PELAKSANAAN PERSIDANGAN
DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
GISANTRI MOKOGINTA
MIFTAHUL HUDA DUNGGIO
HIJRA APRILIA
AL FHIQ JUMAIDIN IBRAHIM
MOH. HARMADANI SINTO
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.........................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. LATAR
BELAKANG....................................................................................
B.RUMUSAN MASALAH................................................................................
C.TUJUAN MASALAH....................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. PRINSIP-PRINSIP
PERSIDANGAN............................................................
B. JENIS ACARA PERSIDANGAN.................................................................
C. PEMBACAAN SURAT GUGATAN DAN JAWABAN
TERGUGAT........
D. PEMBUKTIAN DALAM PERSIDANGAN.................................................
E. PROSES PENGAMBILAN PUTUSAN........................................................
BAB III PENTUP..............................................................................................
A. SIMPULAN.................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum acara peradilan agama merupakan suatu cara untuk
melaksanakan hukum islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,
hibah, wakaf, dan shadaqah pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip-prinsip persidangan?
2. Apa saja jenis-jenis acara persidangan?
3. Bagaimana proses pelaksanaan persidangan hingga pengambilan
putusan?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip persidangan
2. Untuk mengetahui jenis-jenis acara persidangan
3. Untuk mengetahui proses pelaksanaan persidangan dan pengambilan
putusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-Prinsip Persidangan
3. Acara Biasa
Persidangan bagi para pihak yang hadir dipersidangan dari awal
sampai putusan, baik hadir secara terus-menerus maupun tidak, maka
acara ini dikenal dengan acara biasa.
Tahapan-tahapan persidangan dengan acara biasa sebagai berikut:
a. Upaya perdamaian;
b. Pembacaan surat gugatan;
c. Jawaban tergugat;
d. Replik penggugat;
e. Duplik tergugat;
f. Pembuktian;
g. Kesimpulan;
h. Pembacaan putusan.
2. Jawaban Tergugat
1Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006),
143.
2Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Kencana,
2012), 21.
perkara. Adapun tugas pokok hakim dalam pemeriksaan perkara yang
dilakukan secara berurut dan sistematis, yaitu: pertama mengonstatir
perkara yaitu melihat benar tidaknya peristiwa dan fakta-fakta yang
diajukan pihak-pihak yang berperkara, sebagaimana halnya pembuktian.
Kedua, mengualifisir peristiwa yang telah dikonstatir hukumnya atau
mengadili menurut hukum dan yang ketiga, menetapkan dan menerapkan
hukumnya untuk keadilan.3
Asas hukum pembuktian ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal
283 RBg yang berbunyi: “Barang siapa yang mengatakan ia mempunyai
hak, atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan
adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”4
Praktik substansi asas pembuktian ini diterapkan secara selektif
dalam proses peradilan. Dalam artian, tidak semua fakta-fakta hukum
harus dibuktikan di persidangan. Adapun fakta-fakta hukum yang tidak
harus dibuktikan di persidangan mencakup mengenai hal-hal:
1. Apabila pihak tergugat/para tergugat mengakui kebenaran surat
gugatan penggugat atau para penggugat.
2. Apabila pihak tergugat/para tergugat tidak menyangkal surat gugatan
penggugat atau para penggugat karena dianggap mengakui kebenaran
surat tersebut.
3. Apabila salah satu pihak melakukan sumpah pemutus.
4. Apabila majelis hakim/hakim karena jabatannya dianggap telah
mengetahui fakta-faktanya. Maksudnya, Majelis Hakim/Hakim karena
jabatannya dianggap telah mnegetahui fakta-fakta tertentu dan
kebenaran fakta-fakta ini dianggap telah diketahui oleh Majelis Hakim
sehingga pembuktian tidak diperlukan lagi. Hal ini dapat dilihat dari
fakta-fakta prosesuil, yaitu fakta-fakta yang terjadi selama poses
3 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2012), 53-54.
4 M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), 35.
persidangan berjalan dan dilihat sendiri oleh hakim, seperti dalam
persidangan para pihak tidak hadir, pengakuan salah satu pihak di
persidangan dan lain sebagainya.5
Alat bukti dalam hukum acara perdata tertuang dalam Pasal 164
HIR, Pasal 284 RBg, dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu alat bukti surat
(tertulis), alat bukti saksi, persangkaan (dugaan), pengakuan dan sumpah.6
5Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2009), 92-93.
6Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia, Edisi Revisi, (Malang: UIN Malang Press,
2009), 262.
minta untuk dibuatkan akta jualbelinya kepada notaris dan
notaris membuatkan akta tersebut di hadapan mereka.
(b) Akta bawah tangan, yaitu segala tulisan yang sengaja dibuat
untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan atau oleh
pejabat yang berwenang untuk itu. Misalnya surat jual-beli
tanah yang dibuat oleh ke dua belah pihak
2) Bukan akta (surat biasa)
Sehelai surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk
dijadikan bukti. Apabila kemudian surat itu dijadikan bukti, hal
itu merupakan suatu kebetulan saja. Dalam kelompok ini
termasuk surat-surat cinta, surat-surat sehubungan dengan
korespondensi dagang dan sebagainya.
3. Persangkaan
Persangkaan adalah uraian hakim, dengan mana hakim dari fakta
yang terbukti menyimpulkan fakta yang tidak terbukti.
Macam-macam persangkaan:
1) Persangkaan menurut hakim adalah kesimpulan hakim yang
ditarik atau sebagai hasil dari pemeriksaan sidang. Pengertian
persangkaan menurut hakim sesungguhnya amat luas. Segala
peristiwa, keadaan dalam sidang, bahan-bahan yang didapat dari
pemeriksaan perkara tersebut dapat dijadikan bahan untuk
menyusun persangkaan hakim.
2) Persangkaan menurut UU adalah persangkaan berdasarkan suatu
ketentuan khusus UU yang dihubungkan dengan perbuatan atau
peristiwa tertentu.34Persangkaan menurut UU dibagi atas dua jenis
yaitu yang masih memungkinkan pembuktian lawan dan yang tidak
memungkinkan pembuktian lawan.
Persangkaan menurut hakim mempunyai nilai kekuatan
pembuktian yang bersifat bebas. Oleh karena itu, hakim bebas
untuk menerima atau menolak kebenaran yang terdapat di dalam
persangkaan tersebut. Dengan demikian, karena nilai kekuatan
pembuktiannya bebas maka persangkaan menurut hakim tidak
dapat berdiri sendiri, minimal harus ada dua persangkaan atau satu
persangkaan dikuatkan dengan satu alat bukti lain.
4. Pengakuan
Pengakuan yaitu suatu pernyataan dengan bentuk tertulis atau lisan
dari salah satu pihak beperkara yang isinya membenarkan dalil lawan
baik sebagian maupun seluruhnya.
Dari ketentuan pembuktian pengakuan di depan sidang ini Syarat
formil pengakuan yaitu disampaikan dalam proses persidangan dan
pengakuan diberikan oleh pihak materil/kuasanya dalam bentuk lisan
atau tertulis dalam replik-duplik atau kesimpulan. Sedangkan syarat
materil pengakuan yaitu pengakuan berhubungan langsung dengan
pokok perkara, tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan
ketertiban umum serta tidak merupakan kebohongan.
5. Sumpah
Ada 2 macam sumpah, ialah sumpah yang dibebankan oleh
hakim (Sumpah supletoir) dan sumpah yang dimohonkan oleh pihak
lawan (Sumpah decisoir). Baik sumpah penambah maupun sumpah
penutup bermaksud untuk menyelesaikan perselisihan, oleh
karenanya, keterangan yang dikuatkan dengan sumpah itu adalah
keterangan yang benar dan bahwa orang yang disumpah tidak akan
berani berbohong, oleh karena apabila ia memberikan keterangan
yang bohong, ia akan dihukum oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Takut
akan adanya hukuman yang berat tersebut, dikira oleh hukum, bahwa
orang akan tidak bersedia untuk mengangkat sumpah yang
dibebankan kepadanya itu, apabila hal yang dikuatkan dengan
sumpah itu adalah tidak benar. Pasal 177 HIR menyatakan, bahwa
apabila sumpah telah diucapkan, hakim tidak diperkenankan lagi
untuk meminta bukti tambahan dari orang yang disumpah itu, yaitu
yaitu perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah termaksud. Pasal
155 HIR mengatur perihal sumpah penambah, yang berbunyi : Jika
kebenaran gugatan atau kebenaran pembelaan melawan gugatan itu
tidak menjadi terang secukupnya, akan tetapi keterangan tidak sama
sekali ada dan tiada kemungkinan akan meneguhkan dia dengan
upaya keterangan yang lain, dapatlah Pengadilan Negeri karena
jabatannya menyuruh salah satu pihak bersumpah di hadapan
hakim, supaya dengan itu keputusan perkara didapatkan, atau
supaya dengan itu jumlah uang yang akan diperkenankan, dapat
ditentukan.
E. Pengambilan Keputusan
Putusan pengadilan sangat diperlukan untuk menyelesaikan
perkara perdata. Apabila Majelis Hakim telah memeriksa suatu perkara
yang diajukan kepadanya, mereka harus menyusun putusan dengan baik
dan benar. Untuk mengakhiri sengketa yang diajukan, putusan tersebut
harus diucapkan dalam siding terbuka untuk umum, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Apabila ditinjau dari visi hakim yang memutus perkara, putusan
hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” dan “akta penutup”
pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran, penguasaan hukum dan fakta,
etika serta moral dari hakim bersangkutan.
Dalan suatu putusan, pertimbangan hukum merupakan jiwa dan
intisari putusan. Pertimbangan hukum berisi analisis, argumentasi,
pendapat atau kesimpulan hukum dari Majelis Hakim yang memeriksa
perkara. Dalam pertimbangan hukum tersebut dikemukakan analisis yang
jelas berdasarkan Undang-Undang pembuktian tentang:
1. Apakah alat bukti yang diajukan Penggugat dan Tergugat
memenuhi syarat formil dan materil.
2. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal
pembuktian.
3. Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti.
4. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para
pihak.
Dalam mengambil putusan, masing-masing hakim mempunyai hak
yang sama dalam melakukan tiga tahap yang mesti dilakukan
Hakim untuk memperoleh putusan yang baik dan benar. Adapun
tahap-tahapnya:
a. Tahap Konstatir
Dimana hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa
yang diajukan. Misal, benarkan si A telah memecahkan jendela rumah
B, sehingga B menderita kerugian? di sini para pihak dalam (perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk
membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Jadi, mengkonstatir
berarti bahwa Hakim melihat, mengetahui, mengakui atau
membenarkan telah terajdinya peristiwa, harus pasti bukan dugaan,
yang didasarkan alat bukti pembuktian. Dalam tahap konstatir,
kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi
hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.
b. Tahap Kualifisir
Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan kepadanya.
Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang di anggap benar-benar
terjadi itu hubungan hukum mana, dan hukum apa, dengan kata lain
harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang di konstatir
itu.
Jadi, mengkualifisir berarti mencari/menentukan hubungan
hukum terhadap dalil/peristiwa yang telah dibuktikan. Hakim menilai
terhadap dalil/peristiwa yang telah terbukti atau menilai dalil/peristiwa
yang tidak terbukti dengan peraturan perundang-undangan yang
merupakan hukum yang tepat terhadap dalil/peristiwa yang telah
dikonstatir.
c. Tahap Konstituir
Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau
memberikankeadilan kepada para pihak berperkara. Dalam tahap ini
hakim menetapkan dan/atau menerapkan hukumnya terhadap fakta
yang telah ditemukan dalam tahap konstatir. Di sini hakim
menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu simpulan dari premis
mayor berupa aturan hukumnya (contoh Pasal 1365 KUHPerdata) dan
premis minor berupa tindakan si A memecahkan jendela B. Proses
penemuan hukum oleh hakim dimulai pada tahap kualifikasi dan
berakhir pada tahap konstituir. Hakim menemukan hukum melalui
sumber-sumber hukum yang tersedia. Dalam hal ini tidak hanya yang
tertulis di Undang-Undang melainkan juga kebiasaan, traktat,
yurisprudensi, doktrin, hukum agama, dan bahkan keyakinan hukum
yang dianut oleh masyarakat (adat).
Berdasarkan uraian di atas, jika tahap yang harus dilalui
seorang Hakim untuk membuat putusan di atas (konstatir, kualifisir
dan konstituir) dijadikan alat ukur untuk menilai pertimbangan hukum
suatu putusan, maka dapat disimpulkan apabila Hakim tidak
melakukan salah satu proses dari tahapan tersebut atau gagal
melakukan, misalnya Hakim tidak berhasil melakukan tah konstatir,
karena tidak menetapkan beban pembuktian dan tidak menilai alat
bukti, atau tidak berhasil melakukan tahap kualifisir karena tidak
menyimpulkan mana fakta hukum yang ternukti dan apa saja dasar
hukum yang berkaitan denganpokok perkara, Ketidak berhasilan pada
dua tahap sebelumnya di atas, sangat berpotensi mengakibatkan
ketidakadilan dalam menjatuhkan amar putusan yang merupakan tahap
konstituir ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat di Tarik kesimpulan bahwa suatu
tuntutan hak yang akan diajukan kepada pengadilan yang dituangkan
dalam sebuah gugatan, pihak penggugat haruslah mempunyai kepentingan
hukum yang cukup. Pada prinsipnya setiap orang yang merasa mempunyai
hak dan ingin mempertahankannya di muka pengadilan dapat bertindak
sebagai pihak dalam gugatan tersebut asalkan memenuhi persyaratan yakni
mempunyai kewenangan untuk menjadi pendukung hak dan mempunyai
kemampuan untuk bertindak atau melakukan perbuatan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, 2005.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke-II, cet.
Ke-1, Liberty, Yogyakarta, 1985.