Disusun Oleh
Puji syukur kehadiran Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan juga Rahmat Nya serta kesehatan, sehingga diberi kesempatan
untuk menyelesaikan tugas makalah “Teori Ekonomi Mikro”
Sholawat serta salam tak lupa kita haturkan untuk junjungan Nabi besar
Muhammad Saw yang telah menyampaikan hidayah dari Allah SWT untuk kita
semua, yang merupakan petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam.
KESIMPULAN ....................................................................................................
Etika dan Moralitas: Islam memiliki seperangkat nilai-nilai etika dan moralitas
yang mengatur perilaku manusia. Ini termasuk kejujuran, keadilan, kasih sayang,
dan belas kasihan terhadap sesama.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang di maksud dengan Konsep kebutuhan dalam Islam
(dhoruriah, hajiyat, tahsiniyah)?
2. Apakah utility maximizer: evaluasi konsep konvensional?
3. Apakah yang dimaksud dengan perspektif Islam atas perilaku
maksimisasi masalah?
4. Apakah yang dimaksud dengan keseimbangan internal dan
eksternal?
5. Apakah yang dimaksud dengan konsep diri keluarga dan
lingkungan perspektif Islam?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui konsep kebutuhan dalam Islam (dhoruriah,
hajiat, tahsiniah)
2. Untuk mengetahui utility maximizer: evaluasi konsep konvensional
3. Untuk mengetahui perspektif Islam atas perilaku maksimisasi
masalah
4. Untuk mengetahui keseimbangan internal dan eksternal
5. Untuk mengetahui bagaimana konsep diri, keluarga, dan
lingkungan perspektif Islam
BAB II
1. Model Perilaku Manusia II: Optimasi Individu
(1) rasionalisme dan (2) utilitarianisme. Kedua nilai merupakan dasar untuk
menyusun perilaku konsumsi yang bersifat invidualis sehingga seringkali
menyebabkan ketidak seimbangan dan ketidak harmonisan social. Hal ini berbeda
dengan konsep ekonomi islam, yang berpandangan konsumsi merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi
standar melakukan konsumsi sebab akan menjadi panduan yang mempengaruhi
perilaku dan kepribadian manusia. Pembahasan teori kebutuhan islami, terdiri dari
tema-tema yang dibahas diantaranya antara lain: konsep islam tentang kebutuhan;
maslahah versus utilitas; konsep pemilihan dalam konsumsi dan pengalokasian
sumber untuk Kebutuhan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kardes dkk definisi kebutuhan; yakni "A need
is a fundamental physical or psychological state of felt deprivation. Maksudnya
kebutuhan adalah salah satu keadaan sesorang merasa kekurangan secara fisik atau
psikologis terhadap pemuas dasar tertentu/hakekat biologis. Selanjutnya
Muhammad keinginan (wants), merupakan hastrat atau kehendak yang kuat akan
pemuas kebutuhan spesifik. Dari definisi kebutuhan dan keinginan dapat diambil
kesimpulan bahwa kebutuhan dan keinginan merupakan segala sesuatu yang
diperlukan oleh manusia yang bertujuan untuk mempertahankan dan
mensejahterakan hidupnya. Kebutuhan adalah cerminan perasaan ketidakpuasan
atau kekurangan dalam diri manusia yang ingin dicapainya.
Akan tetapi hal tersebut tidak didukung pendapat yang disampaikan oleh Imam
Al-Ghazali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda jauh.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya
sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada
Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu
terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang
berlaku.
Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan paling penting. Kebutuhan
ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak. Jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi hidup manusia akan terancam didunia maupun akhirat. Kebutuhan ini
meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu 'aql
(menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta).
Untuk menjaga kelima unsur tersebut maka syari'at Islam diturunkan. Sesuai
dengan firman Allah SWT, dalam (QS. Al-Baqarah: 179 dan 193).
Artinya:
"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-
orang yang berakal, supaya kamu bertakwa
َّ علَى ال
َظالِمِين ِ َّ ِ ) َوقَتِلُوهُ ْم َحتَّى ََل تَكُونَ فِتْنَةٌ َويَكُونَ الدِي ُن
َ ّلِل فَإ ِ ِن انت َ َهوا فَ َل عُد َْوانَ إِ ََّل
Artinya:
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan
itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang- orang yang zalim"
Oleh sebab itu tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk
pencapaiaan kehidupan yang abadi bagi manusia Lima kebutuhan dharuriyah
tersebut harus dapat terpenuhi, apabila ari tujuan yang dharuri ini, syara'
menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fikih.
2. Kebutuhan Sekunder/Hajiyat
Tujuan hajiyat dan segi penetapan hukumnya dikelompokan pada tiga kelompok:
1) Hal yang disuruh syara' melakukannya untuk dapat melaksanakan kewa- jiban
syara' secara baik. Hal ini disebut muqadimah wajib. Umpamanya mendirikan
sekolah dalam hubungannya dengan menuntut ilmu untuk meningkatkan kualitas
akal. Mendirikan sekolah memang perlu, namun seandainya sekolah tidak
didirikan tidaklah berarti tidak akan tercapai upaya mendapatkan ilmu, karena
menuntut ilmu itu dapat dilaksanakan di luar sekolah. Kebutuhan akan sekolah itu
berada pada tingkat hajiyat.
2) Hal yang dilarang syara' melakukannya untuk mengindarkan secara tidak langsung
pelanggaran pada salah satu unsur yang dharuri. Perbuatan zina berada pada
larangan tingkat dharuri. Namun segala perbuatan yang menjurus kepada
perbuatan zina itu juga dilarang untuk menutup pintu bagi terlaksananya larangan
zina yang dharuri itu. Melakukan khalwat (berduaan dengan lawan jenis di tempat
sepi) memang bukan zina dan tidak akan merusak keturunan. Juga tidak mesti
khalwat itu berakhir pada zina. Meskipun demikian, khalwat itu dilarang dalam
rangka menutup pintu terhadap pelanggaran larangan yang bersifat dharuri.
Kepentingan akan adanya tindakan untuk menjauhi larangan demi berada pada
tingkat hajiyat.
3) Segala bentuk kemudahan yang termasuk hukum rukhsah (kemudahan) yang
memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya tidak ada rukhsah
pun tidak akan hilang satu pun unsur yang dharuri itu, tetapi manusia akan berada
dalam kesempitan (kesulitan). Rukhsah ini, berlaku dalam hukum "ibadah" seperti
salat bagi yang berada dalam perjalanan; dalam "muamalat" seperti bolehnya jual
beli salam (inden); juga dalam "jinayah" seperti adanya maaf untuk membatalkan
pelaksanaan qishash bagi pembunuh, baik diganti dengan diyat (denda) atau tanpa
diyat sama sekali.
3. Tujuan Tersier/Tahsiniyat
Tujuan tingkat "tersier" adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah
kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersier, kehidupan tidak akan rusak dan
juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaannya dikehendaki untuk
kemuliaan akhlak dan kebaikan tata tertib pergaulan. Tujuan dalam tingkat ini
disebut "takhsiniyat".1
Tujuan takhsiniyat ini menurut asalnya tidak menimbulkan hukum wajib pada
perbuatan yang disuruh dan tidak menimbulkan hukum haram pada yang dilarang
sebagaimana yang berlaku pada dua tingkat lainnya (dharurri dan hijayat). Segala
usaha untuk memenuhi kebutuhan takhsini ini menim- bulkan hukum "sunah" dan
perbuatan yang mengabaikan kebutuhan takhsini menimbulkan hukum "makruh".
Takhsini berlaku pada bidang ibadah, seperti berhias dan berpakaian rapih pada
waktu ke masjid; dan pada bidang muamalat, seperti pada jual beli syufah juga
berlaku pada adat, seperti hemat dalam berbelanja; serta berlaku pula dalam bidang
jinayah seperti tidak membunuh anak-anak dan perempuan dalam peperangan.
Bila terjadi perbenturan antara tuntutan yang bersifat dharuri dengan yang
bersifat hajiyat, maka yang didahulukan adalah yang tingkat dharuri. Contoh dalam
hal ini umpamanya seorang dokter laki-laki menghadapi pasien perempuan yang
terancam jiwanya dan diperlukan operasi untuk penyela- matan. Memelihara jiwa
si sakit dituntut dalam tingkat dharuri. Tetapi untuk melakukan tuntutan ini harus
melihat aurat perempuan yang hukumnya terlarang dalam tingkat hajiyat. Di sini
1
Dr. Darwis Harahap, Ferri Alfadri, Ekonomi Makro Islam, 2021, (CV Merdeka Kreasi Group,
Cetakan ke 1) hal 41-44
terjadi perbenturan antara suruhan dalam tingkat dharuri dengan larangan dalam
tingkat hajiyat. Dalam hal ini ulama membenarkan si dokter melihat aurat si sakit
waktu operasi tersebut, karena harus mendahulukan dharuri dari hajiyat.
Bila terjadi perbenturan dan tuntutan yang sama-sama berada dalam tingkat
dharuri namun berbeda dalam unit kepentingan didahulukan urutan yang lebih
tinggi. Bila kepentingan memelihara agama berbenturan dengan kepentingan
memelihara jiwa, maka diutamakan memelihara agama. Dalam hal ini jihad pada
jalan Allah diutamakan bila agama sudah terancam meskipun untuk itu akan
mengorbankan jiwa. Dalam hal ini Allah berfir man dalam surah at-Taubah (9): 41:
Begitu pula bila terjadi perbenturan antara sesama yang berada dalam
kepentingan tingkat hajiyat, didahulukan satu diantaranya, yaitu yang paling enteng
risikonya. Seandainya sama risikonya didahulukan kepentingan berdasarkan urut
sebagaimana disebutkan di atas, karena meski bagaimana juga kepentingan hajiyat
berkaitan dengan salah satu lima unsur dharuri disebutkan di atas. Kepentingan
menutup aurat berada pada tingkat hajiyat dan kepen- tingan belajar pokok-pokok
agama juga berada pada tingkat hajiyat yang berkaitan dengan memelihara agama.
Bila untuk kepentingan proses belajar mengajar ini si guru terpaksa melihat wajah
si murid yang semestinya tidak boleh dilakukan, maka ia dibolehkan meskipun
yang demikian adalah aurat. Haram melihat aurat berada pada haram ghairu dzati
atau saddu al-dzariah sedangkan belajar pokok-pokok agama itu adalah sesuatu
yang bersifat hajiyat. Hajat dalam hal ini didahulukan karena yang berlawanan
dengannya hanya sebatas hajiyat pula.
Untuk mendahulukan hajiyat dalam hal ini ulama berpegang pada kaidah:
Sesuatu yang diharamkan bukan karena Dzatnya dibolehkan karena adanya hajat
Bahkan kadang-kadang ulama menempatkan tingkat haji itu dalam keadaan tertentu
pada tingkat dharuriyat sebagaimana tersebut dalam kaidah berikut ini:
2
Panji Adam, S. Sy., M.H, Hukum Islam, 2019 (Jakarta, Sinar Grafika, Cetakan Pertama) hal 121-
129
dapat memberikan utilitas maksimal. Evaluasi konsep konvensional harus
mempertimbangkan batasan-batasan ini.
Dalam Islam, mengutamakan kemaslahatan umat adalah salah satu nilai utama.
Oleh karena itu, prinsip maksimasi masalah dapat dipahami sebagai upaya untuk
mencapai kemaslahatan umat secara maksimal. Dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian masalah, maka akan diupayakan agar tindakan yang diambil dapat
memberikan manfaat yang besar bagi umat Islam.
2. Menghindari kerusakan atau bahaya yang lebih besar
Islam juga mengajarkan pentingnya menghindari kerusakan atau bahaya yang lebih
besar ketika menghadapi masalah. Dalam konteks ini, prinsip maksimasi masalah
dapat dipahami sebagai upaya untuk menghindari atau mengurangi kerusakan yang
mungkin terjadi. Dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, akan
diupayakan agar tindakan yang diambil dapat meminimalisir atau menghindari
risiko kerusakan atau bahaya yang lebih besar.
3. Mempertimbangkan keadilan
Dalam Islam, keadilan juga menjadi salah satu prinsip penting. Dalam konteks
prinsip maksimasi masalah, hal ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengambil
keputusan atau penyelesaian masalah yang adil dan tidak merugikan pihak lain.
Dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian masalah, akan diupayakan agar
tindakan yang diambil tidak melanggar prinsip keadilan dan tidak merugikan pihak
lain.
Namun, penting untuk dicatat bahwa prinsip maksimasi masalah tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam lainnya seperti menjaga nilai-nilai
moral, etika, dan hak asasi manusia. Dalam pengambilan keputusan atau
penyelesaian masalah, prinsip-prinsip tersebut juga harus menjadi pertimbangan
yang penting.3
3
Reni Ria Armayani Hasibuan dkk, Ekonomi Mikro Islam, 2022 (Medan, Merdeka Kreasi Group)
hal 28-34
organisasi atau sistem dapat beroperasi secara efektif dalam lingkungannya.
Misalnya, perusahaan harus menjaga keseimbangan antara penawaran dan
permintaan produknya di pasar agar tetap kompetitif.
Keseimbangan Internal:
Keseimbangan internal mengacu pada stabilitas dan harmoni di dalam suatu entitas
atau organisasi, terutama dalam hal struktur, budaya, sumber daya manusia, dan
proses internal. Tujuan dari keseimbangan internal adalah untuk menciptakan
lingkungan kerja yang produktif, motivasi karyawan, dan operasi yang efisien.
Organisasi yang mencapai keseimbangan internal biasanya lebih mampu mengatasi
perubahan eksternal dengan lebih baik. Contohnya, tim manajemen yang kuat dan
budaya perusahaan yang positif dapat membantu menciptakan keseimbangan
internal yang baik.
Keseimbangan eksternal dan internal adalah dua aspek yang penting dalam menjaga
stabilitas dan kinerja suatu organisasi atau sistem.
Lingkungan yang Bersih dan Sehat: Islam mendorong umatnya untuk menjaga
kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ini mencakup menjaga kebersihan air, tanah,
dan udara. Islam juga melarang pemborosan dan mengajarkan konsep menjaga
alam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan tiga cabang yaitu produksi,
distribusi dan konsumsi. Islam mengatur ketiga aspek tersebut ke dalam perspektif
ekonomi Islam yang memandang bahwa dalam proses dari ketiga kegiatan tersebut
harus memperhatikan konsep Maqashid Syariah yakni mementingkan Mashlahah
kebutuhan (needs) dari pada keinginan (wants) yang diatur kedalam konsep
tingkatan kebutuhan dari dharuriyyat (kebutuhan primer), hajatiyyat (kebutuhan
sekunder) dan tahsiniyyat (kebutuhan tersier).
Dr. Darwis Harahap, Ferri Alfadri, Ekonomi Makro Islam, 2021, CV Merdeka
Kreasi Group, Cetakan ke 1
Panji Adam, S. Sy., M.H, Hukum Islam, 2019, Jakarta, Sinar Grafika, Cetakan
Pertama
Reni Ria Armayani Hasibuan dkk, Ekonomi Mikro Islam, 2022 Medan, Merdeka
Kreasi Group