Anda di halaman 1dari 41

TOKOH-TOKOH ISLAM DAN PEMIKIRANNYA DALAM ETIKA

BISNIS DAN KORPORASI ISLAM

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah Etika Bisnis dan
Koorporasi Islam Jurusan Ekonomi Syariah Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh :
Kelompok I

FITRA ANALIA 80500221034


ATIKA RIZKI 80500221035

PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi

sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru

sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada

terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”

Tokoh-Tokoh Islam dan Pemikirannya dalam Etika Bisnis dan Korporasi Islam”.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai

pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada: Dosen Pebimbing dan teman – teman yang telah memberikan dukungan.

Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan

sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan

kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.

Akhir kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Wasalamualaikum Wr. Wb

Gowa, 24 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI ................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah ............................................................................3

C. Tujuan Penulisan .............................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................5

A. Biografi Tokoh Pemikir Etika Bisnis..............................................5

B. Pemikiran Tokoh terkait Etika Bisnis..............................................8

C. Perbandingan Pemikiran Tokoh Terkait Etika Bisnis Islam.........25

BAB III PENUTUP ....................................................................................33

A. Kesimpulan ....................................................................................33

B. Saran ..............................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Paradigma terkait bisnis yang dikenal dikalangan pebisnis yaitu ‘setiap

orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti harus berani paling tidak

bertangan kotor’ ditambah adanya pandnagan yang mengatakan bahwa masalah

etika bisnis sering muncul berkaitan dengan hidup matinya bisnis tertentu, dimana

ketika bisnis beretika maka bisnisnya terancam pailit.1 Disebagian masyrakat yang

hedonistik dan materialistik pandangan tersebut telah menjadi rahasia umum,

karena dalam dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-

praktik yang tidak sesuai dengan etika itu sendiri.

Kegiatan bisnis dapat dipahami sebagai kegiatan yang didalmnya terdaapat

prinsip ‘memaksimumkan keuntungan perusahaan dan mengurangi biaya

perusahaan’ atau bisnis juga biasa diartikan sebagai kegiatan usaha individu yang

terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang atau jasa dengan tujuan

untuk memperoleh keuntungan sebagai usaha pemenuhan kebutuhan. 2

Keberhasilan suatu usaha tergantung pada ketekunan kerja dari pelaku. Apabila

bisnis didasarkan pada prinsip kejujuran, amanah, adil, ihsan dan kebajikan serta

kasih sayang maka akan berpengaruh positif terhaadap kemajuan dan


1
Ali Muhayatsyah ‘Etika Bisnis Islam Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali Islamic
Business Ethics In Al-Ghazali's Perspective’ AT-TIJARAH: Jurnal Penelitian Keuangan Dan
Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2 Juli-Desember 2020, h. 85.
2
Diana Ambarwati Etika Bisnis Yusuf Al- Qaradâwi (Upaya Membangun Kesadaran Bisnis
Beretika), Jurnal , h. 56.

1
2

keberlangsungan usaha, namun jika yang terjadi sebaliknya dalam dunia bisnis

yaitu praktik riba, penipuan, penimbunan, monopoli, kegiatan merukas

lingkungan serta mengancam keselamatan orang lain maka akan berpengaruh

pada kehancuran bisnis dan keberlangsungan usaha itu sendiri.3

Berbagai contoh perilaku bisnis yang tidak mengindahkan norma dan etika

banyak dijumpai di tengah-tengah masyarakat adalah masih adanya praktek

Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam melakukan kegiatan bisnis.

Kemudian masih sering ditemui oknum-oknum yang mempraktekkan bisnis tanpa

memperhatikan keselamatan, kesehatan serta kenyamanan konsumen. Seperti

halnya dalam bisnis makanan. Ada produk-produk makanan yang dijadikan

kegiatan bisnis oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan

mencampur atau menggunakan daging babi, anjing, tikus dll sebagai pengganti

daging segar dan masih banyak lagi.

Islam merupakan agama sempurna yang di dalamnya terdapat risalah

norma dan etika. Sementara itu Sang Pembawa Islam, Muhammad SAW diutus

oleh Allah SWT ke dunia untuk memperbaiki permasalahan (menyempurnakan

akhlak), termasuk di dalamnya kegiatan muamalah. 4 Etika yang pada akhirnya

lazim disebut akhlak merupakan tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata

nilai suatu masyarakat.10 Etika merupakan kumpulan aturan-aturan, ajaran

3
Septy putriasih’ Penerapan Etika Bisnis Islam Perspektif Al-Ghazali Pada Petani Kopi Di
Koperasi Kebun Makmur Yogyakarta’ Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018, h.
4
Umar Faruq Tohir ‘Pemikiran Etika Sufistik Al-Ghazali: Langkah-Langkah Memoderasi
Akhlak‘ Jurnal Al-I’jaz, vol.3, no. 1, 2021, h. 50
3

(doktrin) dan nilai-nilai yang dapat mengantarkan manusia–dalam kehidupannya

menuju kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Secara normatif, al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam relatif

memberikan prinsip-prinsip mengenai bisnis yang bertumpu pada kerangka

penanganan bisnis sebagai pelaku ekonomi dengan tanpa membedakan kelas.12

Yang sudah barang tentu memberikan rambu-rambu dalam melakukan transaksi,

istilah al- ťijarah, al-bai’u, ťadayantum dan Isyťara yang disebutkan dalam al-

Qur’an sebagai pertanda bahwa Islam memiliki perhatian yang serius tentang

dunia usaha atau perdagangan.

Konsep Islam menawarkan etika bisnis bagi pendorong bangkitnya roda

ekonomi. Filosofi dasar yang menjadi catatan penting bagi bisnis Islam adalah,

dalam setiap gerak langkah kehidupan manusia adalah konsepi hubungan manusia

dengan mansuia, lingkungannya serta manusia dengan Tuhan. Dengan kata lain

bisnis dalam Islam tidak semata mata merupakan manifestasi hubungan sesama

manusia yang bersifat pragmatis, akan tetapi lebih jauh adalah manifestasi dari

ibadah secara total kepada sang pencipta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya maka

rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana biografi dari tokoh pemikir etika bisnis ?

2. Bagaimana konsep pemikiran tokoh terkait etika bisnis ?

3. Bagaimana perbedaan konsep pemikiran tokoh terkait etika bisnis ?


4

C. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui biografi dari tokoh pemikir etika bisnis

2. Untuk mengetahui konsep pemikiran tokoh terkait etika bisnis

3. Untuk mengetahui perbedaan konsep pemikiran tokoh terkait etika bisnis


BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Tokoh Pemikir Etika Bisnis

1. Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn

Ahmad al-Ghazali al-Thusi yang lahir pada tahun 450/1058 di Thus di Khurasan 5

pada zaman dahulu dijadikan sebagai lokasi kemaharajaan Persia yang pada

dinasti Abbasiyyah dijadikan tempat propaganda. Ayahnya adalah seorang

pengrajin yang bekerja memintal wol, dan hasilnya dijual sendiri di tokonya di

Thus.6 Dengan kehidupannya yang sederhana, ayahnya menggemari kehidupan

sufi, sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dia berwasiat kepada

seorang sufi, teman karibnya untuk mengasuh dua orang anaknya yang masih

kecil-kecil, yaitu Muhammad dan Ahmad dengan sedikit bekal warisan yang

ditinggalkannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya. Setelah harta warisan tersebut

habis, sufi yang hidup dalam keadaan faqir tersebut tidak mampu lagi

memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah

madrasah di Thus untuk bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal

mula perkembangan intelektual dan spiritual al-Ghazali yang penuh arti sampai

5
Umar Faruq Tohir ‘Pemikiran Etika Sufistik Al-Ghazali: Langkah-Langkah Memoderasi
Akhlak‘ Jurnal Al-I’jaz, vol.3, no. 1, 2021, h. 61.
6
Himawijaya, Mengenal Al Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan(Bandung : Mizan
Media Utama MMU. 2004), cet. 1.h. 16

5
6

akhir hayatnya.7 Namun dalam perkembangan tersebut situasi kultural dan

struktural pada masa hidupnya juga berpengaruh besar.8

Sampai usia dua puluh tahun, al-Ghazali tetap tinggal dan belajar di kota

kelahirannya, Thus. Dia belajar ilmu fiqih secara mendalam dari Ahmad bin al-

Rizkani.9 Selain itu, ia belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al-Nassaj, seorang sufi

yang terkenal pada masa itu. Kedua ilmu ini sangat terkesan di hati al-Ghazali dan

ia bertekad untuk lebih mendalami lagi di kota-kota lain. Pada tahun 470 H al-

Ghazali pindah ke kota Jurjan untuk melanjutkan pelajarannya, dan di sana ia

belajar pada Imam Abi Nashr al-Ismaili. Di Jurjan ia tidak hanya mendapatkan

pelajaran tentang dasar-dasar agama Islam sebagaimana yang diterima di kota

Thus, tetapi ia juga mendalami pelajaran bahasa Arab dan bahasa Persia.

Nampaknya ia tidak puas dengan pelajaran yang diterimanya di kota Jurjan,

karena itu ia pulang kembali ke Thus selama tiga tahun.9

Pada tahun 471 H ia kembali pergi ke Jurjan, kemudian ke Naisabur, pada

saat Imam Haramain (al-Juwaini) menjabat sebagai kepala Madrasah

Nidzamiyyah. Di bawah asuhan al-Juwaini ini, al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih,

ushul, manthiq, dan kalam, hingga kematian memisahkan keduanya ketika al-

Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H. Al-Ghazali keluar dari Naisabur

menuju ke Muaskar dan ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga


7
Umar Faruq Tohir ‘Pemikiran Etika Sufistik Al-Ghazali: Langkah-Langkah Memoderasi
Akhlak‘ Jurnal Al-I’jaz, vol.3, no. 1, 2021, h. 61.
8
Elvan Syaputra, "Perilaku Konsumsi Masyarakat Modern Perspektif Islam: Telaah
Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin", FALAH Jurnal Ekonomi Syariah, Vol. 2,
No.2, (Agustus 2017), h.144-155.
9
Menurut Abdul Munir Mulkan gelar ini diberikan atas keberhasilannya Al-Ghazali dalam
menempatkan pemikiran Islam diluar pemikiran Yunani. Lihat Abdul Munir Mulkan, Mencari
Tuhan dan Tujuh Jalan Kebenaran, sebuah esai pemikiran Al-Ghazali, ed, cet 1, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), 8.
7

pengajar di Madrasah Nidzamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Al-Ghazali

adalah seorang teolog besar madzhab Syafii, dan ilmuwan berwawasan luas serta

seorang penyelidik yang penuh semangat. Dan pada tanggal 9 Desember 1111 M

(14 Jumadil Akhir 505 H)

al-Ghazali meninggal dunia.10

2. Yusuf Al-Qaradhawi

Yusuf Al-Qardhawi di lahirkan di Desa Shafth Turaab, Mesir bagian

Barat, pada 9 September 1926. Desa tersebut adalah tempat dimakamkannya

seorang sahabat Nabi Saw., yaitu Abdullah bin Harits ra., seperti yang

diriwayatkan oleh Ibnu Hajar.Yusuf Al-Qardhawi berasal dari keluarga yang

tekun beragama. Sejak umur dua tahun ia telah di tinggal orang tuanya (ayahnya),

selanjutnya ia sebagai anak yatim mulai saat itu diasuh oleh pamannya. Sekalipun

bukan di bawah asuhan ayahnya, namunpamannya memperhatikan dengan baik,

selayaknya anak kandungnya sendiri.11

Al-Qardhawi pada umur 5 tahun telah mulai menghafal al-Qur‟an sampai

menginjak umur 7 tahun. Yusuf Al-Qardhawi di sekolahkan pada sekolah dasar di

bawah lingkungan Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir, tepatnya di

Madrasah Tsanawiyah Mahad Thantha Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu umum,

seperti berhitung, sejarah, kesehatan dan sebagainya. Pada tahun 1957 Yusuf Al-

Qardhawi melanjutkan studi ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian masalah-

10
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas wacana Keislaman
Kontemporer (Bandung: Mizan, 2004), 26, 246.
11
Muhammad & Lukman Fauroni, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta:
Selemba Diniyah, 2002), 40
8

masalah Arab sampai 3 tahun12. Akhirnya ia menggondol diploma di bidang

bahasa dan sastra. Pada saat itu, ia tidak puas dengan apa yang di perolehnya,

tanpa menyia-nyiakan waktu ia melanjutkan studi pada Pasca Sarjana jurusan

tafsir dan hadits dari Fakultas Ushuluddin. Setelah tahun pertama dilalui, tak

seorangpun berhasil dalam ujian, kecuali Yusuf Al-Qardhawi seorang.

Selanjutnya dia mengajukan disertasiberjudul “Fiqhuz Zakat” (zakat dan

pengaruhnya dalam memecahkan problematika sosial), yang seharusnya

diselesaikan dalam waktu 2 tahun, namun karena masa-masa krisis menimpa

Mesir saat itu, terhalanglah ia untuk mencapai gelar doktor. Baru pada tahun

1973, ia mengajukan disertasinya tersebut dan berhasil menggondol gelar

doktor.13

B. Pemikiran Tokoh terkait Etika Bisnis

1. Pemikiran Imam Al-Ghazali terkait Etika Bisnis

Al-Ghazali dalam pemikirannya seputar ekonomi bisnis didasarkan pada

pendekatan tasawuf, karena pada masa itu orang-orang kaya, para pejabat

pemerintahan yang berkuasa, sarat dengan pretise yang sulit menerima

pendekatan fiqih dan filosofis dalam mempercayai yaum al-hisab (hari

pembalasan), yang beliau tuangkan dalam karyanya yang terdapat dalam kitab

Ihya ‟Ulum al-Din. Al-Ghazali, seperti cendikiawan terdahulu tidak terfokus pada

bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan manusia14. Beliau

melakukan perjalan studi ke Islaman secara luas dan mendalam untuk

12
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 81-82
13
Fitriani, Sri Deti, Sri Sunantri, "Etika Bisnis Islam Menurut Imam Al-Ghazali Dan Yusuf
Al-Qaradhawi", Jurnal Studi Islam Lintas Negara Vol 4 no 1 Juni 2022, h. 50-68
14
Berten, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.
9

mempertahankan ajaran Islam.15 Oleh karena itu pemikiran beliau di bidang

ekonomi bisnis terkandung dalam berbagai studi fiqihnya, karena ekonomi bisnis

Islam tidak terpisahkan dari fiqih Islam. Tidak hanya pada agama dan filsafat,

pertentangan dan pertikaian pada masa itu pula menimpa kalangan Sunni dan

Syiah, dan tak terkecuali menimpa kalangan kaum sufi dan ulama fiqh. Peristiwa

tersebut menyebabkan Al-Ghazali mengalami keadaan kritis spiritual. Sehingga

beliau pun berusaha mencari kebenaran yang hakiki dan mulai mempertanyakan

fungsi akal dan rasio seperti yang dijumpai pada kalangan ahli kalam dan para

filusuf.16

Pencarian tersebut menjadikan Ia sakit, kemudian ia pergi dan menunaikan

ibadah haji dan memulai menyusun maha karya besarnya yaitu kitab Ihya Ulum

al-Diin. Kitab tersebut merupakan hasil integrasi dari berbagai cabang keilmuan

yang ditulis Al-Ghazali setelah pengembaraannya secara spiritual dan intelektual

yang panjang, sesuai dengan berbagai latar belakang keilmuannya maka kitab ini

ditulis dengan menggunakan beberapa konstruk nalar keilmuan, yaitu nalar

syar‟iyyah, falsifiyyah, dan sufiyyah.17 Ketiganya merupakan satu rangkaian yang

tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, namun dalam

pemakiannya mempunyai dominasi tertentu. Beberapa tema ekonomi yang dapat

diangkat dari pemikiran al-Ghazali ini antara lain mencakup pertukaran sukarela

15
Fitriani, Sri Deti , Sri Sunantri ‘islamic Business Ethics According To Imam Al-Ghazali
And Yusuf Al-Qaradhawi ‘ Jurnal Studi Islam Lintas Negara Vol 4 no 1 Juni 2022, h. 54
16
Karim, Adiwarman S. (2006). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Press
17
M. Kamal Zuber, Pemikiran Etika Bisnis (studi atas konsep Etika Bisnis Al Ghazali),
(IAIN Mataram: Jurnal Istimbath no.2 Vol 4 tahun 2007), h. 25
10

dan evolusi pasar, aktivitas produksi, barter dan evolusi uang, serta peran negara

dan keuangan publik.18

a. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar (Honesty of Exchange and Market

Evolution)

Al-Ghazali dalam konsep ini menyuguhkan pembahasan terperinci tentang

peranan dan signifikansi aktivitas perdagangan yang dilakukan dengan sukarela,

serta proses timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan (demand) dan

penawaran (supply) untuk menentukan harga dan laba. Menurut al-Ghazali pasar

berevolusi sebagai bagian dari “hukum alam” dari segala sesuatu, yakni sebuah

ekspresi sebagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan

kebutuhan ekonomi.19 Seputar kedalam dan keluasan pandangan beliau dapat kita

lihat dari kutipan kitab Ihya ‟Ulum al-Din tentang ilustrasi konsep perdagangan

regional, yang berbunyi sebagai berikut. Al-Ghazali juga mempunyai pandangan

tentang etika pasar yang menitikberatkan pada kebenaran dan kejujuran, yang

dapat diaplikasikan pada evolusi pasar dan peranan uang berdasarkan etika dan

moral para pelakunya. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba fadhl, yakni

karena melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan

penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan

pertukaran.20

18
Kholiq, Ahmad “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam”, https://www.ar-raniry.ac.id/?
content=article _detail&idb=39.
19
Fitriani, Sri Deti , Sri Sunantri ‘islamic Business Ethics According To Imam Al-Ghazali
And Yusuf Al-Qaradhawi ‘ Jurnal Studi Islam Lintas Negara Vol 4 no 1 Juni 2022, h. 54
20
M. Kamal Zuber, Pemikiran Etika Bisnis (studi atas konsep Etika Bisnis Al Ghazali),
(IAIN Mataram: Jurnal Istimbath no.2 Vol 4 tahun 2007), h. 25
11

Selain itu juga melarang membuat iklan palsu, pemberian informasi yang

salah mengenai berat atau jumlah barang perdagangan yang merupakan bentuk

penipuan, bahkan beliau mengutuk penipuan dalam mutu barang dan pemasaran,

serta pengendalian pasar melalui perjanjian rahasia dan manipulasi harga. Lebih

jauh lagi al-Ghazali juga menekankan pada waktu transaksi di pasar bersikap

lunak kepada orang miskin dan berlaku fleksibel dalam transaksi uang, bahkan

membebaskan utang orang-orang miskin tertentu yang merupakan bentuk

kebajikan.

b. Aktivitas Produksi

Al-Ghazali juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap

aktivitas produksi dalam masyarakat, termasuk hierarki dan karakteristiknya

dalam koridor kewajiban sosial terhadap kesejahteraan sosial, yang menurutnya

bekerja merupakan bagian dari ibadah. Untuk klasifikasi aktivitas produksi beliau

menggambarkan yang hampir mirip dengan pembahasan kontemporer, yakni

primer (agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier (jasa). Secara garis besar

al-Ghazali membagi aktivitas produksi menjadi tiga kelompok, yaitu:21

1) Industri dasar, yakni industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.

Kelompok ini terdiri dari empat jenis aktivitas, yaitu agrikultur untuk

makanan, tekstil untuk pakaian, kontruksi untuk pakaian, dan aktivitas

negara yang termasuk penyediaan infrastruktur, untuk memfasilitasi dan

meningkatkan produksi untuk barang-barang bahan pokok.

21
Lewis, Bernard. (1993). Islam in History: Ideas, People and Events in Middle East.
Chcago: Open Court.
12

2) Aktivitas penyokong, aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar,

seperti industri baja, eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber

daya hutan.

3) Aktivitas komplementer, yakni berkaitan dengan industri dasar, seperti

penggilingan dan pembakaran produk-produk agrikultur, seperti

penggilingan padi, pembakaran pasir granit, pengolahan kimia pasir emas,

nikel dan barang tambang lainnya.22

c. Barter dan Evolusi Uang (Barter and Evolution of Money)

Al-Ghazali dalam konsepnya seputar aktivitas bisnis adalah uang, lebih

jauh beliau membahas seputar evolusi uang dan fungsinya, beliau juga

menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu

pertukaran barter (al-muqayadlah) yaitu pemalsuan dan penurunan nilai mata

uang, sebuah observasi beliau yang sudah ada jauh beberapa abad sebelum

observasi yang dilakukan oleh Nicholas Osmer, Thomas Gresham, dan Richard

Cantillon. Dalam pembahasan sistem barter ini beliau mengeksplorasi problem

tersebut dengan sangat komprehensif, yang dalam istilah kontemporer disebut

sebagai:

1) Kurang memiliki angka penyebut yang sama (lack of common

denominator)

2) Barang tidak dapat dibagi-bagi (indivisibility of goods)

22
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta : Kanisius, 1998),
h. 14.
13

3) Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of

wants)23

Probelmatika dalam pertukaran barter adalah terjadinya perbedaan

karakteristik barang-barang, seperti unta dengan kunyit, beliau menegaskan

bahwa

evolusi uang terjadi hanya karena kesepakatan dan kebiasaan (konvensi), yakni

tidak akan ada masyarakat tanpa pertukaran barang dan tidak ada pertukaran yang

efektif tanpa ekuivalensi, dan ekuivalensi demikian hanya dapat ditentukan

dengan tepat bila ada ukuran yang sama. Problematika seputar etika bisnis adalah

fenomena riba, yaitu menurut Al- Ghazali dipandang sama dengan bunga adalah

mutlak, argumennya adalah kemungkinan terjadi ekploitasi ekonomi dan

ketidakadilan dalam transaksi, baik dalam pinjaman bunga maupun yang transaksi

yang terselubung.24

Dengan asumsi dari argumen al-Ghazali tersebut bahwa terdapat dua cara

di mana bunga dapat muncul bentuk yang tersembunyi, yang keduanya hukumnya

haram25. Adapun kedua cara tersebut yaitu: bunga akan muncul jika terjadi

pertukaran antara emas dengan emas, tepung dengan tepung, dengan jumlah yang

berbeda dan waktu penyerahan yang berbeda. Selanjutnya, jika waktu penyerahan

tidak segera, dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan

ini disebut riba al-nasiah (bunga yang timbul karena keterlambatan penyerahan

23
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: The International Institute of Islamic
Thought Indonesia, 2002, h. 53
24
Nurma Khusna Khanifa ‘Etika Bisnis Sebagai Kiblat Mutlak Pelaku Usaha, Implikasi
Ekonomi Islam’ Jurnal Az Zarqa’, Vol. 6, No. 2, Desember 2014, h. 210
25
Madjid, Nurkhalis, (2008). Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:Paramadina.
14

barang), pada kasus lain jika jumlah komoditas yang dipertukarkan tidak sama

tetapi pertukaran terjadi secara simultan, kelebihan yang diberikan dalam

pertukaran tersebut disebut riba al-fadl (bunga yang timbul karena kelebihan

pembayaran). Namun menurut al-Ghazali, apabila pertukaran dengan jenis

komoditas yang sama, seperti logam emas dengan perak atau bahan makanan

seperti gandum, hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl

diperbolehkan. Sedangkan pertukaran antara komoditas dengan jenis yang

berbeda (logam dengan bahan makanan), keduanya diperbolehkan.26

d. Peranan Negara dan Keuangan Publik

Walaupun al-Ghazali dalam perjalan hidupnya menghindari aktivitas

politik, beliau memberikan komentar dan nasihat yang rinci mengenai tata cara

urusan negara, dalam hal ini beliau tidak ragu-ragu dalam menghukum

penguasa27. Beliau mengganggap negara sebagai lembaga yang penting, tidak

hanya bagi aktifitas ekonomi, namun untuk memenuhi kewajiban sosial yang

telah diatur dalam wahyu. Al-Ghazali tidak membahas dengan menggunakan

istilah modern, namun telah mengidentifikasi dengan jelas berbagai jenis fungsi

ekonomi yang dijalankan negara yaitu dengan menitikberatkan pada peningkatan

kemakmuran perekonomian dengan pertauran yang adil dan seimbang,

menciptakan kedamaian, keamanan dan meletasikan stabilitas regional suatu

negara. 28

26
Umar Faruq Tohir ‘Pemikiran Etika Sufistik Al-Ghazali: Langkah-Langkah Memoderasi
Akhlak‘ Jurnal Al-I’jaz, vol.3, no. 1, 2021, h. 61.
27

28
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: The International Institute of Islamic
Thought Indonesia, 2002, h. 53
15

Berkaitan dengan keuangan publik al-Ghazali menegaskan dengan rinci

dan

pembahasan yang simetris antara kedua sisi anggaran, baik sisi pendapat maupun

sisi pengeluaran Mengenai sumber-sumber keuangan publik beliau menekankan

pada al- amwal al-masalih yaitu konsep pajak yang fleksibel yang berlandaskan

kepada kesejahteraan masyarakat29. Pajak berupa ghanimah atau harta rampasan

perang adalah pajak atas harta yang disita setelah atau selama perang. Fai adalah

kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan. Jizyah adalah pajak yang

dikumpulkan dari kaum non-muslim sebagai imbalan dari kedua keuntungan.

Selanjutnya, al-Ghazali menjelaskan bahwa negara dapat menetapkan pajak

”ekstrareligius” terhadap semua penduduk, melampaui sumber-sumber

pendapatan yang diatur oleh agama, dan tergantung kepada kebutuhan

masyarakat30. Sehingga beliau memberikan sebuah pemikiran seputar

permasalahan pajak dan administrasi

pajak serta pembagian terhadap pembayar pajak.31

Konsep Al-Ghazali ini mengindikasikan hampir sama dengan konsep

benefit received dan ability-to pay yang terdapat pada literatur-literatur masa kini

(kontemporer). Beliau menyatakan bahwa basis quid-pro-quo (balasan,

penggantian, ganti kerugian) dari pajak-pajak tertentu ketika beliau membahas

pajak yang benefit-related dari jizyah, beliau menganjurkan konsep kemapuan

29
Navqi, Syed Haider. (2003). Menggagas Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar.
30
Shihab, M. Quraish. (2012). Tafsir dan Terjemahan, Jakarta: Lentera Hati.
31
Sarini Syarifuddin, Muhammad Ikhwan Saputra, "Al-Ghazali dan Perilaku Pasar:
Perpesktif Etika Bisnis dalam Kitab Ihya Ulum ad-Din", Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 6(03),
2020, h. 501-507.
16

membayar berdasarkan prinsip keadilan umum adalah sebuah sistem pajak yang

sangat progresif. 32

Selanjutnya, Al-Ghazali seorang yang sedikit ilmuwan pada masanya yang

membahas utang publik sebagai pendapatan negara lainnya.Berkenaan dengan

sumber pendapatan negara tersebut al-Ghazali bersikap fleksibel yaitu dengan

melihat kondisi ekonomi, di mana utang publik terjadi, dan kemungkinan

bagaimana jaminan pembayaran pengembalian utang publik tersebut di masa yang

akan datang. Sedangkan berkenaan dengan pengeluaran negara al-Ghazali

bersikap kritis mengenai tata cara dan wilayah pengeluaran publik, yaitu beliau

bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakkan keadilan sosio-ekonomi,

keamanan, dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang

makmur33. Untuk meningkat kondisi tersebut perlu pembangunan infrastruktur

sosio- ekonomi, yaitu untuk membangun jembatan, bangunan keagamaan, jalan-

jalan umum, yang semuanya dapat dirasakan oleh rakyat secara umumnya. Selain

itu juga, beliau menyatakan bahwa pengeluaran publik difungsikan untuk

pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan, dan pelayanan kesehatan.

Selain daripada konsep pemikiran Imam Al-Ghazali diatas, berikut adalah

beberapa gagasan imam Al-Ghazali tentang etika yang harus disertakan dalam

aktivitas bisnis.34

2. Pemikiran Yusuf Qardhawi terkait Etika Bisnis


32
Nurma Khusna Khanifa ‘Etika Bisnis Sebagai Kiblat Mutlak Pelaku Usaha, Implikasi
Ekonomi Islam’ Jurnal Az Zarqa’, Vol. 6, No. 2, Desember 2014, h. 210

33
Fahadil Amin Al Hasan, "ETIKA BISNIS AL-GHAZALÎ", Jurnal E-Sya Vol. 1, No. 1,
April 2014, h.1-15.
34
Syed Nawab Haider Navqi, Menggagas Ekonomi Islam. hlm. 182
17

Pemikiran Yusuf al-Qharadawi mempunyai pengaruh yang sangat

signifikan di seluruh dunia. Pemikiran yang dinamik dan bersesuaian dengan

keadaan dan suasana menjadikan beliau sering menjadi rujukan35. Di antara

sumbangan besar Yusuf al-Qharadawi ialah memperkenalkan pendekatan dinamik

untuk memahami Syariah. Berkaitan dengan etika bisnis Islam, dalam karyanya

yang menumental Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami,36 al qharadawi

mendeskripsikan dan memaparkan tentang pentingnya norma dan etika dalam

ekonomi, kedudukannya, dan pengaruhnya dalam lapangan ekonomi yang

berbeda-beda seperti: bidang produksi, konsumsi, dan bidang distribusi.37

1. Etika Dalam Bidang Produksi

Persoalan etika dalam bidang produksi, dimaknai dalam menciptakan

kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap sumber-sumber kekayaan

lingkungan. Kekayaan merupakan segala sesuatu yang diberikan Allah berupa

alam yang bisa digarap dan diproses menjadi kekayaan. Al-Quran mendorong

manusia untuk mengolah sumber alam ini dan mengingatkan agar mengarahkan

pandangan dan akal dengan penuh kekuatan terhadap alam yang ada

disekeliling.38 Dalam pengelolaan tersebut, akal memiliki peranan yang sangat

pening. Karena penggunaan akal inilah yang membedakan manusia dengan

makhluk lainnya. Dengan penggunaan akal yang maksimal, maka akan

35
K. Berten, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius. 2000), hlm. 5
36
Yusuf al-Qaradhâwi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), h. 1
37
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001), hlm. 02
38
Ali Muhayatsyah ‘Etika Bisnis Islam Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali Islamic
Business Ethics In Al-Ghazali's Perspective’ AT-TIJARAH: Jurnal Penelitian Keuangan Dan
Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2 Juli-Desember 2020, h. 90
18

melahirkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia sendiri. Sehingga

kegiatan produksi dapat memiliki peran dan fungsi dalam menjalankan tanggung

jawab social untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta manifestasi

keterhubungan manusia dengan Tuhan.39

Dalam pelajaran ekonomi, para ahli antara lain menggunakan istilah

“materi undang-undang ekonomi.” Pengertian istilah ini mengacu kepada sarana

dan alat yang digunakan dalam berproduksi, melakukan sirkulasi, dan

menjalankan distribusi. Pada dasarnya, agama lebih memfokuskan tujuan daripada

sarana. Misalnya, Islam mengajak umatnya untuk berjihad, namun tidak

menetapkan sarana untuk melaksanakan jihad itu, apakah menggunakan pedang,

bom, atau senjata nuklir. Islam menganjurkan umatnya untuk berobat tetapi tidak

menetapkan obat-obatan atau cara-cara tertentu.40 Demikian pula, Islam

menganjurkan bercocok tanam, tetapi tidak membatasinya pada sarana dan alat-

alat tertentu karena saran aitu bergantung pada hasil karya dan spesialisasi

manusia.41

a. Bekerja Sendi Utama Produksi

Pada lain sisi, ilmu tidak akan membuahkan hasil jika tidak diikuti oleh

amal. Islam mendorong pemeluknya agar berproduksi dan menekuni aktifitas

ekonomi dengan cara bekerja. Bukan hanya bekerja untuk diri sendiri, tetapi juga

39
Afdawaiza, Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan al-Ghazali. Esensia. 2009. hlm.
01.
40
Dena Ayu Dan Syahrul Anwar ‘Etika Bisnis Ekonomi Islam Dalam Menghadapi
Tantangan Perekonomian Di Masa Depan’ Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi
Islam Vol. 07, No. 01, Juni 2022, h. 60
41
Yusuf al-Qaradhawi, Islam Inklusif dan Islam Eksklusif (Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
2001), hlm. 112
19

bekerja untuk kepentingan keluarga, masyarakat, bekerja untuk kehidupan dan

semua makhluk secara umum, serta bekerja untuk memakmurkan bumi 42. Dengan

bekerja setiap individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini semua adalah

keutamaan yang dijunjung tinggi oleh agama, yang tidak mungkin dilakukan

kecuali dengan harta43. Para ahli ekonomi menetapkan bahwa produksi terjadi

lewat peranan tiga atau empat unsur yang saling berkaitan yaitu alam, modal, dan

bekerja. Sebagian ahli lain menambahkan unsur disiplin. Disiplin dalam bekerja

juga merupakan modal dalam mencari nafkah. Para ekonom Muslim berbeda

pendapat tentang apa yang ditetapkan Islam dari unsur-unsur ini. Sebagian dari

mereka menghapuskan salah satu dari empat unsur itu berdasarkan teori,

pertimbangan, dan hasil penelitian mereka.44

Menurut Yusuf Qaradhawi jauh dari yang dilakukan oleh para ekonomi

kapitalis, pembagian diatas berperan dalam proses produksi tetapi unsur yang

terutama adalam alam dan bekerja. Yang dimaksud dengan alam atau bumi adalah

segala kekayaan alam yang diciptakan Allah agar bisa dimanfaatkan oleh manusia

sebagai bekal yang mereka butuhkan45. Sedangkan yang dimaksud dengan bekerja

adalah usaha maksimal yang dilakukan manusia, baik lewat gerak anggota tubuh

ataupun akal untuk menamah kekayaan, baik dilakukan secara perorangan

ataupun secara kolektif, baik untuk pribadi ataupun untuk orang lain (dengan

42
Bernard Lewis, Islam in History: Ideas, People and Events in Middle East (Chicago: Open
Court. 1993), hlm. 98
43
Afdawaiza, Etika Bisnis., Hlm.02
44
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam(Jakarta : Van Hoeve Letiar Baru.
1997), cet. Ke 4.hlm. 25.
45
Ghazali, Pembuka Pintu Hati(Bandung : MQ Publishing.2004), cet. 1.hlm. 4.
20

menerima gaji).46 Produktivitas timbul dari gabungan kerja antara manusia dan

kekayaan bumi. Bumi tempat membanting tulang, sedangkan manusia adalah

pekerja di atasnya.Yang menjalankan segala aktivitas yang berhubungan dengan

pekerjaan.47

b. Berproduksi Dalam Lingkaran yang Halal

Sementara itu, akhlak (etika) utama dalam produksi yang wajib

diperhatikan baik secara individu maupun bersama-sama ialah bekerja dibidang

yang dihalalkan Allah, dan tidak melampaui apa yang diharamkan-Nya. Dengan

kata lain, produksi tidak hanya memproduksi barang dan jasa belaka, tetapi juga

memproduksi segala sesuatu yang merusak aqidah dan akhlak manusia 48. Prinsip

etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim baik individu

maupun kamunitas menurut Yusuf al-Qharadawi adalah berpegang pada semua

yang dihalalkan allah dan tidak melampaui batas.49

2. Etika dalam konsumsi

Etika kedua yang menjadi sorotan al-Qaradawi adalah dalam bidang

konsumsi. Menurut Yusuf al-Qaradawi bukan hanya sikap sederhana dalam

kegiatan konsumsi, namun harus juga diterapkan menghindari dari sikap

kemewahan (bermewah-mewahan)50. Kemewahan merupakan sikap yang dilarang

46
Abdullah Musthafa al-Muragi, Pakar-Pakar Fikih Sepanjang Sejarah (terjm) (Yogyakarta:
LKPSM. 2001), hlm. 177.
47
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000), hlm. 122.
48
Husein Umar, Business an Introduction (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2000),
hlm. 03
49
Muhammad Ismail yusanto, dkk. Menggagas Bisnis Islam ( Jakarta: Gema Insani Press.
2002), hlm. 15
50
Malahayati, Rahasia Bisnis Rasulullah (Yogyakarta: Jogja Great! Publisher. 2010), hlm.
72
21

karena akan menengelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegahmegahan. Lain

dari pada itu, konsumsi merupakantujuan yang penting dari produksi. Dalam hal

ini, Islam sebagai agama yang komprehensip dan mencakup seluruh aspek

kehidupan. Telah mengatur segala tingkah laku manusia. Bahkan tidak ada satu

system kemasyarakatan pun, baik masyarakat modern atau lama, telah ditetapkan

telah ditetapkan etika untuk manusia yang mengatur segala aspek kehidupannya

sampai pada persoalan yang detail, termasuk dalam hal ini konsumsi.51 Islam telah

memberikan rambu-rambu berupa arahan-arahan positif dalam berkonsumsi.

Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini, yaitu:52

a. Pembatasan Dalam Hal Sifat dan Cara

Pada persoalan ini, seorang muslim harus peka terhadap sesuatu yang

dilarangoleh Islam. Produk-produk yang jelas keharaman-nya harus dihindari

untuk mengkonsumsinya, seperti minuman khamar dan makan daging babi.

Seorang muslim harus senantiasa mengkonsumsi sesuatu yang pasti membawa

manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan adalah

kemubadziran, dan halite dilarang dalam Islam

b. Pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi.

Berbeda dengan persoalan pembatasan dalam hal sifat dan cara, Islam juga

melarang umatnya untuk berlaku kikir yakni terlalu menahan-nahan harta yang

dikaruniakan Allah SWT kepada mereka 53. Namun, Allah juga tidak menghendaki

51
Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Prenada. 2006), hlm. 04
52
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Murâja’ah : Shidqi
Muhammad Jamil al ‘Aththar, 1428-1429 H/2008, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn (Beirut: Darul Fikr. 505 H),
Juz III. hlm. 57.
53
A. Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No 2.Juni
2007.hlm. 139.
22

umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran.

Dalam perilaku konsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah,

yakni sesuai dengan kebutuhan, Dalam berperilaku konsumsi, Islam telah

mengarahkan umatnya kedalam tiga hal yaitu; pertama, jangan boros. seorang

muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya54. Tidak semua hal

yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan

sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar

sangat pandai mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang

sebenarnya riil tidak dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah sangat

dibutuhkan. Kedua, menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan.

Seorang muslim hendaknya mampu menyeimbangkan antara pemasukan dan

pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak berhutang 55. Karena hutang,

menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan dimalam hari dan akan

mendatangkan kehinaan di siang hari56. Jika tidak memiliki daya beli, maka

dituntut untuk lebih selektif lagi dalam memilih, tidak malah memaksakan diri

sehingga terpaksa harus berhutang. Hal ini tentu bertentangan dengan perilaku

konsumsi. Ketiga, tidak bermewah-mewahan. Islam melarang umatnya hidup

dalam kemewahan. Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Qaradawi adalah

tenggelam dalam kenikmatan hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang


54
AM. M. Hafidz MS., H. Sam’ani Sya’roni, Marlina, "Etika Bisnis Al-Ghazali Dan Adam
Smith Dalam Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi", Jurnal Penelitian Vol. 9, No. 1, Mei 2012.
Hlm. 18-34.
55
AM. Muh. Hafidz MS., "THE MAGNIFICENT SEVEN ETIKA BISNIS AL-GHAZALI
(Relevansi Etika Bisnis al-Ghazali dengan Dunia Bisnis Modern)", Jurnal Hukum Islam (JHI)
Volume 11, Nomor 1, Juni, 2013, h. 87-102
56
Effendi, Muh. Arif, ―Peranan Etika Bisnis dan Moralitas Agama dalam Implementasi
GCG,‖ dalam Jurnal Keuangan & Perbankan, Vol. 2 No. 1, Desember 2005 STIE Lembaga
Pendidikan Perbankan Indonesia.
23

serba menyenangkan.57 Islam mewajibkan setiap orang membelanjakan harta

miliknya untuk memenuhi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya serta

menafkahkannya di jalan Allah dengan sikap sederhana. Sikap sederhana semakin

ditekankan ketika pemasukkan seseorang sangat minim, dengan cara menahan

atau mengurangi pengeluarannya.58

Kesederhanaan dalam konsumsi ini berlaku bagi siapa saja dan untuk siapa

saja. Pada prinsipnya setiap individu dalam syari‟at Islam bebas untuk

mengkonsumsi rizki yang baik dan yang telah dihalalkan Allah, tapi dengan syarat

tidak membahayakan diri, keluarga atau pun masyarakat. Kebebasan yang

diberikan allah bukan berarti dengan semaunya sendiri untuk membelanjakan

hartanya tanpa melihat batasan-batasan yang telah disebutkan di depan, yang bisa

mengakibatkan seseorang berhutang.59

Dalam perspektif al-Quran sikap bermewah-mewahan dianggap sebagai

musuh dalam setiap risalah, lawan setiap gerakan perbaikan dan kemajuan.

Kemewahan disini yaitu terlampau berlebihan dalam berbagai bentuk kenikmatan

dan berbagai sarana hiburan, serta segala sesuatu yang dapat memenuhi perut dari

berbagai jenis makanan dan minuman serta apa saja yang memadai rumah dari

perabot dan hiasan, seni dan patung serta berbagai paralatan dari emas dan perak

dan sejenisnya.60 Kemewahan dalam kacapandang Islam merupakan salah satu

57
Erlangga Masdiana, ‖Etika Bisnis, Marjinalisasi Ekonomi dan Konflik Kelas: Suatu
Pendekatan Sosiologi Ekonomi,‖ dalam Jurnal Usahawan No. 12, Tahun XXVII, Desember 1998.
58
al-Habsyi, Syed Othman, ―The Role of Ethics in Economics and Business‖ dalam
Journal of Islamic Economics, Vol. 1 No. 1 1987.
59
Kartasasmita, Ginandjar, Etika Dunia Usaha atau Etika Bisnis dalam Pembangunan dalam
www.ginandjar.com, diakses 2 Februari 2008.
60
Dena Ayu Dan Syahrul Anwar ‘Etika Bisnis Ekonomi Islam Dalam Menghadapi
Tantangan Perekonomian Di Masa Depan’ Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi
24

factor utama dari kerusakan dan kehancuran bagi diri sendiri dan masyarakat.

Sementara itu standar kemewahan antara seorang dengan orang lain sangat

berbeda dan tergantung pada pendapatan masing-masing. Dengan kata lain,

standar kemewahan terkaitpaut dengan pendapatan individu. Dengan demikian

prilaku konsumsi, sesuai arahan Islam di atas menjadi lebih terasa urgensinya

pada kehidupan saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu dengan

harga-harga yang melambung tinggi, menuntut kita untuk selektif dalam

berbelanja. Islam tidak melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk

mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di luar batas kemampuan.61

3. Etika Bisnis dalam bidang distribusi

Distribusi menjadi salah satu aspek dari pemasaran. distribusi juga dapat

diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan

mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen,

sehingga penggunaannya sesuai dngan apa yang diperlukan62. Berkaitan dengan

hal tersebut, Islam menghendaki pendistribusian harus didasarkan pada dua sendi,

yaitu sendi kebebasan dan keadilan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan

dalam bertindak yang dibingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan. Sebagai

bentuk keseimbangan antara individu dan masyarakat. Selain itu, Islam juga

mengajarkan umatnya untuk berbuat adil dalam berbagai aspek.63 Tidak

Islam Vol. 07, No. 01, Juni 2022, h. 60


61
Mubyarto, Etika, Agama dan Sistem Ekonomi, Makalah disampaikan pada Pertemuan III
Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya, di Financial Club, Jakarta, 19
Februari 2002.
62
Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, dalam www.msi-uii.net,
diakses 27 Februari 2008.
63
Kwik Kian Gie, dkk, Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian Terhadap Perekonomian di
Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1996) h. 61
25

berlebihan jika dikatakan bahwa keadilan merupakan inti semua ajaran yang ada

dalam Al-Quran. Telah dinyatakan secara tegas bahwa Al-Quran diwahyukan

untuk membangun keadilan dan persamaan. Biacara tentang keadilan dalam

Islam, al-Maududi mengatakan bahwa hanya Islam lah yang mampu

menghadirkan sebuah system yang realistic dan keadilan social yang sempurna,

karena bersifat imperative (bentuk perintah) dan yang berbentuk perlindungan.64

Kategori yang mengandung perintah dan rekomendasi yang berkaitan

dengan perilaku bisnis, pertama, hendaknya janji, kesepakatan dan kontrak

dipenuhi. Salah satu ajaran Al-Quran yang paling penting dalam bidang ekonomi

adalah masalah pemenuhan janji dan kontrak. Al-Quran mengharuskan semua

janji dan kontrak kesepakatan dihormati dan semua kewajiban dipenuhi. Kedua,

jujur dalam timbangan dan takaran ukuran, ketiga, kerja, Gaji dan bayaran,

keempat, Jujur tulus hati dan benar, dan kelima, efisien dan kompeten.65

C. Perbandingan Pemikiran Tokoh Terkait Etika Bisnis Islam

Perbandingan Pemikiran Imam Al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi Tentang

Etika Bisnis Islam.

1. Etika Bidang Produksi

a. Imam al-ghazali

Al-Ghazali juga memberikan perhatian yang cukup besar terhadap

aktivitas produksi dalam masyarakat, termasuk hierarki dan karakteristiknya

dalam koridor kewajiban sosial terhadap kesejahteraan sosial, yang menurutnya

64
NN, Etika Bisnis: Saat Moral Menjadi Kebutuhan, dalam Warta Pertamina Edisi NO:
4/Thn XLII, April 2007 .
65
Santosa Setyanto P., Membangun dan Mengembangkan Etika Bisnis dalam Perusahaan,
makalah Seminar Nasional Audit Internal YPIA, Yogyakarta, 12 – 13 April 2006.
26

bekerja merupakan bagian dari ibadah66. Untuk klasifikasi aktivitas produksi

beliau menggambarkan yang hampir mirip dengan pembahasan kontemporer,

yakni primer (agrikultur), sekunder (manufaktur), dan tersier (jasa). Secara garis

besar al-Ghazali membagi aktivitas produksi menjadi tiga kelompok, yaitu:67

 Industri dasar, yakni industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.

Kelompok ini terdiri dari empat jenis aktivitas, yaitu agrikultur untuk

makanan, tekstil untuk pakaian, kontruksi untuk pakaian, dan aktivitas

negara yang termasuk penyediaan infrastruktur, untuk memfasilitasi dan

meningkatkan produksi untuk barang-barang bahan pokok.

 Aktivitas penyokong, aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar,

seperti industri baja, eksplorasi dan pengembangan tambang serta sumber

daya hutan.

 Aktivitas komplementer, yakni berkaitan dengan industri dasar, seperti

penggilingan dan pembakaran produk-produk agrikultur, seperti

penggilingan padi, pembakaran pasir granit, pengolahan kimia pasir emas,

nikel dan barang tambang lainnya.68

Salah satu gagasan Al-Ghazali yang paling penting mengenai urusan

ekonomi bisnis ialah bahwasanya segala kerja yang dilakukan di dunia ini bukan

hanya untuk kehidupan sesaat, namun lebih dari itu, yaitu kehidupan hakiki di

66
Sukardi, Budi, Etika Bisnis dalam Perspektif Al-Ghazali, dalam Jurnal Syirkah Vol. 1
Nomor 1 2006, Surakarta: STAIN Surakarta.
67
Susanto, A.B. Susanto, Etika Bisnis atau Manajemen Risiko?, dalam
www.web.bisnis.com, diakses 3 Maret 2008.
68
Ali Muhayatsyah ‘Etika Bisnis Islam Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali Islamic
Business Ethics In Al-Ghazali's Perspective’ AT-TIJARAH: Jurnal Penelitian Keuangan Dan
Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2 Juli-Desember 2020, h. 87
27

akhirat kelak. Kegiatan ekonomi seorang muslim meliputi waktu yang lebih luas,

dunia dan akhirat69. Oleh karena itu, Islam senantiasa menyerukan umatnya untuk

bekerja dan melarang segala bentuk kemalasan dan berpangku tangan. Islam

memerintahkan kerja sebagai sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslim,

dimana status manusia yang paling hakiki ditentukan oleh produktivitas kerjanya.

Walaupun Al-Ghazali termasuk seorang sufi, namun ia tidak membolehkan sifat-

sifat untuk menjauhi dunia, hidup tanpa berusaha dan hanya beribadah kepada

Allah tanpa mencari rizki70. Ia mengecam orang-orang yang menganggur, hidup

malas dan menyusahkan kepada orang lain, apalagi meminta-minta, kerena hal

tersebut salah satu yang dibenci Allah. Pendapat senada pun dilontarkan oleh Ibnu

Hajar yang ditukil oleh imam Nawawi dalam kitab Safinah al-Naja. Menurut

beliau pula, Al-Quran tidak menyatakan bahwa kegiatan bisnis itu adalah sesuatu

yang illegitimate, namun Al-Quran jauh mendorong dan menganjurkan untuk

terlibat dalam kegiatan bisnis.71

b. Yusuf Qardhawi

Persoalan etika dalam bidang produksi, menurut Yusuf Qardhawi

dimaknai dalam menciptakan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap

sumber-sumber kekayaan lingkungan72. Kekayaan merupakan segala sesuatu yang

69
Supit, Anton J., Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis, dalam www.apindo.or.id, diakses 23
Maret 2008.
70
Imam Sopingi, "ETIKA BISNIS MENURUT AL-GHAZALI: TELAAH KITAB IHYA’ ’
ULUM AL-DIN", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol.01, No.01,h. 142-148
71
Al-Syami, Salih, A. Perjuangan Al-Ghazali; Menegakkan Kebenaran dan Menghapuskan
Kebatilan, Penj. Basri bin Ibrahim al-Hasani, dalam http://penjejak
kebenaran.blogspot.com/2010/05/preview-bukuperjuangan-al-ghazali.html diakses tanggal 24-05-
2023.
72
Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: AMP YKPN.
28

diberikan Allah berupa alam yang bisa digarap dan diproses menjadi kekayaan.

Al-Quran mendorong manusia untuk mengolah sumber alam ini dan

mengingatkan agar mengarahkan pandangan dan akal dengan penuh kekuatan

terhadap alam yang ada disekeliling. Dalam pengelolaan tersebut, akal memiliki

peranan yang sangat penting. Karena penggunaan akal inilah yang membedakan

manusia dengan makhluk lainnya73. Dengan penggunaan akal yang maksimal,

maka akan melahirkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia sendiri.

Sehingga kegiatan produksi dapat memiliki peran dan fungsi dalam menjalankan

tanggung jawab social untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta manifestasi

keterhubungan manusia dengan Tuhan.74

Pada lain sisi, ilmu tidak akan membuahkan hasil jika tidak diikuti oleh

amal. Islam mendorong pemeluknya agar berproduksi dan menekuni aktifitas

ekonomi dengan cara bekerja. Bukan hanya bekerja untuk diri sendiri, tetapi juga

bekerja untuk kepentingan keluarga, masyarakat, bekerja untuk kehidupan dan

semua makhluk secara umum, serta bekerja untuk memakmurkan bumi. Dengan

bekerja setiap individu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini semua adalah

keutamaan yang dijunjung tinggi oleh agama, yang tidak mungkin dilakukan

kecuali dengan harta.75

Islam telah memberikan peringgatan dan hanya membolehkan usaha yang

dilakukan dengan adil, jujur dan cara yang bijaksana. Dalam mencapai sasaran ini,

73
Nata, A. 2002. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
74
Rahman, A. 2010. Ekonomi Al-Ghazali; Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’
’Ulum al-Din. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset.
75
Yogaswara, R. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, dalam http://islamicfinance .co.id/?
p=465 diakses tanggal 24-05-2023.
29

Islam tidak memberikan kebebasan tanpa batas dalam usaha ekonomi. Selain itu,

Islam tidak juga terlalu mengikat manusia dengan pengawasan ekonomi. Islam

telah memberikan prinsip-prinsip produksi yang adil dan wajar dalam bisnis,

dimana setiap orang dapat memperoleh kekayaan tanpa mengeksploitasi individu

lain atau merusak kemaslahatan masyarakat. Seseorang dalam bekerja dalam

pandangan Islam haruslah ihsan (baik) dan jihad (bersungguh-sungguh) 76. Karena

Islam bukan semata-mata memerintahkan bekerja, namun bekerja dengan baik.

Karena kesungguh-sungguhan dalam bekerja atau lazimnya disebut prifesional,

merupakan salah satu implementasidari iman. Dengan bekerja professional, maka

seseorang akan mendapatkan ketenangan jiwa, ketenagan jiwa akan berpengaruh

positif terhadap produktifitas.77

Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa aktifitas yang demikian akan

membebaskan usaha atau bisnis dari kezaliman dan penindasan. Senada dengan

rambu-rambu Islam yang memberikan keadilan dan persamaan prinsip produksi

sesuai kemampuan masing-masing tanpa menindas orang lain atau

menghancurkan masyarakat78. Sementara itu, akhlak (etika) utama dalam produksi

yang wajib diperhatikan baik secara individu maupun bersama-sama ialah bekerja

dibidang yang dihalalkan Allah, dan tidak melampaui apa yang diharamkan-

Nya79. Dengan kata lain, produksi tidak hanya memproduksi barang dan jasa

76
Ahmad Mawardi, "Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran Al Ghazali", Jurnal Kajian
Hukum Ekonomi Syariah, Vol.01, No.01, h. 67-78
77
Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt. 38
78
Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia.
2002, 190
79
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani.
2001, 54
30

belaka, tetapi juga memproduksi segala sesuatu yang merusak aqidah dan akhlak

manusia. Prinsip etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap

muslim baik individu maupun kamunitas menurut Yusuf al-Qharadawi adalah

berpegang pada semua yang dihalalkan allah dan tidak melampaui batas.80

2. Etika Bidang Konsumsi

a. Imam Ghazali

Dalam bidang konsumsi, Al-Ghazali tidak membahasnya secara rinci

mengenai konsumsi, akan tetapi yang beliau bahas adalah mengenai kemaslahatan

(kesejahteraan social). Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syari‟ah

yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs) akal (aql), keturunan

(nasab), dan harta (mal)81. Tema yang menjadi pangkal tolak ukur dari seluruh

karyanya adalah konsep maslahat atau kesejahteraan social, yakni konsep yang

mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan erat antara individu

dengan masyarakat. Al-Ghazali telah mengidentifikasi semua masalah baik berupa

mashalih maupun mafasid dalam meningkatkan kesejahteraan social. Ia

menjabarkan kesejahteraan social tersebut dalam kerangka hiraki kebutuhan

individu dan sosial. Adapun hirarki tingkatan tersebut adalah Dharuriyyah, terdiri

dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara kelima

prinsip tersebut. Hajiyyah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak

vital bagi pemeliharaan kelima prinsip tersebut, tetapi dibutuhkan untuk

80
A. Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No 2.Juni
2007.hlm. 139.
81
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani.
2001, 54
31

meringankan dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup. Tahsiniyyah,

yaitu berbagai aktivitas dan hal-hal yang melewati batas hajah.82

b. Yusuf al-Qardhawi

Etika kedua yang menjadi sorotan al-Qaradawi adalah dalam bidang

konsumsi. Menurut yusuf al-Qaradawi bukan hanya sikap sederhana dalam

kegiatan konsumsi, namun harus juga diterapkan menghindari dari sikap

kemewahan (bermewah-mewahan)83. Kemewahan merupakan sikap yang dilarang

karena akan menengelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan.

Pada satu sisi, bermegah-megahan atau mengutamakan sikap kemewahan akan

mengarahkan seseorang kepada sikap boros. Sikap boros itu sendiri termasuk

sikap yang merusak harta, meremehkan atau kurang merawatnya sehingga rusak

dan binasa. Perbuatan ini termasuk kriteria menghambur-hamburkan uang yang

dilarang. Lain dari pada itu, konsumsi merupakan tujuan yang penting dari

produksi. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang komprehensip dan mencakup

seluruh aspek kehidupan, telah mengatur segala tingkah laku manusia. Bahkan

tidak ada satu system kemasyarakatan pun, baik masyarakat modern atau lama,

telah ditetapkan telah ditetapkan etika untuk manusia yang mengatur segala aspek

kehidupannya sampai pada persoalan yang detail, termasuk dalam hal ini

konsumsi.84

3. Etika Bidang Distribusi

82
A. Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No 2.Juni
2007.hlm. 139.
83
A. Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No 2.Juni
2007.hlm. 139.
84
Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia.
2002, 190
32

Pada bidang distribusi ini, Imam Al-Ghazali membahasnya secara

terperinci dengan bahasa beliau sendiri, membahasnya dalam konsep yang

berbeda dari Yusuf Al-Qardhawi. Yaitu membahas tentang 1) Pertukaran Sukarela

dan Evolusi Pasar, 2) Barter dan evolusi uang 85. Dalam hal ini al Ghazali

menjelaskan konsepnya mengenai seputar aktivitas bisnis adalah uang. Sedangkan

Yusuf Qardhawi membahas mengenai bidang distribusi. Menurut Yusuf

Qardhawi, distribusi menjadi salah satu aspek dari pemasaran distribusi juga dapat

diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan

mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen,

sehingga penggunaannya sesuai dengan apa yang diperlukan. Berkaitan dengan

hal tersebut, Islam menghendaki pendistribusian harus didasarkan pada dua sendi,

yaitu sendi kebebasan dan keadilan.86

85
Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka Setia.
2002, 190.
86
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema Insani.
2001, 54.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat kiranya kita tarik benang merah seputar

etika bisnis menurut pandangan al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi, yaitu: seputar

kode etik dalam sistem ekonomi dan bisnis yang diterapkan oleh al-Ghazali pada

zaman dahulu dan kode etik dalam sistem ekonomi dan bisnis yang diterapkan

oleh Yusuf Qardhawi pada zaman sekarang, bahwa baik al-Ghazali maupun Yusuf

Qardhawi dalam mempraktekkan perdagangan mengedepankan etika atau

moralitas dalam pelaksanaan transaksi perdagangan (bisnis). Pada zaman sekarang

adalah bagaimana ketentuan hukum atau aturan yang telah digariskan oleh al-

Ghazali maupun Yusuf Qardhawi menjadi pedoman dalam melakukan aktivitas

dan entitas bisnis. Lebih luas lagi bahwa prinsip ekonomi atau bisnis Islam adalah

menekankan pada aspek etika kegiatan ekonomi atau bisnis, yaitu bagaimana

setiap perilaku dan tindakan kita dalam kegiatan ekonomi atau bisnis menerapkan

seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari yang buruk, dan

menentukan apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh seorang individu

atau pelaku bisnis. Dalam nilai-nilai pengamalan al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi

yang berkaitan etika bisnis yang harus dikendalikan juga oleh peran negara dan

agama yang menjadi tiang-tiang yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah

masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya, sedangkan penguasa yang

mewakili negara adalah penyebar dan pelindungnya, bila salah satunya lemah,

maka masyarakatnya akan ambruk.

33
34

B. Saran

Pembaca yang budiman, saya sadar bahwa masih banyak kekurangan yang

saya miliki, baik dari segi tulisan maupun bahasa yang saya sajikan, oleh karena

itu  saya berpesan kepada pembaca, ambillah sesuatu yang positif dari sebuah

coretan yang  saya buat, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi saya

mapun  pembaca, serta menjadi  wawasan kita dalam memahami Tokoh-Tokoh

Islam dan Pemikirannya dalam Etika Bisnis dan Korporasi Islam, marilah terus

berusaha untuk menggapai sebuah cita-cita yang luhur.


DAFTAR PUSTAKA

A. Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No


2.Juni 2007.hlm. 139.
A. Sonny Keraf, Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya, (Yogyakarta :
Kanisius, 1998), h. 14.
Abdullah Musthafa al-Muragi, Pakar-Pakar Fikih Sepanjang Sejarah (terjm)
(Yogyakarta: LKPSM. 2001), hlm. 177.
Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Persfektif Islam. Bandung. CV. Pustaka
Setia. 2002, 190
Adiwarman A Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta. Gema
Insani. 2001, 54
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: The International Institute of
Islamic Thought Indonesia, 2002, h. 53
Afdawaiza, Etika Bisnis dan Ekonomi dalam Pandangan al-Ghazali. Esensia.
2009. hlm. 01.
Ahmad Mawardi, "Etika Bisnis Dalam Perspektif Pemikiran Al Ghazali", Jurnal
Kajian Hukum Ekonomi Syariah, Vol.01, No.01, h. 67-78
al-Habsyi, Syed Othman, ―The Role of Ethics in Economics and Business‖
dalam Journal of Islamic Economics, Vol. 1 No. 1 1987.
Ali Muhayatsyah ‘Etika Bisnis Islam Dalam Perspektif Pemikiran Al-Ghazali
Islamic Business Ethics In Al-Ghazali's Perspective’ AT-TIJARAH: Jurnal
Penelitian Keuangan Dan Perbankan Syariah Vol. 2, No. 2 Juli-Desember
2020, h. 85.
Al-Syami, Salih, A. Perjuangan Al-Ghazali; Menegakkan Kebenaran dan
Menghapuskan Kebatilan, Penj. Basri bin Ibrahim al-Hasani, dalam
http://penjejak kebenaran.blogspot.com/2010/05/preview-bukuperjuangan-
al-ghazali.html diakses tanggal 24-05-2023.
AM. M. Hafidz MS., H. Sam’ani Sya’roni, Marlina, "Etika Bisnis Al-Ghazali Dan
Adam Smith Dalam Perspektif Ilmu Bisnis Dan Ekonomi", Jurnal Penelitian
Vol. 9, No. 1, Mei 2012. Hlm. 18-34.
AM. Muh. Hafidz MS., "THE MAGNIFICENT SEVEN ETIKA BISNIS AL-
GHAZALI (Relevansi Etika Bisnis al-Ghazali dengan Dunia Bisnis
Modern)", Jurnal Hukum Islam (JHI) Volume 11, Nomor 1, Juni, 2013, h.
87-102
Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas wacana Keislaman
Kontemporer (Bandung: Mizan, 2004), 26, 246.
Bernard Lewis, Islam in History: Ideas, People and Events in Middle East
(Chicago: Open Court. 1993), hlm. 98

35
36

Berten, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius.


Damayati, Konsep dan Etika Keuangan Islam” Jurnal Eksibisi.Voleme I. No
2.Juni 2007.hlm. 139.
Dena Ayu Dan Syahrul Anwar ‘Etika Bisnis Ekonomi Islam Dalam Menghadapi
Tantangan Perekonomian Di Masa Depan’ Al-Mustashfa: Jurnal Penelitian
Hukum Ekonomi Islam Vol. 07, No. 01, Juni 2022, h. 60
Diana Ambarwati Etika Bisnis Yusuf Al- Qaradâwi (Upaya Membangun
Kesadaran Bisnis Beretika), Jurnal , h. 56.
Effendi, Muh. Arif, ―Peranan Etika Bisnis dan Moralitas Agama dalam
Implementasi GCG,‖ dalam Jurnal Keuangan & Perbankan, Vol. 2 No. 1,
Desember 2005 STIE Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia.
Elvan Syaputra, "Perilaku Konsumsi Masyarakat Modern Perspektif Islam: Telaah
Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin", FALAH Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol. 2, No.2, (Agustus 2017), h.144-155.
Erlangga Masdiana, ‖Etika Bisnis, Marjinalisasi Ekonomi dan Konflik Kelas:
Suatu Pendekatan Sosiologi Ekonomi,‖ dalam Jurnal Usahawan No. 12,
Tahun XXVII, Desember 1998.
Fahadil Amin Al Hasan, "ETIKA BISNIS AL-GHAZALÎ", Jurnal E-Sya Vol. 1,
No. 1, April 2014, h.1-15.
Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: Prenada. 2006), hlm. 04
Fitriani, Sri Deti , Sri Sunantri ‘islamic Business Ethics According To Imam Al-
Ghazali And Yusuf Al-Qaradhawi ‘ Jurnal Studi Islam Lintas Negara Vol 4
no 1 Juni 2022, h. 54
Fitriani, Sri Deti, Sri Sunantri, "Etika Bisnis Islam Menurut Imam Al-Ghazali Dan
Yusuf Al-Qaradhawi", Jurnal Studi Islam Lintas Negara Vol 4 no 1 Juni
2022, h. 50-68
Ghazali, Pembuka Pintu Hati(Bandung : MQ Publishing.2004), cet. 1.hlm. 4.
Himawijaya, Mengenal Al Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan(Bandung :
Mizan Media Utama MMU. 2004), cet. 1.h. 16
Husein Umar, Business an Introduction (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2000), hlm. 03
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Murâja’ah : Shidqi
Muhammad Jamil al ‘Aththar, 1428-1429 H/2008, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn
(Beirut: Darul Fikr. 505 H), Juz III. hlm. 57.
Imam Sopingi, "ETIKA BISNIS MENURUT AL-GHAZALI: TELAAH KITAB
IHYA’ ’ ULUM AL-DIN", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam, Vol.01,
No.01,h. 142-148
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000), hlm.
122.
37

K. Berten, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius. 2000), hlm. 5


Karim, Adiwarman S. (2006). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta:
Rajawali Press
Kartasasmita, Ginandjar, Etika Dunia Usaha atau Etika Bisnis dalam
Pembangunan dalam www.ginandjar.com, diakses 2 Februari 2008.
Kholiq, Ahmad “Etika Bisnis dalam Perspektif Islam”, https://www.ar-
raniry.ac.id/? content=article _detail&idb=39.
Kwik Kian Gie, dkk, Etika Bisnis Cina: Suatu Kajian Terhadap Perekonomian di
Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1996) h. 61
Lewis, Bernard. (1993). Islam in History: Ideas, People and Events in Middle
East. Chcago: Open Court.
M. Kamal Zuber, Pemikiran Etika Bisnis (studi atas konsep Etika Bisnis Al
Ghazali), (IAIN Mataram: Jurnal Istimbath no.2 Vol 4 tahun 2007), h. 25
Madjid, Nurkhalis, (2008). Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:Paramadina.
Malahayati, Rahasia Bisnis Rasulullah (Yogyakarta: Jogja Great! Publisher.
2010), hlm. 72
Menurut Abdul Munir Mulkan gelar ini diberikan atas keberhasilannya Al-
Ghazali dalam menempatkan pemikiran Islam diluar pemikiran Yunani.
Lihat Abdul Munir Mulkan, Mencari Tuhan dan Tujuh Jalan Kebenaran,
sebuah esai pemikiran Al-Ghazali, ed, cet 1, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),
8.
Mubyarto, Etika, Agama dan Sistem Ekonomi, Makalah disampaikan pada
Pertemuan III Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, YAE-Bina Swadaya,
di Financial Club, Jakarta, 19 Februari 2002.
Muhammad & Lukman Fauroni, Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis,
(Jakarta: Selemba Diniyah, 2002), 40
Muhammad Ismail yusanto, dkk. Menggagas Bisnis Islam ( Jakarta: Gema Insani
Press. 2002), hlm. 15
Muhammad, Etika Bisnis Islam. Yogyakarta. UPP-AMP YKPN, tt. 38
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 81-
82
Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: AMP YKPN.
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001),
hlm. 02
Muttaqin, Hidayatullah, Telaah Kritis Pasar Modal Syariah, dalam www.msi-
uii.net, diakses 27 Februari 2008.
Nata, A. 2002. Metode Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Navqi, Syed Haider. (2003). Menggagas Ekonomi Islam. Pustaka Pelajar.
38

NN, Etika Bisnis: Saat Moral Menjadi Kebutuhan, dalam Warta Pertamina Edisi
NO: 4/Thn XLII, April 2007 .
Nurma Khusna Khanifa ‘Etika Bisnis Sebagai Kiblat Mutlak Pelaku Usaha,
Implikasi Ekonomi Islam’ Jurnal Az Zarqa’, Vol. 6, No. 2, Desember 2014,
h. 210
Rahman, A. 2010. Ekonomi Al-Ghazali; Menelusuri Konsep Ekonomi Islam
dalam Ihya’ ’Ulum al-Din. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset.
Santosa Setyanto P., Membangun dan Mengembangkan Etika Bisnis dalam
Perusahaan, makalah Seminar Nasional Audit Internal YPIA, Yogyakarta,
12 – 13 April 2006.
Sarini Syarifuddin, Muhammad Ikhwan Saputra, "Al-Ghazali dan Perilaku Pasar:
Perpesktif Etika Bisnis dalam Kitab Ihya Ulum ad-Din", Jurnal Ilmiah
Ekonomi Islam, 6(03), 2020, h. 501-507.
Septy putriasih’ Penerapan Etika Bisnis Islam Perspektif Al-Ghazali Pada Petani
Kopi Di Koperasi Kebun Makmur Yogyakarta’ Skripsi, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2018, h. 23
Shihab, M. Quraish. (2012). Tafsir dan Terjemahan, Jakarta: Lentera Hati.
Sukardi, Budi, Etika Bisnis dalam Perspektif Al-Ghazali, dalam Jurnal Syirkah
Vol. 1 Nomor 1 2006, Surakarta: STAIN Surakarta.
Supit, Anton J., Etika Bisnis dalam Dunia Bisnis, dalam www.apindo.or.id,
diakses 23 Maret 2008.
Susanto, A.B. Susanto, Etika Bisnis atau Manajemen Risiko?, dalam
www.web.bisnis.com, diakses 3 Maret 2008.
Syed Nawab Haider Navqi, Menggagas Ekonomi Islam. hlm. 182
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam(Jakarta : Van Hoeve Letiar
Baru. 1997), cet. Ke 4.hlm. 25.
Umar Faruq Tohir ‘Pe mikiran Etika Sufistik Al-Ghazali: Langkah-Langkah
Memoderasi Akhlak‘ Jurnal Al-I’jaz, vol.3, no. 1, 2021, h. 50
Yogaswara, R. Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam, dalam
http://islamicfinance.co.id/?p=465 diakses tanggal 24-05-2023.
Yusuf al-Qaradhawi, Islam Inklusif dan Islam Eksklusif (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2001), hlm. 112
Yusuf al-Qaradhâwi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997), h. 1

Anda mungkin juga menyukai