sebuah studi tentang pengelolaan harta benda menurut perspektif islam. Secara epistimology, ekonomi Islam dibagi menjadi dua disiplin ilmu, pertama ekonomi Islam normative yaitu studi tentang hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan urusan harta benda (al-mal) yang cakupannya adalah: 1. kepemilikan 2. Pemanfaatan kepemilikan 3. distribusi kekayaan pada masyarakat Dibawah ini akan diberikan beberapa pengertian tentang ekonomi Islam yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi Islam: a. M Akran Kan ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber daya alam atas dasar bekerjasama partisipasi. Definisi ini memberikan dimensi normative (kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta dimensi positif (mengorganisir sumber daya alam). b. Muhammad Abdul Mannan Ilmu ekonomi islam adalah ilmu pengetahuna sosial yang mempelajari masalahmasalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. c. M Umar Chapra Ekonomi Islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidaksinambungan lingkungan.
Sekularisme mendasari cabang kapitalisme lainnya yaitu paradigma yang berkaitan dengan kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan, dan distribusi kekayaan barang dan jasa kepada masyarakat. Semuanya dianggap lepas atau tidak boleh disangkut pautkan dengan agama. Karena sekularisme menafikan peran agama dalam ekonomi, maka dalam masalah kepemilikian suatu barang adalah terletak pada nilai manfaat yang melekat pada barang itu, yaitu sejauh mana dia dapat meuaskan kebutuhan manusia. Jika suatu barang mempunyai potensi dapat memuaskan kebutuhan manusia, maka barang itu sah dimiliki, walaupun haram menurut agama misalnya babi, miniman keras dan narkoba berbeda dengan ekonomi Islam, yang memandang asal usul kepemilikan adalah adanya izin dari Allah SWT kepada manusia untuk memanfaatkan semua benda. Jika Allah mengizinkan, berarti boleh dimiliki. Babi dan minuman keras tidak boleh diperdagangkan karena keduanya telah diharamkan Allah, yaitu telah dilarang kepemilikannya bagi manuisa muslim. Dalam kapitalisme pemanfaatan kepemilikan tidak membuat batasan tatacaranya, dan tidak ada pula batasan jumlahnya. Sebab pada sistem ekonomi kapitalisme adalah cermin dari paham kebebasan (freedom/kapitalisme) dibidang pemanfaatan hak milik. Seseorang boleh memiliki harta dalam jumlah berapa saja, dengan cara apa saja, dan barang apa saja. Oleh karena itu tidak heran dibolehkan seseorang bekerja dalam usaha perjudian dan pelacuran. Sedang dalam Islam ada batasan tatacara tetapi tidak membatasi jumlahnya. Tatacara itu berupa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan cara pemanfaatan harta contohnya kegiatan pembelanjaan seperti nafkah, zakat, shadakah, hibah, maupun pengembangan harta seperti jual beli, ijarah, syirkah, shinaah (industri) dsb. Seorang muslim boleh memiliki harta berapa saja, sepanjang boleh dimanfaatkan sesuai dengan syariah Islam. Dalam masyarakat Islam tidak akan diizinkan bisnis perjudian dan pelacuran, karena telah diharamkan oleh syariah. Dalam masalah distribusi kekayaan, kapitalisme menyerahkan kepada mekanisme pasar, yaitu melalui mekanisme harga keseimbangan yang terbentuk akibat interaksi penawaran (supply) dan permintaan (demand) harga berfungsi secara informasional, yaitu memberi informasi kepada konsumen mengenai siapa yang mampu memperoleh/tidak memperoleh barang dan jasa. Karena itulah peran negara dalam distribusi kekayaan sangat terbatas. Negara tidak banyak campur tangan dalam urusan ekonomi, misalnya dalam penentuan harga, upah, dan sebagainya. metode distribusi ini terbukti gagal baik dalam skala nasional maupun internasional kesenjangan kaya miskin semakin lebar. Sedikit orang kaya telah menguasai sebagian besar kekayaan sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sisa-sisa kekayaan yang sangat sedikit. Dalam ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme syariah, yaitu mekanisme yang terdiri dari sekumpulan hukum syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme syariah ini terdiri dari mekanisme ekonomi dan mekanisme non ekonomi. Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktifitas
ekonomi yang bersifat produksi, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan misalnya ketentuan syariah yang: Membolehkan manusia bekerja di sektor pertanian, industri dan perdagangan. Memberikan kesempatan berlangsungnya pengembangan harta melalui kegiatan investasi syariah seperti syrkah inan, mudharabah dsb. Memberikan keapada rakyat hak pemanfaatan barang-barang SDA milik umum yang dikelola negara spt hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air, dsb. Sedang mekanisme non ekonomi adalah mekanisme yang berlangsung tidak melalui aktifitas ekonomi yang produktif, tetapi melalui aktifiyas non produktif. Misalnya dengan jalan pemberian (hibah, shadakah, zakat dll) atau warisan. Mekanisme non ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi , yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata, baik yang disebabkan sebab alamiah seperti bencana alam dan cacat fisik, maupun sebab non alamiah misalnya penyimpanagn mekanisme ekonomi (seperti penimbunan). Mekanisme non ekonomi bertujuan agar ditengah masyarakat segera terwujud keseimbangan ekonomi, dan memperkecil jurang perbedaan antara yang kaya dan yang miskin. Mekanisme ini dilaksanakan secara bersama dan sinergi antara individu dan negara. Mekanisme non ekonomi ada yg bersifat positif berupa perintah atau anjuran syariah: Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan. Pemberian harta zakat yang dibayar oleh muzakki kepada para mustahik. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dari orang yang mampu kepada orang yang memerlukan Pembagian harta waris kepada ahli waris dll. Ada yang bersifat negatif berupa larangan: Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Larangan peredaran kekayaan disatu pihak atau daerah tertentu. Larangan kegiatan monopoli serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar. Larangan judi, riba, korupsi. Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya, khususnya kapitalis dalam memandang apa yang sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi dalam kehidupan manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan
jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuasnya (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) terbatas sebab menurut pandangan ini pengertian atara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Sistem kapitalis dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu pertama kelangkaan atau keterbatasan barang-barang dan jasa-jasa yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Kedua adalah nilai atau valus suatu barang yang dihasilkan, dan ketiga adalah harga (price) serta peranan memainkannya dalam produksi, konsumsi, dan distribusi. Dimana harga merupakan alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalais. Berbeda dengan kapitalis, sistem ekonomi Islam, menetapkan permasalahan ekonomi yang utama dalam masyarakat adalah rusaknya distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat karena komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai tujuan pokok Islam kesejahteraan meliputi kepuasan fisik, kedamaian mental, dan kebahagiaan yang hanya dapat dicapai dengan keseimbangan antara kebutuhan materi dan rohani.
Lebih lanjut Manan mengatakan bahwa hal ini suatu proses yang terus menerus. Adapun prinsip-prinsip ekonomi Islam sebagai berikut: Ekonomi Ilahiyah (robbani) semua aktifitas manusia termasuk ekonomi harus selalu bersandar kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan antara dunia dan akhirat, berarti dalam mencari rizki harus halal lagi baik. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah reskikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya QS. Al Maidah 88 Untuk mengelola rezeki yang halal lagi baik sesuai petunjuk Allah yang membentuk pola konsumsi, simpanan dan investasi. 1) pola konsumsi, mengendalikan nafsu untuk tidak konsumtif, hidup sederhana dan tidak boros. 2) pola simpanan dan pinjaman tidak riba. 3) pola investasi dengan usaha yang dibenarkan, usaha perniagaan, bagi hasil usaha, dan pinjaman lunak. Dalam Islam diakui hak kepemilikan pribadi pada batas-batas tertentu. Jadi Islam menolak terjadinya akumulasi harta dikuasai oleh segelintir orang. Dalam kegiatan ekonomi tidak boleh adanya spekulasi, Rasul melarang uang diperjualbelikan. Tidak dibenarkan adanya monopoli, dalam Islam kepemilikan publik diwakili oleh negara. Harta adalah titipan Allah berarti manusia tidak boleh sombong dan angkuh serta membanggakan diri, karena hal itu merupakan ujian keimanan terutama menyangkut cara mendapatkannya dan cara membelanjakannya. Yang tidak kalah penting adalah harta bekal ibadah sebagaimana dijelaskan Allah. Semua harta akan diminta pertanggungjawabannya diakhirat.
Ciri khas ekonomi syariah Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur'an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
a. b. c. d.
Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi[2]. Di dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan"[6]. Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275[7] disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba[8] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[9]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl) keselamatan harta benda (al mal)