Anda di halaman 1dari 37

STRUKTUR ANALITIK ETIKA ISLAM DAN KONSEP-KONSEP

FILSAFAT ETIKA ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis Islam

Dosen Pengampu:

Dr. Nurul Ichsan, M.A.

Disusun Oleh:
Kelompok 5

Faiz Ridwanudin (11220860000002)


Reza Adha Firdaus (11220860000061)
Reza Kurniyawan (11220860000077)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. yang telah memberikan
nikmat dan kesehatan, sehingga penyusun makalah dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Struktur Analitik Etika Islam dan Konsep-Konsep Filsafat Etika
Islam” dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Etika Bisnis Islam.
Penyusun mengucapkan terimakasih atas bantuan dalam upaya menyelesaikan
makalah ini. Untuk itu, penyusun menyampaikan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Etika Bisnis Islam, bapak Dr. Nurul Ichsan, M.A.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Dengan menyelesaikan
makalah ini, penulis mengharapkan manfaat yang dapat diambil dari makalah ini.

Ciputat, 28 September 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................7
PEMBAHASAN.....................................................................................................7
Struktur Analitik Etika Islam.............................................................................7
2.1 Tauhid..........................................................................................................7
2.2 Keadilan.....................................................................................................14
2.3 Tunduk Pada Asas Halal dan Haram.........................................................17
2.4 Memberikan Rasa Aman dan Nyaman......................................................21
2.5 Menjunjung Tinggi Kejujuran...................................................................23
2.6 Tanggung Jawab........................................................................................26
2.7 Tidak Memaksakan Kehendak..................................................................27
Konsep-Konsep Filsafat Etika Islam..................................................................28
2.8 Keesaan......................................................................................................28
Penerapan Konsep Keesaan dalam Etika Bisnis.............................................29
2.9 Keseimbangan...........................................................................................30
2.10 Kehendak Bebas......................................................................................31
2.11 Pertanggung jawaban...............................................................................33
2.12 Kebajikan.................................................................................................34
BAB III..................................................................................................................36
PENUTUP.............................................................................................................36
3.1 Kesimpulan................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................38

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Etika bisnis islam merupakan suatu proses dan upaya untuk mengetahui
hal-hal yang benar maupun salah,selanjutnya tentu melakukan hal yang benar
berkenaan dengan produk, pelayanan perusahaan dengan pihak yang
berkepentingan dengan tuntunan perusahaan.filsafat etika islam merupakan usaha
yang mengatur dan mengarahkan manusia kejenjang akhlak yang luhur dan
meluruskan perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT.
Namun pada saat ini banyak sekali perusahaan yang tidak memikirkan mengenai
etika dalam berbisnis islam, yang dimana kurang paham mengenai landasan
maupun dasar-dasar beretika dalam berbisnis islam. Sehingga kebanyakan diluar
sana tidak mementingkan kebenaran tapi malah mengesampingkannya.
Oleh karena itu disini dengan dibuatnya makalah mengenai struktur
analitik etika islam serta filsafat konsep-konsep etika islam,diharapkan bisa
memberi pemahaman, bahwa sangat penting memahami mengenai hal-hal dasar
dalam etika bisnis islam serta dapat mengaplikasikannya dalam berbisnis kelak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dari tauhid dalam struktur analitik etika islam?
2. Apa yang dimaksud dari keadilan dalam struktur analitik etika islam?
3. Apa yang dimaksud dari tunduk pada asas halal dan haram dalam struktur
analitik etika islam?
4. Apa yang dimaksud dari memberikan rasa aman dan nyaman dalam struktur
analitik etika islam?
5. Apa yang dimaksud dari menjunjung tinggi kejujuran dalam struktur analitik
etika islam?

4
6. Apa yang dimaksud dari tanggung jawab dalam struktur analitik etika islam?
7. Apa yang dimaksud dari tidak memaksakan kehendak dalam struktur analitik
etika islam?
8. Bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima dasar/prinsip umum
etika bisnis islam atas prinsip tauhid/keesaan?
9. Bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima dasar/prinsip umum
etika bisnis islam atas prinsip keseimbangan?
10. Bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima dasar/prinsip umum
etika bisnis islam atas prinsip kehendak bebas?
11. Bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima dasar/prinsip umum
etika bisnis islam atas prinsip pertanggung jawaban?
12. Bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima dasar/prinsip umum
etika bisnis islam atas prinsip kebijakan?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan mengenai tauhid dalam struktur analitik etika islam.


2. Menjelaskan mengenai keadilan dalam struktur analitik etika islam.
3. Menjelaskan mengenai tunduk pada asas halal dan haram dalam struktur
analitik etika islam.
4. Menjelaskan mengenai memberikan rasa aman dan nyaman dalam struktur
analitik etika islam.
5. Menjelaskan mengenai menjunjung tinggi kejujuran dalam struktur analitik
etika islam.
6. Menjelaskan mengenai tanggung jawab dalam struktur analitik etika islam.
7. Menjelaskan mengenai tidak memaksakan kehendak dalam struktur analitik
etika islam.
8. Mengetahui bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima
dasar/prinsip umum etika bisnis islam atas prinsip tauhid/keesaan.
9. Mengetahui bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima
dasar/prinsip umum etika bisnis islam atas prinsip keseimbangan.

5
10. Mengetahui bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima
dasar/prinsip umum etika bisnis islam atas prinsip kehendak bebas.
11. Mengetahui bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima
dasar/prinsip umum etika bisnis islam atas prinsip pertanggung jawaban.
12. Mengetahui bagaimana konsep-konsep filsafat etika islam dan lima
dasar/prinsip umum etika bisnis islam atas prinsip kebijakan.

6
BAB II

PEMBAHASAN

Struktur Analitik Etika Islam

2.1 Tauhid

Tauhid sebagai Landasan Utama Tauhid dipahami sebagai pengakuan,


penghayatan dan pemahaman atas kebenaran bahwa Tidak Ada Tuhan Selain
Allah yang pantas untuk disembah, ditaati, dicintai dan dijadikan sebagai tujuan
hidup.1 Bagi kalangan muslim, tauhid menjadi solution bridge di saat manusia
yang telah mengaku beriman mendapati pengalaman hidup, baik berupa
kebahagiaan maupun kesengsaraan.
Tauhid menjadi fondasi dari sikap dan perilaku. seseorang, karena
memang hakikat tauhid adalah keimanan kepada Allah dengan mengajukan
pembenaran dalam hati (tashdȋqun bil qalbi), pernyataan dan deklarasi komitmen
kepada nilai-nilai ketuhanan secara lisan (ikrârun billisâni) dan
mengejawantahkannya dalam segenap perilaku kehidupan kesehariannya (af’âlun
bil arkâni).
Pada umumnya ketika seorang mengalami suatu peristiwa yang tidak
menyenangkan seperti kegagalan usaha atau bisnis, persaingan kerja, perpecahan
hubungan keluarga, kenakalan anak, kekurangan modal, pemasaran yang sepi,
pendapatan yang menurun, penyakit yang tidak kunjung sembuh dan sebagainya
lebih mudah meminta pertolongan dari luar dirinya untuk mengatasinya.
Ketergantungan kepada outer system dari luar dirinya menegaskan kelemahan dan
ketidakmampuan manusia itu sendiri.
Ada faktor-faktor yang sangat mendasar sehingga manusia sering keliru
atau salah mencari sumber pertolongan, yaitu diantaranya adalah pengetahuan
agama yang minim atau bahkan tidak ada, ketidaktahuan ilmu tauhid, kurangnya
dukungan lingkungan keluarga yang harmonis, hilangnya contoh keteladanan dari

7
orang lain, sikap pragmatis, keinginan yang serba instan, sikap masa bodoh, atau
keputusasaan atau krisis kepercayaan.
Manusia seringkali mudah terjebak pada perilaku menyalahi prinsip tauhid
tersebut karena minimnya pengetahuan tentang ilmu tauhid dan implementasinya
dalam kehidupan pribadi dan sosial Hal ini bisa dimaklumi jika praktik bisnis
hanya didasarkan pada perhitungan bisnis semata, dan tidak menyertakan atau
mengintegrasikan dengan norma yang bersumber pada agama
Pengetahuan dasar bahwa Allah SWT adalah sang Khalik dan selainnya
adalah makhluk mestinya membangun pemikiran manusia siapa pun dirinya,
bahwa meminta pertolongan kepada selain Allah yaitu kepada jin dan syetan serta
segala pirantinya seperti sesembahan, pesugihan, nyupang, mahar, tumbal dan
sebagainya adalah perbuatan yang bukan hanya musyrik tetapi juga sia-sia. Tapi
inilah kehidupan, manusia masih saja mudah tergelincir kepada yang seolah-olah
memudahkan, seolaholah menjadi penolong kehidupannya, sehingga mereka
berbuat melanggar norma atau syariat agama.1
Allah SWT sebagai pemilik mutlak, pertama dan utama atas alam seisinya
telah mengamanatkan kepada manusia sebagai makhluk yang mampu berpikir
untuk mengolah sumber daya alam untuk mempertahankan keberlangsungan
hidup manusia di muka bumi. Sebagai kata kunci adalah mengolah atau
memberdayakan, bukan merusak atau mengeksploitasi diri dan lingkungan alam
sekitarnya. Hal ini pula yang mendasari ekonomi Islam menjadi sistem ekonomi
yang bersifat melindungi dan memakmurkan manusia. Perintah untuk
melestarikan lingkungan dan menjauhi perbuatan merusak lingkungan dalam Al
Qur’an telah banyak disebut mengenai perintah tersebut
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
1
. Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 181-182
Musa Asy’arie, Filsafat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2015), hlm. Vi

8
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS. Al Qashash: 77)
Artinya: Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama
(rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacammacam itu) bila Dia berbuah,
dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebihlebihan. (QS. Al An’am: 141)
Pada saat manusia merusak alam atau menggunakan kekuatan lain selain
yang bersumber kepada Allah SWT pada hakikatnya telah menyalahgunakan
kewenangan pikiran dan hatinya tanpa merujuk kepada sang pemberi kewenangan
itu, yaitu Allah SWT. Telah terjadi pengingkaran keberadaan kekuasaan Allah
SWT yang secara sengaja dilakukan manusia. Maka menjadi logis jika perbuatan
musyrik adalah dosa besar.
Lebih parah lagi sebab manusia justru menggunakan akal pikiran dan hati
yang nyata-nyata merupakan pemberian Allah SWT untuk hal-hal yang tercela
dan tidak disukai Allah SWT. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
moral agama yang bersumber dari Allah SWT sejatinya merupakan akhlak
madzmûmah (akhlak yang tercela).
Proses penciptaan manusia sejak dari alam ruhani (lauhul mahfûdz/’âlam
al arwâh), alam rahim (‘âlam al-arhâm) hingga lahir di dunia (‘âlam al-dunyâ)
bahkan hingga wafat sampai ke alam kubur serta alam barzakh dan alam semesta
yang memiliki fase demi fase menunjukkan bahwa kehidupan itu tidak instan.10
Tahap kehidupan yang begitu runtut telah dicontohkan dalam pengalaman
manusia hingga lahir di alam fana semestinya mendorong manusia untuk tunduk,
taat dan patuh kepada ketentuan dan ketetapan (qodho’ dan qodar) yang
ditentukan Allah SWT.2

2
Musa Asy’arie, Filsafat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2015), hlm. Vi

9
Bagi manusia yang memiliki keimanan yang kuat akan merasakan
kedekatan dengan Allah SWT melalui perilakunya yang dikerjakan sesuai dengan
perintah Allah SWT.11 Al Qur’an telah menegaskan proses penciptaan manusia
dalam QS. Al Mukminun 12-14 yang artinya’ Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta
yang paling baik. (QS. Al Mukminun 12-14)
Ketidaksabaran manusia serta ingin serba cepat mendapatkan hasil
seringkali di era globalisasi menjerumuskan manusia ke dalam tindakan gegabah
dan bertentangan dengan syariat agama, hingga melanggar aturan halal dan
haram.
Lemahnya tauhid juga mempengaruhi tingkat kepercayaan manusia
terutama pada saat mendapatkan masalah. Ketika manusia tidak merasa memiliki
“Tuhan” dan tidak merasa “bersama Tuhan” maka dia cenderung merasa
kesepian, tidak memiliki tempat bergantung, tempat mengadu, dan tempat
bertanya. Inilah yang sering menyebabkan seseorang merasa tidak bermakna
(meaninglessness) dan kemudian mencari pelampiasan atau pelarian dari
permasalahan yang dihadapi.3
Implikasi tauhid dalam perilaku manusia sungguh dahsyat, sebab ketika
seseorang selalu merasa “bersama” dengan Tuhannya, maka setiap pikiran,
ucapan, ataupun perbuatan secara natural tidak akan kosong dari normanorma
Ilahiyah, seperti menghargai, mengasihi, menyayangi, melindungi, berbuat adil,
seimbang. Seseorang tidak akan berkata dan berbuat kasar, merugikan orang lain,
membahayakan diri sendiri dan orang di sekitarnya, menipu, berbohong, mencuri,
mencemari lingkungan, eksploitasi kepada pekerja dan alam sekitar serta
perbuatan destruktif lainnya
3
. Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 222-224.

10
Dengan kata lain self control atau pengendalian diri dari manusia terhadap
semua perbuatan, pikiran dan perkataan akan secara signifikan menjauhkan
kejatuhan manusia pada tindakan yang menistakan martabat mereka sendiri.
Kekuatan tauhid seseorang yang tertanam kokoh dalam batin ruhaniahnya
(God Spot), akan menjadi driving forces bagi sistem perilakunya baik yang
berkaitan dengan perasaan (feeling), pikiran (thinking), perkataan dan apalagi
tindakan (performing/behavior). Tauhid yang kuat akan membentuk suatu energi
kokoh yang berpengaruh untuk merubah (power of changes), karena tauhid
sejatinya adalah pewarna Ilahiyah (shibghat Allah) yang bila telah didapat akan
secara otomatis mewarnai segalanya
Sistem perilaku yang didasarkan pada tauhid akan selalu melahirkan
kesadaran etis (good consciousness) yang bertanggung jawab, di mana baik buruk
akan menjadi timbangan; kebaikan diperintahkan Tuhan yang membuahkan
keberuntungan dan kebahagiaan dan sebaliknya kebatilan akan dimurkaiNya dan
membuahkan penderitaan hidup dunia sampai akhiratnya. Soliditas dan
konsistensi ketauhidan itulah yang akan menghantarkan kepada hamba Allah
SWT yang paripurna (al-insân al-kâmil); menjadi manusia sejati sesuai dengan
jati diri nan fitri.4
Ismail Raji’ Al Faruqi salah seorang pemikir islam yang mencetuskan
pemikirannya dalam bidang etika. Pemikiran etika Ismail Raji’ Al Faruqi
didasarkan pada konsep tauhid. Menurutnya tauhid sebagai pondasi dasar agama
islam harus dijadikan sebagai tuntutan hidup dalam berbagai bidang pengetahuan.
Baik itu dalam ilmu umum, etika maupun estetika. Sehingga umat muslim akan
melakukan perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama.
Tauhid merupakan inti ajaran islam dan agama -agama monotisme dunia.
Tauhid adalah inti dari ajaran yang memuat keesaan Allah, tuhan pencipta alam
semesta. Dengan prinsip tauhid diyakini sebagai satu-satunya zat yang esa,
tunggal, baik dalam zat, sifat, maupun segala perbuatanya. Dia diciptakan sebagai
pencipta yang mempunyai semua sifat kesempurnaan. Sedangkan selahin tuhan
adalah mahluk ciptaannya dan memliki segala kekurangannya.

4
Imam Kanafi Al Jauhari, Tema-Tema Pokok Filsafat Islam, (Pekalongan: NEM, 2017), hlm. 263

11
Dalam dunia islam tauhid merupakan fondasi dasar yang sangat penting
dalam kehidupan. Hal in menjadikan tauhid sebagai bangunan spiritual manusia.
Kesadaran spiritual umat islam ditegaskan dengan adanya pengesaan tuhan.
Sehingga manusia menyakini bahwa tuhan sebagai yang paling sempurna. Tuhan
diposisikan sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran. Bahkan dengan ilmu
tauhid manusia menjadikannya displin logika, epistrmology, metafisika etika
sebagai cabangnya.567
Ismail Raji Al Faruqi merupakan salah satu pemikir muslim yang berusaha
menjadikan tauhid sebagai pondasi kehidupan. Segala bentuk pemikirannya
didasarkan pada tauhid. Bahkan ia menuliskan buku Tauhid; Its implications for
thought and life. Dalam karyanya Ismail Raji ‘Al faruqi menegaskan tauhid
sebagai dasar dari kehidupan. Harmoniasi tauhid dalam berbagai cabang
keilmuaan sangat berpengaruh. Beliau mencoba menyelarasakan tauhid dengan
keilmuaan lainnya. Salah satunya yakni dalam bidang etika. Etika sebagai
tuntutan hidup manusia yang di dasarkan pada konsep tauhid, pengesaan Tuhan.

Tauhid sebagai Intisari Pengetahuan Islam


Al-Faruqi menegaskan bahwa esensi pengetahuan dan kebudayaan Islam ada
pada agama Islam itu sendiri. Sedangkan esensi Islam itu adalah tauhid. Ini
artinya, tauhid sebagai prinsip penentu pertama dalam Islam, kebudayaannya, dan
sainsnya. Tauhid inilah yang memberikan identitas pada peradaban Islam, yang
mengikat semua unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tersebut
sebagai suatu kesatuan integral dan organis. Dalam mengikat unsur yang berbeda
tersebut, tauhid membentuk sains dan budaya dalam bingkainya tersendiri. Ia
5
Zaenul Arifin (dkk), Moralittas Al-Qur’an dan Tentangan Modernitas (Yogyakarta: Gama Media, 2022).
Hlm.7.
6
Ismail RajI’ Al Faruqi, Tauhid terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka,1988) Hlm.17.
7
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006). Hal.528

12
mencetak unsur-unsur sains dan budaya tersebut agar saling selaras dan saling
mendukung. Tanpa harus mengubah sifat-sifat mereka, esensi tersebut mengubah
unsur-unsur yang membentuk suatu peradaban, dengan memberikannya ciri baru
sebagai bagian dari peradaban tersebut. Tingkat perubahan ini bisa beragam,
mulai dari yang kecil sampai yang radikal. Perubahan bersifat kecil jika hanya
mempengaruhi bentuknya, dan radikal jika mempengaruhi fungsinya. Ini
dikarenakan fungsilah yang merupakan relevansi unsur peradaban dengan
esensinya. Itulah sebabnya umat Islam perlu mengembangkan ilmu tauhid dan
menjadikan disiplin 89
disiplin logika, epistemologi, metafisika dan etika sebagai cabang-
cabangnya. Dengan demikian, tauhid merupakan perintah Tuhan yang tertinggi
dan paling penting. Ini dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Tuhan untuk
mengampuni semua dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid.6
Tidak ada satupun perintah dalam Islam yang bisa dilepaskan dari tauhid.
Seluruh agama itu sendiri, kewajiban manusia untuk menyembah Tuhan, untuk
mematuhi perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya akan
hancur begitu tauhid dilanggar. Oleh karena itu, berpegang teguh pada prinsip
tauhid merupakan suatu keniscayaan dan merupakan fondamen dari seluruh
kesalehan, religiusitas, dan kebaikan. Seorang muslim dapat didefinisikan dengan
kepatuhannya kepada tauhid, dengan pengakuannya akan keesaan dan
transendensi Allah sebagai prinsip tertinggi dari seluruh ciptaan, wujud, dan
kehidupan.7
Islam menyatakan bahwa transendensi Tuhan adalah urusan semua orang.
Islam menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan semua manusia dalam
keadaan mampu mengenal-Nya dalam transenden-Nya. Ini adalah anugerah
bawaan manusia sejak lahir, suatu fitrah yang dimiliki semua orang.8 Dengan
mengidentifikasi hal yang transenden seperti Tuhan, maka manusia akan
menyingkirkan bimbingan perbuatan di luar hal yang transenden tersebut.
8
Al-Faruqi, Atlas, op.cit., hlm. 5.
210
9
Ibid.

13
Setiap manusia memiliki pengalaman keagamaan yang esensinya kembali
kepada tauhid. Tuhan bukanlah sesuatu yang absolut semata, namun merupakan
esensi dari kenormatifan. Tuhan sebagai kenormatifan berarti bahwa dia adalah
zat yang memerintah. Gerak-geriknya, pikirannya, perbuatannya adalah segala
realitas yang pasti, dan dapat dipahami oleh manusia.

2.2 Keadilan

. Keadilan Interaksi antar manusia baru dikatakan sesuai dengan harkat


martabat sebagai al-insân al-kâmil ketika dari hubungan interaksi tersebut mampu
mengaktualisasikan sifat-sifat mulia Allah SWT (al-asmâ al-husnâ) dalam
kehidupan nyata, yang dalam konteks ini adalah keadilan (al-’adâlah). Konkritnya
ia mampu berbuat adil pada dirinya dan memperlakukan secara adil pada setiap
orang yang berinteraksi
Kesempurnaan dalam berbisnis bukan berarti mengeruk keuntungan atau
profit sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan kepentingan orang lain seperti
konsumen, karyawan, masyarakat sekitar perusahaan dan sebagainya, Akan tetapi
bagaimana menjaga keseimbangan antara berbagai pihak yang terlibat agar
merasa diperhatikan kepentingannya dan dipenuhi kebutuhannya, jasmani dan
ruhani.
Kelanjutan dari aspek tauhid adalah patuh pada ketetapan Allah SWT,
termasuk perintah berbuat adil. Al Qur’an telah banyak menyebut dalam berbagai
surat seperti yang artinya yaitu Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An Nahl: 90)
Islam sangat menekankan sikap adil, sebab keadilan merupakan hak asasi
manusia agar bisa hidup tenteram dan sejahtera, Keadilan merupakan hal yang
fundamental baik untuk urusan dunia seperti bekerja, bersekolah, berdagang,

14
berproduksi dan sebagainya maupun urusan akhirat seperti beribadah, bersedekah,
berzakat, berumroh, bahkan pelayanan ibadah haji.
Dengan keadilan yang dilaksanakan semestinya kegiatan-kegiatan manusia
itu bisa dinikmati secara adil, agar tidak ada manusia yang merasa ditindas,
dibohongi, dieksploitasi, dicurangi, ditipu dan sebagainya, baik dari segi produksi,
konsumsi, ketenagakerjaan, pemasaran dan sebagainya.
Keadilan termasuk kesamaan manusia untuk berbuat atau memanfaatkan
peluang, seseorang tidak boleh menghambat orang lain untuk berkreasi dan
berkompetisi. Di antara pebisnis yang berkompetisi dengan memberikan ruang
atau kesempatan pebisnis untuk menunjukkan kualitas barang dan jasanya akan
membuat persaingan yang sehat.
Dari kompetisi yang sehat bisa melahirkan kolaborasi/kemitraan, sebab
setiap pebisnis pasti memiliki kelebihan dan keunggulan, begitu juga kelemahan,
sehingga situasi ini menumbuhkan rasa berbagi kesempatan antar pengusaha. Jadi
sesungguhnya dalam sebuah bisnis pun mesti mengindahkan etika kepada sesama
kompetitor, sehingga menciptakan praktik etika sosial dalam berbisnis.
Kompetisi yang sehat seperti itu akan berperan penting dalam
pembangunan hidup manusia untuk waktu jangka panjang. Harmonisasi produsen,
pedagang, konsumen, pekerja dan lingkungan yang saling membutuhkan secara
konstruktif akan terjalin berlandaskan nilai keadilan tidak menjadikan si miskin
tambah miskin dan si kaya menjadi semakin kaya.
Akan tetapi tidak menampik fakta juga ketika dalam kenyataan manusia
baik pada level lokal, regional, nasional bahkan internasional cenderung serakah,
ingin menguasai, mendominasi bahkan memanipulasi agar dirinya lebih banyak
mendapat kesempatan dibandingkan orang lain.
Di sini berarti telah terjadi pengingkaran terhadap nilai keadilan tersebut,
sebab orang yang serakah pasti akan merampas hak orang lain, termasuk hak
kesempatan berkompetisi. Sikap tidak adil berarti melawan asas tauhid terutama
mengenai pemilikan, sebab dalam Islam hanya Allah SWT yang menjadi pemilik
mutlak dari segala kejadian dan alam semesta.

15
Semua manusia sesungguhnya berada pada level yang sama, yaitu sebagai
khalȋfatullâh fil ardli; wakil Allah di muka bumi yang bertugas mengembangkan
segala sumber daya untuk kemakmuran manusia bersama, bukan kemakmuran diri
sendiri. Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 29 telah menegaskan yang artinya;
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 29).
Konsep keadilan selalu berkaitan dengan kemaslahatan umat.31 Prinsip ini
yang harus dipahami para pelaku usaha, sehingga apa pun proses produksi
maupun transaksi intinya bertujuan membangun peradaban manusia menjadi lebih
baik, saling memberi manfaat sebagaimana Rasulullah SAW tegaskan dalam
suatu hadits yang artinya yaitu: Sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrani, AdDaruqutni dalam
Shahȋhul Jâmi’, No. 3289)
Manusia sesungguhnya tidak pernah tahu kualitas amal perbuatan yang
telah dilakukan kepada orang lain baik itu konsumen, karyawan maupun
masyarakat pada umumnya benar-benar akan diterima Allah SWT, Dari landasan
itu, maka tinggal amal perbuatan yang dimotivasi dengan rasa keadilanlah yang
akan mengendalikan nafsu manusia keinginan untuk serakah atas hak orang lain.
Jika saja manusia menyadari bahwa semua makhluk memanfaatkan alam yang
telah disediakan Allah SWT, maka semestinya manusia tidak merasa lebih berhak
dari yang lain. Inilah moralitas yang seringkali dilupakan pelaku usaha ketika
sudah berpikir keuntungan

2.3 Tunduk Pada Asas Halal dan Haram

Manusia menentukan atau memutuskan perbuatan termasuk bisnis melalui


proses decision making yang melibatkan nilai-nilai atau bahkan tidak
melibatkannya sama sekali. Perbedaan itu sangat bervariasi di antara manusia,
sehingga ada yang konsisten dengan keimanannya atau tauhid yang sebelumnya

16
dipatuhi. Bagi manusia yang mengimplementasikan nilai tauhid dalam perbuatan,
dengan sendirinya selalu menyertakan keberadaan Allah SWT dalam pikiran, hati
dan perbuatan.
Dampak dari internalisasi nilai moralitas akan membimbing manusia untuk
memilih perbuatan halal atau haram yang akan dilakukan. Secara kualitas,
eksistensi Allah SWT akan menentukan jenis perbuatan manusia akan
menghasilkan manfaat (mashlahah) atau justru membawa kerusakan (madharat)
bagi manusia dan lingkungan.
Selain sebagai aktualisasi nilai tauhid, masalah halal dan haram merupakan
dimensi syariat muamalah yang tidak bisa dilepaskan dengan nilai etika Islam atau
ajaran al-akhlâq al-karȋmah. Tauhid sebagai landasan atau fondasi, syariat
muamalah sebagai bangunannya dan nilai etis sebagai buah atau hasilnya. Apapun
yang ditetapkan oleh syariat yang terkandung dalam al-ahkâm al-khams (wajib,
sunnah, makruh, boleh dan haram) selalu berprinsip pada kaidah mashlahah wal
madharat dan nilai etis; baik dan buruk.
Ketika syariat menetapkan yang halal itu wajib dilakukan, dan yang haram
harus ditinggalkan, itu karena semua yang diperintahkan wajib pasti memiliki
nilai-nilai mashlahah dan kebaikan yang paling tinggi dan banyak. Begitupun
sebaliknya ketika ditetapkan haramnya sesuatu karena mengandung madharat
yang banyak dan maslahat kebaikan yang sedikit. Di sinilah menunjukkan bahwa
keyakinan tauhid akan melahirkan penerimaan syariat halal haram secara
konsisten dan sekaligus meneguhkan nilai etisnya.
Batas halal dan haram dalam Islam merupakan nilai fundamental yang sangat
ketat diberlakukan untuk menjamin keberlangsungan hidup manusia itu sendiri,
sebab Allah SWT menciptakan kehidupan di muka bumi dengan falsafah
berkelanjutan. Filosofi berkelanjutan seiring dengan fitrah manusia yaitu turun
temurun, dari generasi ke generasi.
Untuk menjamin tercapainya misi tersebut yaitu masa mendatang, tentu
membutuhkan kesiapan manusia beserta segala bekal persiapan untuk
mempertahankan jiwa dan raga manusia itu sendiri, yaitu terpenuhinya beragam
kebutuhan pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan serta alam lingkungan

17
yang lestari. Ketidakseimbangan kebutuhan manusia dan lingkungan yang
tercemar akan membahayakan kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Pelanggaran batas halal dan haram bukan hanya akan merusak kehidupan
sang pelaku pelanggaran, tetapi juga manusia di sekitarnya, baik anak keturunan
maupun masyarakat lainnya. Islam telah tegas menyebut perintah untuk mematuhi
batas halal dan haram. Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 168 yang artinya : Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al Baqarah ayat 168)
bahaya. Pemalsuan merk, pengoplosan bahan yang tidak layak konsumsi,
serta pembuangan/pencemaran limbah adalah contoh dari perbuatan yang haram
dan sangat merugikan orang lain. Berbagai perbuatan tersebut menunjukkan
bahwa telah terjadi penyalahgunaan kecerdasan manusia bukan untuk mencari
kemaslahatan melainkan untuk memenuhi nafsu manusia yang serakah,
menyepelekan dan merusak.
Meski sudah seringkali pemerintah atau pihak berwajib mempublikasikan
informasi kriminalitas semacam itu ke media, tapi jumlah pelanggaran masih terus
saja terjadi dengan pelaku yang bervariasi baik dari etnis maupun agama. Pelaku
pelanggaran seperti perampok, koruptor, pencuri, pembunuh, pebisnis amoral,
seperti tidak memiliki rasa malu ketika perbuatannya diketahui khalayak umum.
Tindakan menghalalkan segala cara dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar
untuk mencari uang.10
Hal ini sangat memprihatinkan sebab menandakan bahwa ajaran agama dalam
bisnis dan perdagangan tidak benar-benar dipatuhi oleh masyarakat. Hal ini tentu
bertentangan dengan ajaran Islam mengenai kehidupan, sebab manusia diciptakan
dalam suatu himpunan keluarga, tetangga, masyarakat, negara bahkan antar
negara dengan asas saling mengenal, memahami, mengerti sehingga muncul
perilaku kooperatif dan akomodatif, bukan eksploitatif.
Seperti dalam Al Qur’an dijelaskan yang artinya : : Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang

10
(Jakarta: Kompas Gramedia, 2017), hlm. 237-238.

18
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujuraat: 13)
Konsep halal haram ini lebih banyak hanya menjadi pengetahuan, belum
menjadi sebuah kesadaran dan kepatuhan. Aplikasi menjadi sulit ketika pelaku
kriminal tidak memiliki keimanan atau tauhid yang kuat, serta tekanan eksternal
seperti persaingan bisnis dan pengaruh gaya hidup yang tinggi. Situasi kompleks
inilah yang berhasil memisahkan manusia dari pertimbanganpertimbangan non
benda, seperti nama baik, kepercayaan, dosa, pembalasan di akhirat dan
sebagainya.
Manusia akhirnya menjadi budak pekerjaan, budak bisnis, dan budak
nafsu dirinya sendiri. Sampai di titik tersebut, manusia seringkali melupakan
bahwa dunia ini hanya perantara untuk sampai di akhirat, ad-dunya mazra’atul
âkhirat. Sebagian manusia lebih terkonsentrasi kepada diri dan keluarganya saja,
kurang membagi perhatian kepada di luar diri dan keluarganya.
Dengan kecerdasannya, berbagai dalih atau alasan sering kali digunakan
manusia untuk mencari pembenaran atas keputusannya dalam bertindak.
Keterbatasan modal, kelangkaan bahan baku, ketidaktahuan akan sosialisasi dari
pemerintah tentang larangan penggunaam bahan berbahaya, ketimpangan situasi
antara supply dan demand antara satu daerah dengan daerah yang lain contohnya
dijadikan alasan pebisnis curang untuk membenarkan perilaku bisnis haramnya.
Dari berbagai alasan tersebut manusia lebih sering fokus kepada solusi yang
bersifat instan, daripada mencari akar masalahnya. Jika dicermati sebagai suatu
peristiwa hidup manusia maka berbagai masalah termasuk kelangkaan yang
muncul tersebut sebenarnya bukan kelangkaan yang bersifat mutlak, melainkan
kelangkaan yang bersifat sementara (relative).
Peran akal manusia diperlukan untuk mencari akar masalahnya bukan jalan
keluar destruktif yang justru menambah masalah baru. Umumnya hal tersebut
terjadi karena ketidakseimbangan akal dan iman dari manusia itu sendiri yang
menjadi dasar pertimbangan keputusannya dalam bertindak. Perilaku yang

19
melanggar batas halal dan haram antara lain disebabkan ketiadaan inovasi sebagai
hasil dari kreatifitas akal pikiran manusia. Persaingan bisnis pun menjadi tidak
sehat, karena yang terjadi justru pembohongan kepada konsumen.
Meskipun pelaku bisnis amoral menggunakan “kreatifitas” mencampurkan
bahan yang berkualitas dengan bahan tidak layak konsumsi ataupun menggunakan
proses untuk mengakali biaya lebih rendah tapi mengesampingkan standar
produksi, semuanya itu bukanlah kreatifitas manusia yang dimaksud dalam
pembahasan sumber daya manusia. Perbuatan tercela dan manipulatif itu justru
menunjukkan bahwa pelaku telah terjerumus melakukan kemunkaran.
Sementara Allah SWT telah menyebutkan secara tegas dalam beberapa
surat Ali Imran: 104 yang artinya: Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah
mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:
“Cukuplah untuk Kami apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami
mengerjakannya”. Dan Apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk? (QS. Ali Imran: 104)
Allah SWT tidak pernah menyuruh manusia untuk mencelakai orang lain
demi kepentingannya sendiri. Inovasi dari hasil kreatifitas yang dimaksud tetap
untuk menghasilkan kemudahan dan kebaikan (kemaslahatan) bagi kehidupan. Di
sinilah makna pentingnya daya saing perlu dikembangkan lebih mendalam di
kalangan produsen dan pebisnis agar mampu memenangkan persaingan bisnis
dengan cara yang halal dan thayyib
Dorongan nafsu untuk bersaing yang dilandasi ambisi pragmatism mencari
profit secepatnya, sebanyakbanyaknya menjadi lebih luas hingga pada strategi
bisnis perusahaan, yang menghalalkan segala cara untuk mendongkrak
keuntungan perusahaan Tidak mengherankan ketika ada ungkapan mencari yang
haram saja susah apalagi yang halal. Prinsip hidup yang akan menyelamatkan
manusia telah disingkirkan oleh dorongan nafsu yang bersifat jangka pendek,
hubbud dunya, mencintai dunia, khawatir kehilangan kenikmatan dunia, dan takut
akan sengsara jika tidak memiliki dunia.

20
Ketiadaan iman yang kuat akan kehendak dan takdir dari Allah SWT
membuat manusia bertindak atas kemauannya sendiri, tanpa lagi
mempertimbangkan nilai moralitas. Hal tersebut berbanding terbalik dengan
ketersediaan sumber daya yang dimiliki manusia berupa segala pancaindra dan
akal, serta sumber daya alam semesta baik berupa, tanah, air, bahan tambang,
tumbuhan, udara, hasil hutan dan sebagainya.

2.4 Memberikan Rasa Aman dan Nyaman

11
Manusia memiliki keinginan untuk hidup yang aman dan nyaman,
terwujud ketika perilaku manusia sesuai dengan normanorma yang ada, baik
norma agama, dan norma sosial. Perilaku ini pun mesti bersifat massif, bukan
dilakukan oleh seorang saja, tetapi dilakukan oleh banyak pihak sehingga hasil
dari perilaku etis bisa secara signifikan dirasakan, itu pun jika dilakukan secara
berulang-ulang.
Untuk itu penting sekali adanya uswah atau keteladanan untuk
menciptakan rasa aman dan nyaman ini, karena masyarakat akan menonton
perilaku yang terjadi di depan mereka dan meresponsnya. Sebagai contoh, ketika
kejujuran menjadi perilaku bisnis baik bagi produsen, maka hasil produk yang
dibuat pun akan memiliki kualitas yang memuaskan untuk konsumen. Perilaku
produsen yang hanya menggunakan bahan berkualitas, dan tidak membohongi
konsumen dengan mengganti bahan yang berbahaya tentu akan meningkatkan rasa
aman dan nyaman ketika orang mengonsumsinya. Maka produsen yang lain pun
akan bertindak serupa untuk memuaskan konsumennya
Tapi lain halnya jika, produsen menipu konsumen dengan bahan-bahan
berbahaya alias tidak jujur, maka konsumen akan kecewa dan dirugikan. Besar
kemungkinan produk tersebut tidak akan lagi dikonsumsi, jika ini terjadi secara
massal maka tentu akan mempengaruhi keberadaan perusahaan. Sebagai manusia

11
. Lincolin Arsyad dan Stephanus Eri Kusuma, Ekonomika Industri, Pendekatan Struktur, Perilaku dan
Kinerja, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm. 49-50

21
yang berakal dan bermoral, mestinya pengalaman ini tidak akan ditiru oleh
produsen lainnya
Dengan demikian pada saat berbisnis pun manusia wajib mengindahkan
norma-norma yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan berbisnis.Hal ini
didasari bahwa sesungguhnya manusia hidup tidak sendirian, pebisnis hanya bisa
eksis ketika konsumen selalu membutuhkan dan menanti produk serta jasa yang
dihasilkan.
Jika salah satu pihak kehilangan eksistensi, misalnya pada saat konsumen
kehilangan daya beli, maka eksistensi produsen dan pebisnis juga akan terancam
hilang dan gulung tikar. Hidup pun tidak akan terasa nyaman dan aman lagi,
demikian seterusnya akan normal kembali manakala eksistensi tumbuh kembali.
Sebagai ilustrasi yang lain, produsen barang dan jasa akan dengan nyaman
mengembangkan perusahaannya ketika produknya diterima pasar. Begitu juga
dengan konsumen yang merasa aman serta nyaman ketika kebutuhannya tersedia
di pasar. Dalam hal ini produsen sangat perlu melakukan survey pasar, mencari
tahu kemampuan daya beli serta konsumen trend pasar, seperti misalnya trend
produk hijau (green product) yang semakin meningkat sebagai bentuk kesadaran
konsumen terhadap keberlangsungan lingkungan.
Informasi-informasi tersebut akan sangat membantu produsen untuk
melakukan kombinasi sumber daya usahanya untuk merespon kebutuhan pasar.
Sayangnya tidak setiap pengusaha memiliki perilaku ideal seperti itu, keterbatasan
pengetahuan bisnis, seringkali menghambat produk yang dihasilkan sulit diterima
pasar.
Padahal penerimaan pasar terhadap produk tertentu akan menjadi kunci
pertumbuhan usaha yang dilakukan produsen. Di sinilah pengusaha perlu
mengidentifikasi syarat-syarat agar produknya tidak mengalami hambatan, dan
bisa dengan nyaman serta aman berkorelasi dengan konsumen hingga
menumbuhkan loyalitas.12 13 14

12
Takashi Inoguchi, Edward Newman, Glen Paoletto, (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. 105.
13
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 190-191
14
M. Arief Mufraeni, Ahmad D. Bashori, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm.
96

22
2.5 Menjunjung Tinggi Kejujuran

Seseorang harus jujur agar bisa dipercaya dalam urusan sosial maupun
bisnis.Namun, kejujuran menjadi langka karena persaingan hidup, dan orang yang
jujur dianggap aneh dan tidak biasa. Inilah kehidupan manusia yang telah
dihancurkan oleh keinginan untuk mendapatkan harta yang berlebihan dengan
cepat dan mudah. Bagi mereka yang ingin cepat kaya, kejujuran tidak penting.
Bisnis menjadi alat untuk memperkaya diri sendiri jika prinsip-prinsip ini telah
menguasai manusia.
Tidak mengherankan bahwa praktik bisnis seperti riba, pengurangan takaran,
penipuan investasi, monopoli, dan sebagainya menjadi semakin umum.Konsumen
semakin tidak terlindungi, dan kejahatan dan keserakahan meningkat.Bisnis hanya
menjadi sarana untuk memuaskan keinginan yang tidak ada hentinya.
Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip etis bisnis Islam, di mana
bisnis dianggap sebagai ibadah dengan tujuan mendapatkan keberkahan dan
keridhaan Allah SWT melalui upaya memenuhi kebutuhan orang-orang yang
miskin dan membuat mereka terbebas dari kesulitan. Tidak ada alasan bagi
manusia untuk khawatir mereka tidak dapat bertindak jujur dalam bisnis mereka
karena Allah SWT telah memberikan perintah untuk berbuat jujur baik dalam
perkataan maupun perbuatan, dan Dia juga telah berjanji untuk memberikan
balasan bagi mereka yang mampu berbuat jujur dan azab bagi mereka yang
berbuat munafik.

QS. Al-Ahzab 23-24

‫ِّم َن ٱْلُم ْؤ ِمِنيَن ِر َج اٌل َص َد ُقو۟ا َم ا َٰع َهُد و۟ا ٱَهَّلل َع َلْيِهۖ َفِم ْنُهم َّم ن َقَض ٰى َنْح َب ۥُه َو ِم ْنُهم َّم ن‬
‫َينَتِظ ُرۖ َو َم ا َبَّد ُلو۟ا َتْبِد ياًل‬
Artinya: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang

23
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
tidak merubah (janjinya),”

‫ِّلَيۡج ِز َى ٱُهَّلل ٱلَّٰص ِدِقيَن ِبِص ۡد ِقِهۡم َو ُيَع ِّذ َب ٱۡل ُم َٰن ِفِقيَن ِإن َش ٓاَء َأۡو َيُتوَب َع َلۡي ِهۡم ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن‬
‫َغ ُفوًرا َّر ِح يًم ا‬
Artinya : “agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu
karena kebenarannya dan mengazab orang munafik jika Dia menghendaki atau
menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

QS. Az-Zumar 33-35

‫َو اَّلِذ ۡى َج ٓاَء ِبالِّص ۡد ِق َو َص َّد َق ِبٖۤه‌ ُاوٰٓلِٕٮَك ُهُم اۡل ُم َّتُقۡو َن‬
Artinya : “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang yang
membenarkannya, mereka itulah orang yang bertakwa.”

‫َلُهۡم َّم ا َيَش ٓاُء ۡو َن ِع ۡن َد َر ِّبِهۡم‌ؕ ٰذ ِلَك َج ٰٓز ُؤ اۡل ُم ۡح ِس ِنۡي َن‬
Artinya : “Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhannya.
Demikianlah balasan bagi orang-orang yang berbuat baik,”

‫ِلُيَك ِّفَر ُهّٰللا َع ۡن ُهۡم َاۡس َو َا اَّلِذ ۡى َع ِم ُلۡو ا َو َيۡج ِز َيُهۡم َاۡج َر ُهۡم ِبَاۡح َس ِن اَّلِذ ۡى َك اُنۡو ا َيۡع َم ُلۡو َن‬

Artinya : “agar Allah menghapus perbuatan mereka yang paling buruk yang
pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih
baik daripada apa yang mereka kerjakan.”

QS. At-Taubah 119

‫ٰۤي ـَاُّيَها اَّلِذ ۡي َن ٰا َم ُنوا اَّتُقوا َهّٰللا َو ُك ۡو ُنۡو ا َم َع الّٰص ِدِقۡي‬

24
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan
bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.”

Meskipun Al Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa Allah SWT meminta


manusia untuk berbuat jujur, jujur sering dianggap sebagai penghalang bagi
manusia untuk hidup berkecukupan. Anggapan ini muncul karena ada perbedaan,
atau pemisahan, antara urusan dunia dan urusan akhirat. Hal ini terkait dengan
iman sekali lagi, karena hanya iman yang dapat menghubungkan keyakinan
bahwa ada hubungan antara dunia dan akhirat. Dalam agama Islam, tidak ada
perbedaan antara urusan dunia dan akhirat; sebaliknya, prinsip al-dunya
mazra’atul akhirat, yang berarti bahwa dunia adalah ladang untuk kehidupan di
akhirat, menghubungkan keduanya.Ini berarti bahwa orang yang melakukan
kebaikan di dunia akan menerima manfaatnya di akhirat.Produsen dan pedagang
yang jujur dengan membuat dan menjual barang berkualitas tinggi akan membuat
pelanggan puas dan membangun kepercayaan. Sebaliknya, ketika pelanggan
kecewa atau tidak puas karena tertipu, mereka akan berhenti menggunakan produk
tersebut dan beralih ke produk lain. Oleh karena itu, kejujuran sangat penting
dalam bisnis karena melalui kejujuran, relasi loyal terbangun dan perusahaan
bertahan.
Kepercayaan dan kebahagiaan di dunia serta pahala di akhirat akan dihasilkan
dari kebaikan seperti kejujuran. Sebaliknya, keserakahan akan menyebabkan
ketidakpuasan dan kekecewaan di dunia dan dosa di akhirat. Pelaku bisnis harus
memahami bahwa tindakan bisnis yang tidak etis akan melukai atau merugikan
bukan hanya orang lain, tetapi juga diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Jika
ini tidak dirasakan di dunia ini, dampaknya akan terasa di akhirat. Dosa dan
pahala yang akan dihisab akan menentukan tempat manusia di akhirat.15

2.6 Tanggung Jawab

15
Susminingsih,Etika Bisnis Islam,(Perkalongan;PT.Nasya Expanding Management:2020), hal.59-65

25
Perilaku bertanggung jawab adalah salah satu ciri yang membedakan manusia
dari makhluk hidup lainnya. Ketika seseorang melakukan perbuatan, tanggung
jawab merupakan bukti bahwa mereka benar-benar serius dan berkomitmen pada
pekerjaan mereka. Dalam Islam, ada banyak aspek tanggung jawab, termasuk
tanggung jawab kepada Allah SWT, diri sendiri, dan orang-orang di
sekitarnya.Semua orang, baik politikus, aparat hukum, pendidik, petani,
pedagang, pengusaha, dan sebagainya, harus memikul tanggung jawab ini.Karena
pentingnya tanggung jawab ini, Islam menegaskan bahwa seseorang bertanggung
jawab tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang-orang di
sekitarnya yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari
tindakannya.
Tanggung jawab ini menunjukkan kedewasaan intelektual, emosional, dan
spiritual seseorang dalam setiap aspek kehidupan manusia. Seseorang yang
berpendidikan intelektual mungkin tidak atau kurang bertanggung jawab,
terutama ketika dia tidak peduli dengan diri sendiri dan lingkungannya, dan tidak
merasa perlu taat kepada Allah SWT, sehingga dia dengan seenaknya melanggar
hukum halal dan haram. Termasuk dalam bisnis pada dasarnya menjadi paradoks
karena bisnis didirikan untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan cara yang
lebih baik dan berkelanjutan. Namun, dalam praktiknya, ada pelaku bisnis yang
melanggar aturan dan moral bisnis sehingga membahayakan martabat dan harkat
manusia.16

2.7 Tidak Memaksakan Kehendak

Kepentingan ditawarkan dalam interaksi manusia. Masing-masing pihak


berusaha memenuhi kepentingannya melalui berbagai jenis kompensasi yang
ditawarkan. Konsumen mendapatkan barang dan jasa dari produsen dan
pengusaha; pemasok menyediakan bahan baku yang dibutuhkan, dan seterusnya.
Ketika berbagai pihak mencapai "kesepakatan" tentang hal-hal seperti harga,

16
Ibid., hal. 65-66

26
kualitas, metode pembayaran, dan sebagainya, baru upaya saling memenuhi akan
terjadi. Kepuasan, kesetiaan, dan kepercayaan akan dihasilkan dari memenuhi tiap
kehendak.
Kepastian bahwa tidak ada pihak yang terpaksa adalah komponen paling
penting dari pemenuhan kehendak. Islam sangat melarang tindakan memaksakan
kehendak, dan sebaliknya mendorong adanya unsur-unsur seperti kerelaan, suka
sama suka, atau keridhaan. Dalam beberapa ayat, seperti QS. An-Nisaa ayat 29,
QS. Yunus ayat 7-8, dan QS. Mujadalah ayat 22, Allah SWT menggarisbawahi
betapa pentingnya keridhaan ini.
Ketika seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, mereka akan
mengalami kerugian secara fisik dan rohani, serta di dunia dan akhirat. Sebab
pemaksaan kehendak mengorbankan tidak hanya individu tetapi juga masyarakat,
dan menjadi contoh yang tidak pantas untuk ditiru, agama Islam sangat
melarangnya. Di sisi lain, Islam sangat menghargai hak-hak manusia, termasuk
hak untuk memutuskan apa yang ingin mereka lakukan. Manusia dapat
mengungkapkan keinginan dan cita-cita mereka, baik jasmani maupun ruhani,
melalui kehendaknya. Manusia diberi kebebasan untuk memilih apa yang
dibutuhkan atau disukai dan apa yang tidak dibutuhkan atau tidak disukai.Pada
saat itu, manusia menggunakan hati dan akal untuk memutuskan apa yang mereka
inginkan. Namun, kebebasan untuk mengungkapkan keinginan bukanlah
kebebasan tanpa batas.Karena Islam adalah agama yang dikenal sebagai rahmatan
lil alamin (rahmatan lil alamin), ia harus menjaga semua kebutuhan alam semesta.
Karena itu, agama Islam memiliki batasan berupa dalil-dalil yang membolehkan
dan melarang perbuatan dosa.17

Konsep-Konsep Filsafat Etika Islam

Keesaan, keseimbangan, kehendak bebas, tanggung jawab, dan kebajikan


adalah lima prinsip utama yang membentuk sistem Islam.

17
Ibid., hal. 67-71

27
2.8 Keesaan

Seperti yang ditunjukkan oleh konsep tawhid, keesaan merupakan dimensi


vertikal Islam. Konsep ini menggabungkan semua aspek kehidupan seorang
muslim, termasuk ekonomi, politik, agama, dan masyarakat, serta menekankan
konsep keteraturan dan konsistensi. Seorang Muslim sangat dipengaruhi oleh
konsep keesaan.
a. Karena seorang Muslim menganggap semua yang ada di dunia sebagai
milik Allah SWT, Tuhan yang juga memilikinya, orang lain tidak dapat
mempengaruhi pemikiran dan tindakan mereka. Padangannya berkembang
dan tidak lagi terbatas pada kelompok atau lingkungan tertentu. Dia mulai
tidak setuju dengan pandangan kasta atau rasisme.
b. Karena hanya Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Esa, kaum Muslim
terpisah dari, bebas dari, dan tidak takut akan kekuasaan apa pun selain Allah
SWT. Ia tidak pernah dipengaruhi oleh kekuatan atau moralitas orang lain,
dan tidak pernah dipengaruhi oleh kekuasaan manusia lainnya. Muslim akan
bersikap rendah hati dan hidup sederhana karena Allah SWT dapat
mengambil apa pun yang telah ia berikan dengan mudah.
c. Karena ia percaya bahwa hanya Allah SWT yang dapat membantunya, ia
tidak pernah merasa putus asa ketika Dia akan datang dengan pertolongan dan
kemurahan hati Allah SWT. Tidak ada manusia atau hewan apa pun yang
memiliki kekuatan untuk mengambil nyawanya sebelum waktu yang
digariskan-Nya. Ia akan bertindak dengan keyakinan dan keberanian sesuai
dengan pendapatnya tentang moralitas dan etika Islam.
d. Salah satu efek terbesar dari ucapan "la ilaha illa Allah" adalah bahwa
kaum Muslim akan mengikuti dan melaksanakan hukum-hukum Allah SWT.
Mereka percaya bahwa Allah SWT mengetahui segalanya, baik yang terlihat
maupun yang tersembunyi, dan bahwa Dia tidak dapat menyembunyikan niat
atau tindakan apa pun dari Dia. Akibatnya, mereka akan menghindari apa
yang dilarang dan hanya melakukan hal-hal yang baik.

28
Penerapan Konsep Keesaan dalam Etika Bisnis
Dengan mempertimbangkan pembicaraan tentang ide keesaan di atas, seorang
pengusaha Muslim tidak akan:
- Diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, atau agama terhadap pekerja,
pemasok, pembeli, atau pemegang saham perusahaan Ini sesuai dengan maksud
Allah SWT saat menciptakan manusia, berkata: "Hai manusia! Sesengguhnya
telah kami ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan membuat kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal satu sama
lain."
- Dia dapat dipaksa untuk bertindak tidak etis, karena dia hanya takut dan cinta
kepada Allah SWT. Dia selalu mengikuti aturan yang sama dalam setiap aspek
kehidupannya, apakah itu di rumah, di tempat kerja, atau di mana pun. Ia akan
selalu senang : Katakanlah, "Sesungguhnya ibadahku, pengorbananku, hidup dan
matiku semua demi Allah SWT, Penguasa Alam Semesta."
- Menimbun kekayaan dengan angkuh, Karena dia menyadari bahwa semua harta
di dunia ini bersifat sementara dan harus digunakan secara bijak, konsep amanah
atau kepercayaan sangat penting baginya. Setiap tindakan yang dilakukan oleh
seorang muslim tidak didasarkan pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan
moneter.Ia menyadari bahwa: “Harta dan anak adalah perhiasan kehidupan di
dunia. Namun amalan-amalan yang kekal dan saleh adalah lebih baik pahalanya
di mata Allah SWT, dan lebih baik sebagai landasan harapan-harapan”.18

2.9 Keseimbangan

Keseimbangan atau Adl' menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam dan


dikaitkan dengan keselarasan segala sesuatu di alam semesta. Hukum dan
ketertiban yang kita lihat di alam semesta mencerminkan konsep keseimbangan
yang kompleks ini. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami menciptakn segala sesuatu menurut ukuran”

18
Yaksan Hamzah dan Hamzah Hafid,Etika Bisnis Islam,(Makasar:KRETAKUPA Print:2014), hal. 86-89

29
Sifat keseimbangan ini lebih dari sekedar sifat alam; Inilah karakter
dinamik yang harus diperjuangkan setiap muslim dalam hidupnya. Perlunya
keseimbangan dan kesetaraan ditegaskan oleh Allah SWT dan disebut umat Islam
sebagai “ummatun wasatun”. Untuk menjaga keseimbangan antara si kaya dan si
miskin, Allah SWT menekankan pentingnya saling memberi dan melarang
konsumsi berlebihan.
“Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah SWT. Dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan; dan berbuat baiklah; karena
sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Pada saat yang sama, Allah SWT tidak puas dengan sikap asketisme yang
ekstrim. Keseimbangan dan kesederhanaan adalah kunci dari segalanya; Allah
SWT menggambarkan orang-orang “yang diberi imbalan tempat yang tertinggi di
surga” sebagai berikut:
“Orang-orang yang tidak boros dan tidak pelit dalam membelanjakan hartanya,
namun hanya menjaga keseimbangan antara keduanya; mereka yang tidak
menyembah tuhan lain selain Allah SWT, [...]; dan ketika mereka menemukan
orang melakukan tindakan yang tidak perlu, mereka mengatasinya dan menjaga
kehormatan mereka; mereka yang ketika diperingatkan oleh ayat-ayat Tuhan,
tidak menghadapinya seolah-olah mereka buta dan tuli: [...].

Penerapan Konsep Keseimbangan Dalam Etika Bisnis


Prinsip keseimbangan atau kesetaraan berlaku baik secara harfiah maupun
kiasan dalam dunia bisnis. Misalnya, Allah SWT memperingatkan pengusaha
Muslim:
“Sempurnakanlah takaranmu apabila kamu menakar dan timbanglah dengan
neraca yang benar: itulah yang lebih utama dan lebih baik akibatnya”.
Perlu diketahui bahwa kata “adl” juga berarti keadilan dan kesetaraan. Seperti
yang kita lihat pada ayat di atas. Transaksi yang seimbang juga adil dan merata.
Al-Qur'an menggunakan istilah "adl" dalam pengertian ini. Secara umum, Islam
tidak menciptakan masyarakat pedagang syahid yang menjalankan bisnis semata-
mata untuk tujuan amal. Sebaliknya, Islam ingin mengakhiri keserakahan manusia

30
dan kecintaan mereka terhadap kepemilikan, dan itulah sebabnya keserakahan dan
pemborosan dikutuk dalam Al-Qur'an dan hadis.19

2.10 Kehendak bebas

Di satu sisi, manusia diberi kebebasan berkehendak untuk mengendalikan


hidupnya sendiri ketika Allah SWT menurunkannya ke bumi. Tanpa mengabaikan
kenyataan bahwa ia sepenuhnya berpedoman pada hukum-hukum yang diciptakan
Allah SWT, ia mempunyai kemampuan berpikir dan mengambil keputusan,
memilih jalan hidup apa pun, dan yang terpenting, bertindak sesuai prinsip yang
dipilihnya. Berbeda dengan ciptaan Allah SWT lainnya di alam semesta, ia bisa
memilih perilaku etis atau tidak etis apa yang ingin ia lakukan.
Katakanlah, “Kebenaran adalah dari Tuhanmu. Maka barang siapa yang ingin
beriman hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir”.
Begitu dia memutuskan untuk menjadi seorang Muslim, dia harus tunduk
kepada Allah SWT. Ia menjadi bagian integral dari seluruh masyarakat dan
mengakui posisinya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Ia berjanji untuk
berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk
kepentingan kehidupan pribadi dan sosialnya. Mulai saat ini, “seluruh hidupnya
diserahkan kepada Allah SWT dan tidak ada lagi konflik dalam dirinya.” Konsep
kehendak bebas sejalan dengan konsep kesatuan dan keseimbangan.

Penerapan Konsep Kehendak Bebas dalam Etika Bisnis


Berdasarkan konsep kehendak bebas, individu mempunyai kebebasan untuk
mengadakan, melaksanakan, atau membatalkan kontrak. Seorang muslim yang
telah menyerahkan hidupnya pada kehendak Allah SWT akan menunaikan segala
perjanjian yang dibuatnya.
“Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah semua perjanjian itu”.
Perlu diketahui bahwa Allah SWT secara khusus merekomendasikan ayat di
atas kepada umat Islam. Sebagaimana diutarakan Yusuf Ali, kata “Uqud”

19
Ibid, h.89-91

31
merupakan konstruksi multimedia. Kata ini mengandung arti (a) kewajiban suci
yang timbul dari sifat spiritual kita dan hubungan kita dengan Allah SWT, (b)
kewajiban sosial kita seperti akad nikah, (c) kewajiban politik kita seperti akad
hukum, dan (d) bisnis. kewajiban. Tanggung jawab yang kami sukaiMisalnya,
perjanjian tugas formal harus dikomunikasikan kepada karyawan. Umat Islam
harus membatasi kehendak bebasnya agar dapat bertindak sesuai dengan prinsip
moral yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Dari sudut pandang ekonomi, Islam menolak prinsip laissez-faire dan
kepercayaan Barat terhadap konsep “Tangan yang Tak Terlihat”. Karena nafs
ammarah adalah aspek mendasar dari manusia, mereka cenderung
menyalahgunakan sistem ini. Contohnya adalah kasus Ivan Boesky, Michel
Milken dan kegagalan pembayaran obligasi, skandal simpan pinjam di Amerika
Serikat, bencana BCCI, praktik korupsi pemerintahan dan mafia di Italia, sistem
Baqshish di Timur Tengah dan skandal pasar modalItalia. Jepang dan negara-
negara lain semuanya menggambarkan kelemahan sistem kapitalis. Untuk
bertindak secara etis, seseorang harus memilih asas Homo Islamicus yang
berlandaskan pada hukum Allah SWT.

2.11 Pertanggung jawaban

Kebebasan tanpa batas mustahil bagi manusia karena tidak memerlukan


tanggung jawab. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan persatuan, masyarakat
harus bertanggung jawab atas tindakannya. (Beekun, 1997: 26). Logikanya,
prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip kehendak bebas. Ini menetapkan batas
kebebasan manusia karena dia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang
dilakukannya.(Naqvi, 1993:86). Al-Qur’an menegaskan: “Barangsiapa yang
memperoleh akibat yang baik, niscaya ia akan mendapat bagian pahalanya.” Dan
barang siapa yang menyebabkan akibat yang buruk, niscaya ia akan menderita
karenanya (QS. an-Nisa (4): 85).

32
Dalam ilmu ekonomi, prinsip ini diterapkan dalam model perilaku tertentu. Hal
ini dibagi menjadi dua tingkat, dengan fokus pada tingkat mikro (individu) dan
tingkat makro (organisasi dan sosial), yang harus dilaksanakan bersama-sama.
(Beekun, 1997: 27) Misalnya, perilaku konsumsi seseorang tidak hanya
bergantung pada pendapatannya saja; Hal ini juga perlu mewaspadai tingkat
pendapatan dan konsumsi berbagai anggota masyarakat lainnya. (Beekun,, 1997:
103). Oleh karena itu, kata Sayyid Qutub, prinsip tanggung jawab Islam adalah
tanggung jawab yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya.Antara
tubuh dan jiwa, antara pribadi dan keluarga, antara individu dan masyarakat,
antara masyarakat dan masyarakat. (Beekun, 1997:103)
Prinsip tanggung jawab ini akan membarui perhitungan ekonomi serta
usaha sebab segala sesuatunya harus dikaitkan menggunakan keadilan. Hal ini
dicapai setidaknya melalui 3 cara; Pertama, saat menghitung margin, nilai
kenaikan upah harus ditetapkan dalam kaitannya menggunakan upah minimum
yang bisa diterima secara sosial. kedua, keuntungan ekonomi bagi investor harus
dihitung sesuai asumsi yang kentara bahwa besarnya laba tidak bisa dihitung.
diprediksi dengan probabilitas kesalahan nol dan tak bisa ditentukan sebelumnya
(seperti sistem yang diminati). Ketiga, Islam melarang segala transaksi alegoris
mirip Gharar atau sistem jaminan yang dikenal di rakyat Indonesia20
2.12 Kebajikan

Kebenaran selain mengandung makna kebenaran lawan kesalahan,


mengandung juga unsur kebajikan dan kejujuran. Nilai kebenaran adalah nilai
yang dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam Al-Qur‟an aksioma kebenaran yang
mengandung kebajikan dan kejujuran dapat ditegaskan atas keharusan memenuhi
perjanjian dalam melaksanakan bisnis.
Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagai niat, sikap dan prilaku
benar yang meliputi proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan
maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dalam prinsip
ini terkandung dua unsur penting yaitu kebajikan dan kejujuran. Kebajikan dalam

20
Lukman Fauroni,REKONSTRUKSI ETIKA BISNIS:PERSPEKTIF AL-QUR’AN, h.102

33
bisnis ditunjukkan dengan sikap kerelaan dan keramahan dalam bermuamalah,
sedangkan kejujuran ditunjukkan dengan sikap jujur dalam semua proses bisnis
yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Dengan prinsip kebenaran ini
maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap
kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerja
sama atau perjanjian dalam bisnis.21
Selain itu, konsep kebajikan (Ihsan) mempunyai pengertian suatu tindakan
memberi manfaat lebih terhadap orang lain, tidak mengecewakan dan
menimbulkan mudharat bagi orang lain tersebut. Dalam pengertian lain Ihsan
yaitu melaksanakan perbuatan baik dan memberikan manfaat kepada orang lain
tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau
dengan kata lain
beribadah dan berbuat baik seakan-akan Allah SWT melihat. Hal
ini didasarkan kepada firman Allah SWT berikut:22

‫َو َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اْلِبِّر َو الَّتْقٰو ۖى َو اَل َتَع اَو ُنْو ا َع َلى اِاْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن‬
‫َۖو اَّتُقوا َهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا َش ِد ْيُد اْلِع َقاِب‬
Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-Maidah, 5: 2

21
Ibid, h.103
22
Q.S. Al-Maidah, 5: 2

34
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Manusia seringkali mudah terjebak pada perilaku menyalahi prinsip tauhid


tersebut karena minimnya pengetahuan tentang ilmu tauhid dan implementasinya
dalam kehidupan pribadi dan sosial Hal ini bisa dimaklumi jika praktik bisnis
hanya didasarkan pada perhitungan bisnis semata, dan tidak menyertakan atau
mengintegrasikan dengan norma yang bersumber pada agama Pengetahuan dasar
bahwa Allah SWT adalah sang Khalik dan selainnya adalah makhluk mestinya
membangun pemikiran manusia siapa pun dirinya, bahwa meminta pertolongan
kepada selain Allah yaitu kepada jin dan syetan serta segala pirantinya seperti
sesembahan, pesugihan, nyupang, mahar, tumbal dan sebagainya adalah perbuatan
yang bukan hanya musyrik tetapi juga sia-sia.

Tauhid yang kuat akan membentuk suatu energi kokoh yang berpengaruh untuk
merubah (power of changes), karena tauhid sejatinya adalah pewarna Ilahiyah
(shibghat Allah) yang bila telah didapat akan secara otomatis mewarnai segalanya
Sistem perilaku yang didasarkan pada tauhid akan selalu melahirkan kesadaran
etis (good consciousness) yang bertanggung jawab, di mana baik buruk akan
menjadi timbangan; kebaikan diperintahkan Tuhan yang membuahkan
keberuntungan dan kebahagiaan dan sebaliknya kebatilan akan dimurkaiNya dan
membuahkan penderitaan hidup dunia sampai akhiratnya.

Keseimbangan dan kesederhanaan adalah kunci segalanya; Allah SWT


menggambarkan mereka “Yang akan mendapat imbalan tempat tertinggi di surga”
sebagai: “Mereka yang, ketika membelanjakan hartanya tidak berlebihlebihan,

35
dan tidak pula kikir, namun sekedar menjaga keseimbangan di antara keduanya;
mereka yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah SWT, [...]; dan jika
mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan tidak
berfaedah, merka melaluinya begitu saja dengan menjaga kehormatan dirinya;
mereka yang jika di beri peringatan dengan ayat-ayat tuhan yang tidak
menghadpinya seolah-olah mereka buta dan tuli: [...]”.

DAFTAR PUSTAKA

36
Musa Asy’arie, Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), hlm. 181-182
Musa Asy’arie, Filsafat Ekonomi Islam, (Yogyakarta: LESFI, 2015), hlm. Vi
Rosihan Anwar, Akidah Akhlak, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 222-
224.
Imam Kanafi Al Jauhari, Tema-Tema Pokok Filsafat Islam, (Pekalongan:
NEM, 2017), hlm. 263
Zaenul Arifin (dkk), Moralittas Al-Qur’an dan Tentangan Modernitas
(Yogyakarta: Gama Media, 2022). Hlm.7.
Ismail RajI’ Al Faruqi, Tauhid terj. Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka,1988)
Hlm.17.
M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006). Hal.528
Al-Faruqi, Atlas, op.cit., hlm. 5.
(Jakarta: Kompas Gramedia, 2017), hlm. 237-238.
Lincolin Arsyad dan Stephanus Eri Kusuma, Ekonomika Industri, Pendekatan
Struktur, Perilaku dan Kinerja, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2014), hlm. 49-
50
Takashi Inoguchi, Edward Newman, Glen Paoletto, (Jakarta: LP3ES, 2003),
hlm. 105.
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 190-
191
M. Arief Mufraeni, Ahmad D. Bashori, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2006), hlm. 96
Susminingsih,Etika Bisnis Islam,(Perkalongan;PT.Nasya Expanding
Management:2020), hal.59-65
Yaksan Hamzah dan Hamzah Hafid,Etika Bisnis Islam,(Makasar:KRETAKUPA
Print:2014), hal. 86-89
Lukman Fauroni,REKONSTRUKSI ETIKA BISNIS:PERSPEKTIF AL-
QUR’AN, h.10

37

Anda mungkin juga menyukai