Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANALISA MATERI

Praktik Praktik Beragama Di Lingkungan Sekitar Yang Menunjukkan


Terjadinya Asimilasi Antara Nilai Nilai Islam Dan Budaya Lokal

(TRADISI TAHLILAN KEMATIAN DALAM MASYARAKAT BETAWIE)

ALI UMAR

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berasaskan Pancasila sebagai


ideologi Negara, dalam Pancasila terdapat lima sila yang menjadi dasar Negara
yang salah satunya sila pertama adalah Taqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sila pertama ini menjelaskan bahwa warga negara Indonesia harus ber-Tuhan atau
mempercayai adanya Tuhan, karena sejatinya manusia hanyalah mahkluk biasa
dan tidak sempurna, jika tidak adanya Tuhan maka manusia beserta alam dunia ini
tidak akan ada, karena Tuhanlah yang menciptakan segalanya, jika manusia hidup
tanpa Tuhan atau tidak mempercayai ajaran agama bagaikan hidup tanpa aturan.

Sebelum datangnya agama di Nusantara (sekarang Negara Kesatuan


Republik Indonesia) para masyarat dahulu memiliki suatu kepercayaan dinanisme
dan animisme. Masyarakat dahulu lebih erat dengan suatu peraturan adat yang
menjadi suatu kebudayaan dan ciri khas disuatu lingkungan masyarakat tersebut.
Bisa diketahui juga kelompok masyarakat tersebut sering disebut Suku, dan di
Indonesia sendiri banyak terdapat Suku diberbagai wilayah ditiap pulau seperti
suku sunda, baduy, bugis, Madura, jawa dan lain-lain. Setiap Suku di Nusantara
memiliki berbagai keanekaragaman budaya yang berbeda-beda.

Dalam ajaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasullullah Tuhan adalah
Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi (Qs. Al-A’raf 7:54) dan pedoman
hidup umat muslim adalah Al-Qur’an, Hadist dan Ijtma (keputusan para Ulama)
yang mengajarkan dan menjelaskan tentang tauhid, aqidah, akhlak dan syariat.

Nusantara adalah negeri yang kaya tradisi. Tahlilan salah satunya. Tradisi
itu sudah mengakar kuat sejak nenek moyang bangsa menganut kepercayaan
animisme. Tiada yang dapat menggantikannya. Termasuk pengaruh Hindu-
Buddha. Ulama Islam pun mengadopsinya sebagai ritus keagamaan. Ajian
menghormati orang meninggal lalu lestari. Bahkan menyatu dengan kebudayaan
Islam. Termasuk dalam daur hidup orang Betawi. Karenanya, tahlilan menjelma
sebagai perekat tali persaudaraan orang Betawi.

Penghormatan kepada orang yang meninggal dunia bukan cuma monopoli


orang Eropa belaka. Di Nusantara, ritus kematian dilakukan meriah, terkadang
juga megah. Tradisi itu dihadirkan untuk mendoakan orang tua, saudara, nenek,
kakek, atau siapa saja yang meninggal dunia.

Apalagi penghormatan kepada orang meninggal telah langgeng sejak


nenek moyang bangsa menganut sistem kepercayaan animisme. Dalam sistem
kepercayaannya, roh orang yang baru meninggal dunia akan kembali ke rumah
untuk mengunjungi keluarganya. Jika penghormatannya dianggap sepi, roh itu
mati akan murka dan mengganggu kehidupan orang yang masih hidup.

Ritus kematian itu berkembang. Roh orang mati dipercaya dapat


menentukan kebahagiaan. Atau sebaliknya, kesesialan bagi mereka yang masih
hidup. kepercayaan tersebut mengakar dalam tiap sendi kehidupan kaum
bumiputra. Dari bangsawan hingga jelata.

Ritus kematian ala Nusnatara jadi tergantikan. Pengaruh tradisi Hindu-


Buddha tak juga mampu menggantinya. Islam pun demikian. Akan tetapi,
pendakwah atau ulama Islam justru ambil jalan tengah. Nilai-nilai Islam yang
luwes dan tak frontal digunakan. Alhasil, ritus penghormatan orang mati
diadopsinya. Tradisi itu kemudian langgeng dikenal sebagai tahlil atau tahlilan.

Ketika agama Hindu dan Buddha masuk di Indonesia, kedua agama ini
tidak mampu merubah tradisi animisme tersebut. Bahkan, tradisi tersebut
berlangsung terus sampai agama Islam masuk ke Indonesia yang dibawa oleh para
ulama, yang dikenal dengan Wali Songo. Setelah orang-orang tersebut masuk
Islam, mereka juga tetap melakukan ritual tersebut. Sebagai langkah awal, para
ulama terdahulu tidak memberantasnya, Tetapi mengalihkan dari upacara yang
bersifat Hindu dan Buddha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam, sehingga
tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam. Sesaji diganti dengan nasi
dan lauk-pauk untuk sedekah. Mantra-mantra diganti dengan zikir, doa dan
bacaan-bacaan Al Quran. Upacara seperti ini kemudian dinamakan tahlilan yang
sekarang telah menjadi tradisi dan budaya pada sebagian besar masyarakat di
Indonesia.

Kata tahlil sendiri diambil dari bahasa Arab yang mengandung arti
ekspresi kesenangan atau ekspresi keriangan. Tahlilan pun dilakukan mulai dari
malam pertama hari kematian, hingga malam ke-7 pasca kematian.

Tahlil secara bahasa berasal dari sighat masdar dari kata


“hallala”(yuhallilu, tahlilan), yang bisa berarti membaca kalimat la ilaha illallah.
Tahlilan dalam bahasa Indonesia yang benar adalah “bertahlil”.

Tahlilan yang diselenggarakan untuk orang yang meninggal itu sendiri,


didasarkan pada hadis Nabi:

“Rasulullah SAW. Bersabdah, bacakanlah orang-orang yang meninggal di


antara kamu kalimat “laa ilaha illa- llah”( Shahih Muslim. No: 915).

Kemudian, Tahlil jadi ajian pendakwah, terutama Wali Songo untuk


menyebarkan Islam di tanah Jawa, kemudian Nusantara. Metode itu efektif.
Pendekatan kultural atau budaya itu membuktikan bahwa nilai-nilai Islam dapat
luwes dan fleksibel melebur dalam tradisi tahlilan. Karena itu, Islam mendapatkan
tempat di hati masyarakat. Sekalipun banyak perdebatan yang berkembang terkait
siapa sebenarnya yang merangkum doa-doa dalam tahlil.

Bahkan, tradisi tahlilan ini telah berlangsung jauh sebelum NU berdiri,


dilakukan oleh masyarakat pesantren dan santri di desa-desa. Hanya saja, sampai
sekarang, siapakah penyusun bacaan râtib at-tahlil, belum dapat dipastikan secara
jelas.
Tahlil dalam budaya Betawi

Hiburan adalah bentuk dari kebutuhan manusia. Hal itu sesuai dengan
ungkapan klasik bahwa manusia itu 'homo festivus', yakni makhluk yang senang
festival atau hiburan. Orang Betawi misalnya. Mereka mengenal empat ritus hidup
yang senantiasa dilaksanakan penuh suka cita: kelahiran, sunatan, pernikahan,
dan kematian.

Ritus kematian misalnya. Sedari dulu, orang betawi dikenal paling terbuka
dan toleran dengan tradisi leluhur bangsa. Segala bentuk tradisi lokal dapat
diterima dengan luwes oleh mereka. Selama memiliki nilai-nilai penting terkait
Islam, katanya. Penerimaan tradisi tahlilan jadi buktinya.

Tahlilan jadi bagian yang tak boleh dilupakan oleh orang Betawi.
Peristiwa itu selalu dilakukan dengan suka cita. Bahkan, Budayawan Betawi
menyebutkan tradisi tahlilan tak jarang digunakan sebagai momentum untuk
mengikat tali silahturahmi. Mereka yang sebelumnya jarang berjumpa, maka
diacara tahlilan dapat dapat jadi ajang pertemuan kembali.

Dalam konteks Indonesia, orang Betawi dikenal sebagai etnis yang paling
terbuka dan toleran. Salah satu bentuknya adalah keterbukaan dalam menerima
tradisi milik nenek moyang sepeti tradisi tahlilan. Tradisi itu ditempatkan dalam
posisi penting. Suatu posisi yang menjadikan tradisi tahlilan sebagai ruang
terbuka yang mampu menampung semua kalangan –apapun profesinya-- hadir
dalam satu tempat, satu waktu. mereka lama tak berjumpa jadi bisa bertemu.

Alasan lainnya, tradisi tahlil makin mengikat bagi orang Betawi karena
tahlil dapat menjembatani banyak hal. Tahlil tak melulu berbicara terkait ketaatan
dalam menjalankan perintah agama. Ada hal lainnya. Tradisi tahlilan dapat
menelurkan semangat gotong royong, silaturahmi, dan semangat kebersamaan
antar satu dan lainnya.
Sebelum tradisi tahlilan dilanggengkan, biasanya pihak keluarga yang
ditinggalkan membuat berita kematian lewat masjid terdekat. Para tetangga dan
keluarga dekat langsung berdatangan ke rumah duka. Mereka membantu banyak
hal. Dari mengurus jenazah seperti memandikan, mengafani, sampai
menguburkan.

Di malam harinya, pelayat diminta untuk datang tahlilan ke rumah duka


sehabis sholat Isya. Pelaksanaannya dilakukan sejak hari pertama meninggal
dunia. Tradisi itu dilanggengkan hingga hari ketujuh. Pun tahlilan juga dilakukan
pada hari ke-40 dan hari ke-100 dari meninggalnya almarhumah atau almarhum.
Lalu, bagi orang terkenal atau tokoh agama, setiap tahunnya diadakan haul atau
hari peringatan hari wafatnya tokoh tersebut.

Setiap hari – siang dan malam—sampai hari ketujuh diadakan pembacaan


Al Quran di atas kubur. Para pelawat atau pelayat biasanya memberikan uang
shalawat kepada keluarga almarhum. Uang itu dimasukkan ke dalam baskom atau
wadah lain yang ditutupi taplak dan diletakkan di depan rumah.

Ketika jenazah sedang dibawa ke pemakaman untuk dimakamkan, ibu-ibu


para tetangga memasak nasi dan lauk-pauk seadanya, untuk memberi makan
mereka mereka yang pulang dari pemakaman. Semua biaya yang dikeluarkan
diambil dari uang shalawat ditambah biaya dari para tetangga secara sukarela,
sebab menurut agama, mengurus jenazah adalah kewajiban bersama (fardhu
kifayah).

Dalam acara nujuh hari juga dikenal istilah tukang pangkeng alias tukang
bungkus makanan. Dengan demikian, setiap tamu yang datang akan diberikan
besek oleh tuan rumah. Bisa berupa kue-kue basah atau kue-kue kering, tapi bisa
juga nasi beserta lauk-pauknya. Di sinilah tukang masak berperan penting karena
menu yang disajikan agak banyak dan mewah pada hari ketujuh, yang dianggap
sebagai akhir etape pertama. Biasanya menu khas acara selametan di Betawi
adalah semur daging, bihun atau mi goreng, tumis buncis bakso, telur rebus pedas,
acar, kerupuk, dan buah. Pada hari ketujuh, keluarga besar saya menyiapkan 150
bungkus berkat, belum termasuk prasmanan untuk tamu dan saudara-saudara yang
turun tangan membantu.

Acara malam nujuh hari juga dilakukan agak berbeda dari biasanya. Pada
malam itu, selain tahlil dan doa seperti biasanya, diadakan ceramah agama.
Ceramah dilakukan oleh seorang kiai yang mumpuni dan temanya tidak jauh dari
kematian.

Setelah nujuh hari, keluarga bisa istirahat sebentar meski tenda belum
diturunkan. Setelahnya akan ada tahlil untuk 2 x 7 alias 14 hari, 40 hari, 100 hari,
1000 hari dan haul atau peringatan kematian setiap tahun. Apakah dianggap
memberatkan? Sebenarnya tahlil ini tidak wajib dan sesuai kesanggupan masing-
masing. Tujuannya bukan untuk pamer atau berlebihan, tetapi menghibur keluarga
yang ditinggalkan agar tidak terlalu bersedih.

Namun yang penting diingat dalam keseluruhan rangkaian acara ini adalah
seluruh acara dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam. Ini menegaskan pameo
bahwa Islam dengan Betawi sangat lengket seperti dua sisi mata uang.

Demikianlah Analisa materi tentang praktik keberagamaan hasil akulturasi


budaya dan islam di Masyarakat Betawi.

Anda mungkin juga menyukai