Anda di halaman 1dari 4

Eksistensi Ekonomi Islam di tengah Ekonomi Konvensional

Disusun Oleh:
Rieke Maulita/I000180046/Kelas B
Silviana Andarini Putri/I000180069/Kelas B

Saya setuju apabila ekonomi Islam merupakan satu cabang dari ekonomi
Konvensional karena saya hanya fokus terhadap perkembangan perekonomian yang ada di
Indonesia saja. Namun jika dilihat secara global, ekonomi Islam lebih dulu berkembang
dibandingkan dengan konvensional, hanya saja pada saat itu masyarakat Islam belum
memahami betul apa itu ekonomi Islam dan masih banyak masyarakat yang masih
meragukan dan mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara ekonomi Islam dengan
konvensional kecuali hanya menambahkan kata “Islam” setelah ekonomi. Seperti yang kita
ketahui, ekonomi Islam sudah ada sejak akhir abad 6 M, pada zaman Rasulullah SAW.
Menurut saya, ekonomi Islam merupakan suatu tingkah laku manusia yang berhubungan
dengan investasi, produksi, konsumsi, dan distribusi yang dapat menciptakan suatu
perekonomian yang lebih tertata, terbentuk, dan terarah sesuai dengan ajaran Islam. Apabila
berbicara mengenai negara Indonesia, ekonomi Islam hadir setelah adanya praktik-praktik
ekonomi konvensional yang kemudian masyarakat muslim ingin membuat sistem
perekonomian yang lebih baik dengan berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada dasarnya
ekonomi Islam hadir sebagai inovasi serta solusi bagi kaum musim untuk menghadapi krisis
global, khususnya di Indonesia. Hal itu, dapat diketahui melalui terbentuknya Lembaga
Keuangan Syariah, seperti Bank Muamalat pada tahun 1992. Terbitnya Bank Muamalat pada
tahun 1992, ternyata bersamaan dengan adanya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
memungkinkan perbankan menjalankan dual banking system.
Ekonomi Islam bersumber pada Al-Quran dan As-sunnah yang mempertimbangkan
waktu, sosial, moral, tanggung jawab, dan mengedepankan keadilan. Kedua sumber ini saling
berkaitan dengan praktek-praktek ekonomi yang terjadi saat ini, hanya saja masyarakat
kurang menerapkan prinsip syariahnya. Karena ekonomi Islam memiliki sifat universal, yang
artinya tidak membeda-bedakan antara ras, wilayah, etnis. Maka kehadirannya, diharapkan
mampu untuk membangun masyarakat yang sejahtera baik secara material maupun spiritual.
Tidak seperti ekonomi konvensional yang hanya bersumber pada pemikiran manusia yang
dapat mengabaikan moral, kepentingan sosial, dan bersifat fana.
Pemikiran mengenai ekonomi Islam muncul akibat dari respon terhadap permasalahan
dan tantangan ekonomi yang terjadi saat itu, banyak praktik-praktik ekonomi yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam yang bahkan mendatangkan mudharat bagi para pelakunya.
Dalam hal ini tentunya ajaran ekonomi Islam tidak terlepas dari ajaran ekonomi
konvensional, hanya saja dalam Islam lebih ditekankan dan lebih diperjelas untuk apa tujuan
ekonomi tersebut serta terdapat prinsip-prinsip dan juga batasan-batasan dalam menjalankan
praktik ekonomi. Seperti contohnya dalam ekonomi konvensional transaksi apa saja
diperbolehkan tidak ada batasan jenis barang, berbeda dengan ekonomi Islam yang memiliki
batasan terhadap beberapa jenis barang yang diharamkan seperti jual beli khamr, babi, dan
anjing. Selain praktik jual beli dengan objek yang dilarang oleh Islam, ada beberapa transaksi
yang dilarang oleh Islam seperti Riba, Gharar, Maisir, Tadlis, Risywah, Ghabn, Ba’i Najasy,
Ikhtikar, Ta’alluq, Ba’i al-mudtarr, Ikrah, dll. Semua ketetapannya sudah mutlak tertulis di
Al-Quran maupun As-Sunnah.
Setiap manusia tentunya mempunyai harta dan benda. Islam, sangat menganjurkan
kaumnya untuk menggunakan harta benda itu sebaik-baiknya, yang harus mempunyai
manfaat. Seperti yang terdapat dalam Q.S Al-Baqarah ayat 110, yang memiliki arti “Dan
laksakanlah sholat dan tunaikanlah zakat. Dan segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk
dirimu, kamu akan mendapatkan (pahala) di sisi Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan”. Selain zakat, ada anjuran lain seperti menyisihkan sebagian harta kita
untuk infaq, shadaqah, dan masih banyak lagi. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam al
Quran: “Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara golongan kaya saja dikalanan
kamu” (Al-Hasyar: 7). Prinsip ini dimaksudkan agar keseimbangan dan kestabilan harta
1
dalam masyarakat tetap terjaga. Sebab sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang
bermanfaat bagi orang lain.
Kenyataannya, manusia memiliki sifat homo economicus yang memiliki arti manusia
economi. Maksudnya, manusia mempunyai kebebasan untuk mencapai tujuannya. Oleh
karena itu, perilaku konsumsi manusia sangat berhubungan dengan kegiatan ekonomi. Yang
mana, semua itu tergantung pada pendapatan, lingkungan, dan gaya hidup masing-masing
individu. Tujuan konsumsi menurut Islam yakni meningkatkan maslahah, dengan cara
menerapkan sistem kecukupan dibandingkan kepuasan untuk kebutuhan. Dengan begitu,
secara tidak langsung kita sudah menggeser sistem konvensional menuju kepada sistem
Islam. Karena jika berbicara mengenai rasa puas terhadap sesuatu yang kita butuhkan, tidak

1
Rustam Dahar KAH, “Teori Invisible Hand Adam Smith Dalam Perspektif Ekonomi Islam”, Economica:
Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 2, Edisi 2, 2012, hlm 67.
akan ada habisnya. Berbeda halnya jika kita menurunkan ego kita untuk beralih pada rasa
cukup, maka seiring berjalannya waktu kita akan terbiasa untuk mengikuti ajaran Islam dan
hidup lebih hemat. Hanya saja, Islam cukup khawatir terhadap umatnya yang terlalu tergila-
gila terhadap harta kekayaan. Sampai-sampai menimbulkan sikap anti sosial dan serakah.
Sikap-sikap seperti itu dapat muncul dari perilaku hedonisme dan konsumtif. Perlunya prinsip
keseimbangan hidup untuk mengendalikan diri, dapat dimulai dari diri kita sendiri terlebih
dahulu. Maka seiring berjalannya waktu hal tersebut akan menjadi perilaku sosial. Terlebih
prinsip itu sangat sesuai dengan ajaran Islam.2
Teori invisible hand merupakan salah satu konsep ekonomi Islam yang direposisi
oleh cendekiawan Barat. Teori tersebut bersumber dari hadits Nabi SAW yang berkaitan
dengan kenaikan harga barang yang ada di Kota Madinah. Sebagaimana hadits tesebut
berbunyi “Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu
mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “Ya Rasulullah hendaklah engkau
menentukan harga”. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan
harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa
kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang
kezaliman dalam darah maupun harta”. Berdasarkan hadits tersebut, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa teori tersebut memang benar ada sejak zaman Nabi SAW. Disisi lain
Rasulullah SAW tidak melafalkan secara langsung harganya, tetapi beliau mengatakan bahwa
Allah lah yang berhak menentukannya. Secara tidak langsung, menunjukkan bahwa
ketentuan harga itu murni diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal.
Teori invisible hand lah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat atau Adam Smith, menurut
beliau teori tersebut mengatakan bahwa pasar diatur oleh tangan-tangan yang tak terlihat
(invisible hand). Hal tersebut justru bertolak belakang dengan ekonomi Islam yang
menggunakan istilah invisible hand dengan mengubahnya menjadi God Hand (tangan Allah).
Penetapan harga itu didasarkan pada supply dan demand. Maka dari itu, Islam memberikan
kesempatan untuk kondisi tertentu yakni dengan cara menjalankan price intervention
(intervensi harga) yang berfungsi untuk mengatasi masyarakat yang berusaha berbuat curang
atau berusaha memonopoli yang dapat membebani konsumen.3
Pertumbuhan ekonomi Islam yang kian maju, tentunya memerlukan aspek hukum
untuk melindunginya. Salah satunya adalah fatwa MUI, yang merupakan suatu keputusan
2
Arbanur Rasyid, “Perilaku Konsumtif Dalam Perspektif Agama Islam”, Yurisprudentia: Jurnal Hukum
Ekonomi, Vol. 5, No. 2, 2019, hlm. 184.
3
Ibnudin, “Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Nabi Muhammad”, Risâlah: Jurnal Pendidikan dan Studi
Islam, Vol. 5, No. 1, 2019, hlm. 54.
mengenai persoalan ijtihâdiyah di Indonesia guna dijadikan pedoman. Kedudukan fatwa di
dalam Hukum Islam adalah fundamental, meskipun sifatnya tidak mengikat secara legal
tetapi mengikat secara moral untuk mustafti. Setidaknya, MUI telah mengeluarkan 107 fatwa
sebagai bentuk kontribusinya terhadap regulasi ekonomi Islam. Lambat laun, fatwa DSN-
MUI memang sangat dibutuhkan, demi mewujudkan hukum ekonomi Islam yang
menyeluruh. Relevansi antara hukum dan ekonomi Islam tergambar pada akadnya. Artinya,
transaksi tanpa adanya akad maka hukumnya menjadi tidak sah karena tidak ada persetujuan
antara kedua belah pihak sebagai bentuk pemindahan kepemilikan. Dari sini kita dapat
simpulkan, bahwa aktivitas ekonomi Islam tidak terlepas dari hukum Islam itu sendiri. Selain
itu, adanya akad dalam suatu transaksi merupakan bentuk dari ‘urf yang dianggap dapat
dijadikan juga sebagai metode atau sumber hukum Islam.

Anda mungkin juga menyukai