Anda di halaman 1dari 8

EKONOMI MIKRO ISLAM

Dosen Pengampu: Putri Catur Ayu Lestari, S.EI., M.A.

Disusun oleh:
Kelompok 8

1. Inas Islahatul Ummah (224105030017)


2. Khakimatul Marfu'ah (224105030025)
3. Solailluna Roisa Balgis (224105030036)
4. Sofiatul Hikmah (224105030042)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ JEMBER
TAHUN 2023
PEMBAHASAN

1. Teori Konsumsi Konvensional

Konsumsi ini dapat didefinisikan aktivitas atau tindakan penggunaan serta sumber
daya dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Termasuk dalam kebutuhan konsumsi ini antara
lain adalah pengeluaran untuk pakaian, sandang pangan dan papan.

Konsumsi merupakan aktifitas terbesar manusia dan memiliki kensekuensi kepada banyak
hal, termasuk dalam kontinuitas keberadaan sumber daya itu sendiri.

Menurut Samuelson, konsumsi adalah kegiatan menghabiskan utility (nilai guna) barang dan
jasa. Barang meliputi barang tahan lama dan barang tidak tahan lama. Barang konsumsi
menurut kebutuhannya, yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier.

Dalam teori konvensional konsumsi tidak memiliki norma ataupun aturan. Satu-
satunya yang menjadi pembatas dalam konsumsi hanyalah kelangkaan sumber daya, baik ini
kelangkaan dalam artian luas seperti ketersediaan sumber daya ataupun kelangkaan dalam
arti yang lebih sempit yaitu kelangkaan budget yang dimiliki.

Dalam ekonomi konvensional, konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh


kepuasan (utility) dalam kegiatan konsumsinya semata. Utility secara bahasa berarti berguna,
membantu atau menguntungkan. Konsumsi masyarakat merupakan fungsi dari pendapatan.
Ketika pendatapan masyarakat mampu untuk membeli suatu barang dan jasa, maka konsumsi
terhadap barang dan jasa tersebut akan terjadi. Artinya konsumsi yang dilakukan oleh
masyarakat berpatokan dari banyak atau kurang jumlah pendapatan. Jika masyarakat
mempunyai pendapatan yang tinggi atau meningkat, maka konsumsi terhadap barang dan jasa
tersebut juga akan meningkat. Hal ini mengesampingkan pertimbangkan terhadap nilai boros,
halal, dan kepentingan orang lain.

Konsumsi secara konvensional dapat digambarkan melalui kurva sebagai berikut:


Kurva konsumsi memiliki beberapa ciri yaitu:

• Memiliki slope atau kemiringan positif (+) artinya ketika Pendapatan


masyarakat meningkat, maka akan meningkatkan tingkat konsumsi
masyarakat.
• Kurva konsumsi dimulai dari titik 0 yaitu tingkat konsumsi masyarakat ketika
pendapatannya sama dengan Nol.

Dari bentuk kurva konsumsi seara konvensional diatas, dapat diketahui bahwa konsumsi
merupakan turunan dari fungsi pendapatan yaitu: Y = C + S

Pendapatan merupakan fungsi dari Konsumsi dan Saving. Hal ini berarti Pendapatan seoarng
konsumen akan digunakan untuk 2 hal yaitu konsumsi dan saving atau tabungan.

Maka, konsumsi diperoleh dari Y – S yaitu Pendapatan dikurangi Saving, dan sebaliknya
saving diperoleh dari Y – C yaitu Pendapatan dikurangi Konsumsi.

Oleh karena itu, pendapatan masyarakat hanya fokus terhadap konsumsi dan tabungan dan
tidak mempertimbangkan variabel lainnya.

2. Teori Konsumsi Islam

➢ Hubungan Riba dan Zakat

Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar Islam yang lima, bahkan Allah SWT telah
mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci harta mereka, yaitu
bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan
telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan
niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).

Sedangkan riba merupakan sistem penghancur ummat, ekonomi juga budaya Islam. Sistem
telah terbentuk, cara terbijak adalah dengan sangat meminimalisir segala yang berhubungan
dengan riba, jangan jadikan riba sebagai pola hidup, dan budayakan Kembali ekonomi Islam.
Dengan demikian, antara zakat dan riba mempunyai perbedaan yang tidak dapat disatukan.

Zakat yang di fahami selama ini berarti tumbuh, suci. Dan riba bermakna az-ziyadah
(bertambah). Tetapi makna yang telah di definisikan oleh fuqaha’ berbeda dengan yang
terjadi dilapangan. Masyarakat memahami bahwa zakat berarti mengurangi harta yang di
miliki. Sebab, jika seseorang yang telah diwajibkan Allah SWT untuk mengeluarkan
zakatnya, maka secara otomatis berkurang. Padahal kenyataan yang sebenarnya tidak
demikian.

Menurut yang mengeluarkan harta berkurang tetapi disisi Allah bertambah. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan riba. Masyarakat memahami bahwa apabila seseorang yang ingin
menabungkan uangnya yang di imingi-imingi dengan bunga, maka menurut mereka itu akan
bertambah. Padahal fakta yang sebenarnya, tidak demikian. Menurut si penabung bertambah,
tetapi di sisi Allah SWT tidak bertambah.

Riba secara bahasa berarti tambahan, sedangkan secara terminologis riba adalah
tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perumbangan dari
masa (meminjam).

Dalam madzhab Syafi‟i, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak
diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan
penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.

➢ Hubungan Tabungan dan Investasi

Investasi dan tabungan adalah dua hal yang terpisah, namun menjadi satu dalam kondisi yang
lebih makro. Seseorang yang berinvestasi sesungguhnya dia telah menjalankan kegiatan
menabung.

Dalam teori ekonomi dijelaskan bahwa investasi merupakan pembelian modal atau barang-
barang yang tidak dikonsumsi, namun digunakan untuk kegiatan produksi sehingga
menghasilkan barang atau jasa dimasa akan datang. Beberapa ahli ekonomi menyatakan
bahwa pembentukan investasi merupakan faktor penting terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi suatu negara.

Pembentukan investasi dapat dilakukan jika masyarakat tidak menggunakan semua


pendapatannya untuk di konsumsi, melainkan ada sebagian yang ditabungkan, tabungan ini
diperlukan untuk pembentukan investasi.

Ahli-ahli ekonomi Klasik berkeyakinan bahwa suku bunga menentukan besarnya tabungan

maupun investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian. Setiap perubahan dalam suku
bunga akan menyebabkan perubahan pula dalam tabungan dan permintaan dana untuk
investasi. Perubahan-perubahan dalam suku bunga akan terus- menerus berlangsung sebelum
kesamaan diantara jumlah tabungan dengan jumlah permintaan dana investasi tercapai.

Dapat dilihat, Sumbu datar dalam gambar tersebut menunjukan jumlah permintaan dana
untuk investasi dan tabungan, dan sumbu tegak menunujukan suku bunga.

Kurva I menunjukan permintaan para pengusaha terhadap tabungan rumah tangga (atau
keinginan pengusaha untuk melakukan investasi) pada berbagai suku bunga.

Menurut ahli-ahli ekonomi Klasik, keadaan keseimbangan di antara tabungan dan investasi
yang seperti ini adalah keadaan yang selalu terjadi dalam perekonomian.

Oleh sebab jumlah tabungan rumah tangga pada waktu perekonomian mencapai penggunaan
tenaga kerja penuh akan selalu sama dengan jumlah seluruh investasi yang akan dilakukan
oleh para pengusaha, maka dalam perekonomian pengeluaran agregat pada penggunaan
tenaga kerja penuh akan selalu dapat mencapai tingkat yang sama dengan penawaran agregat
pada penggunaan tenaga kerja penuh.

Konsumsi mempunyai hubungan yang erat dengan tingkat tabungan dimana tabungan
merupakan bagian dari pendapatan yang tidak dikonsumsi atau dibelanjakan. Suku bunga
mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat melalui tabungan.

Semakin tinggi tingkat suku bunga maka semakin besar jumlah uang yang ditabung sehingga
semakin kecil jumlah uang yang dibelanjakan untuk dikonsumsi. Sebaliknya, semakin rendah
tingkat bunga, maka jumlah uang yang ditabung semakin rendah maka semakin besar jumlah
uang yang digunakan untuk konsumsi. Sehingga hubungan antara konsumsi dan suku bunga
mempunyai arah yang bertentangan dimana peningkatan suku bunga akan mengurangi pola
konsumsi masyarakat.
3. Perilaku Konsumen Muslim

➢ Etika Konsumsi Dalam Islam

Agama Islam adalah sebuah agama yang saat ini memiliki perkembangan pesat dari
sisi jumlah pengikutnya. Bagaimana tidak, ilmu pengetahuan dan science sudah banyak
membuktikan kebenaran- kebenaran dalam kita suci Al-Quran.

Selain itu, Agama Islam adalah agama yang saat ini dianggap “Paling Logis” dan tidak
berlebihan dalam ajaran-ajarannya. Manusia diperbolehkan menikmati segala yang ada di
dunia selama sifatnya halal, takarannya sesuai dan bertujuan untuk mencari ridha Allah.

Dalam mengkonsumsi dan menikmati apapun yang ada di dunia ini, Agama Islam memiliki
sebuat Etika tersendiri yang harus dipatuhi oleh umatnya. Aturan-aturan tersebut bukanlah
bertujuan untuk mengekang “kebebasan” manusia, justru Allah SWT lebih mengetahui apa-
apa saja yang baik untuk manusia sebagai ciptaannya. Adapun Etika Islam dalam konsumsi
adalah sebagai berikut:

1. Tauhid (unity/ kesatuan)

Dalam perspektif Islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah
SWT sehingga senantiasa berada dalam hukum- hukum Allah. Karena itu seorang mukmin
berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah- perintahNya dan memuaskan dirinya
sendiri dengan barang- barang dan anugrah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia.

2. Adil (eqiulibrium/keadilan)

Pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai syariah, sehingga
disamping mendapatkan keuntungan material, ia juga sekaligus merasakan kepuasan
spiritual.

3. Free Will (kehendak bebas)

Alam semesta adalah milik Allah yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sepenuhnya
dan kesempurnaan atas makhluk- makhluk-Nya. Manusia diberi kekuasaan untuk mengambil
keuntungan dan manfaat sebanyak- banyaknya sesuai dengan kemampuannya atas barang –
barang ciptaan Allah.

4. Amanah (responsibility atau pertanggungjawaban)


Dalam melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebas, tetapi akan
mempertanggung jawabkan atas kebebasan tersebut, baik terhadap keseimbangan alam,
masyarakat, diri sendiri, maupun diakhirat kelak.

5. Halal

Dalam kerangka acuan Islam. barang- barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-
barang yang menunjukan nilai kebaikan, kesucian, keindahan serta akan menimbulkan
kemaslahatan untuk umat, baik secara material maupun spritual. Sebaliknya benda- benda
yang buruk tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat
dianggap sebagai barang- barang konsumsi dalam Islam serta dapat menimbulkan
kemudharatan apabila dikonsumsi akan dilarang.

6. Sederhana

Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas (israf) termasuk pemborosan dan
berlebih-lebihan yaitu membuang- buang harta dan menghambur- hamburkannya tanpa
faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata.

Secara sederhana maslahah dapat diartikan sebagai segala bentuk keadaan, baik
material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai
mahkluk yang paling mulia.

Selain itu juga mashlahah diartikan yaitu, merupakan segala bentuk kebaikan yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spritual serta individual dan kolektif serta
harus memenuhi tiga unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa
kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruahn yang tidak menimbulkan
kemudharatan.

Untuk menentukan tingkat maslahah konsumen dapat memperhatikan lima prinsip


yaitu prinsip keadilan, prinsip kebersihan, prinsip kesederhanaan, prinsip kemurahan hati, dan
prinsip moralitas. Selain itu, ada hal lain yang sangat penting untuk menentukan tingkat
maslahah konsumen yaitu halal dan haram.

Adapun barang dan jasa bisa mencapai tingkat maslahah yang maksimal atau masuk dalam
kriteria maslahah jika mencakup dan bertumpu pada kepentingan dunia dan akhirat, tidak
hanya terbatas pada sisi material semata, tetapi harus juga mengandung nilai-nilai spiritual,
dan telah ditetapkan syari’at atau berpijak kepada maslahah lainnya yang telah ditetapkan
syari’at. Dalam pembagian maslahah umum dan maslahah pribadi, Islam mendahulukan
kemaslahatan umum daripada kemaslahatan pribadi. Secara garis besarnya, takaran maslahah
tidak didasarkan pada penilaian akal manusia yang bersifat relatif-subyektif dan dibatasi
ruang dan waktu tetapi harus sesuai petunjuk syara’ yang mencakup kepentingan dunia dan
akherat. Serta tidak terbatas pada rasa enak atau tidak enak dalam artian fisik tetapi juga
dalam artian mental spiritual.

Anda mungkin juga menyukai