Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“ESENSI DASAR DAN LINGKUP ETIKA


BISNIS SYARIAH”

DISUSUN OLEH:
SAIFUL (105721130120)
SUNARTI(105721129720)
IRFAYANTI BUDI(10572134520)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN MANAJEMEN
2020/2021
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga penulis
dapat menyusun makalah tentang "ESENSI DASAR DAN LINGKUP ETIKA
BISNIS SYARIAH” dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan kesadaran
anak bangsa dalam mempelajari sejarah Indonesia dan meningkatkan rasa
nasionalisme sehingga mereka mampu melanjutkan cita-cita para pahlawan pendiri
bangsa.
Saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu,
memfasilitasi, memberi masukan, dan mendukung penulisan makalah ini sehingga
selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah SWT dengan ganjaran
yang berlimpah.
Meski penulis telah Penyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian.
Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan
masyarakat.

Makassar, 6 april 2021

penulis
DAFTAR ISI
MAKALAH.............................................................................................1
“ESENSI DASAR DAN LINGKUP ETIKA BISNIS SYARIAH”.....1
Kata Pengantar.........................................................................................2
BAB I..........................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................4
RUMUSAN MASALAH.............................................................................4
1.Apa pengertian ruang lingkup etika bisnis islam?.................................4
2.Fungsi etika bisnis islam?......................................................................4
3.Aksioma dasar etika bisnis islam?.........................................................4
4.prinsip prinsip etika islam?....................................................................4
5.Transaksi yang dilarang dalam islam?...................................................4
BAB II.........................................................................................................5
PEMBAHASAN...........................................................................................5
2.1  Pengertian Ruang Lingkup Etika Bisnis Islam..................................5
2.2  Fungsi Etika Bisnis Islam..................................................................5
2.3  Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam....................................................6
2.4  Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam.....................................................8
2.5  Transaksi yang Dilarang Dalam Islam..............................................9
BAB III......................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................16
3.1  Kesimpulan...................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian ruang lingkup etika bisnis islam?
2.Fungsi etika bisnis islam?
3.Aksioma dasar etika bisnis islam?
4.prinsip prinsip etika islam?
5.Transaksi yang dilarang dalam islam?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Ruang Lingkup Etika Bisnis Islam
Secara Bahasa, ruang lingkup di artikan sebagai batasan. Secara istilah, ruang lingkup
adalah suatu batasan yang memudahkan penelitian agar lebih efektif dan efisien untuk
memisahkan asfek tertentu sebuah objek.
Etika berasal dari bahasa Yunani yang berarti karakter, kebiasaan atau sekumpulan
perilaku moral yang diterima secara luas. Etimologi dari etika menunjukkan dasar karakter
individu untuk melakukan hal-hal yang baik, aturan sosial yang membatasi seseorang atas
sesuatu yang benar atau yang salah yang dikenal juga dengan istilah moralitas. Etika adalah
bagian dari filsafat yang membahas secara rasional dan kritis tentang nilai, norma atau moralitas.
Terminologi yang paling dekat dengan pengertian etika dalam Islam disebut sebagai akhlak
(bentuk jama’nya khuluq).
Etika bisnis merupakan prinsip-prinsip moral atau aturan tingkah laku atau kaidah-kaidah
etik yang dianut dalam berbisnis. Arti lain dari etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam
organisasi yang menjadi pedoman membuat keputusan dan tingkah laku
Etika bisnis dalam Islam adalah sejumlah perilaku etis bisnis (akhlaq al Islamiyah) yang
dibungkus dengan nilai-nilai syariah yang mengedepankan halal dan haram. Jadi perilaku yang
etis itu ialah perilaku yang mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangnya. Dalam Islam etika
bisnis ini sudah banyak dibahas dalam berbagai literatur dan sumber utamanya adalah Al-Quran
dan sunnaturrasul. Pelaku-pelaku bisnis diharapkan bertindak secara etis dalam berbagai
aktivitasnya. Kepercayaan, keadilan dan kejujuran adalah elemen pokok dalam mencapai
suksesnya suatu bisnis di kemudian hari.
Dari beberapa penjelasan arti kata di atas dapat diambil kesimpulan sederhana jika ruang
lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia dalam melakukan usaha
(transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah.

2.2  Fungsi Etika Bisnis Islam


Pada dasarnya terdapat fungsi khusus yang diemban oleh etika bisnis Islami. Dijelaskan
sebagai berikut :
1  Etika bisnis berupaya mencari cara untuk menyelaraskan dan menyerasikan berbagai
kepentingan dalam dunia bisnis.
2.  Etika bisnis juga mempunyai peran untuk senantiasa melakukan perubahan kesadaran bagi
masyarakat tentang bisnis, terutama bisnis Islami. Dan caranya biasanya dengan memberikan
suatu pemahaman serta cara pandang baru tentang bisnis dengan menggunakan landasan nilai-
nilai moralitas dan spiritualitas, yang kemudian terangkum dalam suatu bentuk bernama etika
bisnis.
3.   Etika bisnis terutama etika bisnis Islami juga bisa berperan memberikan satu solusi terhadap
berbagai persoalan bisnis modern ini yang kian jauh dari nilai-nilai etika. Dalam arti bahwa
bisnis yang beretika harus benar-benar merujuk pada sumber utamanya yaitu Al-Quran dan
Sunnah.

2.3  Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam


Dilihat dari perspektif ajaran etika (akhlak) dalam Islam pada prinsipnya manusia
dituntut untuk berbuat baik pada dirinya sendiri, disamping kepada sesama manusia, alam
lingkungannya dan kepada Tuhan selaku pencipta-Nya. Oleh karena itu, untuk bisa berbuat baik
pada semuanya itu, manusia di samping diberi kebebasan (free will), hendaknya ia
memperhatikan keesaan Tuhan (tauhid), prinsip keseimbangan (tawazun = balance) dan keadilan
(qist). Di samping tanggung jawab (responsibility) yang akan di hadapkan kepada Tuhan. Lima
konsep inilah yang disebut Aksioma dasar etika bisnis Islam, yang terdiri atas prinsip-prinsip
umum yang terhimpun menjadi satu kesatuan yang terdiri atas konsep-konsep keesaan (tauhid),
keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will), tanggung jawab (responsibility), dan
kebajikan (ihsan).
Sejumlah aksioma dasar etika bisnis Islam tersebut sudah menjadi umum dan jelas
kebenarannya, serta sudah dikembangkan dan dirumuskan oleh para sarjana muslim. Aksioma-
aksioma ini merupakan turunan dari hasil penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep
fundamental dari nilai moral Islami. Penjelasan aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut
:
a.       Kesatuan (Tauhid/Unity).
Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan
murni terhadap kesatuan (keesaan) Tuhan. Konsep tauhid merupakan dimensi vertical Islam
yang berarti Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku
manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-
hak individu lainnya. Hubungan vertical ini merupakan wujud penyerahan diri manusia secara
penuh tanpa syarat di hadapan Tuhan, dengan menjadikan keinginan, ambisi, serta perbuatannya
tunduk pada titah-Nya. Oleh karena itu tauhid merupakan dasar dan sekaligus motivasi untuk
menjaminkelangsungan hidup, kecukupan, kekuasaan, dan kehormatan manusia yang telah
didesain Allah menjadi makhluk yang dimuliakan.
Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek kehidupan yang lainnya, seperti
ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan selalu merasa direkam
segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan
aktivitas bisnis tidak akan mudah menyimpang dari segala ketentuannya. Perhatian terus
menerus untuk kebutuhan etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa
akan meningkatkan kesadaran individu mengenai insting altruistiknya, baik terhadap sesama
manusia maupun alam lingkungannya. Ini berarti, konsep tauhid akan memiliki pengaruh yang
paling mendalam terhadap diri seorang muslimb.      Keseimbangan (Keadilan/Equilibrium).
Prinsip keseimbangan bermakna terciptanya suatu situasi di mana tidak ada satu pihak
pun yang merasa dirugikan, atau kondisi saling ridho („an taradhin).20 Perilaku keseimbangan
dan keadilan dalam bisnis secara tegas dijelaskan dalam konteks perbendaharaan bisnis agar
pengusaha muslim menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan neraca yang
benar, karena hal itu merupakan perilaku yang terbaik dan membawa akibat yang baik pula.
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak
terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Islam mengharuskan penganutnya untuk berlaku adil
dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan dari kebajikan dalam
perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar adalah agar pengusaha Muslim
menyempurnakan takaran bila menakar dan menimbang dengan alat timbangan yang benar,
karena hal itu merupakan perilaku terbaik yang akan mendekatkan pada ketakwaan.
c.       Kehendak Bebas (Ikhtiyar/Free Will).
Dalam pandangan Islam, manusia memiliki kebebasan untuk mengambil semua tindakan
yang diperlukan untuk memperoleh kemashlahah-an yang tertinggi dari sumber daya yang ada
pada kekuasaannya untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk mencapai kesejahteraan hidup,
namun kebebasan dalam Islam dibatasi oleh nilai-nilai Islam. Dengan tanpa mengabaikan
kenyataan bahwa ia sepenuhnya dituntun oleh hukum yang diciptakan Allah SWT, ia diberikan
kemampuan untuk berfikir dan membuat keputusan, untuk memilih jalan hidup yang ia inginkan,
dan yang paling penting, untuk bertindak berdasarkan aturan apapun yang ia pilih. Tidak seperti
halnya ciptaan Allah SWT yang lain di alam semesta, ia dapat memilih perilaku etis maupun
tidak etis yang akan ia jalankan.
Konsep Islam memahami bahwa institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif
dalam kehidupan perekonomian. Hal ini berlaku manakala tidak ada intervensi bagi pasar dari
pihak manapun, tak terkecuali oleh pemerintah. Dalam Islam kehendak bebas mempunyai tempat
tersendiri, karena potensi kebebasan itu sudah ada sejak manusia dilahirkan di muka bumi ini.
Namun, sekali lagi perlu ditekankan bahwa kebebasan yang ada dalam diri manusia bersifat
terbatas, sedangkan kebebasan yang tak terbatas hanyalah milik Allah semata.oleh karena itu
perlu disadari setiap muslim, bahwa dalam situasi apa pun, ia dibimbing oleh aturan-aturan dan
prosedur-prosedur yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan Tuhan dalam Syariat-Nya yang
dicontohkan melalui Rasul-Nya.
d.      Pertanggung Jawaban (Responsibility).
Islam sangat menekankan pada konsep tanggung jawab, walaupun tidaklah berarti
mengabaikan kebebasan individu. Ini berarti bahwa yang dikehendaki ajaran Islam adalah
kehendak yang bertanggung jawab. Manusia harus berani mempertanggungjawabkan segala
pilihannya tidak saja di hadapan manusia bahkan paling penting adalah kelak di hadapan Tuhan.
Tanggung jawab muslim yang sempurna tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang
luas, yang dimulai dari kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang
paling tegas yang perlu diambilnya.
Dalam dunia bisnis hal semacam itu juga sangat berlaku. Setelah melaksanakan segala
aktifitas bisnis dengan berbagai bentuk kebebasan, bukan berarti semuanya selesai saat tujuan
yang dikehendaki tercapai, atau ketika sudah mendapatkan keuntungan. Semua itu perlu adanya
pertanggung jawaban atas apa yang telah pebisnis lakukan, baik itu pertanggung jawaban ketika
ia bertransaksi, memproduksi barang, menjual barang, melakukan jual beli, melakukan perjanjian
dan lain sebagainya.

e.       Ihsan.
Ihsan (benevolence), artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan
kemanfaaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan
tersebut atau dengan kata lain beribadah, dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah, jika tidak
mampu, maka yakinlah bahwa Allah melihat apa yang kita perbuat.
Dalam sebuah kerjaan bisnis Ahmad menggarisbawahi sejumlah perbuatan yang dapat
mensupport pelaksanaan aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu :
1)      Kemurahan hati (leniency)
2)      Motif pelayanan (Service motive)
3)      Kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi
proritas.
Selain hal yang disebutkan di atas, manusia juga diwajibkan untuk mengenal dan
mengobservasi skala prioritas Quran, seperti:
1)      Lebih memilih kepada penghargaan akhirat ketimbang penghargaan duniawi
2)      Lebih memilih kepada tindakan yang bermoral ketimbang yang tidak bermoral
3)      Lebih memilih halal ketimbang yang haram.

2.4  Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islam


Rasulullah SAW memiliki sifat – sifat ke Rasul-an yang menjadi dasar etika bisnis ala
Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Kejujuran (as-sidiq) dan kepercayaan
(al-amin) menjadi prinsip utama Rasulullah Saw dalam berbisnis, selain itu beliau juga terhitung
sebagai orang yang cerdas (fatanah) dengan pemikiran yang visioner, kreatif dan inovatif, serta
pintar mempromosikan diri dan bisnisnya (tabligh) atau dalam istilah ekonomi dikenal dengan
marketing, semua itu menyatu dalam diri Rasulullah SAW.
1.      Siddiq
Siddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga
benar. Sejalan dengan ucapannya. (QS. An-Najm : 4)
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
Seorang pemimpin senantiasa berprilaku benar dan jujur dalam sepanjang
kepemimpinannya, dan seorang pemasar haruslah sifat shiddiq haruslah menjiwai setiap
prilakunya dalam melakukan pemasaran, dalam berhubungan dengan pelanggan, dalam
bertransaksi dengan nasabah, dan dalam menjalin kerjasama dan perjanjian dengan mitra
bisnisnya.
2.      Amanah
Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya,
niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena
itulah Rasulullah Saw dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya
terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk
Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Sebagaimana telah
diterangkan dalam ayat berikut ini: (QS. Al-A’raaf : 68)
“Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasehat
yang terpercaya bagimu”.
Dapat dipercaya, bertanggung jawab, juga bermakna keinginan untuk memenuhi sesuatu
sesui dengan ketentuan. Menyelaraskan nilai yang terkait dengan kejujuran dan melengkapinya.
3.      Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia,
disampaikan oleh Nabi.Tidak ada yang disembunyikan meski itu menyinggung Nabi. (QS. Al Jin
: 28)
“Supaya Dia mengetahui, bahwa Sesungguhnya Rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-
risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia
menghitung segala sesuatu satu persatu”.
Orang yang mempunyai sifat ini akan menyampaikan dengan benar dan apa adanya
dengan tutur kata yang tepat. Berbicara dengan orang lain dengan sesuatu yang mudah
dipahaminya, berdiskusi dan melakukan presentasi dengan bahasa yang mudah dipahami
sehingga orang tersebut dapat dengan mudah memahami pesan bisnis yang kita sampaikan.
4.      Fathanah
Fathanah artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh. Dalam menyampaikan 6 ribu lebih
ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan
yang luar biasa. Nabi harus mampu menjelaskan firman-irman Allah kepada kaumnya sehingga
mereka mau masuk ke dalam Islam. Nabi juga harus mampu berdebat dengan orang-orang kafir
dengan cara yang sebaik-baiknya. Apalagi Nabi mampu mengatur ummatnya sehingga dari
bangsa Arab yang bodoh dan terpecah-belah serta saling perang antar suku, menjadi satu bangsa
yang berbudaya dan berpengetahuan. Dan dapat diartikan sebagai seorang pemasar harus cerdik
dan bijaksana, dalam kata lain adalah pemasar harus mengerti, memahami, menghayati secara
mendalam segala hal yang menjadi tugas dan kewajibannya.
2.5  Transaksi yang Dilarang Dalam Islam
Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang
disebabkan oleh kedua faktor berikut :

Haram zatnya (objek transaksinya)


Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan
merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan
alkohol, narkoba, organ manusia, dll.
Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya)
Setidaknya dari berbagai literatur yang kami jumpai terbagi atas 13 jenis :
1.      MAYSIR
Semua bentuk perpidahan harta ataupun barang dari satu pihak kepada pihak lain tanpa
melalui jalur akad yang telah digariskan Syariah, namun perpindahan itu terjadi melalui
permainan, seperti taruhan uang pada permainan kartu, pertandingan sepak bola, pacuan kuda,
pacuan greyhound dan seumpamanya. Mengapa dilarang? Karena (1) permainan bukan cara
untuk mendapatkan harta/keuntungan (2) menghilangkan keredhaan dan menimbulkan
kebencian/dendam (3) tidak sesuai dengan fitrah insani yang berakal dan disuruh bekerja untuk
dunia dan akhirat.
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti
memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir sering dikenal dengan perjudian
karena dalam praktik perjudian seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah.
Dalam perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi.
Judi dilarang dalam praktik keuangan Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya’…”
(QS. Al Baqarah : 219)
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan  syetan, maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”
(QS Al-Maaidah : 90)
Pelarangan maisir oleh Allah SWT dikarenakan efek negative maisir. Ketika melakukan
perjudian seseorang dihadapkan kondisi dapat untung maupun rugi secara abnormal. Suatu saat
ketika seseorang beruntung ia mendapatkan keuntungan yang lebih besar ketimbang usaha yang
dilakukannya. Sedangkan ketika tidak beruntung seseorang dapat mengalami kerugian yang
sangat besar. Perjudian tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan sehingga
diharamkan dalam sistem keuangan Islam.
2.      GHARAR/TAGHRIR
Sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan kewujudannya secara
matematis dan rasional baik itu menyangkut barang (goods), harga (price) ataupun waktu
pembayaran uang/penyerahan barang (time of delivery).
Taghrir dalam bahasa Arab gharar, yang berarti : akibat, bencana, bahaya, resiko, dan
ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah, taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi
buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan
yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis akibatnya, atau memasuki kancah
resiko tanpa memikirkan konsekuensinya.
Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi
dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli. Taghrir dan tadlis terjadi karena adanya incomplete
information yang terjadi pada salah satu pihak baik pembeli atau penjual. Karena itu, kasus
taghrir terjadi bila ada unsure ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to
both parties).
Menurut mahzab Imam Safi`e seperti dalam kitab Qalyubi wa Umairah: “gharar itu
adalah   apa-apa   yang akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita  dan akibat yang paling
mungkin muncul adalah yang paling kita takuti”.
Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan
yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan
dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi
apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan
menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang
dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang
dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar
kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa
syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat
tersebut adalah:
·         Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang ditimbang)
·         Barang dan harga yang jelas dan dimaklumi (tidak boleh harga yang majhul (tidak diketahui
ketika beli).
·         Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
·         Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan  yang
begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi
secara dzatnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan.    RIBA
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai
bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
[QS Al Baqarah (2): 275]
Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka
itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”.
(HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara
linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba
adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara
bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam, yaitu:
Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
(QS. Ali Imran:130).
“Hai orang-orang yang beriman,bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
(QS. Al Baqarah: 278-279)
Hadits
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya
yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.”
(HR. Ibn Majah).
Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW mengutuk orang yang menerima riba, orang yang
membayarnya dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian Beliau
bersabda, “Mereka itu semuanya sama”.
(HR.Muslim).
4.      BAI’ AL MUDTARR
Adalah jual beli dan pertukaran dimana salah satu pihak dalam keadaan sangat
memerlukan (in the state of emergency) sehingga sangat mungkin terjadi eksploitasi oleh pihak
yang kuat sehingga terjadi transaksi yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan
pihak lainnya.
5.      IKRAH
Segala bentuk tekanan dan pemaksaan dari salah satu pihak untuk melakukan suatu akad
tertentu sehingga menghapus komponen mutual free consent. Jenis pemaksaan dapat berupa
acaman fisik atau memanfaatkan keadaan seseorang yang sedang butuh atau the state of
emergency. Imam Ibnu Taimiyah ra mengatakan bahwa dalam keadaan darurat (state of
emergency) seseorang yang memilik stock barang yang dibutuhkan orang banyak harus
diperintahkan untuk menjualnya dengan harga pasar, jika dia enggan melakukannya pihak
berkuasa dapat memaksanya untuk melakukan hal tersebut demi menyelamatkan nyawa orang
banyak.
6.      GHABN
Adalah dimana si penjual memberikan tawaran harga diatas rata-rata harga pasar (market
price) tanpa disadari oleh pihak pembeli. Ghabn ada dua jenis yakni: Ghabn Qalil (Negligible)
dan Ghabn Fahish (Excessive).
Ghabn Qalil: adalah jenis perbedaan harga barang yang tidak terlalu jauh antara harga
pasar dan harga penawaran dan masih dalam kategori yang dapat dimaklumi oleh pihak pembeli.
Ghabn Fahish adalah perbedaan harga penawaran dan harga pasar yang cukup jauh bedanya.
7.      BAI’ NAJASH.
Dimana sekelompok orang bersepakat dan bertindak secara berpura-pura menawar
barang dipasar dengan tujuan untuk menjebak orang lain agar ikut dalam proses tawar menawar
tersebut sehingga orang ketiga ini akhirnya membeli barang dengan harga yang jauh lebih mahal
dari harga sebenarnya. Larangan Rasul saw:
“..Janganlah kamu meminang seorang gadis yang telah dipinang saudaramu, dan jangan
menawar barang yang sedang dalam penawaran saudaramu; dan janganlah kamu bertindak
berpura-pura menawar untuk menaikkan harga..”
Ini adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan)
palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu
akan naik. Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan
order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan
melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Sebagai contoh : ini sangat rentan terjadi ketika pelelangan
suatu barang. Biasanya yang mengadakan pelelangan bekerja sama dengan beberapa peserta
pelelangan dimana mereka bertugas untuk berpura-pura melakukan penawaran terhadap barang
yang dilelang, dengan kata lain untuk menaikkan harga barang yang dilelang tersebut.
8.      IHTIKAR
Adalah menumpuk-numpuk barang ataupun jasa yang diperlukan masyarakat dan
kemudian si pelaku mengeluarkannya sedikit-sedikit dengan harga jual yang lebih mahal dari
harga biasanya dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih cepat dan banyak. Para
ulama tidak membatasi jenis barang dan jasa yang ditumpuk tersebut asalkan itu termasuk dalam
kebutuhan essential, maka Ihtikar adalah dilarang. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang menimbun (barang & jasa kebutuhan pokok) maka telah melakukan suatu
kesalahan.”
Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas
keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang
dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk
pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal
di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara
menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika
harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan
yang berlimpah. Sebagai contoh: ketika akan dirumorkan oleh pemerintah bahwa tarif bbm akan
dinaikan, maka marak terjadinya penimbunan bbm oleh para penjual nakal. Hal ini mereka
lakukan agar dapat menjual bbm dengan tarif yang sudah dinaikkan, sehingga mereka
mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
9.      GHISH
Menyembunyikan fakta-fakta yang seharusnya diketahui oleh pihak yang terkait dalam
akad sehingga mereka dapat melakukan kehati-hatian (prudent) dalam melindungi
kepentingannya sebelum terjadi transaksi yang mengikat. Dalam Common Law akad seperti ini
dikenal dengan sebutan Akad Uberrime Fidae Contract dimana semua jenis informasi yang
seharusnya diketahui oleh pelanggan sama sekali tidak boleh disembunyikan. Jika ada salah satu
informasi berkenaan dengan subject matter akad tidak disampaikan, maka pihak pembeli dapat
memilih opsi membatalkan transaksi tersebut.
10.  TADLIS
Adalah tindakan seorang peniaga yang sengaja mencampur barang yang berkualitas baik
dengan barang yang sama berkualitas buruk demi untuk memberatkan timbangan dan mendapat
keuntungan lebih banyak Tindakan “oplos” yang hari ini banyak dilakukan termasuk kedalam
kategori tindakan tadlis ini. Rasullah saw sering melakukan ‘inspeksi mendadak’ ke pasar-pasar
untuk memastikan kejujuran para pelaku pasar dan menghindari konsumen dari kerugian.
Yaitu sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk
menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk
menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan akan informasi objek yang diperjualbelikan.
Hal ini bisa penipuan berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price),
ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan. Sebagai contoh :
apabila kita menjual hp second dengan kondisi baterai yang sudah sangat lemah, ketika kita
menjual hp tersebut tanpa memberitahukan (menutupi) kepada pihak pembeli, maka transaksi
yang kita lakukan menjadi haram hukumnya.
11.  TALAQQIL JALAB / TALAQQI RUKBAN
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang yang diimpor dari tempat lain.
Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang dengan menaiki tunggangan.
Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi rukban adalah sebagian pedagang
menyongsong kedatangan barang dari tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya,
lalu ia menawarkan harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui harga
sebenarnya. Jual beli seperti ini diharamkan menurut jumhur (mayoritas ulama) karena adanya
pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari talaqqil
jalab”
(HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata, “Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar,
lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas melarang
kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan mereka sampai di pasar makanan
dan berjualan di sana”
(HR. Bukhari no. 2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia
menderita kerugian besar karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia
berjualan di pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli. Dalam
hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menyambut para pedagang luar.
Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar tersebut
masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu rendah), maka ia punya
hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)”
(HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak
penipuan atau pengelabuan, maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar
antara ada atau tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
12.  BAI’ HADIR LIL BAAD
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah orang kota yang menjadi calo untuk orang
pedalaman atau bisa jadi bagi sesama orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu
menjual barang-barangmu sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti
engkau akan mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah menyambut
para pedagang dari luar (talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan
barang orang desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan
larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi calo”.
(HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram, namun tetap sah. Namun ada beberapa syarat yang
ditetapkan oleh para ulama yang menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
Barang yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh
orang banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu. Sedangkan jika harganya dibayar
secara diangsur, maka tidaklah masalah. Orang desa tidak mengetahui harga barang yang dijual
ketika sampai di kota. Jika ia tahu, maka tidaklah masalah.
13.  RISYWAH
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim
atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk
mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah al-Munir/al Fayumi, al-
Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan
kepentingan tertentu”
Sedangkan menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan
yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.”
Dari definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah; Ar-
Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama diharamkan
dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan tersebut dikategorikan dalam
kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan
Sunnah Nabawiyah berikut ini:
Firman Allah ta’ala:
”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui”
(QS Al Baqarah 188)
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram”
(QS Al Maidah 42).
Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan
risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT
Rasulullah SAW bersabda:
“Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap”
(HR Khamsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
 “Setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram (as-suht) yang dimaksud?”,
“Suap dalam perkara hukum”
(Al-Qurthubi 1/ 1708)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang disuap
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Ruang lingkup etika bisnis islam adalah batasan perilaku manusia dalam melakukan usaha
(transaksi/kerjasama) sesuai dengan ketentuan allah. Prinsip etika bisnis islam sama seperti yang
telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang menjadi dasar etika bisnis ala Rasulullah yaitu
Shidiq, Amanah, Tabligh dan Fathanah. Transaksi yang dilarang dalam islam terbagi dua, yang
pertama karena dzatnya haram dan yang kedua karena cara bertaransaksinya.

DAFTAR PUSTAKA
 
Amalia, F. (2013). Etika Bisnis Islam: Konsep dan Implementasi pada Pelaku Usaha Kecil . Jurnal
Pendidikan, 116-125.
Baidowi, A. (2011). Etika Bisnis Perspektif Islam. JHI, 9 (2), 1-9.
Juliyani, E. (2016). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. Jurnal Ummul Qura, 7 (1), 63-74.
Mardatillah, A. (2013). Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam. JIS, 6(1), 89-98.
Putritama, P. (2018). Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam Industri Perbankan Syariah. Jurnal Nominal,
7 (1), 1-20.

Rahmah, R. A. (2016). Etika dan Manajemen Bisnis Islam (Studi Kasus di Waroeng Steak and Shake
Cabang SM Raja Medan). J-EBIS, 2(2), 1-25.

Anda mungkin juga menyukai