Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PENJUALAN TEKNOLOGI
MEDICAL ULTRASOUND DI ASIA
(studi kasus)

Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh nilai


Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Bahasa Indonesia

disusun dan diajukan oleh

Maria (062.150.041)
Yohanes (062.150.100)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NUSA NIPA
MAUMERE
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

dengan rahmat, karunia, serta hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah

Bahasa Indonesia yang mengangkat topik yang terkait dengan praktik etika dalam

bisnis. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada Dosen pengampu mata

kuliah yang telah memberikan tugas ini kepada penulis. Penulis sampaikan pula

ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang telah memotivasi

penulis.

Penulis sangat berharap makalah ini tidak hanya sebagai pemenuhan tugas

kuliah mata kuliah Bahasa Indonesia, namun juga dapat berguna sebagai

penambah wawasan serta pengetahuan pembaca mengenai dampak yang

ditimbulkan dari penyalahgunaan produk. Tulisan ini sangat erat kaitannya

dengan bagaimana penerapan praktik bisnis yang etis. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata

sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi

perbaikan makalah.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Sebelumnya, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang

kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………...………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………...………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………..…………….iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………….………..……….……...........1
1.2 Rumusan Masalah………………………….………..……….……......2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Etika Bisnis…………………………..………..…………..4
2.2 Prinsip-prinsip Etika Bisnis………………………………..…..……..5
2.3 Perilaku Etis Dalam Bisnis..………………………………..…..……..7

BAB III ANALISIS


3.1 Isu-isu Yang Ditemukan Dalam Kasus…………..…...…………….12
3.2 Nilai-nilai Kehidupan…………………………………..…………….14
3.3 Sikap Manajemen Perusahaan…………..…...……………………….15
3.4 Solusi Kasus…………………………………..……………………...16

BAB IV KESIMPULAN DAN PENUTUP……………………………………21

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...22

LAMPIRAN……………………………………………………………………..24

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses bisnis, baik dalam negeri dan maupun di luar negeri, harus dipandu

oleh norma perilaku etis yang sesuai. Jika bisnis ingin mendapat tempat di

lingkungan pasar, maka struktur dan proses pengaturan yang tepat, yang

menyadari dan mempertimbangkan perspektif negara tempat proses bisnis harus

dikembangkan dan diimplementasikan dengan benar. Memperkenalkan dan

mematuhi undang-undang dan peraturan, struktur organisasi, budaya, dan kode

perilaku profesional yang dirancang untuk mendukung proses etika dapat

memiliki implikasi positif bagi persepsi tentang praktik bisnis yang baik dan

benar.

Sebuah perusahaan bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggung

jawab sosial yang baik. Kata ―etika‖ berasal dari kata Yunani ethos yang

mengandung arti yang cukup luas yaitu, tempat yang biasa ditempati, kebiasaan,

adaptasi, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Kata ―moralitas‖ dari

kata lain ―moralis‖ dan merupakan kata abstrak dari ―moral‖ yang menunjuk

kepada baik dan buruknya suatu perbuatan. Sedangkan, definisi dari etika bisnis

adalah pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis

yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara ekonomi/sosial,

dan penerapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan

1
2

bisnis. Apalagi akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya tentang

perilaku bisnis terutama menjelang mekanisme pasar bebas.

Dalam mekanisme pasar bebas diberikan kebebasan luas kepada seluruh

pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam

pembangunan ekonomi. Hal ini terjadi akibat banyaknya manajemen dan

karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi

penyimpangan norma-norma etis. Bahkan, pelanggaran etika bisnis tidak lagi

dipandang sebagai sesuatu permasalahan yang serius untuk diselesaikan hanya

untuk mendapat keuntungan.

Dalam orientasi pembelajaran dan pemahaman praktik etika bisnis, penulis

tertarik untuk menganalisis dan membahas studi kasus ―Penjualan teknologi

medical ultrasound di Asia.‖ Kasus ini layak diangkat dengan alasan bahwa

permasalahan yang dikaji terkait dengan perusahaan, kebudayaan, dan teknologi.

Kasus ini menarasikan perjalanan bisnis seorang insiyur muda ke Asia yang

menemukan fakta bahwa produk yang dijualnya bukannya menyelamatkan

kehidupan tetapi juga dapat menghilangkan kehidupan, karena adanya

penyalahgunaan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka rumusan

masalah dapat diuraikan sebagai berikut:

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa isu-isu yang dapat ditemukan dalam kasus?

2. Bagaimana nilai-nilai kehidupan seharusnya diperhatikan oleh pemangku

kepentingan?
3

3. Bagaimana seharusnya menajemen perusahaan menyikapi permasalahan

ini?

4. Bagaimana permasalahan dalam kasus dapat diselesaikan sesuai dengan

prinsip-prinsip dan aspek-aspek terkait etika bisnis?


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang tinjauan teori yang digunakan

sebagai acuan dalam mengembangkan pemahaman dalam kasus etika bisnis ini.

Bab ini antara lain akan menjelaskan tentang pengertian etika bisnis, prinsip-

prinsip etika bisnis, serta perilaku etika dalam bisnis.

2.1 Pengertian Etika Bisnis

Pemahaman dasar yang harus dipahami yakni pengertian bisnis dan etika.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, online), bisnis diartikan sebagai

usaha dagang, usaha komersil di dunia perdagangan dan bidang usaha.

Sedangkan, etika didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang

buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

Etika bisnis merupakan landasan tentang moralitas dalam ekonomi atau

bisnis dan semua pihak yang terkait untuk menghindari penyimpangan-

penyimpangan ilmu ekonomi dan mencapai tujuan atau mendapatkan laba,

sehingga kita harus menguasai sudut pandang ekonomi, hukum dan etika maupun

moral agar bisa mencapai target yang diinginkan. Moralitas selalu berkaitan

dengan apa yang dilakukan oleh manusia, aspek baik atau buruk yang dilakukan

oleh seseorang.

Menurut Yosephus (2010), pengertian etika bisnis adalah wilayah

penerapan prinsip-prinsip moral umum pada wilayah tindak manusia di bidang

ekonomi, khususnya bisnis. Jadi, secara hakiki sasarannya adalah perilaku moral

pebisnis yang berkegiatan ekonomi. Hill., et.al (2014), pengertian etika bisnis

4
5

adalah suatu ajaran untuk membedakan antara salah dan benar. Hal ini dapat

memberikan pembekalan kepada setiap pemimpin perusahaan ketika

mempertimbangkan untuk mengambil keputusan strategis yang terkait dengan

masalah moral yang kompleks. Velasques (2014), etika bisnis adalah studi yang

dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada

standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku

bisnis.

Perilaku tidak etis dalam kegiatan bisnis sering juga terjadi karena peluang

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang kemudian disahkan dan

disalahgunakan dalam penerapannya dan kemudian dipakai sebagai dasar untuk

melakukan perbuatan yang melanggar etika bisnis.

2.2 Prinsip-prinsip Etika Bisnis

Etika bisnis memiliki prinsip-prinsip yang harus ditempuh oleh perusahaan

untuk mencapai tujuannya dan harus dijadikan pedoman agar memiliki standar

baku yang mencegah timbulnya ketimpangan dalam memandang etika moral

sebagai standar kerja atau operasi perusahaan. Bertens (2000) mengemukakan

prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut:

2.2.1 Prinsip Otonomi

Prinsip otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil

keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya

baik untuk dilakukan. Atau mengandung arti bahwa perusahaan secara bebas

memiliki wewenang sesuai dengan bidang yang dilakukan dan pelaksanaannya


6

dengan visi dan misi yang dimilikinya. Kebijakan yang diambil perusahaan harus

diarahkan untuk pengembangan visi dan misi perusahaan yang berorientasi pada

kemakmuran dan kesejahteraan karyawan dan komunitasnya.

2.2.2 Prinsip Kejujuran

Kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam mendukung

keberhasilan perusahaan. Kejujuran harus diarahkan pada semua pihak, baik

internal maupun eksternal perusahaan. Jika prinsip kejujuran ini dapat dipegang

teguh oleh perusahaan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan dari

lingkungan perusahaan tersebut.

Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas

bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan

atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan

kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan

harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu

perusahaan.

2.2.3 Prinsip Tidak Berniat Jahat

Prinsip ini ada hubungan erat dengan prinsip kejujuran. Penerapan prinsip

kejujuran yang ketat akan mampu meredam niat jahat perusahaan itu.

2.2.4 Prinsip Keadilan

Perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang terkait dengan

sistem bisnis. Contohnya, upah yang adil kepada karyawan sesuai kontribusinya,

pelayanan yang sama kepada konsumen, dan lain-lain, menuntut agar setiap orang
7

diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang

rasional obyektif, serta dapat dipertanggungjawabkan.

2.2.5 Prinsip Hormat Pada Diri Sendiri

Perlunya menjaga citra baik perusahaan tersebut melalui prinsip kejujuran,

tidak berniat jahat dan prinsip keadilan.

2.3 Perilaku Etis Dalam Bisnis

Etika bisnis meneliti masalah etika dalam konteks komersial, yaitu

berbagai masalah moral atau etika yang dapat muncul dalam lingkungan bisnis

dan tugas atau kewajiban khusus yang berlaku untuk orang yang terlibat dalam

perdagangan. Secara umum, etika bisnis adalah disiplin normatif (Boatright,

2009), di mana, standar etika tertentu diasumsikan dan kemudian diterapkan.

Penilaian dibuat tentang apa yang benar atau salah. Ferrell, Fraedrich dan Ferrell

(2004) mengemukakan bahwa etika bisnis terdiri dari prinsip dan standar moral

yang memandu perilaku dalam dunia bisnis. Apakah perilaku tertentu itu benar

atau salah, etis atau tidak etis sering ditentukan oleh publik sebagaimana

diwujudkan dalam media massa, kelompok kepentingan dan organisasi bisnis

serta melalui individu, moral dan nilai-nilai pribadi. Dengan demikian, etika

dalam bisnis secara langsung terkait dengan nilai-nilai sosial, norma dan tren

bisnis global dan secara negatif terkait dengan korupsi di masyarakat. Dalam

penelitian ini, bukti ketidakpuasan sosial dengan perilaku bisnis dicari melalui

tinjauan terhadap masalah bisnis signifikan yang dilaporkan secara publik sebagai

praktik yang tidak etis.


8

2.3.1 Apa Itu Perilaku Etis Dalam Bisnis?

Sobhan (2000) berpendapat bahwa etika tertinggi dalam masyarakat mana

pun harus didasarkan pada prinsip keadilan. Sebuah masyarakat, yang merampas

warga negara yang paling produktif dari sumber daya meskipun integritas mereka

terbukti dalam penggunaan sumber daya tersebut, kemungkinan akan

mengabadikan kemiskinan serta keterbelakangan dan dalam proses akan mengikis

fondasi masyarakat demokratis. Woods (1992) mengemukakan bahwa tindakan

etis bukan, dalam analisis akhir, tanggung jawab individu semata. Sebaliknya,

sebagian besar tindakan adalah hasil dari manajer dan karyawan mengikuti

norma-norma perilaku yang diterima di perusahaan tempat mereka bekerja.

Trevino dan Nelson (1995) mendefinisikan etika sebagai prinsip, norma

dan standar perilaku yang mengatur individu atau kelompok. Mereka juga

berkomentar bahwa dua jenis faktor mempengaruhi perilaku etis: karakteristik

individu dan karakteristik organisasi. Trevino dan Weaver (1997) mengaitkan

masalah kekhawatiran tentang etika dalam praktik bisnis dengan tiga faktor: a)

kegagalan etika mengurangi reputasi; b) mengartikulasikan standar etika sekarang

membuatnya lebih mudah untuk menanggapi kritik nanti; dan c) adopsi standar

etika adalah ciri khas suatu profesi.

2.3.2 Biaya Pengaturan

Vickers (2005) mengemukakan bahwa meskipun masyarakat

menginginkan perusahaan menciptakan banyak pekerjaan dan bergaji besar,

organisasi-organisasi yang sama juga ingin membatasi biaya kompensasi dan

meningkatkan tingkat produktivitas. Di sisi lain, pelanggan ingin membeli barang


9

dan jasa dengan harga murah: ini menciptakan konflik dengan bisnis yang

memiliki tujuan dasar operasi untuk memaksimalkan keuntungan. Konflik lebih

lanjut muncul antara tuntutan masyarakat untuk mengurangi biaya polusi, emisi

karbon dan bisnis yang ingin meminimalkan biaya yang mungkin ditambahkan

oleh peraturan lingkungan ke dalam operasi mereka.

2.3.3 Stakeholder Dan Tekanan Politik

Afful (2002) mengamati bahwa masalah etika dalam pengambilan

keputusan sering menciptakan dilema bagi manajer. Dia berpendapat bahwa

manajer dapat dipengaruhi oleh kepentingan pribadi ketika mereka membuat

keputusan, dan kepentingan pribadi juga mengatur apakah keputusan tersebut

akan dilaksanakan secara efektif. Cramton dan Dees (2002) berpendapat bahwa

dalam dunia yang kompetitif dan tidak sempurna secara moral, orang-orang bisnis

dihadapkan dengan tantangan etika yang serius. Sydeuzzaman (2002) mencatat

bahwa dalam beberapa kasus bank telah memberikan sanksi pinjaman lebih

karena pertimbangan politis daripada fundamental keuangan yang layak. Jenis

budaya organisasi ini berdampak buruk terhadap persepsi etis korporasi serta

memiliki implikasi untuk penerimaan perilaku etis individu tertentu.

Badaracco (2003) mencatat bahwa sebagian besar perusahaan terjerat

dalam jaringan hubungan yang sedang berlangsung. Aliansi strategis

menghubungkan organisasi dengan pelanggan, pemasok, dan bahkan dengan

pesaing mereka. Banyak perusahaan juga memiliki hubungan yang rumit dengan

media, regulator pemerintah, komunitas lokal dan berbagai kelompok

kepentingan. Hubungan jaringan ini juga merupakan jaringan tanggung jawab


10

manajerial. Bersama-sama, mitra bisnis dan pemangku kepentingan perusahaan

memiliki berbagai klaim yang sah tetapi tidak ada perusahaan yang mungkin

dapat memuaskan semuanya. Kadang-kadang, tanggung jawab pemangku

kepentingan manajer dapat bertentangan dengan kewajiban pribadi dan organisasi

mereka.

2.3.4 Aturan Hukum Dan Peraturan

Di negara-negara, di mana sistem hukum dan peraturan berfungsi dengan

efisien, ada dampak negatif pada sektor bisnis. Dilema etis dapat terjadi karena

berbagai alasan dalam bisnis termasuk konflik agen/ prinsip yang dijelaskan oleh

Ahmed (2009). Misalnya, jika kekuasaan yang berlebihan digunakan dalam

pemberian sanksi pinjaman oleh pejabat perusahaan atau jika personel yang tidak

efisien direkrut, maka timbul konflik kepentingan antara pelaku dan agen. Paine

(2003) berpendapat bahwa sementara kepatuhan terhadap peraturan didasarkan

pada menghindari sanksi hukum, integritas organisasi didasarkan pada konsep

pemerintahan sendiri sesuai dengan seperangkat prinsip panduan. Dari perspektif

integritas, tugas manajemen bisnis etis adalah untuk mendefinisikan dan

memberikan kehidupan pada nilai-nilai panduan organisasi, untuk menciptakan

lingkungan yang mendukung perilaku yang etis dan untuk menanamkan rasa

tanggung jawab bersama di antara karyawan. Kebutuhan untuk mematuhi hukum

dipandang sebagai aspek positif dari kehidupan organisasi, bukan sebagai kendala

yang tidak disukai yang dikenakan oleh otoritas eksternal.


11

2.3.5 Korupsi Dan Penyuapan

Quddus (2001) berkomentar bahwa korupsi menimbulkan ketidakpastian

karena memberikan kekuatan yang luar biasa bagi segelintir orang dan

mengurangi kepercayaan terhadap keadilan hasil. Hal ini menyebabkan partisipasi

yang lebih rendah oleh pengusaha etis dan dapat mengakibatkan pasar yang

sangat tidak efisien, dan pada akhirnya menyebabkan runtuhnya industri. Menurut

Hurther dan Shah (2002) di negara-negara, di mana korupsi dan tata kelola yang

buruk adalah masalah yang serius, prioritas dalam upaya anti-korupsi harus untuk

menetapkan aturan hukum, untuk memperkuat institusi regulasi dan akuntabilitas,

dan untuk mendorong intervensi pemerintah untuk fokus pada peningkatan

praktik etika.

2.3.6 Kode Perilaku Etis Untuk Bisnis

Kast dan Rosenzweig (1981) mengemukakan bahwa kode etik adalah

resep untuk apa nilai-nilai seseorang seharusnya daripada deskripsi tentang apa

sebenarnya mereka. Srivastava, Johri dan Chaddha (2005) mengemukakan bahwa

organisasi perlu berurusan dengan sumber dilema etis untuk mengatasi masalah

tersebut. Proses yang lebih baik untuk memahami dan menangani dilema etis yang

dihadapi oleh para manajer berasal dari pengembangan dan penggunaan kode etik,

di mana hubungan, situasi dan keputusan dipandang dari berbagai perspektif

pemangku kepentingan, dan pertimbangan diberikan pada interaksi berbagai

sistem. yang ada dalam konteks organisasi dan kelembagaan yang mencerminkan

masyarakat kontemporer.
BAB III

ANALISIS

3.1 Isu-isu Yang Ditemukan Dalam Kasus

3.1.1 Etika Dalam Praktik Bisnis

Isu yang ditemukan dari kasus yakni adanya permasalahan terkait etika

dalam praktik bisnis tentang bagaimana teknologi medical ultrasound digunakan

di negara-negara Asia. Teknologi medical ultrasound yang diyakini oleh produsen

sebagai solusi untuk masalah kesehatan, sebaliknya di beberapa budaya Asia yang

kental dengan budaya patriarki, teknologi disalahgunakan untuk menghilangkan

kehidupan. Teknologi medical ultrasound disalahgunakan dalam keputusan untuk

menggugurkan janin perempuan. Teknologi medical ultrasound digunakan untuk

mengidentifikasi jenis kelamin janin dan menggugurkan janin berdasarkan

informasi gender. Praktik ini menjadi sangat umum di Cina, yang mengontrol

pertumbuhan populasi dengan memungkinkan keluarga hanya memiliki satu anak.

Di India, anak-anak perempuan dipandang lebih mahal bagi keluarga karena

budaya mengharuskan keluarga untuk menanggung biaya pernikahan dan mas

kawin putri mereka.

3.1.2 Pelanggaran Hukum

Praktik ini sebenarnya telah diklasifikasikan sebagai tindakan yang

melanggar hukum di sebagian besar negara-negara ini. Namun, penegakan hukum

semacam menjadi sulit dan buram, terutama di klinik yang jauh dari kota dan

regulator. Masalahnya memburuk karena banyak mesin medical ultrasound yang

12
13

dijual secara bebas di pasar barang bekas, sehingga membuat medical ultrasound

lebih tersedia dan lebih terjangkau untuk klinik-klinik ilegal.

3.1.3 Permasalah Sosial Dan Budaya

Penggunaan teknologi untuk menggugurkan janin perempuan

menciptakan masalah sosial yang besar karena laki-laki lebih banyak daripada

perempuan, mendistorsi keseimbangan gender alam yang cermat. Permasalahan

mendasar yang ditemui dari kasus yakni, permasalahan pemahaman kebudayaan.

Banyak ibu tampaknya merasa terdorong oleh tekanan budaya atau keluarga untuk

menggugurkan janin perempuan. Praktisi medis mendapat manfaat dari

kemampuan untuk melakukan diagnosis lebih cepat dan lebih akurat, tetapi

mereka juga dapat ditekan untuk menggunakan sistem ini untuk tujuan yang tidak

etis. Perusahaan tentu mendapat keuntungan dari produksi dan penjualan lebih

banyak produk ini. Tetapi perusahaan dan industri berisiko menodai reputasi

mereka jika mereka dianggap bertanggung jawab karena menjual sistem ini

kepada pengguna yang tidak sah untuk tujuan yang melanggar hukum.

Selama berabad-abad (Park, 1995), preferensi anak laki-laki telah

menyebabkan diskriminasi pascakelahiran terhadap anak perempuan; ini telah

menghasilkan praktik-praktik mulai dari pembunuhan bayi hingga pengabaian

perawatan kesehatan dan gizi, sering berakhir dengan kematian dini. Namun, pada

1980-an, teknologi medical ultrasound mulai tersedia untuk keperluan diagnostik

di banyak negara Asia, dan peluang untuk menggunakan teknologi baru untuk

pemilihan jenis kelamin segera dieksploitasi. Di negara-negara di mana terdapat

kombinasi preferensi anak lelaki, budaya keluarga kecil dan akses mudah ke
14

teknologi seleksi gender, ketidakseimbangan rasio jenis kelamin yang sangat

serius dan belum pernah terjadi sebelumnya telah muncul. Ketidakseimbangan ini

sudah memengaruhi kelompok usia reproduksi di sejumlah negara, terutama Cina,

Korea Selatan, dan sebagian India.

Rasio jenis kelamin, Sex Ratio Birth (SRB) saat lahir didefinisikan sebagai

jumlah anak laki-laki yang lahir dari setiap 100 anak perempuan, dan sangat

konsisten dalam populasi manusia di sekitar 105 kelahiran laki-laki hingga setiap

100 kelahiran perempuan. Korea Selatan adalah negara pertama yang melaporkan

BPRS yang sangat tinggi, karena penggunaan teknologi selektif jenis kelamin

yang meluas di Korea Selatan mendahului negara-negara Asia lainnya. BPRS

mulai meningkat di Korea Selatan pada pertengahan 1980-an, dan pada 1992

BPRS dilaporkan mencapai 125 di beberapa kota (Park, 1995).

3.2 Nilai-nilai Kehidupan

Kasus ini menunjukan bahwa telah terjadi pelanggaran nilai inti hak asasi

manusia, terutama bagi perempuan. Pikirkan semua anak perempuan yang tidak

akan pernah dilahirkan, jika praktik ini dibiarkan berlanjut. Di sisi lain, ada bukti

bahwa wanita merasa ditekan untuk terlibat dalam praktik ini, sehingga mereka

akan memiliki seorang putra yang akan merawat mereka. Dalam jangka waktu

yang panjang, hak asasi anak laki-laki mungkin juga dipertaruhkan, jika peluang

untuk memiliki pasangan hidup sebagai hak asasi manusia. Jika demikian, hak ini

benar-benar dalam bahaya. Akhirnya, hak asasi manusia untuk perawatan

kesehatan terbaik mungkin juga dipertaruhkan, menjadikannya masalah etika

yang sangat sulit.


15

Praktik ini sebenarnya telah mendapat kajian hukum. Bahkan praktik ini

dikategorikan sebagai praktik yang melanggar hukum di sebagian besar negara,

tetapi hukum itu tidak ditegakkan dengan baik. Penegakan hukum yang baik tentu

saja melibatkan peran pemerintah sebagai otoritas yang bertanggung jawab.

3.3 Sikap Manajemen Perusahaan

Sebelum sampai kepada sikap manajemen terhadap perusahaan, sikap

personal dari seorang yang mewakili perusahaan, insiyur muda, Pat, merupakan

sebuah kesempatan baik untuk menyuarakan nilai seseorang. Pat harus

memutuskan apakah ini adalah masalah pribadi atau masalah perusahaan. Jika ini

adalah masalah pribadi yang berimplikasi pada perusahaan, maka Pat harus

mempertimbangkan bagaimana cara agar permasalahan ini mendapatkan respons

positif dari perusahaan. Pat mungkin ingin mendidik manajemen tentang masalah

tersebut dan berbicara dalam hal risiko potensial terhadap reputasi perusahaan,

jika tidak ada upaya apapun yang dilakukan. Dia mungkin juga ingin melibatkan

rekan untuk mengangkat masalah dengannya. Ini menjadi dilemma etis untuk Pat.

Pat tentu saja berpikir tentang banyaknya kerugian yang terjadi pada masyarakat

dalam jangka panjang (versus manfaat medis yang diberikan oleh mesin).

Terkait dengan pandangan manajemen perusahaan, terjadinya hal ini, tentu

saja sulit untuk diantisipasi mengingat transparansi di dunia kita yang saling

terhubung, orang tidak pernah tahu siapa yang akan mengambil masalah dan

menyelesaikannya. Manajemen tentu harus merasa khawatir, (mungkin saja)

mendapatkan reputasi karena telah berkontribusi pada aborsi pemilihan jenis


16

kelamin. Di sisi lain, mengambil tindakan keras dapat memiliki efek negatif, jika

mereka dilihat sebagai imperialis budaya. Jadi, tindakan harus diambil dengan

kepekaan terhadap budaya lokal.

Manajemen perusahaan dapat saja belajar dari perusahaan lain di industri

ini tentang bagaimana harus berurusan dengan masalah ini. Misalnya, dengan

memulai kebijakan untuk melibatkan pelanggan, yang menyatakan bahwa mereka

akan menjual secara eksklusif kepada pengguna yang berwenang. Bahkan

perusahaan harus membuat pelanggan patuh pada kebijakan yang dibuat.

Seperti yang telah dilakukan industri lain sebelumnya, perusahaan ini

harus lebih terlibat dalam hubungan dalam rantai pasokan dari perspektif etika.

Perusahaan mungkin perlu mendapatkan beberapa dokumen hukum dari

pelanggan, menyatakan bahwa mereka patuh, tetapi ketika pertanyaan itu

diajukan, akan sulit untuk memastikan kepatuhan, tanpa menerapkan sistem

pemantauan yang mahal. Hal ini mengingat bahwa banyak dari klinik-klinik ini

berlokasi di daerah terpencil, melakukan hal itu bukanlah masalah yang

sederhana.

3.4 Solusi Kasus

Solusi kasus ini, dapat dikaji dari pengungkapan yang dilakukan oleh

seorang insiyur perusahaan. Dengan asumsi bahwa insiyur perusahaan

mengungkapkan kasus ini hingga ke ranah manajemen, manajemen seharusnya

memberikan respon yang positif. Respon positif sangat diperlukan untuk menjaga

reputasi perusahaan. Tentu saja, hal ini sulit untuk diantisipasi jika manajemen
17

tidak merespon dengan baik kasus ini. Hal ini mengingat transparansi di dunia

kita yang saling terhubung, orang tidak pernah tahu siapa yang akan seharusnya

bertanggung jawab secara langsung. Tentu saja manajemen perlu khawatir, karena

kasus ini secara jelas terkait dengan manajemen. Manajemen bisa saja

mendapatkan reputasi buruk karena berkontribusi pada aborsi pemilihan jenis

kelamin. Di sisi lain, mengambil tindakan keras dapat memiliki efek negatif, jika

mereka dilihat sebagai imperialis budaya. Jadi, tindakan harus diambil dengan

kepekaan terhadap budaya lokal.

Langkah realistis yang dapat ditempuh sebagai bentuk tanggung jawab dan

upaya penemuan solusi yakni perusahaan ini harus lebih terlibat dalam hubungan

dalam rantai pasokan dari perspektif etika. Mereka mungkin ingin mendapatkan

beberapa dokumen hukum dari pelanggan, menyatakan bahwa mereka patuh,

tetapi ketika pertanyaan itu diajukan, akan sulit untuk memastikan kepatuhan,

tanpa menerapkan sistem pemantauan yang ketat. Hal ini mengingat bahwa

banyak dari klinik-klinik ini berlokasi di daerah terpencil, melakukan hal itu

bukanlah masalah yang sederhana.

Perusahaan harus mendidik dan melatih karyawan dan klien tentang

penggunaan etis produk medical ultrasound. Perusahaan memiliki kewajiban

untuk melakukan ini, meskipun akan sulit untuk melakukannya dengan cara yang

tidak dipandang sebagai imperialisme etis. Imperialisme etis adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kode perilaku etis atau sikap

diterapkan pada komunitas atau masyarakat lain. Ini biasanya digunakan dalam

arti menghina atau merendahkan (Sagepub, online). Penerapan satu solusi yang

sesuai pada satu masyarakat secara budaya dengan masyarakat lain, dengan dalih
18

bahwa solusi yang diterapkan mewakili etika absolut (thefreedictionary.com,

online).

Perusahaan seharusnya menjelaskan mengapa mereka melakukannya

dalam perjuangan nilai-nilai inti kehidupan. Dengan kata lain, perusahaan dapat

mempekerjakan penduduk setempat dengan latar belakang budaya terkait, yang

setuju dengan pendirian perusahaan untuk melakukan pelatihan, jika mereka mau

melakukannya (aborsi pemilihan gender melanggar hukum di sebagian besar

negara-negara ini - karena itu orang mungkin dapat menemukan penduduk

setempat yang setuju dengan penjualan produk perusahaan).

Semoga, perwakilan penjualan dilatih dan dipersiapkan untuk menawarkan

respons yang dirancang dengan hati-hati secara konsisten dengan kebijakan

perusahaan. Perwakilan tersebut mungkin benar-benar menghentikan panggilan

penjualan, jika jelas bahwa mesin tersebut akan digunakan untuk tujuan itu. Jika

tidak ada arahan dari perusahaan, tenaga penjualan setidaknya harus melaporkan

ini kembali ke perusahaan.

Ini mungkin merupakan harapan terbaik untuk menangani masalah ini.

Perusahaan mungkin menambahkan label ke semua mesin, memperjelas bahwa

mereka tidak boleh digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin janin. Mereka

juga dapat menolak jasa perbaikan yang digunakan untuk tujuan pemilihan jenis

kelamin. Tapi, ini hanya akan berfungsi jika tidak ada pesaing lokal, yang bisa

langsung masuk dan mengambil alih layanan.

Tentu saja, perwakilan perusahaan harus melakukan yang terbaik untuk

memahami penyebab masalah ini, sehingga mereka dapat berupaya untuk sampai

pada solusi kreatif. Mereka mungkin bekerja dengan pemerintah dan aktivis untuk
19

berusaha melakukannya. Seluruh budaya perlu diubah untuk menyelesaikan

masalah ini, mungkin dengan mendidik masyarakat dan melakukan investasi

sosial yang mempromosikan kesetaraan bagi anak perempuan. Sebenarnya, inilah

yang dapat menjadi solusi nyata.

Dalam kasus penyalahgunaan teknologi medical ultrasound di Asia untuk

menyeleksi gender, perusahaan sebagai pemangku kepentingan, jelas, memiliki

kewenangan untuk terlibat dalam menangani semua permasalahan yang terkait

dengan produk yang dijualnya. Hal ini selaras dengan visi dan misi perusahaan

yakni untuk menyelamatkan kehidupan, bukan sebaliknya. Sesuai dengan prinsip

otonomi, perusahaan bertanggung jawab mengawasi semua lini yang terkait

dengan bisnisnya. Pelatihan dan pengawasan pihak-pihak yang terlibat dalam

bisnis seharusnya diperhatikan sungguh agar permasalahan ini dapat dituntaskan.

Penerapan prinsip kejujuran mutlak diperlukan bagi perusahaan dan semua

pihak terkait. Kejujuran harus diarahkan pada semua pihak, baik perusahaan itu

sendiri maupun pihak pemerintah dan masyarakat. Menghadapi kasus,

penyalahgunaan teknologi medical ultrasound untuk menyeleksi gender, semua

pihak seharusnya jujur agar tercipta transparasi. Transparasi ini memudahkan agar

semua pihak dapat saling mengawasi. Pengawasan yang ketat memungkinkan

semua rangkaian aktivas ke mana produk itu berjalan mulai dari perusahaan

hingga pengguna akhir yang berotoritas.

Dari kasus penyalahgunaan teknologi ultrasound, terdapat lingkup

kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa perusahaan dapat

terancam operasionalnya di Asia jika tidak didasarkan atas kejujuran. Perusahaan

harus jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak apalagi yang
20

terkait dengan aspek hukum . Demikian pula, perusahaan harus jujur dalam

mengawasi rantai pasokannya.

Perusahaan harus bersikap adil kepada pihak-pihak yang terkait dengan

sistem bisnisnya. Perusahaan harus adil pada pemerintah, masyarakat atau budaya

setempat dan juga karyawannya. Penerapan prinsip keadilan ini selaras dengan

prinsip kejujuran. Kepada pemerintah, perusahaan dan pemerintah harusnya saling

bersikap adil dan jujur dalam hal penegakan hukum. Jika saja dalam penyelidikan

pihak berwenang, penyalahgunaan produk teknologi medical ultrasound

diakibatkan kelalaian perusahaan, maka perusahaan harus siap berhadapan dengan

hukum. Kepada masyarakat, perusahaan haruslah menghindari imperialisme etis.

Sikap imperialism etis dapat berakibat buruk terjadinya benturan kebudayaan.

Kepada karyawan, untuk kasus ini, perusahaan harus memberikan pandangan

yang adil bagi insiyurnya yang membantu mengungkap permasalahan ini. Dengan

berlaku adil dan jujur kepada karyawannya, semua karyawan, perusahaan dapat

melibatkan mereka untuk menyelesaikan kasus ini.


BAB IV

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Studi kasus yang disajikan menggambarkan dilemma etis seorang insiyur

muda. Penjualan produk medical ultrasound yang diyakini dapat menyelamatkan

kehidupan, ternyata dapat disalahgunakan untuk mengakhiri kehidupan.

Penyalahgunaan produk ini terjadi di bagian besar negara Asia. Masyarakat

dengan budaya patrilineal yang kuat menggunakan produk medical ultrasound

untuk menyeleksi gender janin perempuan.

Tentu saja menjadi dilemma bagi seorang insiyur muda yang merupakan

seorang perwakilan perusahaan. Dilema ini kemudian dapat menjadi dilemma

bagi perusahaan penjual. Kasus ini tentu saja mengikat perusahaan agar terlibat

dan bertanggung jawab. Perusahaan seharusnya memberikan respon positif

dengan membahas semua implikasi yang terjadi dengan penyalahgunaan produk.

Perusahaan seharusnya melatih karyawan atau perwakilannya saat

menghadapi kasus seperti ini. Perusahaan perlu mengkaji dan mengawasi semua

lini rantai pasokannya agar pengguna akhir produk benar-benar yang memiliki

otoritas yang resmi. Pemerintah dan hukum setempat haruslah pula dihormati oleh

perusahaan. Penghormatan ini dimaksudkan agar perusahaan dapat bekerjasama

dengan pemangku kepentingan lain yang memiliki andil untuk mengatasi

permasalahan ini dalam jangka panjang. Semua implikasi ini tentu saja harus

ditilik dari penerapan standar etika dalam bisnis.

21
DAFTAR PUSTAKA

Afful, K. 2002. Effective Management in the South, R.C. Timothy. Nepal: Ekta
Books Distributors Pvt. Ltd.

Ahmed, P. 2009. Integrating Ethics Into Finance Curriculum, Independent


Business Review, Vol.2, No.2, July.

Badaracco Jr. J. 2003. Defining Moments: when Managers Must Choose between
Right and Right, Business Ethics, Fifteenth Edition. Richardson, John
E.(Editor). McGraw-Hill/Dushkin.

Boatright, J. 2009. Ethics and the Conduct of Business, Sixth Edition. Prentice
Hall.

Cramton, P. & Dees, J. 2002. Promoting Honesty in Negotiation: an Exercise in


Practical Ethics. (online), (http:\\www.repec.org, diakses 25/01/2019).

England, L. 2006. Business Ethics. (online),


(http://owl.english.purdue.edu/owl/resource/560/10/, diakses 25/01/2019.

―etika.‖ Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2019. https://kbbi.kemdikbud.go.id/


(Diakses 21 Januari 2019).

Ferrell, O., Fraedrich, J. & Ferrell, L. 2004. Business Ethics: Ethical Decision
Making and Cases, Sixth Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Hill, Charles W. L., Gareth R. Jones, Melissa A. Schilling. 2014. Strategic


Management Theory: An Integrated Approach, Eleventh Edition. Cengage
Learning.

Hurther, J. & Shah, A. 2002. Anti-corruption policies and programs: a framework


for evaluation, The World Bank, Policy Research Working Paper Series,
No. 2501, (online), (http://www.repec.org, diakses 25/01/2019).

―imperialisme etis.‖ SAGEReference. 2019.


http://sk.sagepub.com/reference/ethics/n300.xml (Diakses 11 Februari
2019).

―imperialisme etis.‖ The Free Dictionary. 2019.


https://www.thefreedictionary.com/ (Diakses 21 Januari 2019)

Kast, F. & Rosenzweig, J. 1981. Organization and Management-A Systems and


Contingency Approach. Singapore: McGraw-Hill International Book
Company.

22
23

Kees, Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.

Paine, L. 2003. Managing for organizational integrity, in Business Ethics,


Richardson, J. (Ed.), McGraw-Hill/Dushkin, 15th Edition.
Park CB, Cho NH. Consequences of son preference in a low fertility society:
imbalance of the sex ratio at birth in Korea. Popul Dev Rev 1995; 21:59–
84.

Quddus, M. 2001. Bureaucratic corruption and business ethics: the case of the
garment exports from Bangladesh, Journal of Bangladesh Studies, Vol. 3,
No. 1.

Sobhan, R. 2000. Restoring Justice to Banking Bangladesh, Bank Parikrama, Vol.


25, Nos. 2-3.

Srivastava, M., Johri, S. & Chaddha, R. (2005). Ethical Dilemma: a Perceptual


Study, Journal of the People’s University of Bangladesh, Vol. 2, No.2.

Sydeuzzaman, M. 2002. Ethics in banking, presented in the Fourth Nurul Matin


Memorial Lecture, Bangladesh Institute of Bank Management, Dhaka.

Trevino, L. & Nelson, K. 1995. Managing Business Ethics. New York: John
Wiley & Sons Inc.

Trevino, L. & Weaver, G. 1997. Ethical Issues in Competitive Intelligence


Practice: Consensus, Conflicts, and Challenges, Competitive Intelligence
Review, Vol. 8, No.1, Spring.

Vickers, M. 2005. Business Ethics and the HR Role: Past, Present, and Future,
Human Resource Planning, Vol. 28.

Yosephus, L. Sinuor. 2010. Etika Bisnis: Pendekatan Filsafat Moral Terhadap


Perilaku Pebisnis Kontemporer. Jakarta: Penerbit Obor.

Velasquez, Manuel G. 2014. Business Ethics, International Edition, Seventh


Edition. Boston: Pearson.

Woods R. 1992. Creating Ethical Corporate Cultures, in Ethics in Hospitality


Management, Hall, S. (Ed), Michigan: Educational Institute.
LAMPIRAN KASUS

PENJUALAN TEKNOLOGI MEDICAL ULTRASOUND DI ASIA

Linda Trevi~no dan Alessandro Gubbini

Dilema etika yang mengejutkan muncul untuk seorang insinyur muda


selama perjalanan bisnis pertamanya ke Asia untuk bekerja dengan pelanggan
teknologi pencitraan ultrasound perusahaannya. Dalam perjalanan panjang dengan
pesawat, Pat dengan tekun membaca buku perjalanan untuk belajar lebih banyak
tentang budaya Korea dan Cina ketika dia terkejut mengetahui bagaimana
teknologi ultrasound digunakan di negara-negara ini. Sebuah teknologi yang dia
selalu anggap sebagai cara untuk membantu orang dengan mendiagnosis penyakit,
sedang umum digunakan untuk secara sengaja mengidentifikasi dan mengganggu
kehamilan saat mengetahui janin perempuan. Sebagai seorang insinyur, Pat telah
dilatih untuk bersemangat dalam inovasi dan pemecahan masalah. Dia terbiasa
berpikir tentang teknologi ini sebagai solusi teknologi tinggi yang inovatif untuk
masalah kesehatan yang serius. Ia juga berkomitmen untuk mengembangkan
perangkat yang lebih berkualitas, lebih efisien, dan terjangkau sehingga dapat
digunakan secara lebih luas. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa dalam beberapa
budaya Asia, di mana kelebihan penduduk dikombinasikan dengan budaya
patriarki yang kuat mengarah ke preferensi untuk anak laki-laki daripada
perempuan, teknologi ini yang ia anggap inovatif, membantu, dan mendukung
kesejahteraan rakyat dapat digunakan untuk menghilangkan kehidupan
perempuan.

Karena teknologi ultrasonik telah maju dan semakin tersedia, teknologi ini
telah digunakan secara lebih luas dalam keputusan untuk menggugurkan janin
perempuan demi anak laki-laki. Setelah beberapa penelitian lebih lanjut, Pat
mengetahui bahwa praktik ini menjadi sangat umum di Cina, yang mengontrol
pertumbuhan populasi dengan memungkinkan keluarga hanya memiliki satu anak.
Di India, anak-anak perempuan lebih mahal bagi keluarga karena budaya
mengharuskan keluarga untuk menanggung biaya pernikahan dan mas kawin putri
mereka. Sebagai perbandingan, uji ultrasound merupakan pengeluaran kecil
bahkan untuk keluarga miskin ini. Pat selanjutnya terkejut mengetahui bahwa
teknologi ultrasound digunakan untuk mengidentifikasi jenis kelamin janin dan
menggugurkan janin berdasarkan informasi gender adalah melanggar hukum di
sebagian besar negara-negara ini (misalnya, di India dokter dilarang
mengungkapkan jenis kelamin janin). Namun, penegakan hukum semacam itu
sulit dan buram, terutama di klinik yang jauh dari kota dan regulator. Masalahnya

24
25

sedang diperburuk karena banyak mesin ultrasound yang dijual di pasar bekas,
sehingga membuat ultrasound lebih tersedia dan lebih terjangkau untuk klinik ini.
Meningkatnya penggunaan teknologi untuk menggugurkan janin perempuan
mulai menciptakan masalah sosial yang besar karena laki-laki lebih banyak
daripada perempuan, mendistorsi keseimbangan gender alam yang cermat. Ada
perkiraan bahwa lebih dari 150 juta perempuan ―hilang‖ dari dunia sebagai akibat
dari aborsi selektif jenis kelamin dan pembunuhan bayi perempuan. Itu sama
dengan kehilangan setiap wanita di Amerika! Sensus India tahun 2001
menunjukkan penurunan besar dalam jumlah anak perempuan relatif terhadap
anak laki-laki (927 anak perempuan untuk setiap 1.000 anak laki-laki
dibandingkan dengan 945 hingga 100 pada satu dekade sebelumnya), dan
masalahnya terus memburuk dengan meningkatnya penggunaan teknologi
ultrasound. Menurut UNICEF, Cina sekarang hanya memiliki 832 anak
perempuan untuk setiap 1.000 anak laki-laki berusia 0–4 tahun. Melihat ke masa
depan ketika anak-anak ini tumbuh dewasa, beberapa telah memperkirakan
peningkatan perdagangan perempuan untuk prostitusi dan kejahatan dengan
kekerasan ketika laki-laki muda bersaing untuk mendapatkan jumlah perempuan
yang lebih sedikit.

Dalam memikirkan apa yang telah ia pelajari, Pat mendapati dirinya


mempertimbangkan pasien, praktisi perawatan kesehatan, dan industri perawatan
kesehatan serta perusahaannya, pengembang teknologi lainnya, dan budaya yang
lebih luas yang terlibat. Pasien mendapat manfaat dari akses ke teknologi yang
menyelamatkan jiwa yang dapat mengidentifikasi penyakit sejak dini sehingga
mereka dapat diperlakukan lebih berhasil. Tetapi pasien juga dapat dirugikan jika,
karena identifikasi awal jenis kelamin anak mereka, ibu merasa dipaksa
melakukan aborsi yang bertentangan dengan keinginan mereka. Dalam budaya
ini, banyak ibu tampaknya merasa terdorong oleh tekanan budaya atau keluarga
untuk menggugurkan janin perempuan. Praktisi medis mendapat manfaat dari
kemampuan untuk melakukan diagnosis lebih cepat dan lebih akurat, tetapi
mereka juga dapat ditekan untuk menggunakan sistem ini untuk tujuan yang tidak
etis. Industri dan pengembang (termasuk perusahaan Pat) tentu mendapat untung
dari produksi dan penjualan lebih banyak produk ini. Tetapi perusahaan dan
industri berisiko menodai reputasi mereka jika mereka dianggap bertanggung
jawab untuk menjual sistem ini kepada pengguna yang tidak sah untuk tujuan
yang melanggar hukum. Bayangkan apa yang bisa dibuat media dari cerita itu.
Menurut jurnal medis Inggris yang prestisius, The Lancet (2006), penggunaan
teknologi ultrasound diagnostik yang melanggar hukum berkontribusi terhadap 1
juta aborsi janin perempuan setiap tahun. Namun, teknologi diagnostik ini masih
sangat bermanfaat bagi masyarakat di seluruh dunia dalam menyelamatkan dan
meningkatkan kehidupan jutaan pasien.
26

Bagaimana Pat harus memikirkan ini? Apakah manfaat dari teknologi bagi
masyarakat lebih besar daripada bahayanya? Bahkan jika mereka melakukannya,
apakah perusahaan ingin terhubung dengan praktik yang banyak orang anggap
tidak bermoral dan ilegal di banyak negara? Pat menemukan praktik ini sangat
tidak menyenangkan ketika melihatnya dari perspektif perempuan yang tidak akan
dilahirkan hanya karena jenis kelamin mereka. Pat bertanya-tanya, Apakah praktik
ini adil bagi mereka? Dan bukankah kita semua memfasilitasi praktik dengan
melihat ke arah lain? Apa yang akan terjadi jika diskriminasi gender semacam itu
diterima secara global sebagai praktik normal? Mungkinkah itu hal yang benar
untuk dilakukan? ’Apa yang akan organisasi kesehatan internasional seperti the
World Federation for Ultrasound in Medicine and Biology (WFUMB), yang
memberikan pelatihan dan pendidikan kepada dokter di seluruh dunia, harus
mengatakan tentang praktik seperti itu? Pat bertanya-tanya apa yang akan
dipikirkan istrinya jika dia tahu bahwa pekerjaannya melibatkan hasil yang tidak
terduga ini? Apakah dia berharap dia melakukan sesuatu? Apa tanggung jawab
pribadinya di sini? Apa tanggung jawab perusahaannya?
Karena Pat merasa sangat bingung dengan apa yang telah dia baca, dan dia
tidak sepenuhnya memahami lingkungan hukum atau budaya, dia tidak pernah
menyebutkan masalah ini kepada klien Asia-nya. Tapi itu tetap di benaknya.
Ketika dia kembali ke rumah, dia terus memikirkannya. Tidak ada struktur formal
baginya untuk mengemukakan masalah ini di dalam perusahaan, jadi dia
memutuskan untuk membahas masalah ini dengan beberapa rekan terpercaya. Dia
bertanya-tanya apakah mereka mengetahui masalah ini dan apa yang mungkin
mereka pikirkan tentang hal itu. Apakah mereka sama terganggunya seperti dia?
Ternyata mereka sama sekali tidak menyadari praktik-praktik seperti ini
sebelumnya. Itu juga tampak lebih jauh bagi mereka karena mereka belum
melakukan perjalanan ke Asia seperti dia, dan tidak ada kesepakatan tentang apa
yang harus dilakukan. Insinyur cenderung memikirkan produk hanya dalam hal
teknis — potensi kelemahan teknis dan bahaya yang dapat membahayakan pasien.
Mereka jarang bertemu dengan pengguna akhir, dan mereka tidak terlatih untuk
memikirkan implikasi budaya.
Sebagai orang Barat, semua ini sangat sulit dihadapi Pat. Dia benar-benar
lengah. Dia bertanya pada dirinya sendiri: Apa yang harus saya lakukan, jika ada?
Saya dijadwalkan untuk kembali ke negara-negara ini untuk mendukung
penggunaan teknologi kami oleh klien kami, jadi saya tidak akan bisa
menghindari masalah terlalu lama. Rasanya hampir konyol bahwa saya menjadi
sadar akan masalah ini melalui buku perjalanan. Jika bukan karena buku itu, saya
mungkin tidak akan pernah memikirkan masalah ini sama sekali. Perusahaan saya
belum mempersiapkan saya. Perusahaan tidak menawarkan pelatihan khusus
tentang masalah budaya atau etika bagi karyawan yang mereka kirim untuk
bekerja di luar negeri. Sepertinya nilai-nilai perusahaan dalam memberikan
kesempatan kepada orang-orang untuk diagnosa sebelumnya mencegah kami
27

menjelajahi potensi penyalahgunaan produk kami. Perusahaan dan industri fokus


pada bagaimana mengembangkan teknologi untuk mengidentifikasi kondisi yang
mengancam jiwa lebih awal, lebih baik, dan lebih cepat. Kami suka menganggap
diri kami dan teknologi kami sebagai penyelamat nyawa, bukan membahayakan
mereka. Nilai yang dinyatakan perusahaan adalah memberikan solusi layanan
kesehatan kepada pasien di seluruh dunia. Tetapi, dalam hal ini, teknologi kami
digunakan untuk menyelamatkan dan mengakhiri kehidupan. Apakah nilai-nilai
kita perlu diubah? Saya menganggap perusahaan kami sebagai perusahaan yang
baik dan etis, tetapi kami jelas tidak siap dalam kasus ini. Kami belum melakukan
pekerjaan rumah kami.
Bahkan jika perusahaan ingin melakukan sesuatu, Pat bertanya-tanya apa
yang bisa mereka lakukan. Perusahaan adalah original equipment manufacturer
(OEM) atau produsen peralatan asli, yang berarti tidak menjual langsung kepada
pengguna akhir. Oleh karena itu tanggung jawab untuk menempatkan teknologi
ini ke tangan yang salah tersebar luas di berbagai produsen, distributor, dan
institusi lokal. Pat juga bertanya-tanya apakah dan bagaimana perusahaan dapat
mempengaruhi pihak-pihak yang berbeda ini untuk mengambil tindakan bahkan
jika mereka memutuskan itu benar. Selain itu, perusahaan ini berada di Amerika
Serikat, dan pengguna akhir ini berada di tengah dunia.

Anda mungkin juga menyukai