Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Teori Ekonomi Mikro Islam


Model Perilaku Manusia Daklam Persfektif Islam

Dosen Pengampu: Shofia Mauzoyun Hasanah, M. EI

Disusun Oleh

1. Muhammad Rizki Sahrul Ramdan 220501142


2. Wardatul Jannah 220501125
3.Husnia Ariati 220501134

PRODI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MATARAM 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan juga Rahmat Nya serta kesehatan, sehingga diberi kesempatan
untuk menyelesaikan tugas makalah “Teori Ekonomi Mikro”

Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan untuk junjungan Nabi besar
Muhammad Saw yang telah menyampaikan hidayah dari Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam.

Kami juga berharap dengan sungguh-sungguh agar makalah ini bermanfaat


dalam meningkatkan pengetahuan sekaligus wawasan terkait “Model Perilaku
Manusia Prespektif Islam” kami juga mengharapkan kritik dan saran demi
meyempurnakan makalah kami, agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal
mungkin. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.

Mataram, 20 September, 2023


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................

DAFTAR ISI ........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................

A. Latar Belakang ...........................................................................................


B. Rumusan Masalah ......................................................................................
C. Tujuan Masalah ..........................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................

A. Konsep Kebutuhan Dalam Islam (Daruriyat, hajiyat, tahsiniyah) ................


B. Utility maximizer, evaluasi konsep konvensional .......................................
C. Persfektif Islam Atas Perilaku Maksimasi Masalah .....................................
D. Keseimbangan Eksternl dan Internal ...........................................................
E. Konsep Diri, Keluarga, dan Lingkungan Dalam Persfektif Islam ................

BAB III .................................................................................................................


..............................................................................................................................
..............................................................................................................................
..............................................................................................................................

KESIMPULAN ....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Model prilaku manusia dari perspektif Islam didasarkan pada pemahaman


ajaran-ajaran Islam tentang etika, moralitas, dan tata cara hidup. Beberapa latar
belakang yang penting untuk memahami model ini adalah:

Aqidah (Kepercayaan): Islam mengajarkan keyakinan kepada satu Tuhan,


Allah, yang memiliki otoritas mutlak atas segala hal. Ini membentuk dasar bagi
perilaku manusia, karena mereka harus hidup sesuai dengan kehendak-Nya.

Al-Quran: Al-Quran adalah kitab suci dalam Islam yang mengandung


petunjuk tentang bagaimana manusia seharusnya hidup. Ayat-ayat dalam Al-Quran
menjadi panduan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari.

Hadis: Hadis adalah catatan mengenai perkataan, tindakan, dan persetujuan


Nabi Muhammad SAW. Hadis memberikan contoh-contoh konkret tentang
bagaimana Nabi hidup dan berperilaku, yang dianggap sebagai model ideal bagi
umat Islam.

Etika dan Moralitas: Islam memiliki seperangkat nilai-nilai etika dan moralitas
yang mengatur perilaku manusia. Ini termasuk kejujuran, keadilan, kasih sayang,
dan belas kasihan terhadap sesama.

Shari'ah: Shari'ah adalah hukum Islam yang mengatur berbagai aspek


kehidupan, termasuk perilaku manusia. Ini mencakup aturan-aturan terkait ibadah,
perkawinan, ekonomi. Maşlahah menurut Imam Al-Shatibi, adalah sifat atau
kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari
kehidupan manusia di muka bumi ini. Menurutnya maslahah memiliki lima elemen
dasar, yaitu: keyakinan (al-din), kehidupan atau jiwa (al- nafs), keluarga atau
keturunan (al-nasb), property atau harta benda (al- mal), intelektual (al-aql) Kelima
elemen ini disebut maqaşid al syariah. Semua barang dan jasa yang mendukung
tercapai, dan terpeliharanya kelima elemen tersebut pada setiap individu itulah yang
disebut dengan maslahah. Semua aktivitas untuk memenuhi kesejahteraan dunia
dan akhirat (falah) memiliki mashlahah bagi manusia disebut kebutuhan/ needs, dan
semua kebutuhan ini harus dipenuhi, usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu
kewajiban dalam beragama.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan Konsep kebutuhan dalam Islam
(dhoruriah, hajiyat, tahsiniyah)?
2. Apakah utility maximizer: evaluasi konsep konvensional?
3. Apakah yang dimaksud dengan perspektif Islam atas perilaku
maksimisasi masalah?
4. Apakah yang dimaksud dengan keseimbangan internal dan
eksternal?
5. Apakah yang dimaksud dengan konsep diri keluarga dan
lingkungan perspektif Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep kebutuhan dalam Islam (dhoruriah,
hajiat, tahsiniah)
2. Untuk mengetahui utility maximizer: evaluasi konsep konvensional
3. Untuk mengetahui perspektif Islam atas perilaku maksimisasi
masalah
4. Untuk mengetahui keseimbangan internal dan eksternal
5. Untuk mengetahui bagaimana konsep diri, keluarga, dan
lingkungan perspektif Islam
BAB II
1. Model Perilaku Manusia II: Optimasi Individu

Kesejahteraan hidup manusia bisa tercapai saat kebutuhan atau keinginan


terpenuhi. Kebutuhan merupakan cerminan perasaan atau persepsi rasa tidak puas
atau rasa kekurangan yanga ada dalam diri manusia yang ingin dipenuhi agar
meraih kepuasan. Kegiatan ekonomi yang penting salah satunya adalah konsumsi.
Kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi merupakan satu kesatuan yang saling
berkaitan dan ketiganya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Kegiatan
produksi ada karena yang mengkonsumsi, kegiatan konsumsi ada karena ada yang
memproduksi dan kegiatan distribusi muncul karena ada gap antara konsumsi dan
produksi.

Pembahasan dalam ekonomi konvensional, perilaku konsumen dalam


mengkonsumsi didasarkan pada dua (2) nilai dasar yaitu:

(1) rasionalisme dan (2) utilitarianisme. Kedua nilai merupakan dasar untuk
menyusun perilaku konsumsi yang bersifat invidualis sehingga seringkali
menyebabkan ketidak seimbangan dan ketidak harmonisan social. Hal ini berbeda
dengan konsep ekonomi islam, yang berpandangan konsumsi merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi
standar melakukan konsumsi sebab akan menjadi panduan yang mempengaruhi
perilaku dan kepribadian manusia. Pembahasan teori kebutuhan islami, terdiri dari
tema-tema yang dibahas diantaranya antara lain: konsep islam tentang kebutuhan;
maslahah versus utilitas; konsep pemilihan dalam konsumsi dan pengalokasian
sumber untuk Kebutuhan.

a) Konsep Kebutuhan Dalam Islam


Pandangan ekonomi konvensional atau kapitalisme tentang kebutuhan atau
keinginan merupakan segala sesuatu yang diperlukan manusia dalam rangka
menyejahterakan hidupnya. Kebutuhan mencerminkan adanya perasaan
ketidakpuasan atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dipuaskan. Orang
membutuhkan sesuatu karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada yang kurang dalam
dirinya.

Hal ini sesuai dengan pendapat Kardes dkk definisi kebutuhan; yakni "A need
is a fundamental physical or psychological state of felt deprivation. Maksudnya
kebutuhan adalah salah satu keadaan sesorang merasa kekurangan secara fisik atau
psikologis terhadap pemuas dasar tertentu/hakekat biologis. Selanjutnya
Muhammad keinginan (wants), merupakan hastrat atau kehendak yang kuat akan
pemuas kebutuhan spesifik. Dari definisi kebutuhan dan keinginan dapat diambil
kesimpulan bahwa kebutuhan dan keinginan merupakan segala sesuatu yang
diperlukan oleh manusia yang bertujuan untuk mempertahankan dan
mensejahterakan hidupnya. Kebutuhan adalah cerminan perasaan ketidakpuasan
atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dicapainya.

Akan tetapi hal tersebut tidak didukung pendapat yang disampaikan oleh Imam
Al-Ghazali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda jauh.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya
sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada
Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu
terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang
berlaku.

Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia


diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi
manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka
muncullah keinginan dalam diri manusia. Menurut al-Syathibi, rumusan kebutuhan
manusia dalam Islam terdiri dari tiga macam, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat,
1. Dharuriyat (primer)

Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan paling penting. Kebutuhan
ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi hidup manusia akan terancam didunia maupun akhirat. Kebutuhan ini
meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu 'aql
(menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta).
Untuk menjaga kelima unsur tersebut maka syari'at Islam diturunkan. Sesuai
dengan firman Allah SWT, dalam (QS. Al-Baqarah: 179 dan 193).

ِ ‫اص َحيَ َوة يَنأُولِي ْاْل َ ْل َبا‬


َ‫ب لَ َعلَّكُ ْم تَقُون‬ ِ ‫ص‬َ ‫َولَكُ ْم فِي ْال ِق‬

Artinya:

"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu bertakwa

َّ ‫علَى ال‬
َ‫ظالِمِين‬ ِ َّ ِ ‫) َوقَتِلُوهُ ْم َحتَّى ََل تَكُونَ فِتْنَةٌ َويَكُونَ الدِي ُن‬
َ ‫ّلِل فَإ ِ ِن انت َ َهوا فَ َل عُد َْوانَ إِ ََّل‬

Artinya:

"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang- orang yang zalim"

Oleh sebab itu tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk
pencapaiaan kehidupan yang abadi bagi manusia Lima kebutuhan dharuriyah
tersebut harus dapat terpenuhi, apabila ari tujuan yang dharuri ini, syara'
menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fikih.

2. Kebutuhan Sekunder/Hajiyat

Tujuan tingkat "sekunder" bagi kehidupan manusia adalah sesuatu yang


dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.
Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan
meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Meskipun tidak sampai akan
merusak kehidupan, namun keberadaannya dibutuhkan untuk mem- berikan
kemudahan dalam kehidupan. Tujuan penetapan hukum syara' dalam bentuk ini
disebut tingkat hajiyat.

Tujuan hajiyat dan segi penetapan hukumnya dikelompokan pada tiga kelompok:

1) Hal yang disuruh syara' melakukannya untuk dapat melaksanakan kewa- jiban
syara' secara baik. Hal ini disebut muqadimah wajib. Umpamanya mendirikan
sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas
akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak
didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena
menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu
berada pada tingkat hajiyat.
2) Hal yang dilarang syara' melakukannya untuk mengindarkan secara tidak langsung
pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada
larangan tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada
perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan
zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat
sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti
khalwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat itu dilarang dalam
rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dharuri.
Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi larangan demi berada pada
tingkat hajiyat.
3) Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah (kemudahan) yang
memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah
pun tidak akan hilang satu pun unsur yang dharuri itu, tetapi manusia akan berada
dalam kesempitan (kesulitan). Rukhsah ini, berlaku dalam hukum "ibadah" seperti
salat bagi yang berada dalam perjalanan; dalam "muamalat" seperti bolehnya jual
beli salam (inden); juga dalam "jinayah" seperti adanya maaf untuk membatalkan
pelaksanaan qishash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa
diyat sama sekali.

3. Tujuan Tersier/Tahsiniyat
Tujuan tingkat "tersier" adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah
kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, kehidupan tidak akan rusak dan
juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk
kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini
disebut "takhsiniyat".1

Tujuan takhsiniyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada
perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang
sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharurri dan hijayat). Segala
usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menim- bulkan hukum "sunah" dan
perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takhsini menimbulkan hukum "makruh".

Takhsini berlaku pada bidang ibadah, seperti berhias dan berpakaian rapih pada
waktu ke masjid; dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syufah juga
berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja; serta berlaku pula dalam bidang
jinayah seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.

Pembagian tujuan syara pada tiga hal tersebut, sekaligus menunjukan


peringkat kepentingan. Tingkat dharuri lebih tinggi dari tingkat hajiyat, dan tingkat
hajiyar lebih tinggi dari tingkat takhsiniyat. Kebutuhan dalam peringkat yang
sesama dharuri pun berurutan pula tingkat kepentingannya, yaitu: agama, jiwa,
akal, harta, keturunan (harga diri). Adanya peringkat dan urutan kepentingan itu
akan tampak disaat terjadi perbenturan antar masing-masing kepentingan itu dan
salah satu di antaranya harus didahulukan.

Bila terjadi perbenturan antara tuntutan yang bersifat dharuri dengan yang
bersifat hajiyat, maka yang didahulukan adalah yang tingkat dharuri. Contoh dalam
hal ini umpamanya seorang dokter laki-laki menghadapi pasien perempuan yang
terancam jiwanya dan diperlukan operasi untuk penyela- matan. Memelihara jiwa
si sakit dituntut dalam tingkat dharuri. Tetapi untuk melakukan tuntutan ini harus
melihat aurat perempuan yang hukumnya terlarang dalam tingkat hajiyat. Di sini

1
Dr. Darwis Harahap, Ferri Alfadri, Ekonomi Makro Islam, 2021, (CV Merdeka Kreasi Group,
Cetakan ke 1) hal 41-44
terjadi perbenturan antara suruhan dalam tingkat dharuri dengan larangan dalam
tingkat hajiyat. Dalam hal ini ulama membenarkan si dokter melihat aurat si sakit
waktu operasi tersebut, karena harus mendahulukan dharuri dari hajiyat.

Bila terjadi perbenturan dan tuntutan yang sama-sama berada dalam tingkat
dharuri namun berbeda dalam unit kepentingan didahulukan urutan yang lebih
tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan
memelihara jiwa, maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada
jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk itu akan
mengorbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfir man dalam surah at-Taubah (9): 41:

َ ‫َو َجهد ُوا ِبأ َ ْم َو ِلكُ ْم َوأَنفُ ِسكُ ْم فِي‬


ِ َّ‫س ِبي ِل ّللا‬

Artinya: “Jihadlah kamu dengan hartamu dan jiwamu di jalan Allah”.

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara jiwa dengan


kepentingan memelihara akal, didahulukan kepentingan memelihara jiwa. Dalam
hal ini umpamanya seseorang yang tersekat kerongkongannya dan terancam
jiwanya kecuali dengan meminum cairan tertentu dan kebetulan cairan yang ada
hanyalah minuman terlarang, maka boleh dia meminum. khamar yang terlarang itu
meskipun sampai ia mabuk karena minuman itu.

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara akal dengan


kepentingan memelihara harta, maka kepentingan memelihara akal harus di-
dahulukan. Umpamanya seseorang yang akalnya terancam kerusakan dan baru
dapat ia melepaskan ancaman itu dengan cara mencuri sesuatu yang dimiliki orang
lain. Dalam hal ini dibolehkan ia mencuri untuk memelihara akalnya itu.

Bila terjadi perbenturan antara kepentingan memelihara harta dengan


kepentingan memelihara harga diri, didahulukan kepentingan memelihara harta.
Umpamanya seseorang diperkosa dengan ancaman satu-satunya harta yang
dimilikinya akan dimusnahkan. Dibenarkan tindakan membiarkan diri di- paksa
berbuat zina yag terlarang karena membela harta, apalagi membela jiwa.
Untuk membenarkan tindakan mengambil suatu risiko buruk untuk
mempertahankan kepentingan yang lebih tinggi itu ulama menggunakan kaidah:
Sesuatu yang diharamkan karena zatnya dibolehkan karena darurat

Begitu pula bila terjadi perbenturan antara sesama yang berada dalam
kepentingan tingkat hajiyat, didahulukan satu diantaranya, yaitu yang paling enteng
risikonya. Seandainya sama risikonya didahulukan kepentingan berdasarkan urut
sebagaimana disebutkan di atas, karena meski bagaimana juga kepentingan hajiyat
berkaitan dengan salah satu lima unsur dharuri disebutkan di atas. Kepentingan
menutup aurat berada pada tingkat hajiyat dan kepen- tingan belajar pokok-pokok
agama juga berada pada tingkat hajiyat yang berkaitan dengan memelihara agama.
Bila untuk kepentingan proses belajar mengajar ini si guru terpaksa melihat wajah
si murid yang semestinya tidak boleh dilakukan, maka ia dibolehkan meskipun
yang demikian adalah aurat. Haram melihat aurat berada pada haram ghairu dzati
atau saddu al-dzariah sedangkan belajar pokok-pokok agama itu adalah sesuatu
yang bersifat hajiyat. Hajat dalam hal ini didahulukan karena yang berlawanan
dengannya hanya sebatas hajiyat pula.

Untuk mendahulukan hajiyat dalam hal ini ulama berpegang pada kaidah:

‫ما حرم لغيره أبيح للحاجة‬

Sesuatu yang diharamkan bukan karena Dzatnya dibolehkan karena adanya hajat

Bahkan kadang-kadang ulama menempatkan tingkat haji itu dalam keadaan tertentu
pada tingkat dharuriyat sebagaimana tersebut dalam kaidah berikut ini:

‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬

Hajat itu menempati tempat darurat


Guna memperolah gambaran yang utuh tentang teori maqashid al-syariah, berikut
ini, akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-
masing."Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan, yaitu: agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian masing-masing dari kelima pokok itu
akan dilihat berdasarkan kepentingan dan kebutuhannya. 2

B. Utility maximizer: evaluasi konsep konvensional

Konsep konvensional dalam hal utility maximizer adalah pendekatan yang


biasanya digunakan untuk mengoptimalkan utilitas dalam pengambilan keputusan.
Evaluasi konsep konvensional ini dapat dilakukan dengan melihat beberapa faktor
berikut:

1. Keterbatasan informasi: Konsep konvensional sering kali mengasumsikan bahwa


informasi yang tersedia sudah lengkap dan akurat. Namun, dalam kehidupan nyata,
informasi sering kali terbatas dan tidak sempurna. Oleh karena itu, evaluasi konsep
konvensional harus mempertimbangkan keterbatasan informasi yang ada.

2. Kesalahan pengukuran: Evaluasi konsep konvensional juga harus


mempertimbangkan kesalahan pengukuran yang mungkin terjadi. Misalnya, dalam
mengukur utilitas dari suatu keputusan, ada kemungkinan kesalahan dalam
mengukur manfaat yang sebenarnya diperoleh.

3. Tidak adanya nilai bersifat objektif: Konsep konvensional sering kali


mengasumsikan bahwa nilai utilitas bersifat objektif dan dapat diukur secara eksak.
Namun, nilai utilitas sebenarnya bersifat subjektif dan dapat bervariasi antara
individu. Oleh karena itu, evaluasi konsep konvensional harus mempertimbangkan
perbedaan nilai yang mungkin terjadi.

4. Kurangnya fleksibilitas: Konsep konvensional sering kali memiliki batasan


dalam hal fleksibilitas dalam mengoptimalkan utilitas. Misalnya, dalam
menggunakan utilitas maksimum, ada kemungkinan bahwa tidak ada pilihan yang

2
Panji Adam, S. Sy., M.H, Hukum Islam, 2019 (Jakarta, Sinar Grafika, Cetakan Pertama) hal 121-
129
dapat memberikan utilitas maksimal. Evaluasi konsep konvensional harus
mempertimbangkan batasan-batasan ini.

Dalam kesimpulannya, evaluasi konsep konvensional dalam hal utility maximizer


harus mempertimbangkan keterbatasan informasi, kesalahan pengukuran, nilai
yang bersifat subjektif, dan kurangnya fleksibilitas. Dengan mempertimbangkan
faktor-faktor ini, evaluasi konsep konvensional dapat menjadi lebih akurat dan
relevan dalam konteks pengambilan keputusan.

1. Perbedaan Maslahah dan Utility:

a. Konsep maslahah dikorelasikan dengan kebutuhan (needs), sedangkan kepuasan


(utility) dikorelasikan dengan keinginan (want).

b. Utility atau kepuasan bersifat individualistis, maslahah tidak hanya bisa


dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok
orang lain atau masyarakat.

c. Maslahah relatif lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan yang


objektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi dapat
diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan
pada kriteria yang lebih subjektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu
dengan lainnya.

d. Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas


individu sering berseberangan dengan utilitas sosial.

e. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen,


produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik
konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu
kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility dalam ekonomi kepuasan yang
diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor,
sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya.

f. Dalam konteks perilaku konsumen, utility diartikan sebagai konsep kepuasan


konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa, sedangkan maslahah diartikan
sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan
prioritas.

2. Kebutuhan dan Keinginan

Keinginan adalah terkait dengan hasrat/harapan seseorang yang jika dipenuhi


belum tentu akan menimbulkan kesempurnaan fungsi manusia atau barang.
Misalnya, seseorang dalam membangun rumah ia menginginkan warna yang
nyaman, interior yang rapi dan indah, dan sebagainya. Kesemuanya belum tentu
menambah fungsi suatu rumah, namun akan memberikan kepuasan bagi pemilik
rumah. Suka atau tidaknya seseorang terhadap barang/jasa, bersifat subjektif, tidak
bisa dibandingkan antar satu orang dengan lainnya, perbedaan ini merupakan
cerminan dari perbedaan keinginan.

Secara umum, pemenuhan kebutuhan akan memberikan tambahan manfaat fisik,


spiritual, intelektual ataupun material, sedangkan pemenuhan keinginan akan
menambah kepuasan/manfaat psikis di samping manfaat lainnya. Jika suatu
kebutuhan diinginkan oleh seseorang, maka pemenuhan kebutuhan tersebut akan
melahirkan maslahah sekaligus kepuasan, namun jika, kebutuhan tidak dilandasi
keinginan, maka hanya akan memberikan manfaat semata, jika yang diinginkan
bukan merupakan kebutuhan, maka pemenuhan keinginan hanya akan memberikan
kepuasan saja.

C. perspektif islam atas prilaku maksimasi masalah

Dalam perspektif Islam, prinsip maksimasi masalah atau utilitarianisme dalam


pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang.

1. Mengutamakan kemaslahatan umat

Dalam Islam, mengutamakan kemaslahatan umat adalah salah satu nilai utama.
Oleh karena itu, prinsip maksimasi masalah dapat dipahami sebagai upaya untuk
mencapai kemaslahatan umat secara maksimal. Dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian masalah, maka akan diupayakan agar tindakan yang diambil dapat
memberikan manfaat yang besar bagi umat Islam.
2. Menghindari kerusakan atau bahaya yang lebih besar

Islam juga mengajarkan pentingnya menghindari kerusakan atau bahaya yang lebih
besar ketika menghadapi masalah. Dalam konteks ini, prinsip maksimasi masalah
dapat dipahami sebagai upaya untuk menghindari atau mengurangi kerusakan yang
mungkin terjadi. Dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, akan
diupayakan agar tindakan yang diambil dapat meminimalisir atau menghindari
risiko kerusakan atau bahaya yang lebih besar.

3. Mempertimbangkan keadilan

Dalam Islam, keadilan juga menjadi salah satu prinsip penting. Dalam konteks
prinsip maksimasi masalah, hal ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengambil
keputusan atau penyelesaian masalah yang adil dan tidak merugikan pihak lain.
Dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, akan diupayakan agar
tindakan yang diambil tidak melanggar prinsip keadilan dan tidak merugikan pihak
lain.

Namun, penting untuk dicatat bahwa prinsip maksimasi masalah tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam lainnya seperti menjaga nilai-nilai
moral, etika, dan hak asasi manusia. Dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian masalah, prinsip-prinsip tersebut juga harus menjadi pertimbangan
yang penting.3

D. Keseimbangan Internal Dan Eksternal

Keseimbangan eksternal dan internal adalah dua konsep yang berhubungan


dengan stabilitas suatu sistem atau organisasi.
 Keseimbangan Eksternal:
Keseimbangan eksternal mengacu pada hubungan dan interaksi suatu entitas
dengan lingkungan eksternalnya, seperti pasar, kompetitor, pelanggan, atau faktor-
faktor eksternal lainnya. Tujuan dari keseimbangan eksternal adalah untuk menjaga
hubungan yang seimbang dan harmonis dengan lingkungan eksternal, sehingga

3
Reni Ria Armayani Hasibuan dkk, Ekonomi Mikro Islam, 2022 (Medan, Merdeka Kreasi Group)
hal 28-34
organisasi atau sistem dapat beroperasi secara efektif dalam lingkungannya.
Misalnya, perusahaan harus menjaga keseimbangan antara penawaran dan
permintaan produknya di pasar agar tetap kompetitif.

 Keseimbangan Internal:
Keseimbangan internal mengacu pada stabilitas dan harmoni di dalam suatu entitas
atau organisasi, terutama dalam hal struktur, budaya, sumber daya manusia, dan
proses internal. Tujuan dari keseimbangan internal adalah untuk menciptakan
lingkungan kerja yang produktif, motivasi karyawan, dan operasi yang efisien.
Organisasi yang mencapai keseimbangan internal biasanya lebih mampu mengatasi
perubahan eksternal dengan lebih baik. Contohnya, tim manajemen yang kuat dan
budaya perusahaan yang positif dapat membantu menciptakan keseimbangan
internal yang baik.
Keseimbangan eksternal dan internal adalah dua aspek yang penting dalam menjaga
stabilitas dan kinerja suatu organisasi atau sistem.

Keseimbangan Eksternal: Ini berkaitan dengan hubungan dan interaksi


organisasi dengan lingkungannya di luar. Ini melibatkan bagaimana organisasi
berinteraksi dengan pelanggan, pesaing, pemerintah, dan faktor-faktor eksternal
lainnya. Menjaga keseimbangan eksternal penting untuk memahami dan merespons
perubahan di pasar, hukum, dan faktor-faktor eksternal lainnya yang dapat
mempengaruhi organisasi.
Keseimbangan Internal: Ini lebih berfokus pada struktur, budaya, sumber
daya manusia, dan operasi internal organisasi. Keseimbangan internal mencakup
hal seperti pengelolaan sumber daya manusia yang efisien, komunikasi yang baik
di antara anggota tim, dan pengambilan keputusan yang terkoordinasi.
Mempertahankan keseimbangan internal yang baik membantu organisasi
beroperasi dengan efisien dan mampu mengatasi tantangan eksternal.
Kedua jenis keseimbangan ini saling terkait. Keseimbangan eksternal yang
baik dapat memengaruhi keseimbangan internal, dan sebaliknya. Organisasi yang
mampu menjaga keseimbangan yang baik di kedua area ini cenderung lebih adaptif
dan berkelanjutan dalam jangka panjang
E. Konsep Diri, Keluarga, dan Lingkungan Persfektif Islam

a. Konsep Kepribadian Diri

Secara bahasa kepribadian adalah keadaan manusia sebagai perseorangan:


keseluruhan sifat-sifat yang merupakan watak orang biasa yang bergeser berarti:
orang yang baik watak dan sifatnya.68 Kepribadian menurut Zakiyah Darajat
adalah sebagai sesuatu yang abstak, sukar dilihat secara nyata. hanya dapat
diketahui lewat penampilan, tindakan, dan ucapan ketika menghadapi suatu
persoalan, atau melalui atasannya saja.

Menurut Enco Mulyasa kompetensi kepribadian adalah kemampuan yang


melekat dalam diri pendidik secara mantap. stabil, dewasa, arif, dan berwibawa
menjadi teladan bagi anak didik, dan berakhlak mulia.70 Sementara Djamara
mengatakan bahwa kompetensi kepribadian adalah kompetensi yang berkaitan
dengan perilaku pribadi guru itu sendiri yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur
sehingga terpancar dalam perilaku sehari-hari. Karena tugas sebagai guru
sebenarnya mengembangkan profesinya sebagai inovator dan kreator.

1) Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kompetensi Kepribadian.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kompetensi interpersonal, yaitu:

a) Umur atau kematangan sesorang. Konformisme semakin besar dengan


bertambahnya usia.
b) . Status ekonomi akan mempengaruhi kepribadian karena bila seseorang
memiliki status ekonomi yang mapan maka rasa nyaman dan percaya diri
akan tumbuh.
c) Motivasi diri. Adanya dorongan untuk memiliki status inilah yang
menyebabkan seseorang berinteraksi dengan orang lain, individu akan
menemukan kekuatan dalam mempertahankan dirinya di dalam lingkungan
sosial.
d) Keadaan keluarga dan lingkungan. Suasana rumah yang tidak
menyenangkan dan tekanan dari orang tua akan membentuk sebuah karakter
individu dalam berinteraksi dengan lingkungan.
e) Pendidikan. Pendidikan yang tinggi adalah salah satu faktor dalam
interaksi dengan teman sebaya karena orang yang berpendidikan tinggi mempunyai
wawasan dan pengetahuan yang luas, yang mendukung dalam pergaulannya. Dalam
Islam, konsep keluarga dan lingkungan memiliki peran penting dalam membentuk
perilaku, moral, dan nilai-nilai individu. Berikut beberapa aspek penting dari
konsep keluarga dan lingkungan dalam perspektif Islam:
Keluarga Sebagai Inti Masyarakat: Keluarga dianggap sebagai inti dari
masyarakat dalam Islam. Keluarga adalah tempat di mana individu belajar nilai-
nilai agama, etika, dan moralitas. Membentuk keluarga yang kuat dan berlandaskan
prinsip-prinsip Islam adalah tugas penting.
Tanggung Jawab Orang Tua: Orang tua dalam Islam memiliki tanggung
jawab besar dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka harus memberikan
pendidikan agama dan moral yang kuat, serta menciptakan lingkungan yang baik di
rumah untuk tumbuh kembang anak-anak.
Hubungan Keluarga: Islam menekankan pentingnya menjaga hubungan baik
dalam keluarga. Ini termasuk menjaga hubungan dengan orangtua, saudara-saudara,
dan kerabat lainnya. Menjaga hubungan keluarga yang baik dianggap sebagai
tindakan yang sangat mulia.

Lingkungan yang Bersih dan Sehat: Islam mendorong umatnya untuk menjaga
kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ini mencakup menjaga kebersihan air, tanah,
dan udara. Islam juga melarang pemborosan dan mengajarkan konsep menjaga
alam.

Keberlanjutan dan Pengelolaan Sumber Daya: Islam mengajarkan konsep


keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya alam dengan bijak. Umat Islam diminta
untuk menjadi pemelihara bumi (khalifah) dan tidak merusak alam.

Toleransi dan Keharmonisan: Islam mendorong toleransi, perdamaian, dan


kerukunan antar-individu dan antar-komunitas. Ini adalah prinsip penting dalam
membangun lingkungan yang damai dan harmonis.
Dalam Islam, konsep keluarga dan lingkungan dilihat sebagai bagian integral
dari ibadah dan pengabdian kepada Allah. Tujuannya adalah untuk menciptakan
masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai moral, etika, dan keadilan sesuai dengan
ajaran agama.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan tiga cabang yaitu produksi,
distribusi dan konsumsi. Islam mengatur ketiga aspek tersebut ke dalam perspektif
ekonomi Islam yang memandang bahwa dalam proses dari ketiga kegiatan tersebut
harus memperhatikan konsep Maqashid Syariah yakni mementingkan Mashlahah
kebutuhan (needs) dari pada keinginan (wants) yang diatur kedalam konsep
tingkatan kebutuhan dari dharuriyyat (kebutuhan primer), hajatiyyat (kebutuhan
sekunder) dan tahsiniyyat (kebutuhan tersier).

Perhatian ekonomi Islam dalam perilaku produksi maupun konsumsi bukan


kepada kebutuhan individu saja tetapi lebih pada perhatian untuk kebutuhan
masyarakat/umum. Maksudnya, perilaku harus didasarkan pada nilai-nilai baik
yang menghormati keselamatan agama, jiwa, roh, keturunan dan harta benda.
Karena perilaku produsen, pengecer, dan konsumen harus memastikan keamanan
lingkungan yang berkelanjutan. Artinya, yang dihadapi oleh masyarakat bukan
hanya saat dirinya hidup di dunia begitu juga bagaimana berdampak pada
kehidupan di akhirat. Maka, dari segala aktivitas manusia tujuan pengharapan
Ridha Allah SWT sebagai tingkatan spiritual yang tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Darwis Harahap, Ferri Alfadri, Ekonomi Makro Islam, 2021, CV Merdeka
Kreasi Group, Cetakan ke 1
Panji Adam, S. Sy., M.H, Hukum Islam, 2019, Jakarta, Sinar Grafika, Cetakan
Pertama

Reni Ria Armayani Hasibuan dkk, Ekonomi Mikro Islam, 2022 Medan, Merdeka
Kreasi Group

Anda mungkin juga menyukai