rumah tangga.
Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk membeli
makanan, membeli pakaian, membiayai jasa pengangkutan, membayar pendidikan
anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut
5
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.37.
5
dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya, dan perbelanjaan tersebut
dinamakan konsumsi, yaitu membeli barang dan jasa untuk memuaskan keinginan
memiliki dan menggunakan barang tersebut.
Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan
sebagai konsumsi (rumah tangga). Kegiatan rumah tangga untuk membeli rumah
digolongkan sebagai investasi. Seterusnya, sebagian pengeluaran mereka, seperti
membayar asuransi dan mengirim uang kepada orang tua (atau anak yang sedang
bersekolah) tidak digolongkan sebagai konsumsi karena ia tidak merupakan
perbelanjaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan dalam perekonomian.
b. Pengeluaran Pemerintah
Berbeda dengan rumah tangga, yang membeli barang untuk memenuhi
kebutuhannya, pemerintah membeli barang terutama untuk kepentingan
masyarakat. Pengeluaran untuk menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan,
pengeluaran untuk menyediakan polisi dan tentara, pembayaran gaji untuk
pegawai pemerintah dan pembelanjaan untuk mengembangkan infrastruktur
dilakukan untuk kepentingan masyarakat.
Pembelian pemerintah ke atas barang dan jasa dapat digolongkan kepada
dua golongan yang utama: konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah. Yang
termasuk dalam golongan yang pertama (konsumsi pemerintah) adalah pembelian
ke atas barang dan jasa yang akan dikonsumsikan, seperti membayar gaji guru
sekolah, membeli alat-alat tulis dan kertas untuk digunakan dan membeli bensin
untuk kendaraan pemerintah.
Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun
prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi. Memberikan beasiswa,
bantuan untuk korban banjir, dan subsidi-subsidi pemerintah tidak digolongkan
sebagai pengeluaran pemerintah ke atas produk nasional karena itu bukanlah
untuk membeli barang dan jasa.
c. Pembentukan Modal Tetap Sektor Swasta
Pembentukan modal tetap sektor swasta atau lebih sering dinyatakan
sebagai investasi, pada hakikatnya berarti pengeluaran untuk membeli barang

6
modal yang dapat menaikkan produksi barang dan jasa di masa akan datang.
Membangun gedung perkantoran, mendirikan bangunan industri, membeli alat-
alat memproduksi adalah beberapa bentuk pengeluaran yang tergolong sebagai
investasi. Pengeluaran untuk investasi ini dilakukan bukan untuk dikonsumsi,
tetapi untuk digunakan dalam kegiatan memproduksi di waktu akan datang.
Dalam pengumpulan data mengenai investasi, pengeluaran tersebut
dibedakan kepada tiga jenis perbelanjaan berikut:
i. Pengeluaran ke atas barang modal dan peralatan produksi.
ii. Perubahan-perubahan dalam nilai inventori pada akhir tahun.
iii. Pengeluaran-pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal.
d. Ekspor Neto
Nilai ekspor yang dilakukan sesuatu negara dalam suatu tahun tertentu
dikurang dengan nilai impor dalam periode yang sama dinamakan ekspor neto.
Ekspor sesuatu negara, seluruh atau sebagian dari nilainya, merupakan barang dan
jasa yang dihasilkan di dalam negara. Oleh sebab itu nilainya harus dihitung ke
dalam pendapatan nasional. Barang impor merupakan produksi dari negara lain;
oleh sebab itu sebenarnya tidak perlu dihitung ke dalam pendapatan nasional.
Dalam praktek penghitungan pendapatan nasional tidak dapat dielakkan keadaan
di mana nilai barang impor termasuk dalam penghitungan. Sebagai contoh, ketika
seorang konsumen membeli mobil yang dipasang di dalam negeri, dia akan
membayar nilai barang impor-yaitu benda-benda yang dipasang dalam mobil
tersebut yang berasal dari impor. Contoh ini menunjukkan bahwa banyak di antara
barang jadi yang dibeli di dalam negeri (dan dibayar pada harga pasar) meliputi
juga nilai barang impor.
Contoh lain: sepatu yang dihasilkan di pabrik sepatu di Bandung
menggunakan kulit yang diimpor dari India. Nilai kulit yang di impor tersebut
tidak termasuk dalam pendapatan nasional Indonesia dan harus dikurangi dari
harga sepatu. Oleh karena keadaan-keadaan seperti yang dicontohkan ini, tidak
dapat dielakkan keadaan di mana nilai barang impor termasuk dalam
penghitungan pendapatan nasional. Untuk mengatasi kelemahan ini nilai impor

7
harus dikurangi dari nilai perbelanjaan lain. Dengan perkataan lain yang perlu
dihitung ke dalam pendapatan nasional hanyalah ekspor neto, yaitu ekspor setelah
dikurangi dengan impor6.
2. Menghitung Produk Domestik dan Produk Nasional Bruto
Seperti telah dinyatakan pada bagian yang terdahulu, pendapatan nasional
dapat dihitung menurut harga yang berlaku dan menurut harga tetap.
Penghitungan menurut harga tetap yang dilakukan di Indonesia pada masa ini
menggunakan harga-harga pada tahun 1993. Kedua cara penghitungan itu-
menurut harga tetap dan harga yang berlaku ditunjukkan dalam Tabel 1. Data
yang dikemukakan adalah data Pendapatan Domestik Bruto, Pendapatan Nasional
Bruto, dan data Pendapatan Nasional (yaitu Pendapatan Nasional Bersih (Neto)
pada harga faktor).
Berdasarkan kepada harga yang berlaku, Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun 2002 mencapai Rp 1.610 triliun. Pendapatan neto faktor-
faktor produksi bernilai negatif, yaitu sebesar Rp -77,8 triliun, yang berarti
Indonesia lebih banyak membayar ke luar dibandingkan dengan penerimaan dari
luar negeri. Sebagai akibatnya nilai Produk Nasional Bruto (PNB) lebih kecil dari
Produk Domestik Bruto-yaitu hanya mencapai Rp 1.532,2 triliun.
Komponen pengeluaran agregat yang terbesar adalah pengeluaran konsumsi
rumah tangga, yaitu sebanyak Rp 1.138,3 triliun dan meliputi 70,7 persen dari
Pendapatan Domestik Bruto. Ekspor juga relatif penting peranannya dalam
perekonomian dan nilai mencapai Rp 569,9 triliun dan meliputi 35,4 persen dari
Produk Domestik Bruto, Investasi hanya meliputi 20,2 persen dari PNB dan
pengeluaran pemerintah peranannya lebih kecil lagi, yaitu hanya meliputi 8,2
persen dari PDB.

6
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.39.
8
Tabel 1. Perhitungan Pendapatan Nasional Indonesia, 2002 (Triliun Rupiah)
Menurut harga Menurut
Jenis Pengeluaran berlaku harga tetap
Nilai Persentasi 1993
1. Pengeluaran konsumsi rumah tangga 1.138,3 70,7 302,1
2. Pengeluaran konsumsi pemerintah 132,1 8,2 35,3
3. Pembentukan modal tetap domestic
325,3 26,2 96,1
bruto
4. Perubahan stok -96,0 -6,0 -25,7
5. Ekspor barang dan jasa 569,9 35,4 116,9
6. Dikurangi: Impor barang dan jasa 459,6 28,5 98,0
PRODUK DOMESTIK BRUTO
1.610,0 100 426,7
(PDB)
7. Pendapatan neto factor dari luar negeri -77,8 -4,8 -22,2
PRODUK NASIONAL BRUTO 1.532,2 95,2 404,5
Dikurangi: Pajak tak langsung 71,2 4,4 18,9
Dikurangi: Depresiasi 80,5 5,0 21,3
PENDAPATAN NASIONAL 1.380,5 85,8 364,3
Sumber: Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002.
Konsep pendapatan nasional, seperti telah diterangkan, perlu dibedakan di
antara pengertian neto dan bruto. PNB (Pendapatan Nasional Bruto) perlu
dikurangi oleh depresiasi untuk memperoleh Pendapatan Nasional Neto atau Net
National Product (NNP). Selanjutnya NNP dapat dibedakan menurut harga pasar
dan menurut harga faktor. NNP menurut harga faktor adalah Pendapatan Negara.
Di banyak negara, hubungan di antara Produk Nasional Bruto (PNB) dan
Pendapatan Negara (PN) dapat dinyatakan dengan persamaan.
PN = PNB - Pajak tak langsung + Subsidi - Depresiasi
Akan tetapi, dalam penghitungan di Indonesia Subsidi tidak dihitung. Oleh sebab
itu di antara PNB dan PN terdapat hubungan yang berikut:
PN = PNB - Pajak tak langsung - Depresiasi

9
Dalam Tabel 1 juga dihitung Pendapatan Nasional, yaitu dengan mengurangi (6)
Pajak tak langsung dan (1) depresiasi dari Pendapatan Nasional Bruto. Pada tahun
2002 Pendapatan Nasional atau Pendapatan Nasional Neto pada harga faktor
bernilai Rp 1.380,5 triliun.
Di samping dihitung menurut harga yang berlaku, PDB, PNB dan PP - dan
komponen komponennya, juga dihitung menurut harga tetap dan tahun dasarnya
adalah tahun 1993. Data pendapatan nasional dan komponennya yang terdapat
dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai menurut harga tetap jauh lebih rendah
dari menurut harga yang berlaku. Perbedaan yang besar tersebut terutama
disebabkan oleh kenaikan harga yang tinggi dalam periode 1993 hingga 2002, dan
bukan karena pertumbuhan output negara yang pesat. PDB menurut harga tetap
hanya mencapai Rp 426,7 triliun, dan PNB pada harga tetap adalah Rp 404,5
triliun7.
3. Masalah Penghitungan Dua Kali
Dengan cara pengeluaran, pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlahkan nilai perbelanjaan dari berbagai golongan masyarakat ke atas
barang-barang jadi dan jasa-jasa yang diproduksikan dalam perekonomian
tersebut. Barang-barang atau jasa-jasa yang diimpor tidak dimasukkan dalam
penghitungan ini. Begitu juga, barang-barang produksi dalam negeri yang akan
diproses kembali oleh perusahaan-perusahaan lain untuk dijadikan barang-barang
lain, tidak turut dihitung untuk menentukan besarnya pendapatan nasional.
Barang-barang yang masih akan diproses lagi, nilainya tidak turut ditambahkan
dalam penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran adalah untuk
menghindari berlakunya penghitungan dua kali.
Ditinjau dari sudut apakah sesuatu barang itu mengalami proses produksi
selanjutnya atau tidak, barang-barang yang diproduksikan dalam perekonomian
perlu dibedakan dalam dua jenis: barang-barang jadi dan barang-barang setengah
jadi atau barang antara. Barang jadi adalah barang yang tidak mengalami proses
produksi lebih lanjut, dan dapat langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan
7
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.41.
10
masyarakat. Contohnya: baju, celana dan sepatu. Sedangkan barang setengah jadi
atau barang antara adalah barang yang harus mengalami proses produksi lebih
lanjut sebelum ia dapat digunakan oleh masyarakat. Contohnya: tepung, karet,
minyak kelapa sawit dan benang tenun.
4. Nilai Barang Jadi dan Nilai Tambah
Dalam menghitung nilai pendapatan nasional menurut cara pengeluaran
adalah penting untuk membedakan dengan sebaik-baiknya di antara barang-
barang jadi dan barang-barang setengah jadi. Tindakan itu perlu dilakukan, seperti
telah dikatakan, untuk menghindari penghitungan dua kali ke atas nilai barang-
barang dan jasa-jasa yang diproduksikan dan dihitung dalam pendapatan nasional.
Di dalam setiap perekonomian kebanyakan barang, sebelum menjadi barang
jadi, harus melalui beberapa tingkat proses produksi. Di dalam perekonomian
seringkali berlaku keadaan di mana sesuatu barang itu diproses oleh beberapa
perusahaan sebelum menjadi barang jadi. Ini berarti sesuatu barang tertentu sudah
beberapa kali diperjualbelikan di pasar sebelum ia selesai mengalami proses
produksi. Apabila semua nilai jual beli yang berlaku dalam perekonomian
dijumlahkan ke dalam pendapatan nasional, maka nilai yang diperoleh adalah
lebih besar dari nilai produksi yang sebenarnya telah diciptakan. Perhitungan nilai
pendapatan nasional yang terlalu besar ini terjadi karena nilai barang yang sama
telah beberapa kali dijumlahkan dalam pendapatan nasional.
Untuk menghindari terjadinya hal seperti ini, yang harus dijumlahkan di
dalam menghitung pendapatan nasional adalah: (i) nilai barang-barang jadi saja,
atau (ii) nilai-nilai tambahan yang diciptakan dalam setiap tingkat proses
produksi. Penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran dilakukan
dengan menjumlahkan nilai barang-barang jadi yang dihasilkan dalam per
ekonomian.
Perhitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran adalah sebagai
berikut:

Y=C+I+G+(X–M)

11
Keterangan:
Y = Pendapatan Nasional
C = Pengeluaran Konsumsi
I = Pengeluaran Investasi
G = Pengeluaran Pemerintah
X = Eksport
M = Import

1. Rumah tangga berupa konsumsi (C)


Nilai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk
membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu.
2. Perusahaan berupa investasi (I)
Pengeluaran untuk membeli barang modal yang dapat menaikkan
produksi barang dan jasa di masa yang akan datang.
3. Pengeluaran pemerintah (G)
Pengeluaran yang dilakukan pemerintah untuk menyediakan
fasilitas bagi kepentingan masyarakat.
4. Pengeluaran ekspor dan impor (X – M)
Nilai Ekspor yang dilakukan suatu negara dalam satu tahun tertentu
dikurangi dengan nilai impornya dalam periode waktu yang sama

C. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Kedua Yaitu Cara


Produk Neto
Produk neto (net output) berarti nilai tambah yang diciptakan dalam suatu
proses produksi. Dengan demikian, cara kedua untuk menghitung pendapatan
nasional ini adalah cara menghitung dengan menjumlahkan nilai tambah yang
diwujudkan oleh perusahaan-perusahaan di berbagai lapangan usaha dalam
perekonomian. Penggunaan cara ini dalam menghitung pendapatan nasional
mempunyai dua tujuan penting:

i. Untuk mengetahui besarnya sumbangan berbagai sektor ekonomi di dalam


mewujudkan pendapatan nasional.
ii. Sebagai salah satu cara untuk menghindari penghitungan dua kali-yaitu
dengan hanya menghitung nilai produksi neto yang diwujudkan pada
berbagai tahap proses produksi.

Sebelum penghitungan cara produk neto (cara produksi) diterangkan,


terlebih dahulu akan ditunjukkan suatu contoh sederhana untuk menghitung nilai
tambah.
12
1. Menghitung Nilai Tambah
Dalam contoh ini akan diperhatikan transaksi dan kegiatan memproduksi
yang akan dilalui dalam mewujudkan perabot rumah tangga-seperti kursi, tempat
tidur, dan lemari. Kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk membuat perabot
itu adalah menebang kayu di hutan, menggergaji kayu hutan untuk dijadikan
papan, membuat perabot di pabrik perabot, dan menjual perabot itu di toko
perabot.
Seterusnya misalkan kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh 4 perusahaan
yang berbeda. Perusahaan yang menebang kayu menjual kayu hutan kepada
penggergaji papan seharga Rp 50 ribu. Papan yang digergaji dijual kepada
pembuat perabot dengan harga Rp 200 ribu. Pengusaha perabot, setelah membuat
berbagai jenis perabor dan menjualnya, memperoleh hasil penjualan sebanyak Rp
600 ribu. Secara keseluruhan toko perabot menerima Rp 800 ribu dari penjualan
perabot kepada konsumen. Berdasarkan contoh di atas, dalam Tabel 2.
ditunjukkan cara menghitung nilai tambah.

Dimisalkan pengambilan kayu hutan tidak membayar sesuatu pun untuk


menebang kayu di hutan. Dengan demikian nilai tambah yang diciptakan
penebang kayu hutan adalah Rp 50 ribu. Secara keseluruhannya nilai tambah yang
diciptakan oleh keempat kegiatan ekonomi tersebut adalah sebagai berikut (nilai
dalam ribu rupiah):

Tabel 2. Contoh Menghitung Nilai Tambah

Nilai (Ribu Nilai


Jenis Kegiatan
Penjualan rupiah) Tambah
1. Mengambil kayu hutan 50 50
2. Menggergaji papan 200 150
3. Membuat perabot 600 400
4. Menjual perabot di toko 800 200
Jumlah nilai penjualan dan nilai tambah 1.650 800

i. Penebang kayu pohon Rp 50 ribu


ii. Penggergaji papan Rp 200 – Rp 50 = Rp 150 ribu
iii. Pembuat perabot Rp 600 – Rp 200 = Rp 200 ribu
iv. Toko perabot Rp 800 – Rp 600 = Rp 200 ribu

13
Dengan demikian jumlah nilai tambah yang diwujudkan oleh keempat
kegiatan itu adalah: ( ) . (Catatan: Jumlah
nilai penjualan adalah Rp 1.650 ribu). Pengeluaran konsumen untuk membeli
perabot ini adalah Rp 800 ribu juga. Ini berarti dalam penghitungan menurut cara
produk neto, nilai pendapatan nasional yang disumbangkan berbagai kegiatan di
atas adalah sama dengan dalam penghitungan menurut cara pengeluaran. Contoh
ini jelas menunjukkan bahwa terdapat dua alternatif dalam menghitung
pendapatan nasional, yaitu cara pengeluaran dan cara produk neto. Dalam cara
pengeluaran yang diperhatikan adalah nilai barang jadi (perabot) yang dijual toko
perabot, sedangkan dalam cara produk neto yang diperhatikan adalah tambahan
nilai yang diwujudkan oleh empat kegiatan ekonomi di atas8.

2. PNB Menurut Lapangan Usaha


Dalam Tabel 3 ditunjukkan bagaimana pendapatan nasional menurut cara
produk neto dihitung Data yang dikemukakan adalah untuk tahun 2002, Data yang
dikumpulkan digolongkan kepada berbagai sektor di mana nilai tambah
diwujudkan. Oleh sebab itu data yang dikemukakan dinamakan Produk Domestik
Bruto (PDB) menurut lapangan usaha.
Tabel 3 menunjukkan berbagai kegiatan ekonomi di Indonesia dan
sumbangannya dalam mewujudkan pendapatan nasional. Nilai produksi suatu
sektor menggambarkan nilat tambah yang diwujudkan oleh sektor tersebut.
Sebagai contoh, misalkan produksi sektor pertanian adalah Rp 300 triliun dan
sektor tersebut membeli bahan mentah dari sektor lain dengan nilai Rp 100 triliun.
Berdasarkan contoh ini dapatlah disimpulkan bahwa sektor pertanian
menghasilkan nilai tambah sebanyak Rp 200 triliun.

Penghitungan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3 menunjukkan sektor-


sektor ekonomi dalam perekonomian Indonesia dibedakan kepada 9 sektor. Dua
sektor yang pertama dinamakan juga sebagai sektor primer. Tiga sektor
berikutnya, yaitu (i) industri pengolahan,

8
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.43.
14
Tabel 3. Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha, 2002 (Triliun
Rupiah)

Menurut harga Harga tetap


Lapangan usaha berlaku tahun 1993
Nilai % Nilai %
1. Perhatian, peternakan, kehutanan, 281,3 17,6 68,0 15,9
perikanan
2. Pertambangan dan penggalian 191,8 11,9 39,8 9,3
3. Industri pengolahan 402,6 25,0 113,7 26,7
4. Listrik, gas dan air 29,1 1,8 7,5 1,8
5. Bangunan 92,4 5,7 25,3 5,9
6. Perdagangan, hotel dan restoran 258,9 16,1 69,3 16,2
7. Pengangkutan dan komunikasi 97,3 6,0 33,6 7,9
8. Keuangan, sewa dan jasa 105,6 6,5 29,9 7,0
perusahaan
9. Jasa-jasa lain (termasuk 151,0 9,4 39,6 9,3
pemerintahan)
PRODUK DOMESTIK BRUTO 1.610,0 100,0 426,7 100,0
Sumber: Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 2002

(ii) listrik, gas dan air, dan (iii) bangunan digolongkan kepada sektor
sekunder, dan sektor ke-6 hingga ke-9 digolongkan sebagai tektor pasa atau sektor
tertier. Data PDB menurut harga yang berlaku untuk tahun 2002 memberikan
informasi yang berikut9:

i. Lapangan usaha terpenting dalam ekonomi Indonesia adalah kegiatan


industri pengolahan, yang menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 402,6
triliun dan meliputi 25 persen dari PDB.
ii. Sektor primer-yang meliputi pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan
dan pertambangan adalah lebih penting dari sektor sekunder dan sektor
jasa-jasa. Sektor primer menghasilkan Rp 473, 1 triliun (dihitung dari
menambahkan nilai tambah yang diwujudkan sektor pertanian dan
pertambangan) dan meliputi 39,5 persen dari PDB.
iii. Kegiatan perdagangan, hotel dan restoran memberi sumbangan kepada
PDB yang hampir sama pentingnya dengan sektor pertanian.

9
Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali Pers,
2015, h.44.
15
D. Perhitungan Pendapatan Nasional dengan Cara Ketiga Yaitu Cara
Pendapatan
1. Pendekatan Pendapatan
Pendekatan lainnya untuk mengukur pendapatan nasional biasanya
dinamakan factor payment approach dan kadang-kadang dinamakan factor
income approach. Pendekatan pendapatan ini terdiri dari empat komponen utama,
yaitu: (1) rent, yang berarti bayaran bagi jasa-jasa tanah dan factor-faktor lain
yang di sewa; (2) wages and salaries atau disingkat wages, yang berarti
pembayaran bagi jasa tenaga kerja; (3) interest atau bunga modal; dan (4) profit,
yang berarti keuntungan. Bunga dan keuntungan merupakan bayaran untuk jasa
modal (capital). Untuk memperoleh barang-barang modalnya, perusahaan
membutuhkan uang yang dipinjam dari pemilik modal .
Interest di dapatkan oleh mereka yang meminjamkan uangnya pada
perusahaan , dan profit didapatkan oleh mereka yang memiliki perusahaan.
Sebagian profit dikeluarkan sebagai dividents kepada milik modal/uang, sisanya
ditahan untuk digunakan oleh perusahaan. Yang pertama disebut distributed profit
dan yang kedua di sebut undistributed profit. Perluh diingat, bahwa dalam
komponen factor payment tersebut masih termasuk pajak dan pajak ini harus
dibayarkan kepada pemerintah oleh penerima factor payment tersebut. Hingga
saat ini Indonesia belum menerapkan perhitungan pendekatan pendapatan. Selama
ini perhitungan yang dilakukan yaitu pendekatan produksi dan pendekatan
pengeluaran10.
Ditinjau dari pendekatan pendapatan, penghitungan pendapatan nasional
dilakukan dengan cara mengumpulkan data pendapatan yang diperoleh oleh
rumah tangga keluarga. Atau dengan cara menjumlahkan pendapatan yang
diterima oleh pemilik faktor produksi dalam suatu masyarakat selama satu tahun.
Pendapatan ini berupa sewa, upah dan gaji, bunga, dan laba usaha. Perhitungan
pendapatan nasional dengan pendekatan Pendapatan dapat menggunakan rumus
berikut:

10
Ali Ibrahim Hasyim, Ekonomi Makro, Ed.I, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2016, h.49-50.
16
Y=R+W+I+P

Keterangan:
Y = Pendapatan Nasional
R = Rent (Sewa)
P = Profit (laba)
W = Wages (upah)
I = Interest (bunga)

2. Penggolongan Pendapatan Faktor Produksi


Dalam penghitungan Pendapatan Nasional yang sebenarnya, penggolongan
pendapatan faktor-faktor produksi tidak selalu mengikuti penggolongan
pendapatan faktor-faktor produksi seperti yang dinyatakan di atas. Dengan
perkataan lain, Pendapatan Nasional tidak ditentukan dengan menghitung dan
menjumlahkan seluruh gaji dan upah, sewa, bunga, dan keuntungan yang diterima
oleh seluruh faktor-faktor produksi dalam suatu tahun tertentu. Sebabnya adalah
karena dalam perekonomian terdapat banyak kegiatan di mana pendapatannya
merupakan gabungan dari gaji atau upah, sewa, bunga, dan keuntungan.
Contoh dari bentuk pendapatan yang demikian adalah pendapatan yang
diperoleh perusahaan-perusahaan perseorangan. Untuk suatu perusahaan
perseorangan (misalnya restoran yang dikelola anggota keluarga), yang
dimaksudkan "keuntungan usahanya" adalah gabungan dari gaji, upah, bunga,
sewa, dan keuntungan sebenarnya dari usaha yang dilakukan oleh keluarga
tersebut. Oleh karenanya, penghitungan pendapatan nasional dengan cara
pendapatan pada umumnya menggolongkan pendapatan yang diterima faktor-
faktor produksi secara berikut:
i. Pendapatan para pekerja, yaitu gaji dan upah.
ii. Pendapatan dari usaha perseorangan (perusahaan perseorangan).
iii. Pendapatan dari sewa.
iv. Bunga neto-yaitu seluruh nilai pembayaran bunga yang dilakukan
dikurangi bunga ke atas pinjaman konsumsi dan bunga ke atas pinjaman
pemerintah.
17
v. Keuntungan perusahaan.
Yang dinyatakan dalam (ii) mencerminkan jumlah gaji dan upah, bunga, sewa dan
keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan yang dijalankan oleh
pemiliknya sendiri dan keluarganya.
3. Contoh Penghitungan
Sampai sekarang Indonesia belum menggunakan cara ini untuk menghitung
pendapatan nasionalnya. Salah satu negara yang menggunakan cara penggolongan
data Pendapatan Nasional seperti cara yang dijelaskan di atas adalah Amerika
Serikat. Pendapatan nasional dari negara itu pada tahun 1997 ditunjukkan dalam
Tabel 4.
Data yang diberikan menunjukkan bahwa Pendapatan Nasional Amerika
Serikat pada tahun tersebut adalah US$ 6.650 milyar. Nilai ini adalah lebih rendah
dari Produk Domestik Bruto Amerika Serikat pada tahun yang sama, yaitu sebesar
US$ 8.084. Hal tersebut disebabkan karena depresiasi, pajak tidak langsung, dan
pendapatan neto faktor dari luar tidak termasuk lagi dalam nilai tersebut 11.
Tabel 4. Pendapatan Nasional Amerika Serikat, 1997 (milyar dolar Amerika)
Jenis Kegiatan Nilai (milyar) Persentasi
1. Ganjaran untuk pekerja 4.703 70,7
2. Pendapatan usaha perseorangan 545 8,2
3. Pendapatan dari sewa 148 2,2
4. Keuntungan perusahaan perseroan 804 12,1
5. Bunga bersih neto 450 6,8
Pendapatan Nasional 6.650 100,0

Komponen yang terutama dari Pendapatan Nasional adalah "Ganjaran untuk


pekerja", yaitu upah, gaji, bonus dan pendapatan pekerja yang lain yang nilainya
adalah sebanyak US$ 4.703 milyar dan meliputi hampir 71 persen dari
Pendapatan Nasional. Keuntungan perusahaan perseroan hanya meliputi bagian

11 Sadono Sukirno, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali


Pers, 2015, h.37.
18
yang kecil saja dari Pendapatan Nasional; nilainya berjumlah US$ 804 milyar dan
meliputi 12,1 persen dari Pendapatan Nasional. Bunga neto berjumlah US$ 450
milyar dan meliputi 6,8 persen dari Pendapatan Nasional.
Dalam penghitungan Pendapatan Nasional, salah satu istilah yang perlu
diterangkan secara lebih mendalam adalah bunga neto. Bunga neto adalah jumlah
bunga yang dibayar dalam perekonomian dalam suatu tahun tertentu dikurangi
dengan: (i) bunga ke atas pinjaman pemerintah, dan (ii) bunga ke atas pinjaman
konsumen. Kedua jenis bunga tersebut adalah bunga ke atas pinjaman yang
digunakan bukan untuk membiayai kegiatan yang produktif, dan oleh sebab itu
tidak termasuk dalam Pendapatan Nasional (yang meliputi pendapatan fakfor-
faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam
perekonomian). Meminjam uang untuk membeli mobil misalnya adalah pinjaman
yang bukan membiayai kegiatan produktif. Begitu juga halnya dengan pinjaman
pemerintah. Kerap kali ia digunakan bukan untuk membiayai kegiatan yang tidak
produktif, misalnya apabila pinjaman itu digunakan untuk memberi subsidi dan
membayar pensiun pegawai.
4. Hubungan Di Antara GNP dan NI
Dalam penghitungan cara pengeluaran nilai pendapatan nasional yang
diperoleh adalah Produk Nasional Bruto atau GNP, sedangkan penghitungan cara
pendapatan menghasilkan Pendapatan Nasional (National Income) atau NI.
Bagaimanakah perkaitan di antara kedua konsep tersebut? Data dalam Tabel 5
menunjukkan cara mendapatkan Pendapatan Nasional dari nilai Produk Nasional
Bruto. Untuk memperoleh nilai Produk Nasional Neto, Produk Nasional Bruto
harus dikurangi oleh depresiasi. Pada tahun 1997 nilai Produk Nasional Bruto
Amerika Serikat adalah 8.063 milyar dolar US. Nilai depresiasi adalah US$ 868
milyar dan ini meliputi hampir 11 persen dari Produk Nasional Bruto. Dengan
demikian Produk Nasional Neto bemilai US$ 7.195 milyar Untuk memperoleh
Pendapatan Nasional pajak tak langsung harus dikurangkan dari Produk Nasional
Neto, sedangkan subsidi ditambahkan. Penghitungan dalam tabel 5 menunjukkan

19
Pendapatan Nasional adalah US$ 6.650 milyar dan nilai ini adalah sama dengan
yang di hitung dalam tabel 4.
Tabel 5. Perhubungan di antara GNP dan NI di Amerika Serikat, 1997
Jenis pendapatan Nilai (US $ milyar)
Produk Nasional Bruto 8.063
Kurang: Depresiasi 868
Produk Nasional Neto 7.195
Kurang: pajak tak langsung setelah dikurangi subsidi 545
Pendapatan Nasional 6.650

E. Pendapatan Nasional dalam Pendekatan Ekonomi Islam


Pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat
dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi (measure of economic
welfare) atau kesejahteraan pada suatu negara. Pada waktu GNP naik, maka
diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya atau
sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita).
Kritik terhadap GNP sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi muncul dan para
pengkritik mengatakan bahwa GNP/kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang
tidak sempurna. Sebagai contoh, jika nilai output turun sebagai akibat orang-orang
mengurangi jam kerja atau menambah waktu leisure/istirahatnya tentunya hal itu
bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk. Secara sederhana
formulasi konsep MEW12:
MEW: C-public expenditures-durable goods consumption-loss of welfare due to
pollution, urbanization and congestion + value of durables actually consumed
during the year + value of non-market services+ value of leisure.
Nordhaus dan Tobin dari Yale bersama-sama dalam tahun 1972 mengajukan
konsep MEW (Measure of Economic Welfare), tetapi sayang konsep ini tidak
berkembang dan sampai saat ini cenderung penggunaan GDP riil/kapita sebagai

12
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018, h.27
20
ukuran kesejahteraan suatu negara masih digunakan. Beberapa keberatan
penggunaan GDP riil/kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu negara sebagai
berikut:
1. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP.
Produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP.
2. GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini
sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang
akan semakin menginginkan waktu istirahat.
3. Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal
kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan.
4. Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali
pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air
maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan.
Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang
hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, di mana komponen-komponen
rohaniah masuk ke dalam pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah
sistem ekonomi (nidhom al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat
mengantar umat manusia kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang
sebenarnya.
Memang benar bahwa semua sistem ekonomi baik yang sudah tidak eksis
lagi dan telah terkubur oleh sejarah maupun yang saat ini sedang berada di puncak
kejayaannya, bertujuan untuk mengantarkan kesejahteraan kepada para
pemeluknya. Namun lebih sering kesejahteraan itu diwujudkan pada peningkatan
GNP yang tinggi, yang kalau dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan
perkapita income yang tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern
akan mendapat angka maksimal. Akan tetapi, pendapatan perkapita yang tinggi
bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya
merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficient
condition. Al-falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep Islam tentang

21
manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena
itu seluruh kegiatan duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja
untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan
ruhani di mana roh merupakan esensi manusia.
Maka dari itu, selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis
kesejahteraan, penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus
mampu mengenali bagaimana interaksi instrumen instrumen wakaf, zakat, dan
sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat,
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk
mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem
moral dan sosial Islam. Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur
dengan pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam, sehingga
tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan tidak bias. Empat hal
tersebut adalah13:
1. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Penyebaran Pendapatan
Individu Rumah Tangga
Kendati GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi
yang terjadi di pasar, GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi
nyata dari output perkapita. Semestinya, penghitungan pendapatan nasional
islami harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari output perkapita
tersebut, karena dari sinilah nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa
masuk. Jika penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa dideteksi
secara akurat, maka akan dengan mudah dikenali seberapa besar rakyat yang
masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Barangkali inilah yang menjelaskan, ketika pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada
rakyat miskin, terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang nyata dari
rakyat yang dikategorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat.
Penghitungan dari BPS didasarkan pada survei yang kurang mencerminkan
13
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018,h. 29
22
kenyataan sesungguhnya, sementara angka GNP memang tidak dapat
digunakan untuk mendeteksi jumlah penduduk miskin.
Demikian pula GNP tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang
tidak ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang
langsung dikonsumsi dan tidak memasuki ke pasar tidak tercatat di dalam
GNP. Padahal kenyataan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan individu.
Sesungguhnya angka ini bisa diperoleh melalui satu survei nasional yang
menyeluruh. Pendapatan perkapita yang diperoleh melalui survei demikian,
bisa diduga, akan menghasilkan angka yang lebih besar ketimbang GNP
perkapita.
Persoalan lainnya adalah, di dalam penghitungan GNP konvensional,
produksi barang-barang mewah memiliki bobot yang sama dengan produksi
barang-barang kebutuhan pokok. Maksudnya, produksi beras yang
menghasilkan uang Rp 10 juta, sama nilainya dengan produksi perhiasan
emas yang juga menghasilkan Rp 10 juta. Maka untuk lebih mendekatkan
pada ukuran kesejahteraan, ekonomi Islam menyarankan agar produksi
kebutuhan pokok memiliki bobot yang lebih berat ketimbang produksi
barang-barang mewah.
2. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaan
Sangatlah disadari bahwa tidaklah mudah mengukur secara akurat
produksi komoditas subsistens, namun bagaimanapun juga perlu satu
kesepakatan untuk memasukkan angka produksi komoditas yang dikelola
secara subsistens ke dalam penghitungan GNP. Paling tidak, dugaan kasar
dari hasil produksi subsistens tersebut harus masuk ke dalam penghitungan
pendapatan nasional. Komoditas subsistens ini, khususnya pangan,
sangatlah penting di negara-negara Muslim yang baru dalam beberapa
dekade ini masuk dalam percaturan perekonomian dunia.
Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas
subsistens ini adalah, kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui berapa
sesungguhnya pendapatan masyarakat desa dari sektor subsistens ini. Oleh

23
karena itu, kita juga tidak mengetahui, sekarang ini kondisinya dan apakah
sedang naik atau malah sedang turun. Padahal informasi itu sangat
dibutuhkan pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, khususnya
berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat lapisan bawah yang secara
masa memiliki jumlah terbesar.
Untuk mengetahui tingkat produksi komoditas subsistens ini, harus
diketahui terlebih dahulu tingkat harga yang digunakan. Pada umumnya ada
dua jenis harga pasar, yakni harga yang secara nyata diterima petani atau
diharapkan akan diterima oleh petani, dan satu set harga lainnya adalah nilai
yang dibayar oleh konsumen di pasar eceran. Peningkatan produksi
pertanian di tingkat rakyat pedesaan, umumnya justru mencerminkan
penurunan harga produk-produk pangan di tingkat konsumen suburban, atau
sekaligus mencerminkan peningkatan pendapatan para pedagang perantara,
yang posisinya berada di antara petani dan konsumen14.
Ketidakmampuan mendeteksi secara akurat pendapatan dari sektor
subsisten ini jelas satu kelemahan yang harus segera diatasi, karena di sektor
inilah bergantung nafkah rakyat dalam jumlah besar, dan di sinilah inti
masalah dari distribusi pendapatan.
3. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami
Kita sudah melihat bahwa angka rata-rata perkapita tidak
menyediakan kepada kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejah
teraan yang sesungguhnya. Adalah sangat penting untuk mengekspresikan
kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan jasa, sebagai
persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena, kemampuan
untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya,
sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahteraan dari
suatu negara atau bangsa.

14
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018,h.30
24
Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan
Tobin dengan Measures for Economics Welfare (MEW), dalam konteks
ekonomi Barat. Kalau GNP mengukur hasil, maka MEW merupakan ukuran
dari konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi kepada kesejahteraan
manusia. Perkiraan MEW di dasarkan kepada asumsi bahwa kesejahteraan
rumah tangga yang merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan ekonomi
sesungguhnya sangat bergantung pada tingkat konsumsinya.
Beranjak dari definisi konsumsi yang ada selama ini, kedua profesor
itu lalu membagi jenis konsumsi ke dalam tiga kategori:
a. Belanja untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa
polisi dan lain-lain.
b. Belanja rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang barang
yang habis dipakai.
c. Memperkirakan berkurangnya kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi,
polusi, dan kemacetan.
Di samping tiga kategori di atas, kedua profesor itu juga membuat tiga
tambahan pendekatan lagi, yakni:
a. Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang tahan lama yang
dikonsumsi selama setahun.
b. Memperkirakan nilai dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sendiri,
yang tidak melalui transaksi pasar.
c. Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur dalam konteks Barat, konsep ini sebenarnya
menyediakan petunjuk-petunjuk yang berharga untuk memperkirakan level
kebutuhan hidup minimum secara islami.
4. Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran dari Ke sejahteraan
Sosial Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antar saudara dan
Sedekah
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan
transfers payments seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah

25
memiliki peran yang signifikan di dalam masyarakat Islam. Dan ini bukan
sekadar pemberian secara sukarela pada orang lain namun merupakan
bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam
masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang
sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang memperoleh
datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan dana semacam ini dapat
menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya
sistem keamanan sosial yang mengakar di masyarakat Islam.
Di sejumlah negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan
transaksi yang didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan,
memiliki peran lebih penting dibanding di negara Barat. Tidak hanya karena
luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi yang diambil alih oleh keluarga
maupun suku, tetapi juga ada begitu banyak ragam kewajiban santunan di
antara anggota keluarga. Tidak semuanya melibatkan jumlah uang yang
besar, karena yang terjadi kadang-kadang hanya merupakan hibah berupa
barang atau jasa yang kecil nilainya. Ada satu kesenjangan keterkaitan
antara jasa dan pembayaran, misalnya donasi untuk pemeliharaan masjid,
menggaji imam masjid, kegiatan pedesaan, dan lain-lain. Adalah penting
untuk menentukan sifat alami dan tingkatan dari amal shadaqah antar
saudara15.
Melalui peningkatan pencatatan dan sektor tambahan dan jenis
tambahan dari aktivitas ini dapat dikaji untuk pengambilan keputusan.
Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada
mereka yang kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi
zakat, satu kewajiban pembayaran transfer yang paling penting di negara
muslim. Kini sedang diupayakan mengukur pendapatan dari zakat sebagai
persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagai
variabel kebijakan di dalam pengambilan keputusan di bidang sosial dan
ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan kemiskinan.
15
Nurul Huda, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih, Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta: Kencana, 2018, h.31.
26
Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di negara-
negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.

27
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Setiap negara akan selalu menghitung pendapatan nasionalnya-yaitu nilai


produksi dalam perekonomian, untuk mengetahui nilai output yang
diciptakan dalam negara itu pada suatu tahun tertentu. Pendapatan
nasional merupakan suatu ukuran penting untuk menentukan sejauh
mana tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sesuatu negara. Tiga cara
dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional: cara
pengeluaran, produk neto dan pendapatan.
2. Dalam cara pengeluaran, pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlahkan nilai pengeluaran yang dilakukan oleh empat golongan
pengguna barang dan jasa: rumah tangga, pemerintah, perusahaan-
perusahaan yang melakukan investasi dan penduduk negara lain yang
membeli produksi dalam negara. Yang dijumlahkan hanyalah nilai
pengeluaran ke atas barang jadi dan bertujuan untuk menghindarkan
penghitungan dua kali.
3. Dalam cara produk neto yang dijumlahkan adalah nilai tambah yang
diwujudkan oleh berbagai kegiatan ekonomi. Nilai tambah adalah
pertambahan nilai rupiah sesuatu barang sebagai hasil dari kegiatan
sesuatu perusahaan.
4. Dalam cara pendapatan, pendapatan nasional dihitung dengan
menjumlahkan pendapatan yang diterima faktor-faktor produksi yang
digunakan untuk menghasilkan pendapatan nasional. Berbagai jenis
pendapatan itu adalah: gaji dan upah (pendapatan tenaga kerja), sewa
(pendapatan tanah dan bangunan), bunga (pendapatan modal), dan
keuntungan (pendapatan pengusaha).
5. Pendekatan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi Islam dapat di
ukur dengan melalui:pendapatan nasional harus dapat mengukur
penyebaran pendapatan individu rumah tangga, pendapatan nasional
harus dapat mengukur produksi di sektor pedesaan, pendapatan nasional
harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi islami, penghitungan
pendapatan nasional sebagai ukuran dari ke sejahteraan sosial islami
melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah.

28
B. Saran

29
Daftar Pustaka

Muhammad, MAKROEKONOMI ISLAM: Suatu Pengantar, Yogyakarta: UPP


STIM YKPN, 2020.

Ibrahim Hasyim Ali, Ekonomi Makro, Ed.I, Cet.2, Jakarta: Kencana, 2016.

Sukirno Sadono, Makroekonomi Teori Pengantar, Ed.3, Cet.23, Jakarta: Rajawali


Pers, 2015.

Huda Nurul, Mustafa Edwin Nasution, Handi Risza Idris, Ranti Wiliasih,
Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Ed. 1, Cet. 6, Jakarta:
Kencana, 2018.

Partadiredja Ace, Perhitungan Pendapatan Nasional, Cet. 9, Jakarta: PT Pustaka


LP3ES Indonesia, 1994.

30

Anda mungkin juga menyukai