Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

AKHLAK DALAM KEGIATAN EKONOMI

Disusun untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Akhlak

Dosen pengampu : Dr. Khalimi M. Ag.

Disusun oleh :

Adistya Khairani (11200162000059)

Dwi Indriati Syahbana (11200162000036)

1B

PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Pemurah dan Lagi
Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah
melimpahkan Hidayah, Inayah, dan Rahmat-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan
penyusunan makalah Pendidikan Akhlak dengan judul “Akhlak dalam Kegiatan Ekonomi” tepat
waktu.

Penyusunan makalah ini sudah kami lakukan semaksimal mungkin dengan dukungan dari
banyak pihak, sehingga bisa memudahkan dalam penyusunannya. Untuk itu kami pun tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang sudah membantu kami dalam rangka
menyelesaikan makalah ini.

Tetapi tidak lepas dari semua itu, kami sadar sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa serta aspek-aspek lainnya. Maka
dari itu, dengan lapang dada kami membuka pintu bagi para pembaca yang ingin memberikan
kritik ataupun saran demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap, semoga makalah ini bisa
bermanfaat dan menambah pengetahuan untuk para pembaca.

Jakarta, 31 Oktober 2020

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………. i


Daftar isi ………………………………………. i

BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ……………………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………. 2
1.3. Manfaat dan Tujuan ………………………………………. 2

BAB II Pembahasan
2.1 Pandangan Islam tentang ……………………………………….. 3
Harta
2.2. Pandangan Islam tentang ………………………………………... 4
Kerja/Usaha
2.3.Akhlak dalam Kegiatan ……………………………………….. 7
Ekonomi(Pertanian,Perdagangan,
Perbankan)
2.4.Akhlak dalam Mentasharufkan ……………………………………… 17
Harta …

BAB III Penutup


3.1.Kesimpulan ……………………………………… 24


Daftar Pustaka ……………………………………… 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembahasan pekerjaan menurut Islam didasarkan pada perilaku individu-invidu
yang secara nyata terjadi di setiap unit ekonomi. Karena tidak adanya batas syari’ah yang
digunakan, maka perilaku dari setiap individu dalam unit ekonomi tersebut akan
bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma dan persepsi masing-masing. Oleh karena
itu, memasukkan tatanan norma tertentu dalam pembahasan perilaku halal dan haram
dalam memenuhi kebutuhan ekonomi tidak relevan menurut pandangan sebagian dari
pelaku bisnis dan yang sepaham dengan mereka.
Agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan al-Hadits sebagai tuntunan dan
pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur segi ibadah saja
melainkan juga mengatur masalah umat dalam hal yang berkenaan dengan kerja atau
ekonomi. Seperti contohnya sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: berkerjalah untuk
duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu
seakan-akan kamu mati besok, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,
memikul kayu lebih mulia daripada mengemis, mukmin yang kuat lebih baik daripada
mukmin yang lemah, Allah SWT menyukai mukmin yang kuat bekerja. Akan tetapi di
dalam kenyataannya kebanyakan kita muslimin bersikap dan bertingkah laku justru
berlawanan dengan ungkapan-ungkapan hadits diatas tadi.
Di zaman modern ini, kita jarang menemukan bagaimana perilaku seorang
pekerja itu dikaji secara etika, baik dalam memasukan unsur pelanggaran pekerjaan yang
haram dan kewajiban untuk mencari pekerjaan yang halal dalam setiap pengambilan
keputusan seseorang dalam mencari pekerjaan atau bisnisnya. Karena pelarangan bekerja
yang dilarang dan kewajiban bekerja dengan pilihan yang halal keduanya adalah sebuah
bentuk tatanan atau ketentuan dari Allah SWT yang tidak semua orang mau
menurutinya.1

1
Nurul Ichsan, “Kerja, Bisnis dan Sukses menurut Islam” The Journal of Tauhidinomics Vol. 1 No. 2, 2015, hal. 167-
168

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan Islam tentang harta?
2. Bagaimana pandangan Islam tentang kerja/usaha?
3. Bagaimana akhlak dalam kegiatan ekonomi?
4. Bagaimana akhlak dalam mentasharufkan harta?

1.3. Manfaat dan Tujuan


1. Memahami pandangan Islam tentang harta
2. Mengetahui pandangan Islam tentang kerja/usaha
3. Memahami bagimana akhlak dalam kegiatan ekonomi
4. Mengetahui bagaimana akhlak dalam mentasharufkan harta

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pandangan Islam tentang Harta


a) Pengertian Harta
Harta dalam bahasa Arab disebut “al-mal” atau jamaknya “al-amwaal”.
Dalam al-Muhith dan lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala
sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.
Dengan demikian unta, sapi, kambing, tanah, emas, perak dan segala sesuatu yang
disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
Ibnu Asyr- mengatakan bahwa : ‘kekayaan pada mulanya berarti emas dan
perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang
disimpan dan dimiliki.
b) Unsur-unsur Harta
Menurut para fuqaha, harta dalam perspektif Islam bersendi pada dua
unsur ; Pertama, unsur ‘aniyyah dan Kedua, unsur ‘urf. Unsur ‘aniyah ialah
bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’yun). Manfaat sebuah rumah
yang dipelihara manusia tidak disebut harta, tetapi termasuk milik atau hak.
Sedangkan unsur ‘urf ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh
seluruh manusia atau oleh sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara
sesuatu kecuali mengingingkan manfaatnya, baik manfaat yang bersifat madiyyah
maupun ma’nawiyyah.
c) Kedudukan Harta dalam Islam
Islam tidak memandang harta kekayaan itu seperti pandangan mereka
yang pesimis dan antipasti, bukan pula memandang seperti pandangan kaum
materialistis yang berlebihan, tetapi Islam itu memandang harta sebagai pilar
penegak kehidupan dan cobaan atau ujian hidup.
Status kepemilikan atas harta yang telah dikuasai oleh manusia menurut
ketentuan nash Al-Qur’an adalah sebagai berikut.

3
Harta sebagai amanat (titipan) dari Allah SWT, karena manusia dalam
bahasa Einstein, tidak akan mampu menciptakan energi; yang mampu manusia
lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain.
Pencipta awal energy adalah Allah SWT, demikian pula atas harta benda yang
kita miliki, yang pasti akan diminta pertanggung jawaban.

Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa


menikmatinya dan tidak berlebih-lebihan dalam penggunaannya. Manusia
memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menikmati dan menguasai
harta. Namun tak jarang karena kekuasaan tersebut, harta menyebabkan manusia
menjadi angkuh, sombong dan membanggakan diri, sehingga lupa akan fitrahnya
sebagai seorang hamba (abdn).

Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara
mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau
tidak.

Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan


melaksanakan mu’amalah diantara sesame manusia, melalui kegiatan zakat, infak
dan sedekah.2
2.2 Pandangan Islam tentang Kerja/Usaha
a) Pengertian Kerja
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik
kebutuhan fisik, psikologis, maupun sosial. Dengan pekerjaan manusia akan
memperoleh kepuasan-kepuasan tertentu yang meliputi pemenuhan kebutuhan
fisik dan rasa aman, serta kebutuhan sosial dan kebutuhan ego.
Bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya yang dilakukan secara
bersungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset, pikir, dan dzikirnya
2
Wening Purbatin Palupi, “Harta dalam Islam” At-Tahdzib. Vol. 1 No. 2, 2013, hal. 155-161

4
untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah
yang harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik
(Khairu Ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakana bahwa hanya
dengan bekerja manusia itu memanusiakan dirinya.3
b) Falsafah Kerja
Rezeki adalah urusan Allah, manusia hanya wajib berusaha sekuat tenaga.
Orang yang melakukan kerja apa saja, lazimnya cenderung melihat pada imbalan
atau upah yang mereka terima, tanpa memikirkan apakah imbalan itu baik dan
halal. Pada umumnya orang hanya berorientasi pada Sabda Rasulullah SAW:
“Berikanlah upah kepada pekerja”, tetapi melupakan kelanjutan yang berbunyi
“Sebelum kering keringatnya”, ini berarti yang dimaksud perkerjaan yang
mendapatkan upah upah itu ialah pekerjaan yang memeras otak atau tenaga.
Sedangkan pekerjaan dalam bentuk apapun yang tidak menimbulkan suatu
tanggung jawab atau tidak mencucurkan keringat, atau tidak perlu berusaha
payah, maka tidak halal untuk menerima upah atau imbalan. 4 Sebagaimana
terdapat dalam hadits :
ُ‫فَرِيْضَةً بَعْدَ اْلفَرِيْضَةِ لِ اْلحَالَ طَلَب‬
“Bekerja mencari yang halal itu suatu kewajiban sesudah kewajiban beribadah”
(HR. Thabrani dan Baihiqi).
c) Ciri Etos Kerja Muslim
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja akan tampak
dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandasi pada keyakinan yang sangat
mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan berprestasi itu indah. Ada semacam
panggilan dari hatinya untuk terus menerus memperbaiki diri, mencari prestasi,
dan tampil sebagai bagian dari umat yang terbaik. Sebagaimana terdapat dalam
Q.S. At-Taubah/9: 105 tentang etos kerja.

3
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hal. 2-26
4
Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), hal. 36-38

5
Artinya : Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Ciri etos kerja muslim :
- Memliki moralitas yang bersih (Ikhlas)
- Memiki komitmen (Aqidah, Akad, I’tikad)
- Berpendirian kuat
- Berani menghadapi tantangan
- Memiliki sikap percaya diri
- Kreatif
- Bertanggung jawab
- Memiliki jiwa kepemimpinan
- Berorientasi ke masa depan
- Memiliki semangat perubahan
- Memiki harga diri.5

d) Tujuan Bekerja menurut Islam


Bekerja bagi umat Islam tentu tidak hanya dilandasi oleh tujuan-tujuan
yang bersifat duniawi belaka. Lebih dari itu, bekerja adalah untuk beribadah.
Bekerja akan memberikan hasil. Hasil inilah yang memungkinkan kita dapat
makan, berpakaian, tinggal disebuah rumah, memberi nafkah keluarga, dan
menjalankan bentuk-bentuk ibadah lainnya secara baik. Sebagaimana terdapat di
dalam Hadits, “Bahwa Allah sangat mencintai orang-orang mukmin yang suka
bekerja keras dalam usaha mencari mata pencaharian.” (HR. Tabrani dan
Bukhari)

5
KH. Toto Tasmara, Op. Cit., hal. 73-139

6
a. Memenuhi kebutuhan hidup
Bekerja menurut Islam adalah memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga
termasuk istri, anak-anak dan orang tua. Islam menghargai semua itu
sebagai sedekah, ibadah, dan amal shaleh.
b. Memenuhi kepentingan ibadah dan kepentingan sosial
Bila bekerja dianggap sebagai ibadah yang suci, maka demikian pula harta
benda yang dihasilkannya. Alat-alat pemuas kebutuhan dan sumber daya
manusia, melalui proses kerja adalah hak orang-orang yang
memperolehnya dengan kerja tersebut, dan harta benda itu dianggap
sebagai sesuatu yang suci. Jaminan atas hak milik perorangan, dengan
fungsi sosial, melalui institusi zakat, shadaqah, dan infaq, merupakan
dorongam yang kuat untuk bekerja.6

2.3 Akhlak dalam Kegiatan Ekonomi (Pertanian, Perdagangan, Perbankan)


2.3.1 Pengertian Akhlak Ekonomi
Kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani (Greek): Oikos dan Nomos.
Oikos berarti rumah tangga (house-hold), sedang Nomos berarti aturan, kaidah,
atau pengelolaan. Dengan demikian secara sederhana ekonomi dapat diartikan
sebagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau cara pengelolaan suatu rumah tangga7.
Dalam bahasa Arab, ekonomi sering diterjemahkan dengan al- Iqtishad, yang
berarti hemat, dengan penghitungan, juga mengandung makna rasionalitas dan
nilai secara implisit. Jadi, ekonomi adalah mengatur urusan rumah tangga, dimana
anggota keluarga yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang
berharga dan membantu memberikan jasa, lalu seluruh anggota keluarga yang
ada, ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kemudian populasinya semakin
banyak dan dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok (community) yang
diperintah oleh satu negara.
Mengatur urusan “rumah tangga” dalam ekonomi di sini berkaitan dengan
mengatur tentang pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan sejenisnya. Sedangkan
6
Ali Sumanto Alkindi, Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan
Umat, (Solo: CV. Aneka, 1997), hlm. 43-47
7
Ika Yunia Fauzia,Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syari’ah,(Jakarta:Kencana divisi dari Prenada
Media Group, 2014),hlm.3

7
kebutuhan rumah tangga berkaitan dengan masalah konsumsi, produksi, distribusi
dan investasi serta lainnya. Jadi, prinsip ekonomi adalah mengatur semua hal
yang berkaitan dengan masalah tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan
kesehariannya, baik secara individu, kelompok maupun masyarakat.
Jadi, akhlak ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-
sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan
sesungguhnya melekat pada manusia.
Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam
melakukan aktivitasnya. Akhlak menjadi indikator, penentu keberhasilan bisnis
yang dijalankan.

Etika Bisnis Dalam Islam


Dalam buku etika bisnis karangan Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar
menyebutkan bahwa etika bisnis Islam adalah norma-norma etika yang
berbasiskan Al-Quran dan Hadist yag harus dijadikan acuan oleh siapapun dalam
aktivitas bisnisnya8.
Etika bisnis Islam adalah akhlak dalam menjalankan bisnis sesuai dengan
nilai-nilai Islam, sehingga dalam melaksanakan bisnisnya tidak perlu ada
kekhawatiran, sebab sudah diyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar. Nilai
etik, moral, susila atau akhlak adalah nilai-nilai yang mendorong manusia menjadi
pribadi yang utuh9.
Etika atau akhlak mempunyai kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, baik sebagai individu anggota masyarakat maupun anggota suatu
bangsa. Kejayaan, kemuliaan umat di muka bumi tergantung akhlak mereka, dan
kerusakan di muka bumi tidak lain juga disebabkan oleh kebejatan akhlak
manusia itu sendiri. Kehidupan manusia memerlukan moral, tanpa moral
kehidupan manusia tidak mungkin berlangsung10.

Prinsip-prinsip etika bisnis menurut AlQur’an :


1. Melarang bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan (QS. 4:29). Bisnis
harus didasari kerelaan dan keterbukaan antara kedua belah pihak dan tanpa
ada pihak yang dirugikan. Orang yang berbuat batil termasuk perbuatan
aniaya, melanggar hak dan berdosa besar (QS.4:30). Sedangkan orang yang
menghindarinya akan selamat dan mendapat kemuliaan (QS.4:31).
2. Bisnis tidak boleh mengandung unsur riba (QS. 2:275).
3. Kegiatan bisnis juga memiliki fungsi sosial baik melalui zakat dan sedekah
(QS. 9:34). Pengembangan harta tidak akan terwujud kecuali melalui interaksi
antar sesama dalam berbagai bentuknya.
8
Muhammad Djakfar, Etika Bisnis, (Jakarta: Penebar Plus, 2012), hlm.29
9
Erly Juliyani, “Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ummul Qurra, Vol, 7(1), 2016, hlm.63 – 74.
10
Ibid.

8
4. Melarang pengurangan hak atas suatu barang atau komoditas yang didapat
atau diproses dengan media takaran atau timbangan karena merupakan bentuk
kezaliman (QS. 11:85), sehingga dalam praktek bisnis, timbangan harus
disempurnakan (QS. 7:85, QS. 2:205).
5. Menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan baik ekonomi maupun sosial,
keselamatan dan kebaikan serta tidak menyetujui kerusakan dan
ketidakadilan.
6. Pelaku bisnis dilarang berbuat zalim (curang) baik bagi dirinya sendiri
maupun kepada pelaku bisnis yang lain (QS. 7:85, QS.2:205)

Prinsip etika bisnis Islam menurut Qardhawi (2001) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut11:
1. Aqidah, dengan adanya penyerahan diri kepada Allah SWT maka pelaku
bisnis akan selalu menjaga perbuatannya dari hal-hal yang dilarang oleh
syariah.
2. Sidiq, sifar sidiq mendorong rasa tanggung jawab atas segala perbuatan dalam
hal muamalah.
3. Fathanah, sifat fathanah ini mendorong kearifan berfikirdan bertindak
sehingga keputusan yang dihasilkan menunjukkan profesionalisme yang
didasarkan sikap akhlaq sepereti akhlaq Rasullulah SAW.
4. Amanah/jujur, hubungan bisnis yang dilandasi kejujuran memunculkan
kepercayaan yang merupakan hal yang paling mendasar dari semua hubungan
bisnis.
5. Tabligh, kemampuan komunikasi dalam kata tabligh menunjukan proses
menyampaikan sesuatu untuk memepengaruhi orang lain melalui perkataan
yang baik.
6. Tidak melakukan praktek bisnis yang bertentangan dengan syariah, antara
lain:
a.) Produk dan jasa yang dijual haram.
b.) Gharar, adalah salah satu jual beli yang mengandung unsur penipuan dan
akad transaksinya tidak jelas.
c.) Al-Gabn dan Tadlis, gharar adalah harga yang di tetapkan jauh dari rata-
rata yang ada baik lebih rendah maupun lebih tinggi sedangkan tadlis
adalah penipuan dengan menutupi kecacatan sebuah barang yang akan di
jual.
d.) Riba, riba jual beli yaitu riba fadhl adalah kelebihan yang di peroleh dalan
transaksi tukar menukar barang.

11
Afrida Putritama, “Penerapan Eetika Bisnis Iislam Dalam Industri Perbankan Syariah (The Application Of Islamic
Business Ethics In Islamic Banking ), Jurnal Nominal, Vol ,7 (1) ,2018, 1-20

9
e.) Ihtikar, adalah menimbun barang dengan harapan mendapatkan harga
tinggi di kemudian hari.
f.) Mengurangi timbangan atau takaran.

2.3.2 Akhlak dalam kegiatan Pertanian


Kelompok tani dengan syariat Islam yang bercirikan: setia dan taat kepada Allah
SWT (ḥabl min Allah), setia dan konsisten memberikan manfaat atau pelayanan
terbaik kepada sesama manusia (ḥabl min al-nās), dan setia dan konsisten dengan
pemelihara alam dan lingkungan yang seimbang (ḥabl min al- ‘ālamīn).
Pembahasan terkait kesesuaian kegiatan pertanian dengan syariat Islam dapat
dilihat pada lingkup produksi, pemasaran, pendapatan, dan kepedulian sosial-
ekonomi.
a. Pada lingkup produksi, menghasilkan komoditaas hasil budidaya dan produk-
produk olahan yang tergolong halal sehingga menjaga ketaatan kepada Allah
SWT (ḥabl min Allah). Al-quran menekankan pentingnya kehalalan seperti
yang tercantum pada Surat Al-Mu’minun:51 sebagai berikut.
Artinya: “51. Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baikbaik, dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS Al-Mu’minun:51) (Kemenag, 2009:532).
b. Pada lingkup pemasaran, mengimplementasikan prinsip kejujuran dan prinsip
keadilan sehingga memberikan manfaat atau pelayanan terbaik kepada sesama
manusia (ḥabl min al-nās). Karim (2012:153) mengatakan “Islam mengatur
agar persaingan di pasar dilakukan dengan adil. Setiap bentuk yang dapat
menimbulkan ketidakadilan dilarang”.
Pada lingkup pendapatan tidak mengandung riba sehingga menjaga ketaatan
kepada Allah SWT (ḥabl min Allah) serta memberikan manfaat atau
pelayanan terbaik kepada sesama manusia (ḥabl min al-nās). Riba secara jelas
dilarang oleh Allah SWT seperti yang dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah
275-276 berikut. Artinya: “275. Orang-orang yang makan (mengambil riba)
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnyajual beli itu

10
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orangorang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. 276. Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan dan selalu berbuat dosa.” (QS
Al-Baqarah:275-276) (Kemenag, 2009:69).
c. Pada lingkup kepedulian social-ekonomi, melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat seperti penyuluhan dan pelatihan kepada masyarakat yang
membutuhkan sehingga memberikan manfaat atau pelayanan terbaik kepada
sesama manusia (ḥabl min al-nās).
Al-quran menjelaskan pentingnya kepedulian terhadap sesama manusia dalam
bentuk saling tolong menolong seperti yang dijelaskan pada Surat Al-
Maidah:2 berikut. Artinya: “2. .... Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.” (QS AL-Maidah:2) (Kemenag,
2009:157)

2.3.3 Akhlak Dalam Kegiatan Perdagangan


a. Pengertian perdagangan Sesuai Syariah Islam
Perdagangan atau pertukaran dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai proses
transaksi yang didasarkan atas kehendak sukarela dari masing-masing pihak.
Perdagangan seperti ini dapat mendatangkan keuntungan kepada kedua belah
pihak, atau dengan kata lain perdagangan meningkatkan utility (kegunaan)
bagi pihak-pihak yang terlibat
Dalam Al-quran, perdagangan dijelaskan dalam tiga bentuk, yaitu tijarah
(perdagangan), bay’ (menjual) dan Syira’ (membeli). Selain istilah tersebut
masih banyak lagi istilah-istilah lain yang berkaitan dengan perdagangan,

11
seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dan sejumlah perintah melakukan
perdagangan global12.

Yusuf Qardawi, dalam bukunya norma dan etika ekonomi Islam secara tegas
telah memisahkan antara nilai-nilai dan perilaku dalam perdagangan. Di
antara norma-norma atau nilai-nilai syariah itu adalah sebagai berikut13:
1. Menegakkan larangan memperdagangkan barang-barang yang
diharamkan.
Perilaku yang muncul dari memahami nilai ini adalah larangan
mengedarkan barang-barang haram, baik dengan cara membeli, menjual,
memindahkan, atau cara apa saja untuk memudahkan peredarannya.
2. Bersikap benar, amanah, dan jujur.
Perilaku yang dimaksud benar adalah ruh keimanan, ciri utama orang
mukmin, bahkan ciri para nabi. Tanpa kebenaran, agama tidak akan tegak
dan tidak akan stabil. Sebaliknya, bohong dan dusta adalah bagian dari
pada sikap munafik. Bencana terbesar di dalam pasar saat ini adalah
meluasnya tindakan dusta dan batil, misalnya berbohong dalam
mempromosikan barang dan menetapkan harga.
Amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak
mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain,
baik berupa harga atau upah.
Jujur, selain benar dan memegang amanat, seorang pedagang harus
berlaku jujur, dilandasi keinginan agar orang lain mendapatkan kebaikan
dan kebahagiaan sebagaimana ia menginginkannya dengan cara
menjelaskan cacat barang dagangan yang dia ketahui dan yang tidak
terlihat oleh pembeli.
3. Menegakkan keadilan dan mengharamkan bunga.
Perilaku dari nilai ini diantaranya adalah tidak melakukan bai’y gharar
(jual beli yang mengandung ketidakjelasan), tidak bertransaksi dengan
12
Siti Nur Azizaturrohmah, “PEMAHAMAN ETIKA BERDAGANG PADA PEDAGANG MUSLIM PASAR WONOKROMO
SURABAYA (Studi Kasus Pedagang Buah)”, JESST. Vol. 1 No. 4, 2014, hlm. 278-288.
13
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), hlm.5

12
lembaga riba, menyempurnakan timbangan dan takaran, tidak melakukan
penimbunan barang dengan tujuan mempermainkan harga, bersegera
dalam membayar hutang kalau sudah tiba waktunya, melakukan
pencatatan terhadap semua transaksi usaha, dan membayar gaji karyawan
tepat waktu.
4. Menerapkan kasih sayang dan mengharamkan monopoli.
Kasih sayang dijadikan Allah lambang dari risalah Muhammad SAW.
Islam ingin menegakkan dibawah naungan norma pasar. Kemanusiaan
yang besar menghormati yang kecil, yang kuat membantu yang lemah,
yang bodoh belajar dari yang pintar, dan manusia menentang kezaliman.
Oleh sebab itu, Islam mengharamkan monopoli, satu unsur yang berlaku
dalam paham kapitalis disamping riba. Yang dimaksud monopoli ialah
menahan barang dari perputaran di pasar sehingga harganya naik.
Di antara perilaku yang berhubungan dengan nilai ini adalah tidak
menggusur pedagang lain, tidak monopoli, dan tidak menjelek-jelekkan
bisnis orang lain.
5. Menegakkan toleransi dan persaudaraan.
Salah satu moral terpuji ialah sikap toleran dan menjauhkan faktor
eksploitasi. Tindakan eksploitasi banyak mewarnai dunia perdagangan,
terutama perdagangan yang berada dibawah naungan kapitalis. Salah satu
etika yang harus dijaga adalah menjaga hak-hak orang lain demi
terpeliharanya persaudaraan. Jika individu dalam sistem kapitalis tidak
mengindahkan hal-hal yang berkaitandengan etika seperti tidak
mengindahkan perasaan orang lain, tidak mengenal akhlak dalam bidang
ekonomi, dan hanya mengejar keuntungan, maka sebaliknya, Islam sangat
memperhatikannya. Islam menganjurkan kepada pedagang agar mereka
bersedekah semampunya untuk membersihkan pergaulan mereka dari tipu
daya, sumpah palsu dan kebohongan.

6. Berpegang pada prinsip bahwa perdagangan adalah bekal menuju akhirat.

13
Bekal Pedagang Menuju Akherat, salah satu moral yang juga tidak boleh
dilupakan ialah, meskipun seorang muslim telah meraih keuntungan jutaan
dolar lewat perdagangan dan transaksi, ia tidak lupa kepada Tuhannya. Ia
tidak lupa menegakkan syariat agama, terutama shalat yang merupakan
hubungan abadi antara manusia dan Tuhannya. Perilaku yang
berhubungan dengan nilai ini diantaranya adalah tidak bertransaksi pada
waktu shalat jumat, tidak meninggalkan shalat/tidak melalaikan diri dari
ibadah, niat yang lurus, selalu ingat kepada Allah dalam berdagang,
mengukur waktu berdagang dan puas dengan keuntungan yang diperoleh,
menghindari syubhat, dan membayarkan zakat.

2.3.4 Akhlak Dalam Kegiatan Perbankan


a. Pengertian Perbankan
Kata perbankan berasal dari kata banque dalam bahasa Prancis dan banco
dalam bahasa Italia, yang artinya adalah peti atau almari. Pada abad ke-12,
kata banco di Italia merujuk pada meja, counter, atau tempat usaha penukaran
uang14.
Sebenarnya tidak ada istilah “bank” secara literal dalam konsep Islam
namun secara fungsional transaksi perbankan telah ada sejak masa Rasulullah
SAW contohnya pengelolaan zakat, shadaqah, ghanimah (rampasan perang),
bai’ (jual-beli), dayn (utang dagang), dan mal (harta) yang memiliki peran
dalam kegiatan ekonomi masyarakat sehingga kemudian bank syariah
didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang
yang operasionalnya disesuaikan dengan prinsip Islam.
Perbedaan pokok bank syariah dengan bank konvensional adalah kegiatan
usaha bank syariah berlandaskan pada prinsip syariah yaitu prinsip pembagian
keutungan dan kerugian (profit and loss sharing principle) dan tidak mengenal
konsep bunga.
Secara teori, ada tiga hal yang menjadi ciri dari pembiayaan berbasis
syariah, yaitu 1) bebas bunga, 2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan 3)
perhitungan bagi hasil tidak dilakukan di muka. Berbeda dengan kredit
konvensional yang memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah
menghitung hasil setelah periode transaksi berakhir.
14
Afrida Putritama, “Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam Industri Perbankan Syariah”,Nominal. Vol.7.No.1, 2018,
hlm.1 – 20.

14
Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil dilakukan setelah
ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif. Sistem bagi
hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang mempunyai
potensi untung dan rugi15.

b. UndangUndang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan


Syariah yang menyatakan bahwa kegiatan yang berlandaskan prinsip syariah
adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur sebagai berikut (Guza,
2008):
1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara bathil/tidak sah antara lain
transaksi pertukaran barang yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu
penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang
memberikan syarat nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untunguntungan;
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas,tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan kecuali diatur lain
dalam syariah.
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah.
5. Zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.

c. Pengawasan sesuai Prinsip Etika Bisnis Islam


Berdasarkan surat edaran bank indonesia nomor 8/19/DPBs tahun 2006
tentang pedoman pengawas syariah dan tata kelola pelaporan hasil
pengawasan bagi dewan pengawas syariah maka kewajiban Dewan Pengawas
Syariah (DPS) adalah sebagai berikut16 :
1. Transaksi Mudharabah
1.) Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah
disampaikan oleh bank kepada nasabah secara tertulis maupun lisan
mengenai persyaratan investasi Mudharabah;
2.) Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilaksanakan sesuai
prinsip syariah;
3.) Memastikan adanya persetujuan dalam perjanjian investasi
Mudharabah;
4.) Memastikan terpenuhinya syarat dan rukun Mudharabah;
15
Arman,Taslim,Nurjannah, “Penerapan Bank Pertanian Syari’ah sebagai upaya meningkatkan hasil pertanian dan
Pemerataan Ekonomi di Sulawesi Selatan dalam menghdapi AEC “,Pena. Vol.1.No.2, 2015, hlm.180-189
16
Afrida Putritama, Op.cit. hlm. 1 – 20.

15
5.) Memastikan bahwa kegiatan investasi tidak bertentangan dengan
syariah.
2. Transaksi Musyarakah
1.) Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah
disampaikan oleh bank kepada nasabah secara tertulis maupun lisan
mengenai persyaratan investasi Musyarakah;
2.) Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilaksanakan sesuai
prinsip syariah;
3.) Memastikan adanya persetujuan dalam perjanjian investasi
Musyarakah;
4.) Memastikan terpenuhinya syarat dan rukun Musyarakah;
5.) Memastikan bahwa biaya operasional telah dibebankan bersama modal
bersama Musyarakah;
6.) Memastikan bahwa kegiatan investasi tidak bertentangan dengan
syariah.
3. Transaksi Murabahah
1.) Memastikan barang yang diperjual belikan tidak haram;
2.) Memastikan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan
harga jual senilai harga beli plus margin;
3.) Meneliti apakah akad wakalah telah dibuat oleh bank secara terpisah
dari akad Murabahah;
4.) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip murabahah dilakukan setelah
adanya permohonan nasabah dan perjanjian pembelian suatu barang
atas suatu aset kepada bank.
4. Transaksi Salam dan Salam paralel
1.) Memastikan barang yang dijual tidak haram;
2.) Memastikan bayaran atas barang salam kepada pemasok telah
dilakukan diawal kontrak secara tunai sebesar akad salam;
3.) Meneliti bahwa akad salam telah sesuai dengan fatwa DSN-MUI;
4.) Meneliti kejelasan akad salam yang dilakukan dalam format salam
paralel atau akad salam biasa;
5.) Meneliti bahwa keuntungan bank syariah atas praktek salam paralel
diperoleh dari selisih antara harga beli dan dari pemasok dengan harga
jual kepada nasabah/ pembeli akhir.

5. Transakasi istishna’ dan istishna paralel


1.) Memastikan barang tidak haram;

16
2.) Meneliti apakah bank membiayai pembuatan barang yang diperlukan
nasabah sesuai pesanan dan kriteria yang telah disepakati;
3.) Memastikan bahwa akad istishna dan akad istishna paralel dibuat
dalam akad yang terpisah;
4.) Memastikan bahwa akad istishna yang sudah dikerjaan sesuai
kesepakatan hukumnya mengikat.
6. Transaksi Ijarah dan IMBT
1.) Memastikan penyaluran dana berdasarkan prinsip ijarah tidak
dipengaruhi untuk kegiatan yang bertentangan dengan prinsip syariah;
2.) Memastikan bahwa akad pengalihan kepemilikan dalam IMBT
dilakukan setelah akad ijarah selesai, dan dalam akad ijarah, janji
(wa’ad) untuk pengalihan kepemilikan harus dilakukan saat
berakhirnya ijarah;
3.) Meneliti pembiayaan berdasarkan prinsip ijarah;
4.) Memastikan besar ijarah dengan menggunakan akad ijarah telah
disepakati diawal dalam bentuk nominal bukan presentase.
7. Transaksi pinjaman Qardh
1.) Meneliti apakah pembiayaan yang diberikan berdasarkan prinip qardh;
2.) Meneiti bahwa nasabah yang terkena sanksi denda adalah nasabah
yang benarbenar lalai;
3.) Memastikan bahwa bank telah memberikan kelonggaran waktu yang
cukup kepada nasabah tersebut untuk melunasi kewajibannya apabila
mengalami penurunan usaha;
4.) Meneliti apakah pendapatan yang diterima bank dari nasabah atas
pengenaan sanksi telah diaki sebagai sumber dana kebajikan;
5.) Memastikan sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan qardh
konsumtif dan bersifat sosial;
6.) Memastikan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan
qardh dalam rangka dana talangan nasabah adalah berasal dari modal
bank.

Mekanisme pengawasan syariah lainnya adalah audit syariah. Kegiatan ini


dilakukan oleh unit audit internal perusahaan secara rutin untuk
meyakinkan bahwa semua transaksi yang telah dilakukan oleh bank
syariah telah memenuhi prinsip etika bisnis islam dan peraturan yang
ditetapkan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS)

2.4 Akhlak dalam Mentasharufkan Harta

17
  Pemanfaatan harta dalam Islam dipandang sebagai kebaikan. Kegiatan ini
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun ruhani sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat atau yang biasa disebut dengan Falâh.
Seseorang yang ingin mendapatkan kebahagian dunia akhirat dituntut harus mampu
berjalan pada ‘jalan Ilahi’. Artinya, tunduk dan patuh pada peraturan dan ketentuan yang
telah Allah SWT ciptakan bersamaan dengan pelaksanaan segala aktifitas ekonomi
manusia, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai pemanfaatan harta yang dilakukan
oleh umat muslim. Allah SWT berfirman :
”Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” { QS. Al-Baqarah : 168 }
Orang yang menggunakan dan memanfaatkan hartanya sesuai petunjuk Allâh SWT dan
Rasulullah SAW, maka balasan sempurna ia dapatkan di hari kiamat, seperti dijelaskan
dalam firman Allâh SWT
, ْ‫ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُم‬ ِ‫ۚ وَمَا تُنْفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّه‬ ْ‫وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُم‬
َ‫وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُون‬
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allâh), maka pahalanya itu
untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena
mencari keridhaan Allâh. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.
[Al-Baqarah/2:272]

Inilah target sebenarnya yang dikejar oleh Islam lewat konsep ekonominya di bidang
konsumen17.
1. Menafkahkan Harta Demi Kebaikan dan Menjauhkan Sifat Kikir
a. Menggunakan Harta Secukupnya
Memproduksi dan memiliki barang atau harta memang hak semua manusia.
Namun kepemilikian kita atas harta tersebut adalah bukanlah hanya tujuan
semata, tapi semata-mata hanyalah sebuah sarana untuk dapat menikmati karunia
17
Abdul Aziz, Dasar Ekonomi Islam, ( Cirebon:Cv.Elsi Pro, 2015), hlm.130 – 132.

18
Allah dan wasilah untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara
umum.
Memang harta itu adalah sebuah pijakan bagi seorang manusia, memang hidup
manusia tidak akan merasa sempurna tanpa harta namun tetap kita harus
menyadari sifat daripada harta itu sendiri.
Sebuah harta juga tidak diperkenankan hanya disimpan, diperbanyak, dan hanya
dihitung-hitung saja tanpa dimanfaatkan. Itu merupakan sebuah penyimpangan
petunjuk Tuhan, sunnah mukmin, dan memungkiri keberadaan ikhtilaf.

b. Wajib Membelanjakan Harta


Perintah diwajibkannya membelanjakan harta tercantum setelah anjuran
beriman kepada Allah Swt dan Nabi-Nya. Ini merupakan pertanda, bahwa
perintah membelanjakan harta bukanlah hanya sekedar anjuran yang boleh
dikerjakan atau ditinggalkan. Kombinasi antara Iman dan Infak banyak terdapat
dalam al-Qur‟an, misalnya “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang
mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami
anugrahkan kepada mereka.”
Dari ayat al-qur’an tersebut bahwa al-Qur’an telah menetapkan infak dari
sebagian rezeki Allah. Artinya yang dinafkahkan itu hanya sebagian saja, dan
sebagian lainnya boleh disimpan.
Barang siapa yang membelanjakan sebagian dari yang diperolehnya, maka ia
jarang mengemis kepada orang lain. dan Nabi telah mempraktekannya terlebih
dahulu, Nabi menyimpan sebagian hartanya untuk kebutuhan keluarganya selama
satu tahun. Dan tindakan ini tidak menyimpang dan tidak bertentangan dengan
sikap tawakal dan zuhud karena hal itu sesuai dengan hukum kausalitas
(sunatullah) yang telah disyariatkan.
Ada dua sasaran untuk memebelanjakan harta, yaitu
(1) Fisabilillah, dan (2) Diri dan keluarga
2. Islam Memerangi Tindakan Mubadzir
Islam adalah yang memerangi kekikiran dan kebakhilan, dengan kata lain Islam
mewajibkan kepada umatnya untuk membelanjakan harta miliknya untuk memenuhi

19
diri pribadi dan keluarganya dan menafkahkannya di jalan Allah dengan tidak
berlebih-lebihan. Dasar pijakan yang kedua adalah dilarangnya sikap mubadzir dan
berlebih-lebihan, melainkan konsumen bersikaplah sederhana, karena harta yang
mereka gunakan akan dipertanggung jawabkan di hari perhitungan, seperti yang
dikatakan oleh Nabi saw, “Tidak beranjak kaki sesorang pada hari kiamat, kecuali
setelah ditanya empat hal, salah satunya tentang harta yang ia miliki darimana
diperolehnya, dan kemana dibelanjakannya”

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang
miskin dan orang yang dalam perjalanan dan  dan janganlah kamu menghambur-
hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya.”  
{ QS. Al-Israa’ : 26-27}

3. Sikap Sederhana
Hidup sederhana adalah tradisi hidup seorang muslim, baik dalam membeli pakaian,
makanan, minuman, tempat tinggal atau dalam segi kehidupan lainnya.
Kesederhanaan bukan berarti menggambarkan kehidupan dalam level terendah.
Dalam sub-bahasan ini, kesederhanaan diartikan konsumsi moderat yaitu dengan
menjauhi pola konsumsi berlebihan conspicuous consumption atau menjauhi perilaku
bermewah-mewahan. Kesederhanaan adalah jalan tengah dari dua cara konsumsi yang
ekstrim yaitu boros (tabzîr) dan kikir (bakhil).
”Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” { QS. al-Furqân/ 25 : 67 }
a. Sikap sederhana dalam membelanjakan uang saat krisis
Jika pendapatan seseorang kecil, maka seorang itu akan dengan sendiri-nya hidup
dalam kesederhanaan.
Sebagaiaman ditunjukan oleh al-Qur’an dalam kisah Nabi Yusuf as”.... maka apa
yang tuai hendaklah biarlah ia di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan.
Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang

20
menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit) kecuali
sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.
Ayat tersebut menunjukan, agar manusia selamat dari masa-masa krisis, yaitu
dengan cara mengurangi barang yang yang dibelanjakan selama tujuh tahun pada
masa panen, agar kelak dapat digunakan pada masa krisis.

b. Kebebasan individu dan kemaslahatan orang lain


Syari‟at Islam menghalalkan umatnya bebas menafkahkan hartanya dalam hal
kebaikan tentunya yang dihalalkan oleh Allah Swt. Namun bisa saja Islam
melarang membelanjakan harta utuk barang yang halal, tapi tidak maslahat buat
orang lain.

c. Sederhana dalam menggunakan uang Negara


Sikap sederhana tidak hanya menutuntut diri seseorang secara pribadi, namun
kesederhanaan juga menuntut diri secara kehidupan bernegara, tentunya dalam
membelanjakan uang negara. Dan ini berlaku bagi semua jajaran, mulai dari
kepala negara, menteri, gubernur, sampai jajaran tingkat bawah. Dan hal itu wajar
saja, karena seorang pemimpin umat khususnya umat Islam sepantasanya menjadi
suri teladan bagi rakyatnya dalam menjauhkan diri dari korupsi, memamerkan
kemewahan dan kemegahan.

d. Menetapkan hukum disamping bimbingan dan pengarahan


Dalam hal ini Islam tidak hanya memberikan bimbingan dan pengaraha atau
menyandarkan pada insting keagamaan tetapi juga menetapkan undang- undang
sebagai sarana ampuh menekan mereka yang hidup mewah. Islam melarang
industri minuman keras. Islam juga melarang cawan yang terbuat dari emas atau
perak, dan melarang segala bentuk riba, bar dan klab malam. Dan semua itu
tertulis dlaam undang-undang Islam. Islam diharapkan menjaga dan
menegakannnya dan menjatuhkan sanksi kepada mereka yang melanggarnya.

21
4. Pemanfaatan Harta Untuk Masa Depan
 Dalam Islam terdapat anjuran untuk memperhatikan kepentingan hari esok atau masa
datang, Allah SWT berfirman :
”Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” { QS. al-Hasyr : 18 }
Ayat tersebut merupakan landasan dari pemanfaatan harta untuk tujuan masa datang.
Bertolak dari pandangan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat tiga
pilihan dari aktifitas pemanfaatan harta.
1.) Pilihan terhadap pemanfaatan harta untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi.
Keberadaan pilihan pertama merupakan esensi dari kepercayaan kepada Allah
SWT yang ter-implementasi dalam setiap aktifitas pemanfaatan harta (konsumsi)
yang dilakukan seorang Muslim. Artinya, dalam setiap aktifitas pemanfaatn harta
yang dilakukan oleh manusia akan menimbulkan dua efek terhadap kehidupannya.
Efek pertama adalah duniawi yaitu terpenuhinya kebutuhan hidup mereka yang
ter-implementasi melalui pemenuhan enam kebutuhan dasar manusia; keimanan
(dîn), kehidupan (nafs), keluarga/keturunan (nasl), pendidikan (aql) ,kekayaan
(mâl) dan lingkungan (bii’ah).
Sedang efek kedua adalah ukhrawi yaitu beribadah atau mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Dalam hal konteks ini, pilihan terhadap zakat, sedekah, wakaf
termasuk ke dalam bagian pemanfaatan harta untuk kepentingan ukhrowi ukhrawi.
2.) Pilihan terhadap pemanfaatan harta saat ini dan masa datang. 
Saat ini berarti segala pilihan pemanfaatan harta ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan saat ini (sekarang). Sedangkan, masa datang berarti ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan di masa mendatang yang telah diprediksi pada saat
pemenuhan kebutuhan saat ini. Pilihan masa datang, dapat direalisasikan dalam
berbagai cara, misalnya :
Pertama, melalui tabungan sebagai langkah penghematan dari kegiatan
pemanfaatan harta saat ini yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan lain di masa datang.

22
 Kedua, melalui investasi. Investasi  merupakan sarana untuk memproduktifkan
kekayaan seseorang. Dengan investasi, seseorang dimungkinkan untuk memiliki
pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat ini
atau mendatang.
3.) Pilihan terhadap tingkat kebutuhan hidup manusia yang
meliputi Darûriyyât, Hajjiât dan Tahsiniyât.
Pilihan ketiga didasari dari penetuan terhadap urutan prioritas yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia sebagai konsumen.

BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

23
Harta didefenisikan sebagai Segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang atau
kelompok berupa kekayaan, atau barang perdagangan, rumah, uang, hewan dan lain
sebagainya yang cenderung ingin dimiliki, dikuasai dan dimanfaatkan oleh manusia.
Harta dalam Islam pada hakikatnya adalah amanah (titipan) dari Allah SWT. perhiasan
hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dan tidak berlebih-lebihan
dalam penggunaannya,Dan juga merupakan ujian keimanan serta sebagai bekal ibadah
yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan mu’amalah diantara
sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah.
Dalam Memenuhi kebutuhan hidup serta kepentingan ibadah dan sosial bekerja
harus dilakukan dengan sungguh – sungguh yaitu mengerahkan seluruh asset, pikir,
dan dzikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba
Allah yang harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik
(Khairu Ummah).Islam mengajarkan agar manusia mencari rezeki/harta melalui suatu
jalan yang halal, yaitu jalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan hukum.
Serta memperhatikan Akhlak dan etika dalam ekonomi seperti dalam kegiatan bisnis,
berupa pertanian, perdagangan ataupun lingkup perbankan sebagai suatu usaha
mempergunakan sumber- sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan –
kebutuhan sesungguhnya yang melekat pada manusia.
Dalam konteks pembelanjaan harta, Islam mendorong penggunaan barang dan
jasa yang halal, baik dan bermanfaat kepada setiap muslim, Islam juga melarang
seorang muslim membelanjakan hartanya dan menikmati kehidupan duniawi ini secara
boros dan berlebih-lebihan,namun dalam hal (pembelanjaan) sedekah untuk
meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat dan menyebarluaskan ajaran-ajaran
Islam, konsep berlebih lebihan tersebut tidak berlaku. Tidak ada pembatasan jumlah
dalam belanja jenis ini (sedekah) dan setiap pembelanjaan untuk keperluan tersebut
akan mendapatkan imbalan (pahala/kebaikan) dari Allah.

DAFTAR PUSTAKA

24
Ichsan, Nurul. 2015. “Kerja, Bisnis dan Sukses Menurut Islam” The Journal of Tauhidinomics, 1(2): 167-
168. http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/tauhidinomics/article/download. (30 Oktober 2020)

Palupi, W. P. 2013. “Harta dalam Islam” At-Tahdzib, 1(2): 155-161.


http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tahdzib/article. (31 Oktober 2020)

Tasmara, Toto. 2002. Membudayakan Etos Kerja Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Asy-Sya’rawi, M. M. 1992. Jiwa dan Semangat Islam. Jakarta: Gema Insani Press.

Alkindi, A. S. 1990. Bekerja Sebagai Ibadah: Konsep Memberantas Kemiskinan, Kebodohan dan
Keterbelakangan Umat. Solo: CV. Aneka.

Fauzia, Ika Yunia.2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Perspektif Maqashid al-Syari’ah. Jakarta:Prenada
Media Group

Azizaturrahmah, Siti Nur. 2014. “Pemahaman Etika Berdagang Pada Pedagang Muslim Pasar
Wonokromo Surabaya(Studi Kasus Pedagang Buah)”.JESST, 1(4): 278 – 288.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1996. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta:Bumi Aksara.

Putritama, Afrida. 2018. “Penerapan Etika Bisnis Islam Dalam Industri Perbankan Syariah”. Nominal,
7(1):1 – 20.

Nurjannah, Arman Taslim. 2015. , “Penerapan Bank Pertanian Syari’ah sebagai upaya meningkatkan
hasil pertanian dan Pemerataan Ekonomi di Sulawesi Selatan dalam menghdapi AEC”. Pena, 1(2): 180 –
189.

Aziz, Abdul. 2015. Dasar- Dasar Ekonomi Islam. Cirebon: Cv.Elsi Pro.

Muhammad Djakfar. 2012. Etika Bisnis. Jakarta: Penebar Plus.

Juliyani, Erly.2016. , “Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ummul Qurra,7(1):63 – 74.

25

Anda mungkin juga menyukai