Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PELAKSANAAN PERSIDANGAN

BUKTI DAN PENGAMBILAN PUTUSAN

Dosen Pengampu : Noni Tabito, S.E.I, M.H

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
GISANTRI MOKOGINTA
MIFTAHUL HUDA DUNGGIO
HIJRA APRILIA
AL FHIQ JUMAIDIN IBRAHIM
MOH. HARMADANI SINTO

IAIN SULTAN AMAI GORONTALO

JURUSAN AKHWAL SYAKHSHIYAH

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kita panjatkan


kehadirat Allah Swt yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya
kepada semua, sehingga penulis, dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dengan baik dan lancar. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas mata kuliah “Hukum Acara Peradilan Agama”. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, para sahabatnya,
tabiuttabiin, dan mudah-mudahan sampai kepada semua selaku umatnya.
Seiring dengan berakhirnya penyusunan makalah ini,
sepantasnyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah turut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami juga menyadari masih banyaknya kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, oleh karena itu kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini. Selain itu, kami
berharap adanya kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar
makalah ini menjadi lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca.

Gorontalo, April 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. LATAR
BELAKANG....................................................................................
B.RUMUSAN MASALAH................................................................................
C.TUJUAN MASALAH....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. PRINSIP-PRINSIP
PERSIDANGAN............................................................
B. JENIS ACARA PERSIDANGAN.................................................................
C. PEMBACAAN SURAT GUGATAN DAN JAWABAN
TERGUGAT........
D. PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN.................................................
E. PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN........................................................
BAB III PENTUP..............................................................................................
A. SIMPULAN.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara untuk
melaksanakan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.

Pengadilan Agama sebagai lembaga pelaksanaan kekuasaan


kehakiman harus menempatkan dirinya sebagai lembaga peradilan yang
sesungguhnya (court of law) sesuai dengan kedudukannya yang telah
diberikan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradian
agama. Dengan demikian Pengadilan Agama perlu meningkatkan kualitas
aparatnya sehingga dapat melaksanakan dengan baik dan benar tugas-
tugas yang diberikan kepadanya. Adapun yang harus dilakukan adalah
melaksanakan hukum acara dengan baik sesuai dengan ketentuan yang
berlaku seperti halnya memanggil para pihak untuk mengikuti persidangan
dan tugas ini diberikan kepada juru sita sebagai pihak yang bertanggung
jawab memanggil para pihak yang berperkara untuk hadir dalam
persidangan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip-prinsip persidangan?
2. Apa saja jenis-jenis acara persidangan?
3. Bagaimana proses pelaksanaan persidangan hingga pengambilan
putusan?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip persidangan
2. Untuk mengetahui jenis-jenis acara persidangan
3. Untuk mengetahui proses pelaksanaan persidangan dan pengambilan
putusan.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip-Prinsip Persidangan

Sebelum memasuki seluk beluk pemeriksaan sidang ada baiknya di


pahami prinsip yang harus ditegakkan dan dipedomani. Prinsip-prinsip
pemeriksaan persidangan, bukan hanya ditunjukan landasan bagi aparat
tapi juga penting diketahui dan didasari terdakwa.

1. Pemeriksaan Terbuka Untuk Umum


Semua persidangan terbuka untuk umum. Pada saat majelis hakim
hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”
setiap orang yang hendak mengikuti jalannya persidangan, harap hadir
memasuki ruangan sidang pintu dan jendela ruangan sidang pun terbuka,
sehingga dengan demikian makna prinsip persidangan terbuka untuk
umum benar-benar tercapai. Tentu ada pengecualian, dalam pasal 153 ayat
3, tempat dimana tercantum prinsip ini, menyebut pengecualian, dalam
pemeriksaan perkara kesusilaan atau perkara terdakwanya anak-anak,
sidang di lakukan dengan “pintu tertutup”, sesuai dengan ketentuan pasal
153 ayat 40, pelangaran atas prinsip ini, negakibatkan. “ batalnya putusan”
demi hukum.

a) Hadirin Harus Bersikap Hormat


Mereka harus sopan dan tidak menimbulkan kegaduhan di ruang
sidang. Barang siapa yang menunjukan sikap tidak hormat serta tidak
tertib dalam ruangan sidang ketua sidang dapat memerintahkan orang
yang bersangkutan di keluarkan dari ruangan sidang. Perintah
mengeluarkan ini dapat dilakukan ketua sidang setelah yang
bersangkutan “diperingati” lebih dulu, namun tetap tidak
diindahkannya (pasal 218 ayat 2). Seandainya sifat pelangaran tata
tertib yang dilakukan oleh salah seorang pengunjung merupakan tindak
pidana, hal itu tidak mengurangi kemungkinan terhadapnya dilakukan
penuntutan ( pasal 218 ayat 3 ).

b) Larangan Membawa Senjata Api


Dalam pasal 219 di tegaskan, guna menjamin keselamatan terhadap
manusia yang berada dalam ruangan sidang, setiap pengunjung sidang
“dilarang” membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, atau
alat maupun benda yang dapat membahayakan kemanan sidang.
Larangan ini berlaku terhadap siapa pun tanpa keculai. Bagi mereka
yang membawa alat atau benda-benda larangan “wajib” menitipkan di
tempat yang kusus di sediakan untuk itu.
c) Harus Hadir Sebelum Hakim Memasuki Ruang Sidang
Ketentuan ini bukan hanya berlaku bagi pengunjung sidang, tetapi
berlaku bagi panitera, penuntut umum, penasehat hukum sebagai mana
di jelaskan dalam pasal 232:
-Sebelum sidang di mulai, panitera, penunutut umum, penasehat
hukum dan pengunjung yang sudah ada, duduk di tempatnya masing-
masing dalam ruangan sidang.
-Pada saat hakim memasuki dan meninggalkan ruangan sidang,
semua yang hadir berdiri untuk hormat.
- Selama sidang berlangsung , setiap orang yang keluar masuk
ruangan sidang, diwajibkan memberi hormat

Hal ini yang perlu diingat sehubungan dengan prinsip persidangan


yang terbuka untuk umum adalah yang yang berkenaan dengan pasal
153 ayat 5 beserta penjalasannya.

2. Hadirnya Terdakwa Dalam Persidangan

Hukum tidak membenarkan proses peradilan in absentia dalam


acara pemeriksaan biasa dan pmeriksaan acara singkat. Tanpa hadirnya
terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan.
Itu sebabnya pasal 154 mengatur, bagaimana cara menghadirkan terdakwa
dalam persidangan. Tata cara tersebut memperlihatkan tanpa hadirnya
terdakwa dalam persidangan, pemeriksaan perkara tidak dapat dilakukan.

3. Ketua Sidang Memimpin Pemeriksaan


Ini diatur dalam pasal 217 yang mmenegaskan hakim ketua sidang
brtindak memimpin jalannya pemeriksaan pesidangan,, dan memelihara
tata tertib persidangan prinsip ini sesuai dengan system pembuktian yang
dianut undang- undang, yakni system pebuktian undang-undang secara
negative. Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki di dalam
membuktikan kesalahan terdakwa berdsarkan batas minimum pembuktian
menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.

4. Pemeriksaan Secara Langsung Dengan Lisan

Pasal 153 ayat 2 huruf a. Ayat 1 “ Pada hari yang ditentukan


menurut pasal 152 pengadilan bersidang, ayat 2 (a) Hakim ketua sidang
memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukansecara lisan dalam
bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa atau saksi. (b) Ia wajib
menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak
bebas, Ayat 3 “untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam
memberikan jawaban secara tidak bebas”, Ayat 4 “tidak dipenuhi
ketentuan dalam ayat 2 dan 3 mengakibatkan batalnya putusan demi
hukum”

5. Wajib Menjaga Pemeriksaan Secara Bebas

Sesuai dengan pasal 153 ayat 2 huruf b, pemeriksaan terhadap


terdakwa atau saksi “dilakukan dengan tegas” terhadap mereka tidak
dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau
saksi memberikan jawaban secara tidak bebas. Baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi tidak boleh dilakukan “penekanan atau ancaman”
yang bias menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan
keterangan. Bahkan pertanyaan yang “bersifat menjerat” tidak boleh
diajukan baikterhadap terdakwa maupun terhadap saksi, sebagai mana
diatur dalam pasal 166 KUHAP.

6. Pemeriksaan Lebih Dulu Mendengarkana Keterangan Saksi


Dalam pasal 160 ayat 1 huruf b yang menegaskan “pertama-tama
di dengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Untuk
menguatkan alasan mendahulukan pemeriksaan pendengaran keteranagan
saksi dari terdakwa, pasal ini di hubungkan dengan pasal 184 ayat 1 yang
menempatkan urutan alat bukti keterangan saksi pada urutan yang
pertama. Sedangkan urutan alat bukti keterangan terdakwa di tempatkan
pada urutan yang terakhir.

B. Jenis-jenis Acara Persidangan

Jenis-jenis persidangan di pengadilan agama. Dalam memproses


persidangan pengadilan agama mengklasifikasikan menjadi 3 jenis acara
persidangan yaitu persidangan gugur dan verstek, persidagan acara
contradictoir serta yang terakhir adalah persidangan acara biasa.

1. Gugur dan Verstek


Apabila pada hari sidang yang telah ditetapkan, ternyata salah satu
[pihak tidak hadir, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu digugurkan atau
verstek.
a. Apabila penggugat tidak hadir dan tidak diwakilkan kuasa untuk
menghadap pada sidang pertama, meskipun telah dipanggil secara
resmi dan patut, maka sesuai pasal 124 HIR gugatan dinytakan gugur.
Penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara.
b. Apabila tergugat atau para tergugat semua tidak hadir pada siding
pertama dan tidak pula mewakilkan kuasa untuk menghadap siding
meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut, gugat berdasarkan
hokum dan beralasan, sedangkan tergugat tidak mengajukan tangkisan
atau eksepsi mengenai kewenangan relative, maka perkara diputus
dengan Verstek.
2. Acara Contradictoir

Pemeriksaan tanpa jawaban atau perlawanan dari pihak yang


pernah hadir, misalnya para pihak atau kuasanya hadir dalam persidangan
yang telah ditentukan, tetapi sala satu pihak tidak hadir tanpa alasan yang
sah pada siding berikutnya. Dalam hal terjadi demikian, siding dapat
diundur atau dilanjutkan tanpa hadirnya pihak lawan dengan tanpa
jawaban atau perlawanan dari pihak yang tidak hadir. Putusan diucapkan
secara contradictoir. Ketidakhadiran salah satu pihak itu dicatat dalam
berita acara dan putusan. Upaya hukumnya adalah banding.

3. Acara Biasa
Persidangan bagi para pihak yang hadir dipersidangan dari awal
sampai putusan, baik hadir secara terus-menerus maupun tidak, maka
acara ini dikenal dengan acara biasa.
Tahapan-tahapan persidangan dengan acara biasa sebagai berikut:
a. Upaya perdamaian;
b. Pembacaan surat gugatan;
c. Jawaban tergugat;
d. Replik penggugat;
e. Duplik tergugat;
f. Pembuktian;
g. Kesimpulan;
h. Pembacaan putusan.

C. Pembacaan Surat Gugatan dan Jawaban Tergugat

1. Pembacaan Surat Gugatan

Sebelum surat gugatan dibacakan, jika perkara perceraian, hakim


wajib menyatakan sidang tertutup untuk umum, sementara perkara perdata
umum sidangnya selalu terbuka. Surat Gugatan Penggugat yang diajukan
ke Pengadilan Agama itu dibacakan oleh Penggugat sendiri atau salah
seorang majelis hakim, dan sebelum diberikan kesempatan oleh mejelis
hakim kepada tergugat memberikan tanggapan/jawabannya, pihak
penggugat punya hak untuk mengubah, mencabut atau mempertahankan
isi surat gugatannya tersebut. Abila Penggugat menyatakan tetap tidak ada
perubahan dan tambahan dalam gugatannya itu kemudian persidangan
dilanjutkan ketahap berikutnya. Artinya, Pada tahap pembacaan gugatan,
maka pihak penggugat berhak meneliti ulang apakah seluruh materi (dalil
gugatan dan petitum) sudah benar dan lengkap. Hal-hal yang tercantum
dalam surat gugat itulah yang menjadi acuan (obyek) pemeriksaan dan
pemeriksaan tidak boleh keluar dari ruang lingkup yang termuat dalam
surat gugatan.

2. Jawaban Tergugat

Setelah gugatan dibacakan, kemudian Tergugat diberi kesempatan


mengajukan jawabannya, baik ketika sidang hari itu juga atau sidang
berikutnya. Jawaban tergugat dapat dilakukan secara tertulis atau lisan
( Pasal 158 ayat (1) R.Bg). Pada tahap jawaban ini, tergugat dapat pula
mengajukan eksepsi (tangkisan) atau rekonpensi (gugatan balik).

Pada tahap jawaban ini, pihak tergugat diberi kesempatan untuk


membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat
melalui hakim. Pada dasarnya tergugat tidak wajib menjawab gugatan
penggugat. Jawaban tergugat ini dilakukan apabila upaya perdamaian yang
dilakukan hakim tidak berhasil. Karena kedua belah pihak tetap pada
prinsip atau pendirianya, maka hakim mempersilahkan kepada Penggugat
untuk membacakan gugatannya. Setelah selesai dibacakan gugatan
tersebut hakim akan memberi kesempatan kepada Tergugat untuk
menjawab atau menangkis gugatan dari Penggugat dengan fakta-fakta
yang diketahuinya secara tertulis, biasanya hakim memberikan waktu satu
minggu kepada Tergugat supaya siap dengan jawabannya dan dibacakan
pada acara sidang berikutnya.

Adapun Jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yaitu:


1. Jawaban tergugat berupa pengakuan, Pengakuan berarti
membenarkan isi gugatan  penggugat, baik sebagian maupuan
seluruhnya. Pengakuan merupakan jawaban yang
membenarkan  isi gugatan.
2. Jawaban tergugat berupa bantahan, Bila tergugat membantah,
maka pihak penggugat harus membuktikannya. Bantahan
(verweer) pada dasarnya bertujuan agar gugatan penggugat
ditolak.

Terkait tangkisan atau eksepsi, bisa juga berarti pembelaan (plea)


yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugatan penggugat. Tujuan
pokok pengajuan eksepsi, yaitu agar pengadilan mengakhiri proses
pemeriksaan tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara. Pengakhiran
yang diminta melalui eksepsi bertujuan agar pengadilan menjatuhkan
putusan negative, yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima dan
berdasarkan putusan negative itu, pemeriksaan perkara diakhiri tanpa
menyinggung penyelesaian materi pokok perkara.

D. Pembuktian dalam Persidangan


Pembuktian di muka pengadilan adalah merupakan hal yang
terpenting dalam hukum acara karena pengadilan dalam menegakkan
hukum dan keadilan tidak lain berdasarkan pembuktian. Hukum
pembuktian termasuk dari bagian hukum acara sedangkan Peradilan
Agama mempergunakakan hukum acara yang berlaku bagi Peradilan
Umum.1
Menurut Achmad Ali,2 pembuktian adalah upaya yang dilakukan
oleh para pihak untuk menyelesaikan persengketaan mereka atau untuk
memberi kepastian tentang peristiwa hukum tertentu, dengan
menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, sehingga dapat
dihasilkan suatu penetapan atau putusan pengadilan.
Pembuktian merupakan salah satu rangkaian tindakan hakim dalam
melaksanakan tugas pokok pemeriksaan perkara yaitu mengonstatir

1Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006),
143. 
2Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana,
2012), 21. 
perkara. Adapun tugas pokok hakim dalam pemeriksaan perkara yang
dilakukan secara berurut dan sistematis, yaitu: pertama mengonstatir
perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang
diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya pembuktian.
Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau
mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan
hukumnya untuk keadilan.3
Asas hukum pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal
283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai
hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan
adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”4
Praktik substansi asas pembuktian ini diterapkan secara selektif
dalam proses peradilan. Dalam artian, tidak semua fakta-fakta hukum
harus dibuktikan di persidangan. Adapun fakta-fakta hukum yang tidak
harus dibuktikan di persidangan mencakup mengenai hal-hal:
1. Apabila pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat
gugatan penggugat atau para penggugat.
2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan
penggugat atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran
surat tersebut.
3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus.
4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah
mengetahui fakta-faktanya. Maksudnya, Majelis Hakim/Hakim karena
jabatannya dianggap telah mnegetahui fakta-fakta tertentu dan
kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah diketahui oleh Majelis Hakim
sehingga pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari
fakta-fakta prosesuil, yaitu fakta-fakta yang terjadi selama poses

3 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), 53-54. 
4 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 35. 
persidangan berjalan dan dilihat sendiri oleh hakim, seperti dalam
persidangan para pihak tidak hadir, pengakuan salah satu pihak di
persidangan dan lain sebagainya.5
Alat bukti dalam hukum acara perdata tertuang dalam Pasal 164
HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat
(tertulis), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan dan sumpah.6

1. Alat Bukti Surat (Tertulis)


Alat bukti surat (tertulis) adalah segala sesuatu yang memuat
tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
1) Akta, yaitu suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani. Dengan demikian maka unsur-unsur yang
penting untuk suatu akta adalah kesengajaan untuk
menciptakan suatu alat bukti tertulis dan penandatanganan
tulisan itu .
Akta tersebut terbagi dua, yaitu:
(a) Akta otentik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
165HIR, Pasal 258 RBg, Pasal 1868 KUH Perdata yaitu akta
yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang
untuk itu menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan.
Akta otentik dibuat “oleh” apabila pejabat yang berwenang
tersebut membuat tentang apa yang dilakukannya, misalnya
Juru sita Pengadilan membuat berita acara pemanggilan pihak-
pihak yang berperkara. Sedangkan dibuat “di hadapan” apabila
pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang akan
dilakukan oleh seseorang dan sekaligus meletakkannya dalam
suatu akta, misalnya A dan B melakukan jual beli, mereka

5Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2009), 92-93.
6Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Malang: UIN Malang Press,
2009), 262. 
minta untuk dibuatkan akta jualbelinya kepada notaris dan
notaris membuatkan akta tersebut di hadapan mereka.
(b) Akta bawah tangan, yaitu segala tulisan yang sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh
pejabat yang berwenang untuk itu. Misalnya surat jual-beli
tanah yang dibuat oleh ke dua belah pihak
2) Bukan akta (surat biasa)
Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk
dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, hal
itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam kelompok ini
termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan
korespondensi dagang dan sebagainya.

2. Alat Bukti Saksi


Kesaksian yaitu alat bukti yang diberitahukan secara lisan dan
pribadi oleh saksi yang tidak m pihak dalam perkara tersebut, untuk
memberikan kepastian kepada hakim di muka persidangan tentang
peristiwa yang dipersengketakan. Dengan demikian, unsur yang harus ada
pada alat bukti kesaksian adalah:
1) Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi secara
lisan di muka persidangan.
2) Tujuan kesaksian untuk memberi kepastian kepada hakim
tentang peristiwa yang dipersengketakan.
3) Saksi tidak merupakan salah satu pihak yang berperkara.
Macam-macam Saksi:
1) Saksi yang telah memenuhi kriteria sebagai alat bukti, yakni
saksi yang terdiri dari dua orang yang telah memenuhi syarat
formil dan materiil.
2) Saksi yang hanya satu orang (unus testis nullus testis).
Hakim
diperkenankan untuk menganggap satu peristiwa terbukti dari
keterangan seorang saksi. Larangan untuk mempercayai
keterangan seorang saksi sebagaimana yang dimaksud Pasal
169 HIR yang menyatakan bahwa keterangan seorang saksi
tanpa ada alat bukti lain tidak dapat dipercaya dimaksudkan
sebagai suatu larangan untuk mengabulkan suatu gugatan
apabila dalil-dalil penggugat disangkal dan hanya dikuatkan
oleh satu orang saksi saja.
4) Saksi testimonium de auditu, yaitu saksi yang memberikan
keterangan dari apa yang didengarnya dari orang lain. Saksi
testimonium de auditu memang tidak ada artinya, akan tetapi
hakim tidak dilarang untuk menerimanya, yang dilarang adalah
apabila saksi tersebut menarik kesimpulan atau menurut istilah
Pasal 171 (2) HIR atau Pasal 308 (2) RGB memberikan
“pendapat atau perkiraan-perkiraan”

3. Persangkaan
Persangkaan adalah uraian hakim, dengan mana hakim dari fakta
yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.
Macam-macam persangkaan:
1) Persangkaan menurut hakim adalah kesimpulan hakim yang
ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan sidang. Pengertian
persangkaan menurut hakim sesungguhnya amat luas. Segala
peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan perkara tersebut dapat dijadikan bahan untuk
menyusun persangkaan hakim.
2) Persangkaan menurut UU adalah persangkaan berdasarkan suatu
ketentuan khusus UU yang dihubungkan dengan perbuatan atau
peristiwa tertentu.34Persangkaan menurut UU dibagi atas dua jenis
yaitu yang masih memungkinkan pembuktian lawan dan yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan menurut hakim mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas. Oleh karena itu, hakim bebas
untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam
persangkaan tersebut. Dengan demikian, karena nilai kekuatan
pembuktiannya bebas maka persangkaan menurut hakim tidak
dapat berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu
persangkaan dikuatkan dengan satu alat bukti lain.

4. Pengakuan
Pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan
dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan
baik sebagian maupun seluruhnya.
Dari ketentuan pembuktian pengakuan di depan sidang ini Syarat
formil pengakuan yaitu disampaikan dalam proses persidangan dan
pengakuan diberikan oleh pihak materil/kuasanya dalam bentuk lisan
atau tertulis dalam replik-duplik atau kesimpulan. Sedangkan syarat
materil pengakuan yaitu pengakuan berhubungan langsung dengan
pokok perkara, tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan
ketertiban umum serta tidak merupakan kebohongan.

5. Sumpah
Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh
hakim (Sumpah supletoir) dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak
lawan (Sumpah decisoir). Baik sumpah penambah maupun sumpah
penutup bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh
karenanya, keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah
keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpah tidak akan
berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan
yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut
akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa
orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang
dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan
sumpah itu adalah tidak benar. Pasal 177 HIR menyatakan, bahwa
apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi
untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu
yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud. Pasal
155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang berbunyi : Jika
kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu
tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama
sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan
upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena
jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan
hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau
supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat
ditentukan.

E. Pengambilan Keputusan
Putusan pengadilan sangat diperlukan untuk menyelesaikan
perkara perdata. Apabila Majelis Hakim telah memeriksa suatu perkara
yang diajukan kepadanya, mereka harus menyusun putusan dengan baik
dan benar. Untuk mengakhiri sengketa yang diajukan, putusan tersebut
harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Apabila ditinjau dari visi hakim yang memutus perkara, putusan
hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” dan “akta penutup”
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan hukum dan fakta,
etika serta moral dari hakim bersangkutan.
Dalan suatu putusan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan
intisari putusan. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi,
pendapat atau kesimpulan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa
perkara. Dalam pertimbangan hukum tersebut dikemukakan analisis yang
jelas berdasarkan Undang-Undang pembuktian tentang:
1. Apakah alat bukti yang diajukan Penggugat dan Tergugat
memenuhi syarat formil dan materil.
2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal
pembuktian.
3. Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti.
4. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para
pihak.
Dalam mengambil putusan, masing-masing hakim mempunyai hak
yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan
Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Adapun
tahap-tahapnya:
a. Tahap Konstatir
Dimana hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa
yang diajukan. Misal, benarkan si A telah memecahkan jendela rumah
B, sehingga B menderita kerugian? di sini para pihak dalam (perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk
membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Jadi, mengkonstatir
berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, mengakui atau
membenarkan telah terajdinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan,
yang didasarkan alat bukti pembuktian. Dalam tahap konstatir,
kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi
hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.

b. Tahap Kualifisir
Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.
Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang di anggap benar-benar
terjadi itu hubungan hukum mana, dan hukum apa, dengan kata lain
harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang di konstatir
itu.
Jadi, mengkualifisir berarti mencari/menentukan hubungan
hukum terhadap dalil/peristiwa yang telah dibuktikan. Hakim menilai
terhadap dalil/peristiwa yang telah terbukti atau menilai dalil/peristiwa
yang tidak terbukti dengan peraturan perundang-undangan yang
merupakan hukum yang tepat terhadap dalil/peristiwa yang telah
dikonstatir.

c. Tahap Konstituir
Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau
memberikankeadilan kepada para pihak berperkara. Dalam tahap ini
hakim menetapkan dan/atau menerapkan hukumnya terhadap fakta
yang telah ditemukan dalam tahap konstatir. Di sini hakim
menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu simpulan dari premis
mayor berupa aturan hukumnya (contoh Pasal 1365 KUHPerdata) dan
premis minor berupa tindakan si A memecahkan jendela B. Proses
penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan
berakhir pada tahap konstituir. Hakim menemukan hukum melalui
sumber-sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak hanya yang
tertulis di Undang-Undang melainkan juga kebiasaan, traktat,
yurisprudensi, doktrin, hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum
yang dianut oleh masyarakat (adat).
Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui
seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir
dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum
suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak
melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal
melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tah konstatir,
karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat
bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir karena tidak
menyimpulkan mana fakta hukum yang ternukti dan apa saja dasar
hukum yang berkaitan denganpokok perkara, Ketidak berhasilan pada
dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan
ketidakadilan dalam menjatuhkan amar putusan yang merupakan tahap
konstituir ini.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat di Tarik kesimpulan bahwa suatu
tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan
dalam sebuah gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan
hukum yang cukup. Pada prinsipnya setiap orang yang merasa mempunyai
hak dan ingin mempertahankannya di muka pengadilan dapat bertindak
sebagai pihak dalam gugatan tersebut asalkan memenuhi persyaratan yakni
mempunyai kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan mempunyai
kemampuan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum.

Dalam Persidangan tentu ada hal-hal yang harus di perhatikan


untuk mendapatkan putusan yang baik dan benar seperti surat gugatan,
pembuktian serta proses dalam persidangan.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, 2005.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke-II, cet.
Ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1985.

Manan, Abdul. 2006. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan


Peradilan Agama. Jakarta: Kencana

Anda mungkin juga menyukai