Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ETIKA BISNIS ISLAM

“Prinsip-Prinsip Etika Bisnis”

Dosen Pengampu: Hj. Suharti, M.Ag

OLEH V B

KELOMPOK 3:

Ropiki (170501071)

Linda Sari (170501068)

Wahyu Suryani (170501079)

JURUSAN EKONOMI SYARI’AH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam selalu kami

limpahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para

sahabatnya,atas jasa beliau kita sebagai ummat islam bisa melihat dunia ini dipenuhi akhlaq yang

mulia , rahmat, dan kasih sayang yang selalu tumbuh diantara ummatnya.

Ucapan terima kasih kami berikan kepada dosen pengampu mata kuliah Etika Bisnis Islam

yang telah membimbing kami, dan teman-teman kelas V.B Ekonomi Syariah yang turut memberi

motivasi kami.

Kami menyusun makalah yang bertema Prinsip-Prinsip Etika Bisnis ini dalam rangka

supaya dapat mengetahui dan memahami Prinsip-Prinsip Etika Bisnis.

Di dunia ini tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kami memohon maaf apabila dalam

makalah kami terdapat kesalahan  yang tidak kami sengaja. Kami mengharap kritik dan saran

dari pembaca, agar kami dapat menjadi lebih baik lagi dan makalah ini bisa lebih sempurna dan

lebih bermanfaat bagi pendidikan kami khususnya dan pembaca umumnya.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................................................................i

DaftarIsi.............................................................................................................................ii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang......................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Umum Etika Bisnis……………………………………………………….

2.2 Etos Bisnis…………………………………………………………………………….

2.3 Ralativitas Moral dalam Bisnis………………………………………………………

2.4 Pendekatan stakeholder yang digunakan dalam etika bisnis………………………….

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita

tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan

usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan

menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan

istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas

implikasi-implikasi terhadap dunia bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis

secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan

beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan

dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.

Perbincangan tentang  “etika bisnis” di sebagian besar paradigma pemikiran pembisnis

terasa kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri), mana mungkin ada bisnis

yang bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus

berani (paling tidak) “bertangan kotor”.

Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan

dengan hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila “beretika” maka bisnisnya terancam

pailit. Disebagian masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini

tampkanya bukan merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang

melekat bahwa dunia bisnis dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik

yang tidak sejalan dengan etika itu sendiri.

Namun kalau bisnis punya etika,maka pertanyaan yang segera timbul adalah manakah

norma-norma atau prinsip etika yang berlaku dalam kegiatan bisnis. Apakah prinsip-prinsip

itu berlaku universal, terutama mengingat kenyataan mengenai bisnis global yang tidak
mengenal batas-batas negara dewasa ini? Demikian pula, bagaimana caranya agar prinsip-

prinsip tersebut bisa operasional dalam kegiatan bisnis? Inilah beberapa pertanyaan yang

ingin kami jawab dalam bab ini. Pada akhir bab ini kami akan singgung secara sekilas apa

yang dikenal sebagai stakeholder, yang dengan itu memperlihatkan relevansi sekaligus juga

operasionalisasi etika bisnis, khususunya prinsip-prinsip etika bisnis, dalam kegiatan bisnis

suatu perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

A. Apa saja Prinsip Umum Etika Bisnis?

B. Apakah definisi Etos Kerja?

C. Bagaimanakah Relativitas Moral Dalam Bisnis?

D. Apa saja pendekatan stakeholder yang digunakan dalam etika bisnis?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Beberapa prinsip umum etika Bisnis

Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik

sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia.Demikian pula,

prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing –

masing masyarakat.Bisnis Jepang akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat

Jepang. Eropa dan Amerika Utara akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat

tersebut dan seterusnya. Demikian pula, prinsip – prinsip etika bisnis yang berlaku di

dindonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat kita.  Namun, sebagai

etika khusus atau etika terapan,prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis

sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya.  Disini secara umum

dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis tersebut.

 Prinsip otonomi;

Adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak

berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.

Untuk bertindak secara otonom,  diandaikan ada kebebasan untuk mengambil

keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik itu. ebebasan

adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, Kebebasan adalah prasyarat

utama untuk bertindak secara etis, karena tindakan etis adalah tindakan yang, dalam

bahasa kant, bersumber dari kemauan baik serta kesadaran pribadi. Hanya karena

seseorang mempunyai kebebasan, ia bisa di tuntut untuk bertindak secara etis. Namun,

kebebasan saja belum menjamin bahwa seseorang bertindak membabi buta tanpa

menyadari apakah tindakannya itu baik atau tidak.Karena itu otonomi juga

mengandalkan adanya tanggung jawab. Ini unsur lain lagi yang sangat penting dari
prinsip ekonomi. Orang yang otonom adalah orang yang tidak saja sadar akan

kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang

dianggapnya baik, melainkan juga adalah orang yang bersedia

mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya serta dampak dari keputusan

dan tindakannya itu,  kalau seandainya bertentangan, dia sadar dan tahu mengapa

tindakan itu tetap diambilnya kendati bertentangan dengan nilai dan norma moral

tertentu. Sebaliknya, hanya orang yang bebas dalam menjalankan tindakannya bisa

dituntut untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ini unsur – unsur yang tidak bisa

dipisahkan satu dari yang lainnya. Dan kesediaan bertanggung jawab ini disebut

sebagai kesediaan untuk mengambil titik pangkal moral. Artinya dengan sikap dan

kesediaan untuk bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan keputusan dan

tindakan yang diambil bisa dimungkinkan proses pertimbangan moral. Atau di

rumuskan secara lain, kesediaan bertanggung jawab merupakan ciri khas dari mahluk

bermoral. Orang yang bermoral adalah orang yang selalu bersedia untuk bertanggung

jawab atas tindakannya. Otonomi dengan unsur diatas merupakan prinsip yang sangat

penting.

Pertama, Dengan otonomi pelaku bisnis dan karyawan dalam perusahaan

manapun tidak lagi diperlakukan sebagai sekadar tenaga yang dieksploitasi sesuai

kebutuhan bisnis dan demi kepentingan bisnis. Dengan kata lain, dengan otonomi para

pelaku bisnis benar – benar menjadi subyek moral yang bertindak secara bebas dan

bertanggung jawab atas tindakannya. Ini berarti sebagai subyek moral tidak lagi

sekedar bertindak dan berbisnis seenaknya dengan merugikan hak dan kepentingan

pihak lain.
Kedua, Otonomi juga memungkinkan inovasi, mendorong kreativitas,

meningkatkanproduktivitas,  yang semuanya akan sangat berguna bagi bisnis modern

yang terus berubah dalam persaingan yang ketat.

Ketiga, dengan prinsip otonomi, tanggung jawab moral juga tertuju kepada semua

pihak terkait yang berkepentingan (skateholders).

 Prinsip kejujuran

Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa

bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran.

1.  Jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.Kejujuran ini sangat

penting artinya bagi masing – masing pihak dan sangat menentukan relasi dan

kelangsungan bisnis masing-masing pihak selanjutnya. Karena seandainya salah

satu pihak berlaku curang dalam memenuhi syarat-syarat perjanjian tersebut,

selanjutnya tidak mungkin lagi pihak yang dicurangi itu mau menjalin relasi bisnis

dengan pihak yang curang tadi.

2. Kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang

sebanding. Dalam pasar yang terbuka dengan barang dan jasa yang beragam dan

berlimpah ditawarkan kedalam pasar, dengan mudah konsumen berpaling dari

satuproduk ke produk yang lain.Maka cara-cara bombastis, tipu menipu, bukan lagi

cara bisnis yang baik dan berhasil. Kejujuran adalah prinsip yang justru sangat

penting dan relevan untuk kegiatan bisnis yang baik dan tahan lama.

3. Jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Kejujuran dalam

perusahaan adalah inti dan kekuatan perusahaan itu. Perusahaan itu akan

hancur kalau suaana kerja penuh dengan akal-akalan dan tipu-menipu. Kalau

karyawan diperlakukan secara baik dan manusiawi, diperlakukan sebagai

manusia yang punya hak-hak tertentu, kalau sudah terbina sikap saling
menghargai sebagai manusia antara satu dan yang lainnya, ini pada

gilirannya akan terungkap keluar dalam relasi dengan perusahaan lain atau

relasi dengan konsumen. Selama kejujuran tidak terbina dalam perusahaan,

relasi keluar pun sulit dijalin atas dasar kejujuran.

 Prinsip keadilan

Menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang

adil, serta dapat dipertanggung jawabkan.  Keadilan menuntut agar setiap orang dalam

kegiatan bisnis perlu di perlakukan sesuai dengan haknya masing-masing dan agar

tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.

 Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle)

Menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua

pihak. Kalau prinsip keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak

dan kepentingannya, prinsip saling menguntungkan secara positif menuntut hal yang

sama, yaitu agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain.

Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Karena anda ingin

untung dan saya pun ingin untung, maka sebaliknya kita menjalankan bisnis dengan

saling menguntungkan. Maka, dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar

persaingan bisnis haruslah melahirkan win-win situation.

 Prinsip integritas moral

Terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau

perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan

atau orang-orangnya maupun perusahaannya. Dengan kata lain prinsip ini merupakan

tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang

terbaik dan dibanggakan. Dan itu tercermin dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan

siapa saja, baik keluar maupun kedalam perusahaan.


Dari semua prinsip diatas, Adam Smith akan menganggap prinsip keadilan

sebagai prinsip yang paling pokok. Menurut Adam Smith Prinsip no harm, prinsip

keadilan, (tidak merugikan hak dan kepentingan orang lain), tanpa prinsip ini bisnis

tidak bisa bertahan. Hanya karena setiap pihak menjalankan bisnisnya dengan tidak

merugikan pihak manapun, bisnis itu bisa berjalan dan bertahan.

Tentu saja prinsip lain pun sangat penting bagi kelangsungan bisinis. Tapi yang

menarik pada prinsip no harm adalah bahwa pada tingkat tertentu dalam prinsip ini

telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya.  Dalam prinsip no harm sudah

dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling menguntungkan, otonomi

(termasuk kebebasan dan tanggung jawab), integritas moral. Jadi, Prinsip no

harm punya jangkauan yang luas mencakup banyak prinsip lainnya. Prinsip no

harm juga diterapkan menjadi hukum tertulis yang demikian menjadi pegangan dan

rujukan konkrit dengan sanksinya yang jelas bagi semua pelaku ekonomi.Jadi prinsip

ini pada akhirnya menjadi lebih pasti, tidak hanya karena dijabarkan dalam berbagai

aturan perilaku bisnis yang konkret (perilaku mana saja yang dianggap merugikan dan

karena itu dilarang) melainkan juga karena didukung oleh sanksi dan  hukuman yang

tegas. Dengan kata lain, pada akhirnya prinsip ini menjadi dasar dan jiwa dari semua

aturan bisnis dan sebaliknya semua praktek bisnis yang bertentangan dengan prinsip ini

harus dilarang. Maka, misalnya monopoli,kolusi, nepotisme, manipulasi, hak istimewa,

perlindungan politik dan seterusnya harus dilarang karena bertentangan dengan

prinsip no harmyaitu karena semua praktek tersebut pada akhirnya merugikan pihak

tertentu:  ada pelaku ekonomi yang tersisih secara tidak fair, konsumen dipaksa untuk

membayar harga yang lebih mahal, konsumen ditipu, dan seterusnya. Demikian pula

undang undang atau peraturan mengenai lingkungan hidup,iklan,karyawan, semuanya

berintikan prinsip no harmini.


B. Etos bisnis

Pertanyaan pertanyaan penting yang perlu di jawab adalah Bagaimana menerapkan

prinsip – prinsip etika bisnis ini sehingga benar – benar operasional. Banyak perusahaan

besar sesungguhnya telah mengambil langkah yang tepat ke arah penerapan prinsip-

prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang mereka anut bisa beragam atau sebagiannya

merupakan varian dri prinsip-prinsip diatas dengan pertama-tama membangun apa yang

dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture) atau lebih cenderung disebut

sebagai etos bisnis yang dimaksud dengan etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau

budaya moral menyangkut kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu

generasi ke generasi yang lain. Inti etos ini adalah pembudayaan atau pembiasaan

penghayatan akan nilai, norma, atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti

kekuatan dari yang sekaligus juga membedakannya dari perusahaan yang lain. Wujudnya

bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran, tanggung jawab,

perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan seterusnya. Umumnya etos bisnis ini mula

pertama dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai

penghayatan pribadi orang tersebut,mengenai bisnis yang baik. Visi atau filsafat bisnis ini

sesungguhnya didasarkan pada nilai tertentu yang dianut oleh pendiri perusahaan itu yang

lalu dijadikan prinsip bisnisnya yang kemudian menjelma menjadi  sikap dan perilaku

bisnis dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari dan menjadi dasar dari keberhasilannya. Maka,

terbangunlah suatu budaya, sebuah etos, sebuah kebiasaan yang ditanamkan kepada semua

karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun terus menerus dalam seluruh

evaluasi dan penyegaran selanjutnya dalam perusahaan tersebut. Demikian pula etos ini

dapat berubah, dalam arti yang lebih baik, sesuai visi yang dianut oleh setiap manajer yang

silih berganti memegang perusahaan tersebut. Yang lebih mengalami perubahan adalah
penerapan visi dan prinsip etis tadi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan perusahaan

dan bisnis dalam masyarakat.

Dirumuskan secara jelas, pada tingkat pertama ada nilai, nilai adalah apa yang

diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan menyangkut kondisi yang

didambakandan paling penting bagi seorang atau kelompok dan yang sekaligus yang

paling menentukan dalam hidup orang atau kelompok orang itu. Nilai ini kemudiaan

menjelma menjadi prinsip hidup. Nilai dan prinsip ini lalu menentukan sikap seseorang

atau kelompok orang. Sikap disini tidak lain adalah kecenderungan seseorang untuk

bertindak secara tertentu berdasarkan dan sesuai dengan nilai yang dianutnya. Sikap

kemudian menentukan perilaku yang merupakan penghayatan konkret akan nilai dan

prinsip dalam hidup sehari-hari. Dalam perusahaan ini pun berlaku nilai, lalu menjadi

prinsip dan kode etik perusahaan yang menentukan sikap dan pola perilaku seluruh

perusahaan dalam kegiatan bisnisnya sehari-hari. Tidak mengherankan bahwa hampir

setiap perusahaan besar mempunyai kekhasannya sendiri yang menjadi simbol

keunggulannya. Pada umumnya perusahaan yang besar, berhasil, dan bertahan lama

berdasarkan perkembangan murni pasar  (bukan karena perlindungan politik) mempunyai

etos semacam itu. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pada waktunya nanti tidak

hanya akan ada konsultan manajemen, legal, finansial, melainkan juga ada konsultan

bahkan audit etis yang terutama menyangkut sejauh mana visi dan prinsip moral yang

dianut suatu perusahaan benar-benar telah dioperasionalkan dalam seluruh kegiatan bisnis

perusahaan itu melalui perilaku bisnis yang diperlihatkan seluruh staf mulai dari lapisan

puncak sampai dibawah. Tentu saja, berkembang tidaknya suatu etos bisnis dalam sebuah

perusahaan sangat ditentukan pula oleh gaya kepemimpinan dalam perusahan tersebut.

Kendati gaya kepemimpinan semacam manipulator ataupun administator birokratis bisa

sangat membawa hasil yang diinginkan, dalam banyak hal akan sulit menumbuhkan etos
bisnis yang baik, etos bisnis akan sulit berkembang dalam sebuah perusahan.Karena gaya

semacam itu terlalu memperalat karyawan demi tujuan perusahaan atau pula terlalu kaku

bertumpu pada aturan – aturan dan prosedur birokratis yang berbelit belit. Sebaliknya,

gaya kepemimpinan manajer profesional yang menekankan kerja sama kelompok serta

gaya kepemimpinan yang bersifat transformatif akan lebih kondusif bagi berkembangnya

etos bisnis yang baik dalam suatu perusahaan. Pada kedua gaya yang disebut terkhir setiap

karyawan dalam satu dan lain cara bentuk dapat mempunyai sumbangan, andil, dan peran

yang sebisa mungkin dilibatkan dan dihargai demi keberhasilan perusahaan. Bersamaan

dengan itu, khususnya dalam gaya kepemimpinan transformatif,  setiap orang akan sebisa

mungkin diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia melalui

pekerjaan yang dilakukannya dan dengan demikian pada akhirnya bersama-sama mencapai

apa yang menjadi tujuan perusahaan.

C. Relativitas Moral dalam bisnis

Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis modern

dewasa ini orang di tuntut untuk bersaing secara etis tanpa mengenal adanya perlindungan

dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau tidak mau harus bersaing

berdasarkan prinsip etika tertentu. Persoalannya, demikian kata De George, etika siapa?

Ini berlaku dalam bisnis global yang tidak mengenal batas negara. Konkretnya, etika

masyarakat mana yang harus diikuti oleh sebuah perusahaan multinasional dari Amerika,

misalnya, yang beroperasi di Asia, dimana norma etika dan cara melakukan bisnis bisa

berbeda sama sekali dari yang ditemukan di Amerika?

Persoalan ini sesungguhnya menyangkut apakah norma dan prinsip etika bersifat

universal atau terkait dengan budaya. Untuk menjawab pertanyaan ini menurut De

George, kita perlu melihat terlebih dahulu tiga pandangan yang umum. Pandangan

pertama,  bahwa norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Maka
prinsip pokok yang dipegang adalah di mana saja perusahaan beroperasi, ikuti norma dan

aturan moral yang berlaku dalam negara tersebut. Pandangan kedua, bahwa norma

sendirilah yang paling benar dan tepat. Karena itu prinsip yang harus dipegang adalah

bertindaklah dimana saja sesuai prinsip yang dianut dan berlaku di negaramu

sendiri. Pandangan ketiga, adalah pandangan yang disebut De George immoralis naif

yang mengatakan bahwa tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Karena

pandangan ini tidak benar, maka tidak akan di bahas  disini. Akan tetapi pandangan

peertama sedikit didukung oleh A. MacIntyre, menekankan bahwa setiap komunitas

mempunyai nilai moral dan budaya sendiri yang sama bobotnya dan harus dihargai.

Maka, dalam kaitan dengan bisnis internasional, perusahaan multinasional harus

broperasi dengan dan berdasarkan nilai moral dan budaya yang berlaku di negara tempat

perusahaan itu beroperasi. Inti pandangan ini adalah bahwa tidak ada norma atau prinsip

moral yang berlaku universal. Maka, pokok yang harus di pegang adalah bahwa prinsip

dan norma yang dianut negara tuan rumah itulah yang dipatuhi dan dijadikan pegangan.

Namun, yang menjadi persoalan adalah anggapan bahwa tidak ada nilai dan norma moral

yang bersifat universal yang berlaku di semua negara dan masyarakat;bahwa nilai dan

norma yang berlaku di satu negara berbeda dari yang berlaku di negara lain. Oleh karena

kitu, menurut pandangan ini norma dan nilai moral bersifat relatif. Ini tidak benar karena

bagaimanapun mencuri, merampas, tidak jujur pada orang lain dimanapun juga akan di

kecam dan dianggap sebagai tidak etis.

Yang menjadi persoalan adalah bahwa pandangan ini tidak membedakan antara

moralitas dan hukum. Keduanya memang ada kaitan satu sama lain, namun berbeda

hakikatnya.  Hukum adalah positivasi norma moral sesuai dengan harapan dan cita – cita

serta tradisi budaya suatu masyarakat atau negara. Jadi, bisa saja hukum disatu negara

berbeda dari hukum dinegara lain sesuai dengan apa yang dianggap paling penting bagi
kehidupan suatu negara dan sesuai dengan pertimbangan negara tersebut. Tapi, ini lalu

tidak berarti bahwa norma dan nilai moral antara negara yang satu dan negara yang lain

tidak sama. Bahwa prinsip tidak boleh merugikan pihak lain dalam berbisnis merupakan

prinsip universal yang dianut dimana saja, tidak bisa di bantah. Bahwa di pihak  lain di

Amerika ada undang-undang anti-monopoli ( karena monopoli merugikan banyak pihak)

sementara di Indonesia tidak ada undang-undang anti-monopoli(bahkan terjadi monopoli

ilegal) tidak berarti prinsip tidak merugikan orang lain tidak bersifat universal.

Persoalannya adalah bahwa perkembangan situasi dan kemauan politik pemerintah

berbeda sehingga ada situasi hukum yang berbeda.

Pandangan kedua mengenai nilai dan norma moral sendiri paling benar dalam arti

tertentu mewakili kubu moralisme;  bahwa pada dasarnya norma dan nilai moral berlaku

universal, dan karena itu apa yang dianggap dan dianut sebagai benar di negara sendiri

harus juga diperlakukan di negara lain ( karena anggapan bahwa di negara lain prinsip itu

pun pasti berlaku dengan sendirinya). Pandangan ini umumnya didasarkan pada anggapan

bahwa moralitas menyangkut baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh

karena itu, sejauh manusia adalah manusia., dimanapun dia berada prinsip, nilai, dan

norma moral itu akan tetap berlaku.

Namun,  pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Karena, ada bahaya bahwa

perusahaan luar memaksakan nilai dan norma moralnya yang sudah dikodifikasikan

dalam hukum tertulis tertentu untuk diberlakukan di negara dimana perusahaan itu

beroperasi. Ada bahaya bahwa perusahaan Amerika akan memaksakan hukum bisnis

tertentu ( yang dijiwai oleh prinsip moral tertentu) di negara di mana perusahaan itu

beropersi karena anggapan bahwa  prinsip dan nilai moral tertentu berlaku

universal.Persoalannya, sering perkembangan ekonomi, sosial, politik, negara tuan

rumah belum semaju perkembangan ekonomi, sosial, politik di negara asal suatu
perusahaan sehingga hukum yang berlaku di negara asal  belum tentu bisa diterapkan

begitu saja di negara tuan rumah ( kendati tidak bisa disangkal bahwa norma moral yang

menjadi dasarnya diakui di negara tuan rumah). Namun menurut De George prinsip yang

paling pokok yang berlaku universal, khususnya dalam bisnis adalah prinsip integritas

pribadi atau integritas moral. Bagi de George, dalam bisnis modern bersaing secara etnis

berarti bersaing dengan penuh integritas pribadi.

Ada dua keunggulan prinsip integritas pribadi dibandingkan dengan prinsip moral

lainnya, yang menjadi alasan mengapa De  George menganggapnya sebagai prinsip

moral paling universal bagi dunia bisnis. Pertama, prinsip integritas pribadi tidak punya

konotasi negatif seperti halnya pada prinsip-prinsip moral lainnya, bahkan pada kata

etika dan moralitas itu sendiri. Bagi banyak orang, kata etika, apalagi prinsip etika,

mempunyai nada moralitas  dan paksaan dari luar. Sebaliknya bertindak berdasarkan

integritas pribadi berarti bertindak sesuai dengan norma-norma perilaku yang diterima

dan dianut diri sendiri dan juga berarti memberlakukan pada diri sendiri norma-norma

yang juga di tuntut oleh etika dan moralitas. Dengan kata lain, prinsip integritas pribadi

mengandung pengertian bahwa norma yang dianut adalah norma yang sudah diterima

menjadi milik pribadi dan tidak lagi bersifat aksternal. Ini berarti bersaing dengan

mempertaruhkan integritas pribadi berarti bersaing dalam bisnis sesuai dengan nilai

tertinggi yang dianut pribadi tersebut. Prinsip integritas moral disini sesungguhnya sama

dengan prinsip otonomi pada Khant. Hal yang sama berlaku dalam perusahaan. Berbisnis

dengan mempertahankan integritas moral perusahaan berarti berbisnis dengan mematuhi

norma dan prinsip moral yang sesungguhnya sudah dijadikan etos bisnis tersebut. Maka,

prinsip etika bisnis disini tidak lagi menjadi sesuatu yang dipaksakan dari luar oleh

masyarakat, oleh pihak lain, ataupun oleh negara, melainkan justru telah dijadikan iklim,

jiwa, semangat, etos dari perusahaan tersebut. Secara maksimal, pelaku bisnis
diharapkan mempunyai kemauan baik dan kesadaran moral untuk berbisnis yang secara

baik, dan tidak sekedar dipaksa oleh prinsip dalam bentuk aturan-aturan bisnis yang

ketat. Ini mempunyai lingkup yang luas mencakup bertindak jujur, bertanggung jawab,

atas produk yang ditawarkan, fair dalam transaksi dagang, jaminan terhadap hak

karyawan, dan sebagainya.Yang menjadi persoalan adalah konsep integritas pribadi atau

inegritas moral lebih merupakan suatu konsep Amerika atau Barat pada umumnya. Bagi

Indonesia rasanya konsep ini tidak punya nilai dan muatan moral sama sekali. Orang

begitu mudah mengabaikannya. Orang begitu gampang melakukan tindakan yang

merusak integirtas pribadi atau nama baiknya sendiri. Bahkan integritas pribadi hampir

tidak kenal sama sekali. Berbagai kasus korupsi dalam bentuk kasus korupsi dalam

bentuk suap, kolusi, surat-surat sakti baik dalam bidang politik-birokrasi maupun bisnis

menunjukkan betapa integritas pribadi di abaikan begitu saja. Kasus Eddy Tansil dan

dugaan kolusi di MA membuat kita mempertanyakan konsep integritas moral dan pribadi

orang – orang kita,  bahkan dari orang – orang yang mempunyai kedudukan terhormat.

Orang – orang terhormat dalam masyarakat karena kedudukannya di bidang politik dan

bisnis ternyata tidak punya integritas pribadi sama sekali. Karena itu,prinsip integritas

pribadi yang dianggap De George sebagai prinsip moral paling universal bagi dunia

bisnis ternyata syarat dengan kandungan historis-kultural dan karena itu relatif sifatnya.

Ini tidak berarti Prinsip integritas moral ditolak sama sekali. Prinsip ini tetap

penting.  Hanya saja prinsip ini punya kelemahan yang tidak terelakkan seperti prinsip

moral lainnya: hanya berhenti sebagai imbauan. Oleh karena itu, sebagai moralitas pada

umumnya masyarakat tidak bisa berbuat banyak ketika orang tertentu tidak peduli pada

integritas moralnya. Maka,dalam konteks dimana integritas pribadi dan moral

mempunyai gema yang kuat. Tentu sajakita tetap optimis bahwa dalam bsinis global

yang mengandalkan mekanisme pasar yang tidak pandang bulu, integritas pribadi lama
kelaman dapat menjadi sebuah prinsip yang menentukan bagi kegiatan bisnis yang etis.

Ini terutama karena dengan mengandalkan pasar global, praktik-praktik monopolistis

dan kolusi relatif akan tergusur sehingga orang mau tidak mau akan lebih

mangandalkan integritas pribadinya, yang ditunjukkan oleh keunggulan objektifnya

dalam pasar.1

D. Pendekatan stakeholder

Stakeholder merupakan semua pihak yang berkepentingan dalam aktivitas bisnis yang


dilakukan oleh suatu perusahaan atau organisasi. Stakeholder juga dapat diartikan sebagai
suatu lingkungan masyarakat berupa individu atau institusi yang mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan praktek-praktek atau tujuan perusahaan
itu secara institusional. Adapun kepentingan yang dimaksud mencakup 3 tingkatan,
kepedulian sederhana lantaran mendapat pengaruh dari perusahaan itu (an interest ) hak
legal atau moral untuk suatu perlakuan tertentu atau suatu  perlindungan tertentu (a legal
of moral right ) dan klaim legal terhadap kepemilikan perusahaan (ownership).
Menurut Trevino dan Nelson (1995) empat unsur utama yang  berkepentingan dalam
setiap keputusan bisnis adalah konsumen, pegawai,  pemegang saham dan lingkungan
(masyarakat sebagai keseluruhan)  2

Kode Etik Terhadap Stakeholder


1. Pelanggan
a. Memberikan produk/jasa dengan kualitas terbaik sesuai kebutuhan
b. Memberikan perlakuan yang adil dalam setiap transaksi
c. Memelihara kesehatan produk dan kesehatan lingkungan konsumen
d. Tanggap dan hormat terhadap martabat konsumen \Menghormati integritas kultur
yang berlaku pada konsumen
2. Pekerja
a. Memberikan pekerjaan dan imbalan yang dapat memperbaiki kondisi kehidupan mereka
b. Memberikan kondisi yang menghormati kesehatan dan martabat pekerja
c. Bersikap jujur dalam berkomunikasi dengan pekerja dan terbuka dalam memberikan
informasi
1
https://bellalaydrus361.wordpress.com/2016/11/16/makalah-etika-bisnis/, di akses pada tanggal 7 september
2019
2
Hiludjeng SP,Sri. 2007. Pengantar Manajemen Edisi Pertama, Yogyakarta,Graha Ilmu, hlm.44
d. Bersedia mendengarkan dan sejauh mungkin bertindak atas saran, gagasan,
permintaan dan keluhan pekerja
e. Mengajak bermusyawarah apabila terjadi konflik
f. Menghindari praktik diskriminasi dan menjamin perlakuan dan kesempatan yang
sama pada pekerja sekalipun berbeda gender, usia suku dan agama
g. Mengembangkan diversifikasi pekerjaan dalam bisnis agar pekerja dapat sungguh
– sungguh bermanfaat  
h. Melindungi pekerja dari kemungkinan terkena penyakit dan kecelakaan ditempat
kerja
i. Mendorong dan membantu pekerja dalam mengembangkan  pengetahuan dan
keterampilan yang relevan dan dapat dialihkan.
j. Tanggap terhadap masalah pengangguran dalam pembuatan keputusan  bisnis dan
bekerjasama dengan pemerintah, serikat pekerja dan pihak- pihak lain untuk
menangani masalah ini
3. Pemegang Saham
a. Menetapkan manajemen yang profesional dan tekun  
b. Memperlihatkan informasi yang relevan terhadap investor
c. Menghemat, melindungi, dan menumbuhkan aset – aset investor
d. Menghormati permintaan, saran dan keluhan solusi dari investor
4. Pemasok
a. Mengusahakan terwujudnya prisip keadilan dan keujujuran  
b. Menjamin aktivitas bisnis terbebas dari pemaksaan
c. Membantu terciptanya stabilitas hubungan janka panjang dengan  pemasok
d. Berbagi informasi dengan pemasok
e. Membayar pemasok tepat pada waktunya
f. Mencari, mendukung dan mengutamakan pemasok
5. Pesaing
a. Mengembangkan pasar terbuka untuk perdagangan dan inverstasi  
b. Mengembangkan perilaku yang bersaing dan menguntungkan secara sosial
c. Menghindarkan dari pemberian gaji atau hadiah yang dapat dipertanyakan
d. Menghormati hak cipta dan hak paten
e. Menolak untuk mencuri gagasan baik inovasi maupun penciptaan  produk
6. Masyarakat
a. Menghormati hak asasi manusia dan lembaga – lembaga demokrasi  
b. Mengakui kewajiban kepada pemerintah dan masyarakat
c. Bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat
d. Mengembangkan pembangunan berklanjutan
e. Mendukung perdamaian keamanan, keanekaragaman, dan keutuhan sosial
f. Menghormati keutuhan budaya lokal

Etika dan Stakeholder


Perusahaan secara formal betul-betul merupakan entitas yang berdiri terpisah dari
institusi– institusi lain bahkan dengan manajer professional atau  pemiliknya sendiri karena
perusahaan masih tetap bisa berdiri sekalipun manajer berganti pemilik berganti. Pandangan
terhadap perusahaan seperti inilah yang disebut stakeholder view of the firm dan secara
ringkas terlihat  pada bagian skema dalam gambar yang menunjukkan seluruh pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan.
Karena peran pemilik dan manajer amat menentukan awal dari keberadaan suatu
perusahaan dimana pemilik memberi kemungkinan melalui  penyediaan fasilitas sedangkan
manajer mendapatkan mandat dari pemilik untuk mewuudkannya melaui aktivitas rill, maka
kedunya merupakan  persyaratan internal sutau bisnis yang sering digolongkan sebagai pihak
yang  berkepentingan internal (internal stakeholder )
Dengan status yang disandangnya, perusahaan membentuk perilaqku terhadap berbagai
stakeholder – nya didalam system atau struktur ekonomi tempatnya beroprasi. Perilaku itu
didasari suatu asumsi motivasional bahwa  perusahaan merefleksikan sifat hakiki manusia
ekonomi yang rasional, yaitu  berbuat sedemikian rupa untuk mendapatkan nilai sebesar-
besarnya pada  pengeluaran nilai yang paling sedikit.
Singkatnya, maksimalisasi keuntungan sebagai upaya maksimalisasi nilai perusahaan yang
dimiliki pemegang saham (stakeholder’s value). Dengan motivasi itu pula, perusahaan
menyusun strateginya.
Berlainan dengan perilaku terhadap institusi – institusi pasar (primary stakeholders) yang
bisa secara terang-terangan dan langsung dimotivasi untuk maksimalisasi keuntungan,
perilaku perusahaan terhadap institusi-institusi diluar pasar ( secondary stakeholder ) lebih
menekankan upaya untuk memperoleh citra baik keseluruhan perusahaan beserta produk dan
proses produksinya, walaupun disadari pula bahwa pada akhirnya akan mempengaruhi
suksesnya hubungan dengan institusi-institusi pasar. 3
3
Hiludjeng SP,Sri. 2007. Pengantar Manajemen Edisi Pertama, Yogyakarta,Graha Ilmu, hlm.48
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Demikian pula pemerintah nasional maupun asing,juga media massa dan

masyarakat setempat. Dalam kondisi sosial, ekonomi, politik semacam Indonesia,

masyarakat setempat bisa sangat mempengaruhi hidup matinya suatu perusahaan.

Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa memperdulikan kesejahteraan, nilai

budaya, sarana dan prasarana lokal, lapangan kerja setempat, dan seterusnya, akan

menimbulkan suasana sosial yang sangat tidak kondusif dan tidak stabil bagi

kelangsungan bisnis perusahaan tersebut Dengan demikian, dalam banyak kasus,

perusahan yang ingin berhasil dan bertahan dalam bisnisnya harus pandai menangani

dan memperhatikan kepentingan kedua kelompok stakeholder diatas secara baik.

Dan itu berarti bisnis harus dijalankan secara baik dan etis.

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr. Sondang P.Siagian, MPA. 1996.Etika Bisnis, Jakarta; PT Pustaka Binaman

Pressindo,

https://bellalaydrus361.wordpress.com/2016/11/16/makalah-etika-bisnis/, di akses pada

tanggal 7 september 2019

Hiludjeng SP,Sri. 2007. Pengantar Manajemen Edisi Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu

DR.A. Sonny Keraf. 1998.  “Etika Bisnis; tuntutan dan Relevansinya” Jakarta; Penerbit

Kanisius.
Kant, Immanuel.1980. Foundations of the Metaphisics of  Morals.  Indianapolis: Bobbs-

Merrill Educations Pub.

Smith, Adam. 1965. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. New

York: Modern Librar

Anda mungkin juga menyukai