Anda di halaman 1dari 108

Semester 1/ kelas E

KUMPULAN MAKALAH
FILSAFAT dan ILMU LOGIKA
Oleh: Fathya Putri Kamilla (11860122301)
Harsa Afifatur Rahmi (11860121542)
Tasya Fazilla Nirmala (11860122280)

18
Pengertian Filsfat, Ilmu Filsafat, dan Filsafat Ilmu

DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

MILL ANANDA
NIM 118601255048
RANA NABILA ASILIA
NIM 118601

KELAS : 1E

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019
FILSAFAT

1. Pengertian filsafat

 Menurut Etimologi
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Kata dasarnya adalah
Philen/Philia yang berarti cinta atau mencintai dan Shopia artinya kea'rifan. Secara etimologi
istilah filsafat mengalami perkembangan yang cukup pesat diberbagai negara. Perkembangan
istilah filsafat ini selanjutnya dikenal dalam bahasa Inggris "Philosophy". Philos artinya cinta
dan Shophy berarti Pengetahuan. Istilah filsafat juga sering dikenal diberbagai negara Arab
dengan nama Hikmah. Ternyata kata hikmah yang sering digunakan oleh para pemikir arab,
merupakan sinonim dari kata filsafat. Secara historis dalam pemikiran Islam, istilah filsafat
mengandung makna sebagai hikmah. Kata hikmah berasal dari bahasa Arab "Al-Hikmah".

 Menurut Terminologi
   
Menurut terminologis filsafat dapat diartikan sebagai berikut :

a) Filsafat adalah merupakan satu analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran


mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja terhadap sesuatu sacara sistimatis,
suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan.
b) Filsafat adalah usaha maksimal manusia dalam hal mencari kejelasan dan kecermatan secara
gigih yang ilakukan secara terus menerus sampai kepada akarnya (Radiks)
c) Filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki fakta-fakta, prinsip-prinsip dari
realitas (kenyataan) juga tabiat serta tingkah laku manusia.
d) Dewasa ini filsafat dapar diartikan sebagai ilmu yang menyelidiki tentang dunia logika, etika,
estetika, metafisika, serta teori ilmu pengetahuan (epistemologis)

2. Filsafat Menurut Para Ahli


Ada beberapa pengertian filsafat yang dikemukakan para ahli sebagai berikut :
 Aristoteles

Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang berisi ilmu metafisika,
retorika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan).

 Immanuel Kant

Filsafat adalah ilmu (pengetahuan), yang merupakan dasar dari semua pengetahuan dalam
meliput isu-isu epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab pertanyaan tentang apa
yang dapat kita ketahui.

 Al Farabi

Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang sifat bagaimana sifat sesungguhnya dari
kebenaran.
 Rene Descartes

Filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan bahwa Allah, manusia dan alam menjadi pokok
penyelidikan.

 Plato

Filsafat adalah ilmu yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang
sebenarnya.

 Langeveld

Filsafat adalah berpikir tentang masalah final dan menentukan, yaitu masalah makna
keadaan, Tuhan, kebebasan dan keabadian.

 N. Driyarkara

Filsafat adalah refleksi yang mendalam tentang penyebab ‘di sana dan melakukan’, refleksi
dari realitas (reality) jauh ke dalam ‘mengapa’ penghabisan itu.

 Ir. Proedjawijatna

Filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk menemukan penyebabnya deras untuk segala
sesuatu dengan pikiran belaka.

 Notonogo

Filosofi yang meneliti hal-hal yang menjadi objek inti dari sudut mutlak (di), yang tetap dan
tidak berubah, yang juga disebut alami.

 Louis O Kattsoff,

memberikan pengertian secara praktis yaitu " Kegiatan pemikiran secara ketat dan sistimatis.
Maksudnya adalah berfikir yang mendalam dengan melalui perenungan dan bukan melamun
juga bukan berfikir secara kebetulan yang sifatnya untung-untungan. Akan tetapi melalui
perenungan yang mencoba untuk menyusun secara runtut suatu sistem pengetahuan yang
rasional, yang memadai dalam rangka memahami dunia tempat kita hidup, maupun
memahami diri sendiri.

 Harold H.Titus

mengemukakan empat pengertian yaitu : 

a) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta. 
b) Filsafat adalah metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah
c) Filsafat adalah suatu perangkap masalah
d) Filsafat adalah perangkap atau teori sistem pemikiran
 DC.Mulder.,

merumuskan sebagai berikut "Fisafat adalah pemikiran kritis tentang susunan kenyataan
secra keseluruhan.

 Prof.Dr.Fuad Hasan

menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berfikir radikal, dalam arti mulai
dari radiks atau akar-akarnya suatu fenomena atau gejala dari akar-akarnya suatu hal yang
dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu bersifat berusaha untuk sampai
kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal

 H.Hasbullah Bakri.

memberikan pengertian filsafat secara praktis yaitu: berfilsafat artinya "berfikir" meskin
begitu, tidak semua orang berfikir berfilsafat. Meski berfilsafat ialah berfikir secara
mendalam. Selanjutnya Hasbullah Bakri memberikan pengertian"Ilmu filsafat ialah ilmu
yang menyelidiki sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia,
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya, sejauh yang dapat
dicapai akal manusia, dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.

Filsafat adalah hasil pemikiran dan  perenungan secara mendalam  tentang sesuatu sampai
keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila
berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan
lain-lainnya.

3. Dasar dasar filsafat

Secara garis besar dasar-dasar filsafat dibagi kedalam beberapa aspek, seperti Ontologi,
Kosmologi, Efistemologi, dan Oxiologi.
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, "Onto" artinya yang ada dan "logos" berarti ilmu
pengetahuan. Dengan demikian ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
wujud (being) sesuatu sejauh itu ada. Oleh karena itu ontlogi bukan saja mempelajari tentang
hakekat Tuhan, akan tetapi juga mempelajari substansi dan hakekat suatu benda dan
persoalan lainnya.
 Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme berarti pengetahuan dan logos artinya
ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
pengetahuan dalam mengkaji asal usul filsafat dan benda
Secara terminologi epistemologi adalah salah satu problem logika yang dapat menentukan
kebenaran dan cara memperoleh  pengetahuan tentang filsafat yang tepat, yang merupakan
cara yang ditempuh dalam memperoleh pengetahuan filsafat, baik yang teoritis maupun yang
praktis.
  Aksiologi, berasal dari bahasa Yunani juga yaitu "Axio" berarti bermanfaat atau bernilai dan
"logos" berarti ilmu pengetahuan. Jadi aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai estetika dan etika terhadap hasil dari pengetahuan. Aksiologi juga merupakan
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai terhadap persoalan kefilsafatan, nilai yang
dimaksud adalah nilai guna, nilai fungsi dan nilai manfaat.
Kosmologi, adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu "kosmos" berarti alam (material) dan
logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi kosmologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang struktur dan lapisan alam beserta isinya yang melibatkan manusia sebagai subjek
Logika, berasal dari kata "logic" berarti akal atau rasio. Jadi logika adalah cabang filsafat
yang mepelajari tentang hukum-hukum atau silogisme-silogisme dalam mengumpulkan data,
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, negasi-negasi terhadap proposisi-
proposisi yang akhirnya akan mendapatkan kesimpulan yang bersifat rasional.

4. Ciri-ciri filsafat sebagai berikut :

a) Adanya hubungan antara jawaban-jawaban yang difilsafati, maksudnya dari sekian


banyak pertanyaan yang diberikan atau yang diperoleh  dari berbagai persoalan yang dihadapi
membutuhkan jawaban-jawaban yang memiliki hubungan timbal balik. Contohnnya : apa
yang diamakan kebenaran ? maka seorang filosof harus menemukan apa yang dikatakan
kenyataan. Maksudnya bila pertanyaan tentang kebenaran, hendak dijawab. Maka filosof
berusaha untuk menjawab terhadap pertanyaan yang menyangkut dengan pertanyaan yang
lain, seperti tentang "kenyataan".
b) Adanya pemikiran yang koheren, maksudnya perenungan filsafat berusaha untuk
menyusun bagan yang koheren atau runtut (konsisten), yaitu suatu perenungan filsafat tidak
boleh mengandung pertanyaan-pertanyaan yang bertentangan. Contoh : bila hujan turun,
maka tidak mungkin jawabannya tidak benar bahwa hujan turun.
c) Berfikir rasional, maksudnya bahwa perenungan filsafat harus berdasar pada konsepsional
yaitu bagan-bagan yang bersifat logis yang memiliki hubungan satu dengan yang lain.
Menyelesaikan persoalan-persoalan dengan yang berdasar pada premis-premis logis.
d) Berfikir komprehensif, maksudnya adalah seorang filosof berusaha memberikan
penjelasan tentang dunia seluruhnya termasuk dunia dirinya sendiri. Filsafat dalam bentuk ini
adalah mencari kebenaran dalam bentuk yang paling umum.
e) Memahami pandangan dunia luas dengan analisa, perenungan filsafat disini berusaha
memahami segenap kenyataan dengan jalan menyusun suatu pandangan dunia yang
memberikan yang memberikan keterangan dunia semua dan semua hal yang ada di dalamnya.

  Dengan demikian, kenyataan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat
mengemukakan pendapat secara filosofi, karena filsafat itu sendiri merupakan hasil renungan
manusia terdalam. Perenungan manusia yang mendalam tentang sesuatu persoalan tentu
menggunakan metode berfikir.
Dengan demikian ciri khas dari pada berfikir yang filosofis adalah :

a) Radikal, berasal dari kata "Radix" berarti akar, berfikir radikal berfikir sampai
konsekwensinya yang terakhir.
b) Sistematis, yaitu berfikiran logis bergerak selangkah dengan penuh kesadaran dengan
urutan yang paling berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur. Atau dengan
kata lain sistimatis dapat dijelaskan sebagai berikut : "Seorang pelajar filsafat dalam
menghadapi filsafat mesti bermula dari perjalanan menghadapi teori pengetahuan yang terdiri
atas beberapa cabang filsafat, setelah itu ia mempelajari teori hakekat yang meruakan cabang
lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai.
c) Universal, yaitu berfikir secara umum dan tidak secara tetrtentu (khusus) atau tidak
terbatas pada bagian tertentu kebenarannya. Maksudnya kebenaran yang diperoleh ilmu
pengetahuan lewat penyelidikan misalnya bukan bersifat universal, akan tetapi keuniversalan
filsafat adalah kebenaran bersifat umum yang memenuhi metode filsafat.
d) Logis, artinya segala kebenaran yang diperoleh dari perenungan yang mendalam mesti
masuk akal, atau kebenaran yang bersifat masuk akal, atau fikiran yang dinyatakan dengan
bahasa.

    Soeryanto Poespowardoyo mengemukakan ciri-ciri filsafat sebagai berikut :

a) Reflektif, yaitu menemukaunsur yang hakiki, berfilsafat disini adalah harus


menghubungkan gejala-gejala objek yang dibahas dengan dirinya sendiri, yaitu dengan
mengadakan perenungan yang mendalam baik dalam pengamatan maupun penghayatan.
b) Kritis dan Rasional, maksudnya adalah berusaha untuk menemukan pengertian nilai dan
makna dilakukan dengan kemampuan  yang tinggi secara kodrati.
c) Integratif, maksudnya adalah berusaha melihat secara keseluruhan tanpa dipengaruhi
oleh hal-hal yang subyektif.

5. Obyek dan Metode Filsafat

A. Obyek filsafat

a) Obyek Material,  menyelidiki segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik material
maupun non material. Termasuk masalah nilai dan sebagainya. Seperti masalah dunia
metafisika : Tuhan, alam malaikat, surga dan neraka. Juga tak ketinggalan yaitu masalah
nilai-nilai yang ada pada alam dan manusia.
b) Obyek formal,  menyelidiki segala sesuatu yang dengan sedalam-dalamnya guna
mengetahui yang sesungguhnya atau secara esensial. 

B. Metode Filsafat

a) Metode contemplative atau perenungan yang serius, yaitu memikirkan segala sesuatu
tanpa seharusnya ada kontak lansung dengan obyeknya. Adapun obyek comtemplative itu
dapat berupa apa saja. Seperti halnya : makna kematian, hidup, kebenaran, keadilan dan
sebagainya.
b) Deduktif, yaitu metode berfikir yang dimulai dari suatu realitas yang bersifat umum guna
memperoleh kesimpulan yang lebih khusus.
c) Induktif, yaitu metode berfikir yang dimulai dari realitas yang bersifat khusus kemudian
menganalisa cermat berdasarkan pengamatan untuk mengambil kesimpulan yang bersifat
umum.
    Dengan menggunakan metode berfikir seperti diatas, maka seorang filosofi dapat berfikir
secara sistematis dinamis, yaitu dapat berfikir dari tingkat indra sampai dengan tingkat
religius.
Selain metode tersebut diatas, beberapa metode yang digunakan oleh para filosof antara lain :

a) Metode kritis, yaitu metode yang digunakan Socrates dan Plato dengan menggunakan
sistem yang bersifat analisa dan pendapat yang menjelaskan dan memperlihatkan
pertentangan dengan jalan bertanya (berdialektika)
b) Metode intuitif, yaitu metode yang digunakan Plotinus dan Bergson, dengan jalan
intropeksi intuitif yaitu dengan cara membersihkan intelektual dengan menggunakan simbol-
simbol  sekaligus pensucian moral.
c) Metode Skolastik yaitu metode yang sering digunakan oleh Aristoteles dan Thomas
Aqiunus yang sifatnya deduktif, yaitu bertitik dengan prinsip-prinsip dan defenisi-defenisi.
d) Metode Matematis yaitu metode yang digunakan Rene Descrates dengan jalan
menganalisa melalui hal-hal yang kompleks, kemudian mencapai intuisi akan hakikat yang
sederhana dan kemudian diadakan reduksi-reduksi secara matematis.
e) Metode Empiris yaitu yang ditokohi oleh Thomas Hobbes, John Locke Berkeley serta
David Hume, yang mengajikan pengertian yang benar itu berdasarkan pengalaman
f) Metode Transendental, metode ini sering dipakai Immanel Kant neo-Skolastik yang
bertitik tolak pada pengertian tersebut dengan jalan analisa yang diselidiki secara apriori.
g) Metode Dialektis, metode ini digunakan oleh filosof besar seperti Hegel, Karl Max, yang
caranya mengikuti dinamika berfikir secara dinamis seperti mengadakan : Tesa-sintesa untuk
mencapai hakekat.

6. Kegunaan Mempelajari Filsafat


  
a) Secara garis besar kegunaan mempelajari filsafat terdiri dari dua, yaitu kegunaan
teoritis dan praktis.
kegunaan teoritis yaitu dapat membimbing manusia untuk berfikir secara sistimatis serta
rasional sehingga dapat memperoleh ksimpulan yang benar.
b) kegunaan secara praktis bahwa orang berfilsafat dapat dibuktikan dalam kehidupan
kesehariannya seperti dalam penggunaan pada pengetahuan tentang logika, etika, estetika,
dan lain-lain 
ILMU FILSAFAT
1. Pengertian ilmu filsafat
Sebuah ilmu filsafat adalah ilmu yang mengandalkan logika dalam berfikir. Hal ini
menyebabkan filsafat menjadi ilmu yang berciri eksak, tetapi tetap ada nuansa spekulasi, dan
rasa keraguan di dalamnya.
Ilmu filsafat tidak dipelajari dengan melakukan suatu percobaan, akan tetapi dengan
penyampaian masalah secara utuh. Seseorang yang belajar ilmu filsafat dituntut untuk
mampu memberikan solusi dan argumentasi mengenai sebuah masalah. Ilmu filsafat ini
memerlukan sebuah logika bahasa dan logika berpikir yang rasional.
2. Manfaat ilmu filsafat
Menurut pengertian filsafat di atas, maka dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa manfaat
ilmu filsafat adalah untuk memecahkan suatu perkara atau masalah menggunakan logika.
Selain hal tersebut, filsafat juga berfungsi untuk mempertajam pola pikir pada diri seseorang.
Dengan demikian, maka ilmu filsafat termasuk salah satu cabang ilmu yang perlu untuk
dipelajari.

FILSAFAT ILMU

1. Pengertian filsafat ilmu

Filsafat adalah hasil pemikiran dan  perenungan secara mendalam  tentang sesuatu sampai
keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila
berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan
lain-lainnya. Pengertian filsafat ilmu

Konsep dasar filsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta  
kaitannya dengan  implementasi kehidupan sehari-hari. Pembahasan filsafat ilmu juga
mencakup sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan  paradigma (pola pikir)
dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan
aksiologis.

Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu,
yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat
menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat
disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat
menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan
validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam
penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan
model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Objek-objek Filsafat Ilmu

Objek filsafat ilmu adalah suatu bahan yang ditelusuri, diteliti, diselidiki atau dipelajari,
guna untuk memperoleh pengetahuan baru yang diketahui hakikatnya dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Objek filsafat ilmu dibedakan menjadi dua macam,
yaitu objek material dan objek formal.

A. Objek Material Filsafat Ilmu


Objek materi adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penilitian atau pembentukan
pengetahuan itu, yang di pandang atau diselidiki oleh disiplin ilmu.
Pengertian objek materi filsafat menurut para ahli:
1) Louis O. Kattsof
Objek material filsafat adalah segala pengetahuan manusia dan segala sesuatu yang ingin
diketahui manusia. (Surajiyo, 2007)

2) A. Fuad Ihsan
Objek material filsafat yaitu suatu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan
metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
(A. Fuad Ihsan, 2010)

3) M. Noor Syam
Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik
materiil konkret, phisis maupun nonmateriil abstrak, psikhis.termusuk pula pengertian
absrak-logis, konsepsional, spiritual dan nilai-nilai. Dengan demikian objek filsafat tak
terbatas. (Surajiyo, 2007)

4) Dr. Oemar Amir Hoesen


Masalah lapangan penyelidikan filsafat adalah karena manusia memiliki kecenderungan
hendak berfikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala yang ada dan
yang mungkin ada. Objek yang tersebut di atas adalah menjadi objek material filsafat.
(Surajiyo, 2007)

5) Drs. H.A. Dardiri


Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada
dalam kenyataan, maupun ada dalam kemungkinan.\\

Segala sesuatu yang ada, itu dapat dibagi dua hal, yaitu:
a) Ada, yang bersifat umum
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ‘ada’ pada umumnya disebut ontologi
b) Ada, yang bersifat khusus
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ‘ada’ yang bersifat khusus dibagi dua, yaitu:
- ‘Ada’ yang mutlak, yang disebut theodicea
- ‘Ada’ yang tidak mutlak terdiri atas alam (kosmologi) dan manusia (antropologi
metafisis). (Surajiyo, 2007)

Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa “Objek
material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian, atau pembentukan
pengetahuan, yang di pandang atau di selidiki, oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup segala
sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan, maupun ada dalam
kemungkinan”.

B. Objek Formal Filsafat Ilmu


Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya.
Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu
lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat
ilmu pengetahuan?, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fingsi ilmu itu
bagi manusia?. Problem inilah yang di bicarakan dalam landasan pengembangan ilmu
pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
1) Landasan ontologis pengembangan ilmu
Landasan ontologis pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaah ilmu pengetahuan
didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuan, yang secara
garis besar dibedakan atas dua aliran besar yang sangat mempengaruhi perkembanga ilmu
pengetahuan, yaitu materialisme dan spiritualisme. Materialisme adalah suatu pandangan
metafisik yang menganggap bahwa tidak ada suatu hal yang nyata selain materi.
Spiritualisme adalah suatu pandangan yang metafisik yang menganggap kenyataan yang
terdalam adalah roh yang mengisi dan mendasari seluruh alam.

Pengembangan ilmu berdasarkan pada meterialisme cendurung pada ilmu-ilmu kealaman


dan menganggap bidang ilmunya sebagai induk bagi mengembangan ilmu-ilmu lain.
Sedangkan spriritualisme cenderung pada ilmu-ilmu kerohanian dan menganggap bidang
ilmunya sebagai wadah utama bagi titik tolak pengembangan bidang-bidang ilmu lain.
2) Landasan epistemologis pengembangan ilmu
Landasan epistemologis pengembangan ilmu artinya titki tolak penelaah ilmu
pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah metode ilmial, yang secara garis besar dibedakan ke dalam dua
kelompok, yaitu siklus empiris untuk ilmu-ilmu kealaman dan metode linear untuk ilmu-ilmu
sosial-humaniora.

Cara keraja metode siklus empiris meliputi obsevasi, penerapan metode induksi,
melakukan eksperimentasi, verifikasi atau pengujian ulang terhadap hipotesis yang diajukan,
sehingga melahirkan sebuah teori. Adapun cara kerja metode linear meliputi penangkapan
indrawi terhadap realitas yang diamati, kemudian disusun sebuah pengertian (konsepsi),
akhirnya dilakukan prediksi tentang kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan.

3) Landasan aksiologis pengembangan ilmu pengetahuan


Landasan aksiologis pengembangan ilmu pengetahuan merupakan sikap etis yang harus
dikembangkan oleh seorang ilmuan, terutama dalam kaitanya dengan nilai-nalai yang
diyakini kebenarannya. Dengan demikian, suatu aktifitas ilmial senantiasa dikaitkan dengan
kepercayaan, ideologi yang dianut oleh masyarakat atau bangsa, tempat ilmu itu
dikembangkan (Rizal Mustansyir, dkk, 2001).

Persoalan-persoalan dalam kefilsafatan mengandung ciri-ciri seperti yang dikemukakan


Ali Mudhofir (1996), yaitu sebagai berikut:
 Bersifat umum, artinya persoalan kefilsafatan tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus,
dengan kata lain sebagaian besar masalah kefilsafatan berkaitan dengan ide-ide besar.
Misalnya; filsafat tidak menanyakan “berapa uang yang Anda habiskan dalam satu bulan?”.
Akan tetapi filsafat menanyakan “apa kebahagiaan itu?”.
 Tidak menyangkut fakta. Dengan kata lain persoalan filsafat lebih bersifat spekulatif.
Persoalan-persoalan yang dihadapi melampaui batas-batas pengatahuan ilmiah.
 Bersangkutan dengan nilai-nilai (values), artinya persoalan-persoalan kefilsafatan bertalian
dengan pernilaian, baik nilai moral, estesis, agama, dan sosial. Nilai dalam pengetahuan ini
adalah suatu kualitas abstrak yang ada pada sesuatu hal.
 Bersifat kritis, filsafat merupakan analisis secara kritis terhadap konsep-konsep dan arti-arti
yang biasanya diterima dengan begitu saja oleh suatu ilmu tanpa pemeriksaan secara kritis.
 Bersifat sinopti, artinya persoalan filsafat mencakup struktur kenyataan secara keseluruhan.
Filsafat merupakan ilmu yang membuat susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
 Bersifat implikatif, kalu sesuatu persoalan filsafat sudah terjawab, maka dari jawaban
tersebut akan memunculkan persoalan baru yang saling berhubungan. Jawaban yang
dikemukakan mengandung akibat-akibat lebih jauh yang menyentuh kepentingan-
kepentingan manusia.

Berfikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu lain.
Beberapa ciri berfikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Radikal, artinya berfikir sampai ke akar-akarnya, sehingga sampai hakikat atau substansi
yang dipikirkan.
b) Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
c) Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
d) Koheran dan konsisten. Koheran artinya sesuai kaidah-kaidah berfikir logis. Konsisten
artinya taat asas, tidak mengandung kontradiksi.
e) Sistematis, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f) Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara kafilsafatan
merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
g) Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan
merupakan hasil pemikiran yang bebas, yaitu bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, bahkan religius.
h) Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berfikir
sekalugus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya sendiri. (Mustansyir dan Munir, 2001)

3. Perbedaan dan persamaan filsafat ilmu dengan yang lainnya

A. Kedudukan filsafat ilmu dalam lingkungan fisafat secara keseluruhan adalah :


a) Bahwa filsafat ilmu berhubungan erat dengan filsafat ilmu pengetahua (epistemology)
b) Filsafat ilmu erat hubungannya dengan logika dan metodologi, dan dalam hal ini kadang-
kadang filsafat ilmu dijumbuhkan denganmetodologi ( Beerling, 1985; 4 ). Hubungan antara
filsafat dengan ilmu pengetahuan lebih erat dalam bidang ilmu pengetahuan manusia.Ilmu-
ilmu manusia seringkali lebih jelas masih mempunyai filsafat ilmu tersembunyi.

Persamaan filsafat ilmu dan ilmu lainnya, baik sejarah ilmu, sosiologi ilmu dan psikologi
ilmu adalah sebagai berikut :
1. Mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap lengkapnya sampai
keakar - akarnya.
2. Memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian -
kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab-sebanya.
3. Hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Mempunyai metode dan sitem.
5. Hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia
(objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar

Secara garis besar perbedaan filsafat ilmu dengan ilmu – ilmu lain, baik sejarah ilmu,
psikologi ilmu maupun sosiologi ilmu adalah :
1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan
menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan
yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu
lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu
sejarah hanya membicarakan kejadian – kejadian yang sudah terjadi di masa lampau, ilmu
psikologi hanya membicarakan tentang jiwa, dan ilmu sosiologi hanya membicarakan tentang
manusia.
2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu lainnya hanya membahas tentang sebab dan akibat suatu
peristiwa.
3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak
ke mana perginya. Sedangkan ilmu lainnya harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa
sebabnya.

4. Manfaat filsafat ilmu

1. Manfaat Mempelajari filsafat ilmu, akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan,
diantaranya:

a) Meningkatkan Cara Berpikir Kritis Dan Cermat

Mempelajari filsafat ilmu seperti manfaat filsafat pendidikan akan membuat seseorang,
terutama seorang ilmuwan agar tetap berpikir kritis. Dengan berprikir kritis dan cermat, maka
seseorang dapat terhindar dari sikap solipsistik atau menganggap bahwa pendapatnyalah yang
paling benar.

b) Memperluas Pola Pikir

Seorang ilmuwan akan terlalu asik dengan dunia ilmiahnya sendiri dan terkadang lupa
dengan hal yang ada disekitarnya. Dengan mempelajari filsafat ilmu seperti manfaat
mempelajari filsafat hukum, seseorang bahkan ilmuwan akan sadar tentang keterbatasan
dirinya yang juga tidak dapat lepas dari konteks sosial kemasyarakatan.

c) Membentuk Sikap Ilmiah

Terdapat batasan nilai epistemologis ketika mengembangkan manfaat mempelajari ilmu


pengetahuan sosial dan teknologi. Batasan ini akan mendorong sebuah wawasan agar
membentuk sebuah sikap yang ilmiah.

d) Mengatasi Bahaya Sekularisme Ilmu

Belajar filsafat ilmu dapat membantu mengatasi bahaya sekularisme ilmu dalam bidang
apapun. Adanya batasan nilai ontologis dalam mengembangkan ilmu, teknologi da juga
perindustrian dapat membantu mengatasi adanya bahaya sekularisme segala bidang ilmu.
e) Mendorong Berperilaku Adil dan Bertanggung Jawab

Dalam mengembangkan ilmu, teknologi dan perindustrian, terdapat batasan aksiologi yang
dapat menumbuhkan nilai-nilai etis dalam kehidupan serta mampu menambah manfaat hidup
bersatu. Paradigma aksiologis mampu memberikan dorongan agar seseorang dapat
berperilaku adil dan membentuk moral tanggung jawab pada diri seseorang.

f) Mengajarkan Untuk berpikir Logis

Mempelajari filsafat ilmu akan membantu ilmuwan untuk berpikir logis dan rasional.
Sehingga setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan. Ini
juga lebih baik untuk manfaat bersosialisasi dengan orang lain karena selalu berfikir logis.

g) Membantu Membedakan Persoalan

Filsafat ilmu akan menuntun seseorang dalam menyelesaikan sebuah masalah. Dengan
mempelajari filsafat ilmu manfaat manfaat ilmu sosial, seseorang akan memahami dan dapat
membedakan apakah masalah tersebut ilmiah atau tidka ilmiah. Sehingga, seseorang dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan tepat.

h) Mencegah Terjadinya Egoisme dan Ego-sentrisme

Pandangan yang diberikan ketika mempelajari filsafat ilmu akan menjadi lebih luas. Dengan
wawasan yang luas, seseorang dapat mencegah terjadinya egoisme dan ego-sentrisme atau
dalam kata lain mementingkan diri sendiri. Manfaat perilaku terpuji akan lebih maksimal
dengan orang yang memiliki ilmu.

i) Menyelesaikan Masalah Dengan Bijak

Dalam memecahkan masalah, harus mengambil langkah yang bijak agar permasalahan dapat
terpecahkan. Mempelajari filsafat akan membantu melihat berbagai persoalan yan ada
sehingga dapat diketahui bagaimana langkah untuk menyelesaikan masalah terseut. dengan
begitu, persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan bijaksana.

j) Memberikan Kesadaran Kedudukan Manusia

Mempelajari filsafat ilmu dapat membantu seseorang menyadari akan hakikatnya hidup
sebagai manusia. Dimana dia juga memiliki hubungan dengan orang lain, alam sekitar dan
juga kepada Tuhan. Dengan memiliki ilmu yang dalam manfaat organisasi dapat membantu
menyamakan kedudukan manusia.

5. Hubungan filsafat ilmu dengan psikologi

a) Psikologi dan filsafat dalam memandang ilmu alam dan supranatural


b) Psikologi dan Filsafat berbicara tentang moral
c) Filsafat dan Psikologi dikaitkan dengan pikiran dan kognisi
LOGIKA DAN ETIKA FILSAFAT

DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

ARJUNA PUTRA DARMA W.


NIM 1186011227
ADITYA PRATAMA PUTRA
NIM 11860

KELAS : 1E

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019
LOGIKA DAN ETIKA FILSAFAT

a. Pengertian Logika
 Menurut Etimologi

Logika berasal dari kata Yunani Kuno,  λσγσς (Logos) yang mempunyai arti sesuatu yang diutarakan,
pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa.
Oleh karena itu, logika menurut bahasa
adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan
melalui bahasa. Namun pengertian dasarnya sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau berpikir
benar, bukan tepat melainkan benar.

 Sedangkan logika menurut para ahli adalah sebagai berikut:

-          Jan Hendrik Rapar: Logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan
membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih
bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.[3]

-          K. Bertens: Logika adalah ilmu yang berguna untuk menyelidik lurus tidaknya pemikiran.[4]

-          Harry Hamersma: cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir, aturan-aturan mana
yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah.[5]

-          I Gusti Bagus Rai Utama: logika adalah ilmu yang memepelajari kecakapan untuk berfikir
secara lurus, tepat, dan teratur.[6]

-          Loren Bagus: Logika adalah studi tentang aturan-aturan penalaran yang tepat serta bentuk dan
pola pikiran yang masuk akal.[7]
               Dari pemaparan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa logika adalah ilmu yang membahas
aturan-aturan dan metode keabsahan atau ketepatan berfikir.[8]

Menurut Aristoteles logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan
atau cara penyusun pikiran. Aristoteles sangat menaruh perhatian pada bagian filsafat ini, bahkan
menganggapnya sebagai ilmu pendahulu filsafat. Ia di anggap sebagai bapak logika terutama dengan
buku yang disusun murid-muridnya yang berjudul “organon” atau instrumen tentang logika formal.

       Cicero-lah, Filsuf Yunani abad pertama, yang mengenalkan logika dalam filsafat. Meski sebagai
orang pertama-menurut sebagian besar-yang memperkenalkan istilah logika dalam filsafat, namun dia
mengartikan logika sebagai seni berdebat, bukan sebagai aturan dan metode menyingkap keabsahan
sebuah pernyataan. Sedangkan filsuf pertama yang menggunakan istilah logika seperti sekarang
adalah Alexander Aphrodisias, seorang filsuf abad ke-3 yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu
yang menyelidiki lurus atau tidaknya pemikiran.[10]

       Logika yang berkembang dewasa ini merupakan sebuah metode berfikir yang sesuai aturan,
tentunya, aturan ini bersinergi kepada epistemologi yang dipegang oleh masing filsuf. Seperti filsuf
rasionalisme, berpegang pada aturan-aturan keabsahan berfikir secara rasional, filsuf empirisme
berpegang kepada aturan-aturan empirik. Namun demikian, aturan-aturan keabsahan tersebut
merupakan aturan ilmiah sehingga bisa dijadikan dasar kelogisan berpikir ilmiah. Hal ini dikarenakan
filsafat kontemporer memposisikan logika sebagai suatu metode berpikir ilmiah sehingga aturan-
aturan dalam metode tersebut harus sesuai dengan criteria metode ilmiah.

Oleh karena itu, beberapa filsuf mengkategorikan logika kepada logika ilmiah dan alamiah,
artinya logika meski membicarakan metode dan aturan berpikir, namun pemikiran tidak semuanya
bisa mengikutinya. Seperti logika ilmiah adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis (proposisi)
dengan ketentuan ilmiah, berbeda dengan logika alamiah yang terkadang mengesampingkan
ketentuan ilmiah.

        Ahmad Tafsir dalam bukunya, Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa berpikir dengan logika (logis)
adalah penyimpulan sebuah proposisi yang ada atas kesuasaiannya dengan hukum alam. Sedangkan
rasional adalah menarik kesimpulan seseuai dengan akal. Sebaliknya, logika alamiah adalah
penyimpulan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum alam, tetapi hal ini dapat dipergunakan
sebagai pengetahuan selama argument-argument yang dipakai untuk menyimpulkannya dapat
diterima akal.[11]  logika alamiah ini kemudian dikenal dengan logika suprarasional.

               Salah satu contohnya adalah Ibrahim dan Api sebagaimana yang termuat kisahnya dalam al-
Quran. Dari kisah tersebut, jika dilihat dari logika (sebagai metode dan aturan berfikir yang benar),
tentunya menjadi seperti ini:
               Ibrahim adalah Manusia

               Api menghanguskan benda yang dibakar

               Manusia dibakar hangus

               Tentunya, logika ilmiah menarik kesimpulan Ibrahim dibakar hangus. Tetapi, sebagaimana
yang dikisahkan dalam al-Quran bahwasannya Ibrahim tidak hangus. Oleh karena itu, menurut logika
ilmiah peristiwa terbakarnya Ibrahim tidak dibenarkan. Namun dengan kacamata logika alamiah, hal
itu dapat dibenarkan dengan argument-argument seperti ini.

        Tuhan membuat api. Api itu terdiri atas dua substansi, yaitu api dan panas. Api dan panas sama-
sama diciptakan oleh Tuhan. Namun, secara kondisional dan kepentingan Tuhan, Tuhan mengubah
sifat api dari panas menjadi dingin. Bolehkah Tuhan berbuat seperti itu?[12]

        Dengan penjelasan Ahmad Tafsir diatas, tentunya dapat disimpulkan bahwa logika adalah
pijakan berfikir logis, berfikir logis merupakan menarik sebuah kesimpulan atas premis-premis yang
ada beserta argumennya dan dapat diterima oleh akal.Penjelasan Tafsir tersebut juga perlu digaris
bawahi bahwasannya logika merupakan suatu metode berfikir yang integral dengan corak dan aliran
epistemologi yang dianutnya.

b. Objek Logika

Membicarakan logika sebagai ilmu tersendiri, tentunya membawa kepada pertanyaan objek kajian
logika. Dalam disiplin ilmu pengetahuan, objek kajian terbagi menjadi dua, objek formal dan
material. Hal ini juga berlaku kepada kajian logika sebagai suatu disiplin ilmu.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwasannya logika adalah ilmu yang mempelajari metode
dan aturan-aturan berpikir yang sah. Berawal dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwasannya objek material dari logika adalah berfikir atau pemikiran tentang ilmu itu. Sedangkang
objek formal dari logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir.

Pembagian objek kajian logika, menurut sebagian orang, akan bertemu pada psikologi. Seperti yang
sudah diketahui, objek material suatu keilmuan masih memungkinkan sama dengan objek material
ilmu lainnya. Semisal, objek material filsafat dan kedokteran sama, yaitu manusia. Sama halnya
dengan filsafat dan kedokteran, objek material logika dan psikologi sama, yaitu kajian aktivitas
berpikir.

Logika mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Psikologi juga


membicarakan aktivitas berpikir, karena itu kita hendaklah berhati-hati melihat persimpangannya
dengan logika. Psikologi mempelajari pikiran dan kerjanya tanpa menyinggung sama sekali urusan
benar salah. Sebaliknya, urusan benar salah menjadi pokok dalam logika.[13]

c. Macam-Macam Logika

Tidak sedikit buku yang membahas persoalan logika dalam filsafat, sejak era klasik hingga sekarang
berjumlah ratusan. Akibatnya, bagi sebagian orang macam-macam logika sangat membingungkan
dikarenakan dalam buku tertentu macam-macam logika belum tentu dijumpai dalam buku-buku
lainnya. Oleh karena, secara sederhana penulis ingin membagi beberapa macam logika sependek
pengetahuan yang dimiliki hasil dari pembacaan beberapa refrensi yang ada.

1.      Logika dilihat dari kualitas

    a.       Naturalis

    Naturalis dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang bersifat alami, bercorak alam nyata.
[14] Sedangkan yang dimaksud disini bahwa logika naturalis adalah kecakapan berlogika berdasarkan
kemampuan akal bawaan manusia.[15] Sebagai manusia ciptaan Tuhan, tentunya manusia manusia
memiliki beberapa pengetahuan yang sudah terkonstruk dalam pikirannya yang berguna untuk
kehidupan sehari.

Secara nyata, logika naturalis adalah metode dan aturan berfikir kaum rasionalis. Mereka memandang
bahwa adanya prinsip-prinsip dasar dalam dunia dimana hal itu bersumber dalam budi manusia dan
diakui kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu, bagi mereka pengetahuan tidak berdasarkan
pengalaman atau eksperimen, namun berdasarkan kepada ide bawaan (Rene Descartes).

Dengan demikian, dalam buku-buku filsafat corak pemikiran seperti ini biasanya dirujukkan kepada
tokoh-tokoh Rasionalis, seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Wolf dan berakar kepada Plato dan
Aristoteles.    

b.      Ilmiah

    Berbeda dengan naturalis, logika ilmiah lahir sebagai jawaban dari kekurangan dari logika
naturalis. Logika ilmiah lebih menitik beratkan kepada penyusunan hukum-hukum, aturan, patokan
dan rumus-rumus berpikir lurus. Lebih jauh lagi, bahwasannya kehadiran logika ilmiah memperhalus
dan mempertajam pikiran dan akal budi. Dengan demikian, kesimpulan-kesimpulan logis dari premis-
premis yang dinyatakan dapat dipertanggungjawabkan pembuktiannya.  
2.      Logika dilihat dari waktunya

a.       Tradisional

Tidak jauh berbeda dengan logika alamiah, bahwasannya logika tradisional adalah metode dan aturan
berpikir logis mengikuti beberapa tokoh klasik, seperti Aristoteles, Logikus dan sebagainya. Namun,
perbedaannya adalah logika tradisional tidak mengungkung dirinya hanya kepada tokoh-tokoh
Rasionalis, tokoh-tokoh klasik empiris, seperti kaum Stoa, Chrysippus, Johanes Damascenus dan
Boethius.  

b.      Modern

Jika logika tradisional dapat dikatakan sebagai Aristoteles sentries, maka logika modern sebaliknya.
Dalam logika modern, logika-logika yang berpusat kepada Aristoteles atau filsuf-filsuf klasik
ditinggalkan. Era ini ditandai dengan penemuan logika baru oleh Raymundus Lullus dengan
istilahnya, ars magna.

Dalam logika tradisional setidaknya perkembangannya dipengaruhi oleh rasional dan empirisme.
Namun begitu, kehadiran Lullus mencoba memberi warna baru dengan mengatakan bahwasannya
pengetahuan tidak hanya berpusat kepada rasionalis dan empirisme, namun dimensi mistik perlu
dipertimbangkan.[16]

Berbeda dengan Lullus, filsfus Jerman, Immanuel Kant lebih condong mengatakan bahwa metode
atau aturan logika berpusat kepada akal budi yang disintesiskan dari rasio dan pengalaman inderawi.
Selain itu, Henry Bergson (1859) juga menganggap tidak hanya akal terbatas, pengalaman juga
terbatas. Oleh karena itu, metode dan aturan berpikir yang absah adalah intuisi.[17]

Selain itu, menurut Theodore Sider perkembangan logika modern merupakan perkembangan logika
matematika dan simbol. Dalam artian, logika modern melihat bahasa sebagai alatnya dengan definisi
formal, kalimat-kalimat formal dan sebagainya.[18]Lebih lanjut, logika modern menggunakan teknik-
teknik matematika dalam menganalisa sebuah bahasa, salah satu contohnya adalah dengan
menggunakan rumus-rumus.

3.      Logika dilihat dari obyeknya

a.       Formal

Logika adalah metode dan aturan berpikir yang benar. Oleh karena itu, benar atau tidaknya suatu
kesimpulan dari premis-premis yang dibicarakan dalam logika memiliki dua kategori, benar dalam
bentuknya dan benar dalam substansinya.
Logika formal adalah logika yang membicarakan kebenaran sebuah pernyataan dari sisi bentuknya.
Pernyataan dianggap logis secara formal apabila kesimpulan yang ditarik logis dari premis dengan
mengabaikan isi yang terkandung didalamnya.[19] Dengan demikian, logika formal akan mempunyai
kesimpulan yang benar jika memiliki bentuk pernyataan yang benar. Misalnya,

Semua binatang adalah mati

Semua cicak adalah mati

Jadi, semua cicak mati

Contoh diatas memiliki bentuk premis yang dapat dibenarkan, hal ini berbeda dengan contoh dibawah
ini,

Semua PNS adalah penerima gaji

Semua Pegawai Swasta adalah penerima gaji

Jadi, semua PNS adalah pegawai swasta.

Contoh diatas tidak dilihat ilmu logika kesimpulannya tidak dapat dibenarkan, hal ini dikarenakan
bentuk dari kesimpulannya tidak memiliki dasar terhadap bentuk premis-premisnya. Bagaimana
dengan kesimpulan yang mengabaikan substansi premisnya? Berikut contohnya.

Malaikat itu benda fisik

Batu itu malaikat

Maka, batu itu benda fisik[20]

Contoh diatas memperlihatkan bahwasannya kesimpulannya logis secara bentuknya karena


kesimpulannya ditarik dari bentuk premis-premis yang ada. Namun, logika tersebut, tentunya, tidak
benar jika dilihat dari substansi, baik premisnya maupun kesimpulannya.

b.      Material

Selain kebenaran logika dilihat dari bentuknya, keabsahannya juga dapat dilihat dari substansi atau
isinya. Logika material adalah kesimpulan premis yang ditarik dari substansi atau isi premis-premis
yang ada. Berbeda dengan logika formal, logika material penekanan kebenaran kesimpulannya berada
pada substansi kesimpulan sesuai dengan substansi premis yang ada.

Oleh karena itu, dalam memahami logika formal maupun material diperlukan sebuah pengetahuan
yang benar ketika membuat sebuah premis. Jika premis tersebut secara nyata berisikan sesuatu yang
salah, maka dapat dipastikan substansi kesimpulan juga salah. Perhatikan beberapa contoh dibawah
ini.

-                      Manusia adalah binatang berkaki empat

Alibaba adalah manusia

Jadi, alibaba adalah binatang berkaki empat

-                      Semua ayam mempunyai kaki

Dadang bukanlah ayam

Jadi, dadang mempunyai kaki[21]

Dari dua contoh diatas, jika ditelaah lebih lanjut maka contoh pertama merupakan contoh yang
menunjukkan keabsahan bentuk kesimpulannya, tidak pada sisi substansinya. Sedangkan contoh
kedua menunjukkan bahwa kesimpulannya absah secara substantif, tidak secara bentuknya.

4.      Logika dilihat dari proses atau dasar pemikiran

a.       Deduksi

Logika deduktif adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis yang ada, premis-premis tersebut
merupakan sebuah pernyataan umum yang sudah diketahui.[22] Oleh karena itu, sebagian orang
mengatakan bahwasannya logika deduksi (dan induksi) merupakan logika yang dikembangkan oleh
filsuf klasik sekitar abad ketiga Sebelum Masehi (SM). Salah satu metode deduksi yang sering
dipakai adalah silogisme. Seperti Aristoteles, dia mengatakan bahwa silogisme merupakan sebuah
argumen yang diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan berlainan.[23]

Oleh karena itu, silogisme adalah penalaran atau penarikan kesimpulan yang terdiri dari tiga
proposisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan premis (anteseden), sedangkan proposisi yang
ketiga merupakan kesimpulan (konsekuen). Premis pertama digolongkan kepada premis mayor,
sedangkan premis kedua dikategorikan sebagai premis minor.[24]

Perhatikan contoh berikut ini.

Semua manusia adalah berakal

Hasan adalah manusia

Jadi, hasan adalah berakal


Memang, dilihat dari contoh-contoh diatas maka dijumpai kesulitan untuk memahami dikarenakan
adanya kemiripan contoh. Namun, Mundiri membatasi patokan-patokan terhadap logika yang disebut
dengan silogisme sebagai berikut.

-          Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus partikular

-          Apabila salah satu premis negatif, kesimpulannya harus negatif

-          Dari dua premis yang sama-sama partikular, maka tidak sah mengambil sebuah kesimpulan

-          Dari dua premis yang sama-sama negatif, maka tidak menghasilkan kesimpulan apapun[25]

Berbeda dengan Mundiri, Sabarti Akhadiah memberikan patokan logika silogisme sebagai berikut.

-          Di dalam silogisme hanya ada tiga macam: term mayor, term minor dan tengah

-          Term dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term-term dalam premisnya

-          Term tengah tidak boleh terdapat dalam kesimpulan

-          Term tengah sekurang-kurangnya satu kali harus distributif[26]

Dari patokan yang diberikan kedua tokoh diatas, sesungguhnya tidak ada perselisihan, namun satu
sama lainnya melengkapi, sehingga dapat di gabungkan kedua patokan tersebut menjadi sebuah
patokan umum yang harus dipatuhi dalam silogisme.

b.      Induksi

Jika penalaran deduksi adalah menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum, maka penalaran atau
logika induksi sebaliknya. Logika induksi adalah penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari
premis-premis yang bersifat khusus. Misalnya,

Sapi itu binatang bermata

Cicak itu binatang bermata

Kerbau itu binatang bermata

Jadi, semua binatang bermata.

Tentunya, bagi para pembaca akan menimbulkan pertanyaan, seperti dimakah letak perbedaan antara
deduksi dan induksi selain prosesnya? Suwardi dalam bukunya, Filsafat Ilmu, menjelaskan dengan
tabel sebagai berikut.
Induksi Deduksi

Proses pemikiran dari sesuatu Proses pemikiran dari sesuatu


yang khusus kemudian yang umum kemudian
disimpulkan kepada yang umum disimpulkan kepada yang khusus

Kesimpulan induksi bersifat Kesimpulan deduksi bersifat


generalisasi dan sintesis analitis

Penalaran induksi bersifat Penalaran deduksi bersifat sahih


probable dengan lainnya dengan relevansi premis yang
bergantung kepada alasan ada

Penalaran induktif tidak siap Penalaran deduksi adalah


dipakai untuk menjelaskan tonggak penalaran untuk
deduksi perkembangan keilmuan

Tabel : Suwardi Endraswara (2013:192-193)

5.      Logika dilihat dari kesimpulannya

a.       Langsung

Logika langsung yang dimaksud disini adalah penalaran yang premisnya sebuah proposisi dan
langsung disusul dengan proposisi sebagai kesimpulannya. Untuk memahaminya, cermati contoh
sebagai berikut.

Kerbau itu Binatang

Sebagian binatang itu kerbau

b.      Tidak langsung  

Berbeda dengan logika langsung, logika tidak langsung adalah sebuah penalaran dengan
kesimpulannya berdasarkan atas beberapa proposisi. Contohnya sebagai berikut.

            Kerbau itu binatang

            Binatang itu buaya


Cicak itu binatang

            Sebagian binatang itu kerbau

d. Manfaat Logika Dalam Pengembangan Keilmuan

Secara historis, peranan logika sudah diaplikasikan oleh manusia untuk menguraikan peristiwa-
peristiwa yang terjadi, meski logika mistis atau dongeng. Namun, dalam perkembangannga logika
ilmiah lebih dikedepankan dalam hal itu guna memperoleh pengetahuan yang lebih ilmiah.[27] Lebih
lanjut, sebuah pengetahuan harus memiliki unsurreasonable untuk diterima. Tentunya, unsur tersebut
bertemu dengan fungsi logika itu sendiri, yaitu menjelaskan alasan-alasan tentang suatu kesimpulan
yang dapat diterima dan tidak.

Dengan demikian, tugas logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah membuka cara
berpikir logis ilmuwan dalam tata cara kerja ilmiah. Sebaliknya, ilmu pengetahuan sebagai hasil
aktifitas logika. Logika dan pengetahuan merupakan dua term yang tidak dapat dipisahkan.
Pengetahuan tanpa logika bohong dan logika tanpa pengetahuan kosong.

Lebih lanjut, manfaat logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperinci sebagai berikut.

1.      Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan metode dan aturan abstrak yang dapat
dipakai dalam pengembangan semua keilmuan.

2.      Daya berpikir abstrak tersebut membantu melatih dan mengembangkan daya berpikir ilmiah

3.      Logika mencegah ketersesatan berpikir yang harus dihindari oleh ilmu pengetahuan

4.      Logika modern membantu berpikir secara mandiri dan membedakan pikiran yang salah dan
benar.

5.      Selain itu, logika membantu berpikir lurus, tepat dan teratur sehingga membantu memperoleh
kebenaran yang menjadi modal penting dalam pengembangan pengetahuan.[28]

e. Proposisi, Logika dan Objektivitas


Dalam uraian diatas, proposisi selalu menghiasi ketika mencoba memahami arti dari sebuah logika,
hal ini dikarenakan proposisi merupakan bagian integral dari logika itu sendiri. Lebih jauh lagi,
keabsahan sebuah logika tergantung pada kebenaran proposisi yang disusun untuk dijadikan sebuah
premis, baik premis mayor maupun minor.

Proposisi dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan pembenaran atau pengingkaran atas pemahaman
sederhana. Proposisi merupakan sebuah proses lanjutan dari kerja intelek, pemahaman sederhana, dan
merupakan sebuah proses awal dari kerja intelek terakhir, yaitu penalaran.[29] Ketiga cara kerja inilah
yang dinamakan cara kerja intelek secara komprehensif.

Perhatikan contoh berikut ini,

Hasan adalah manusia penyabar

Besi dipanaskan akan memuai

Agus Salim adalah diplomat

Semua pengetahuan sederhana yang tertuangkan dalam pernyataan diatas adalah proposisi, atau dalam
kata lain proposisi merupakan pernyataan dari pemahaman sederhana yang dibenar dan salahkan.
Oleh karena itu, jika ada sebuah pernyataan dari pemahaman sederhana tetapi tidak dapat dinilai benar
atau salah, namun hanya sebuah pernyataan yang menunjukkan sebuah kehendak atau keinginan,
maka hal itu bukanlah sebuah proposisi. Misalnya,

Semoga Tuhan melindungimu

Ambilkan saya segelas air

Alangkah cantiknya gadis itu

Menjadi sebuah pertanyaan disini adalah validitas kebenaran dan kesalahan sebuah proposisi. Dari
sini, perlu penulis jelaskan bahwasannya kebenaran proposisi itu dilihat dari ketegori proposisi itu
sendiri. Setidaknya, proposisi secara ketegoris terdapat dua macam, yaitu proposisi analitik dan
proposisi sintetik. Proposisi analitik adalah proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang
sudah terkandung pada subyeknya. Sedangkan proposisi sintetik adalah proposisi yang predikatnya
mempunyai pengertian yang bukan menjadi keharusan bagi subyeknya.

Kuda adalah hewan

Pepaya ini manis


Dari kedua contoh proposisi diatas, contoh pertama merupakan proposisi analitik, dikarenakan
pengertian hewan sudah dapat dimengerti dalam kata kuda. Sedangkan contoh kedua dinamakan
proposisi sintetik, dikarenakan pengertian manis belum terkadung dalam subyeknya, yaitu pepaya.

Kedua macam proposisi tersebut sesungguhnya adalah pemahaman mengenai sumber pengetahuan itu
sendiri. Dalam proposisi pertama, dituntut adanya sebuah pengetahuan alamiah, a priori, untuk
memahaminya. Sedangkan proposisi kedua adalah sebuah pengetahuan yang bersifat a
posteriori, sebuah pengetahuan yang validitasnya tergantung kepada sebuah pengalaman inderawi.
[30]

Dengan demikian, hubungan antara proposisi, logika dan objektivitas erat. Penalaran ilmiah
membutuhkan kebenaran logika dalam berpikirnya, sedangkan kebenaran logika bertumpu kepada
kebenaran proposisi yang disusun. Kebenaran-kebenaran, baik dalam proposisi dan logika, tentunya
bersifat relatif, tidak mutlak. Dari sini, sikap obyektif seorang ilmuwan diperlukan untuk melihatnya
dengan benar. Ketika proposisi dibangun dengan rasionalitas, bukan emperis, maka ketika menilai
proposisi tersebut dan digunakan sebagai logika ilmiah hendaklah menyikapinya dengan rasional,
bukan emperical.

f. Logika Dalam Studi Islam

Sungguh menguras tenaga dan pikiran tatkala harus menjelaskan logika dalam Studi Islam. Secara
eksplisit, Islam dijadikan sebagai obyek keilmuan tentunya membutuhkan logika untuk
mengembangkannya sebagaimana keilmuan lainnya. Namun secara historis, justru logika merupakan
salah satu dimensi yang menyebabkan keilmuan dalam Islam stagnan. Hal ini tentunya dapat
dimengerti karena perkembangan keilmuan berbanding lurus dengan perkembangan Logika atau
sebaliknya.

Terlepas dari itu semuanya, dengan segala keterbatasan dan kedangkalan keilmuan yang dimiliki oleh
penulis, dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi penyebab kemunduran
atau stagnasi Logika yang ada dalam Islam (studi ,Red).

Menurut hemat penulis, ada beberapa alasan mengapa logika dalam Islam mengalami stagnasi, yaitu

   1.      Bergulat dengan Hukum

    Logika dalam Islam sebenarnya sudah diajarkan dan diamalkan sudah jauh hari oleh Umat Islam.
Dalam Studi Islam, Logika beristilahkan dengan Ilmu Mantiq.[31] Dalam buku monumentalnya al-
Akhdhari, ilmu mantiq, para sarjana Muslim sesungguhnya masih berpolemik atas hukum
mempelajari Logika. Dalam perkembangan keilmuan, polemik hukum mempelajarinya telah
mempengaruhi sebagian umat Islam untuk mempelajarinya, sehingga perkembangannya tidak
signifikan. Logika yang ada dalam kitab-kitab klasik belum juga terbarukan dengan logika-logika
baru hasil “sintesis” sarjana modern maupun kontemporer.

Polemik hukum dan keterpengaruhan hukum Logika (Ilmu Mantiq) dalam dunia Islam, terlebih Islam
yang berada ditimur lebih menerima ajaran al-Ghazali dan Syafi’i, berimbas pada mental pelajar
Muslim untuk menekuni dunia logika. Lebih jauh lagi, hukum yang tersebar dan menduduki rangking
pertama adalah haram, sehingga menimbulkan antipati terhadap logika oleh umat Islam.

    2.      Romantisisme Mu’tazilah

    Nama golongan ini mungkin secara nyata sudah tidak ada dalam dunia kontemporer. Namun,
secara keilmuan, hal itu dapat dijumpai lagi. Padahal, golongan inilah yang secara historis telah
mampu membawa Islam bersanding dengan agama-agama lain secara ilmiah. logika jika
dipertemukan dalam agama tidak ada salahnya. Seperti pisau, pisau itu akan membahayakan dan
tidaknya berbanding lurus kepada yang memegang dan memanfaatkannya. Jadi pisau dan logika tidak
pernah salah, namun oknum yang memegang dan memanfaatkannya lah yang salah. Sehingga begitu
naif, jika alat itu yang dijudgment bersalah atas tindakan oknum yang yang memeganginya.

Oleh karena itu, ketika Hamka dipenjara, dia berkata, “kalian bisa memenjarakan fisik saya, tapi
pikiran dan akal saya tidak bisa dipenjarakan oleh siapa pun”. Hal ini karena pikiran maupun akal
tidak bisa dihentikan untuk selalu berproses melahirkan pemikiran-pemikiran. Seharusnya, umat
Muslim tidak terpengaruh secara signifikan terhadap hukum mempelajari Logika, tetapi tetap
mempelajari untuk kepentingan keilmuan itu sendiri.

     KESIMPULAN

Dari pemaparan diatas bahwasannya kesimpulannya adalah

   1.      Logika lahir bersamaan dengan kehadiran filsafat, meskipun secara istilah baru dijumpai pada
abad pertama masehi, namun logika sudah lahir sejak jauh hari.

   2.      Logika merupakan sebuah ilmu tentang metode dan aturan berpikir yang absah, benar atau
salah. Keabsahan, kebenaran atau kesalahan itu juga tergantung kepada logika mana yang dipakai.

   3.      Objek material dari logika adalah berfikir. Sedangkang objek formal dari logika adalah metode
atau aturan-aturan keabsahan berfikir

   4.      Tentunya, kehadiran logika sejak awal sangat membantu pengembangan keilmuan


dikarenakan sifat dasar keduanya yang sama. Oleh karena itu, perkembangan dan kemunduran ilmu
berbanding lurus (salah satu faktornya) dengan perkembangan dan kemunduran Logika
ETIKA
Pengertian Etika
Pengertian Etika – Etika merupakan hal yang sangat penting untuk kita dalam menjalin
hubungan sesama manusia, baik dalam hal pergaulan sesama kawan ataupun dengan orang
yang lebih tua dari kita. Baik dalam bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia
bergaul.

Dengan adanya sistem pengaturan pergaulan tersebut membuat kita saling menghormati dan
dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud dari
pedoman pergaulan ini tidak lain adalah untuk menjaga kepentingan masing-masing yang
terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari
tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui
tentang pengertian etika serta macam-macam etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan
moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan
moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan,
yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang
lebih baik (su). Dan yang kedua adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu
akhlak.
Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik.

Pengertian Etika Menurut Para Ahli

 Menurut K. Bertens: Etika adalah nilai-nila dan norma-norma moral, yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku.
 Menurut W. J. S. Poerwadarminto: Etika merupakan studi tentang prinsip-prinsip
moralitas (moral).
 Menurut Prof. DR. Franz Magnis Suseno: Etika adalah ilmu yang mencari orientasi
atau ilmu yang memberikan arah dan pijakan dalam tindakan manusia.
 Menurut Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian
etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk
ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang
kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan
tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human
nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Etika ialah nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:

 Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila)
yang lebih baik (su).
 Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
 Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang
pembahasan Etika.
 Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini ialah, etika dipelajari untuk ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
 Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan
(adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat
dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Jadi dapat kita simpulkan etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.

Jenis-Jenis Etika
1. Etika Filosofis

Secara harfiah etika filosofis dapat dianggap sebagai etika berasal dari aktivitas berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, etika sebenarnya adalah bagian
dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Oleh karena itu, jika Anda ingin tahu unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga tentang
unsur-unsur filsafat. Berikut ini menjelaskan dua sifat etika:

 Filsafat non-empiris diklasifikasikan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu pengetahuan


empiris adalah ilmu berdasarkan fakta atau beton. Tapi filosofi ini tidak terjadi, filosofi
mencoba untuk melampaui beton seakan bertanya apa yang ada di balik gejala beton.
 Cabang filsafat praktis untuk berbicara tentang sesuatu “ada”. Misalnya, filsafat
hukum mempelajari apa itu hukum. Tetapi etika tidak terbatas pada itu, tapi bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang harus dan tidak harus menjadi
manusia. Tapi ingat bahwa etika tidak praktis dalam arti menyajikan resep siap pakai.

2. Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis tidak
terbatas pada agama tertentu, tapi setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-
masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena banyak
unsur di dalamnya yang dalam etika secara umum, dan dapat dipahami sebagai memahami
etika secara umum.
3. Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Ada perdebatan tentang posisi etis etika filosofis dan teologis di ranah etika. Sepanjang
sejarah pertemuan antara kedua etika, ada tiga jawaban yang diusulkan penting untuk
pertanyaan di atas, yaitu:

 Revisionisme

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430), yang menyatakan bahwa kewajiban untuk
merevisi etika teologis, benar dan meningkatkan etika filosofis.

 Sintesis

Jawaban yang diusulkan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang mensintesis etika filosofis
dan etika teologis sehingga dua jenis etika, untuk melestarikan identitas masing-masing,
menjadi sebuah entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang
bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

 Diaparalelisme

Jawaban yang diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika
teologis dan etika filosofis sebagai fenomena paralel. Hal ini dapat sedikit seperti sepasang
rel kereta api paralel.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan
menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:

1. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
2. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik
buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih
bersifat sosiologik.
3. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan
evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam
hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan
merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

Manfaat Etika
Beberapa manfaat Etika adalah sebagai berikut  :

 Dapat membantu suatu pendirian dalam beragam pandangan dan moral.


 Dapat membantu membedakan mana yang tidak boleh dirubah dan mana yang boleh
dirubah.
 Dapat membantu seseorang mampu menentukan pendapat.
 Dapat menjembatani semua dimensi atau nilai-nilai

Contoh Etika

1. mengucapkan salam saat bertamu


2. cium tangan orang tua sebelum melakukan aktifitas sehari-hari
3. membuang sampah pada tempatnya
4. meminta maaf saat melakukan kesalahan
5. makan menggunakan tangan kanan
  

FILSAFAT NILAI, MORAL DAN NORMA

DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

Nadia Nur Syifa (11860122175)

Siti Alsurra (11860122275)

KELAS : 1E

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019
Pendahuluan

Pada dasarnya manusia dalam kehidupannya tidak bisa hidup dengan seenaknya sendiri,
karena dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai aturan, dimana aturan-aturan tersebut
sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang sesuai dengan kaidah yang berlaku di
masyarakat. Sehingga manusia atau individu yang memiliki moral baik, dapat bertindak dan
berperilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah moral
dalam bersosialisasi di kehidupan masyarakat mempunyai alasan pokok, yaitu salah satunya
untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat
menyesuaikan diri dengan tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah
sosial yang terdapat dalam masyarakat, maka dimanapun ia hidup, ia tidak dapat diterima
oleh masyarakat.

Kita berharap bahwa individu yang mempunyai moral baik kemungkinan dapat
mempengaruhi karakter moral masyarakat secara keseluruhan. Hanya manusialah yang dapat
menghayati norma-norma, serta nilai-nilai dalam kehidupannya sehingga manusia dapat
menetapkan tingkah laku yang baik dan bersifat susila.

Rumusan masalah

1. Definisi Nilai, Moral dan Norma


2. Macam-macam Nilai dan Norma
3. Ciri-ciri Nilai
4. Hubungan antara Nilai dan Norma
5. Kesimpulan
I.Definisi

Nilai

Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat
pada suatu obyek. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi
dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan.

Moral

Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan.


Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan
perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma
yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.

Norma

Norma adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat.
Orang yang ingin hidup harmonis maka wajib mematuhi aturan atau ketentuan tersebut jika
tidak ingin mendapatkan sanksi baik hukum atau sosial.

Pengertian norma sendiri adalah tatanan atau pedoman yang diciptakan manusia sebagai
makhluk sosial yang sifatnya memaksa atau manusia wajib tunduk pada peraturan tersebut.

II. Macam-macam Nilai dan Norma

Norma dalam masyarakat dibedakan menjadi 4 yaitu:

1. Cara (usage).

Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat
tetapi tidak secara terus-menerus. Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak
mengeluarkan suara seperti hewan.

2. Kebiasaan (Folkways)

Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang
dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau
kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3. Tata kelakuan (Mores)

Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari
sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh
sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur
memaksa atau melarang suatu perbuatan. Fungsi mores adalah sebagai alat agar para anggota
masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Contoh:
Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.

4. Adat istiadat (Custom)

Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat
kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Adat istiadat
adalah kebudayaan abstrak atau sistem nilai. Pelanggaran terhadap adat istiadat akan
menerima sanksi yang keras baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya orang yang
melanggar hukum adat akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.

 Notonagoro membagi nilai kedalam tiga macam yaitu:

1. Nilai Material 

          Nilai material adalah nilai yang muncul dari materi atau benda yang bersangkutan.
Misalnya makanan yang memiliki nilai bagi manusia sebagai memenuhi hasrat pemenuhan
energi. 

2. Nilai Vital 

          Nilai Vital adalah suatu nilai yang ada kegunaannya. Contohnya, Pisau yang memiliki
nilai karena kegunaanya untuk memotong sesuatu, jika sebuah pisau sudah tumpul, maka
nilainya akan merosot karena ia menjadi tidak berguna. 

3. Nilai Spiritual

          Nilai spiritual adalah nilai yang ada di dalam kejiwaan manusia. Nilai spiritual dibagi
lagi menjadi 4 nilai yaitu  : 

1.Nilai Estetika adalah nilai yang terkandung pada suatu benda perdasarkan keindahannya,
penilaian terhadap nilai estetika ini adalah indah,bagus atau jelek.

2.Nilai Moral adalah nilai yang berdasarkan kepada baik atau buruknya suatu

perbuatan seseorang manusia berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang bersifat universal. Nilai
ini bersifat umum walaupun setiap masyarakat memiliki pedoman nilai yang berbeda. Namun
dalam penerapannya bisa saja terjadi perbedaan karena ada pengaruh budaya di dalamnya. 

3.Nilai Religius atau Nilai Kepercayaan adalah nilai berdasarkan kepercayaan seseorang. 

4.Nilai Logika (Kebenaran Ilmu Pengetahuan) adalah tentang benar atau salah. Nilai ini fakta
ilmiah. Nilai ini dapat pula menjadikan logika sebagai sumbernya.
III. Ciri-ciri Nilai

Nilai sosial mempunya berbagai ciri-ciri yaitu sebagai berikut : 

 Nilai sosial merupakan suatu konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi
diantara para anggota masyarakat. 

 Nilai sosial bukan merupakan bawaan lahir, artinya nilai ini menyebar karena
disebarkan diantara anggota masyarakat. 

 Nilai sosial membimbing masyarakat dalam mengambil keputusan untuk pemenuhan


– pemenuhan kebutuhan sosial. 

 Nilai sosial dapat membantu masyarakat agar berfungsi dengan baik

 Nilai sosial terbentuk melalui proses sosialisasi (proses belajar dari pengalaman) 

 Nilai secara konseptual merupakan abstraksi dari unsur-unsur nilai dan macam-
macam objek yang ada di dalam masyarakat 

 Nilai sosial dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial dalam masyarakat, baik
positif maupun negatif.

 Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda terhadap masing-masing anggota


masyarakat. 

 Nilai sosial cenderung berkaitan satu dengan lainnya secara komunikasi untuk
membentuk berbagai pola dan sistem yang bervariasi antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan lainnya.

Fungsi Nilai

Nilai sosial memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, secara umum berbagai fungsi tersebut
yaitu :

 Menyumbangkan seperangkat alat yang dapat digunakan untuk menetapkan


harga/derajat sosial dari orang-perorangan atau grup dalam kehidupan masyarakat.
 Berfungsi sebagai media pengawas, dengan daua tekan dan daya ikat nilai dapat
menuntun bahkan menekan manusia untuk berbuat baik dalam kehidupan
bermasyarakat.
 Sebagai alat solidaritas diantara anggota-anggota kelompok dalam masyarakat.
 Membentuk pola pikir dan pola tingkah laku diantara anggota-anggota masyarakat.
 Penentu terakhir bagi manusia orang-perorangan atau grup dalam memenuhi peran-
peran sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat.
IV. Hubungan Nilai, Moral dan Norma

Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Keterkaitan nilai,
norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap
waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang
individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang. Agar nilai menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit, wujud
yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.

V. Kesimpulan

Jadi dapat di simpulkan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia.

dan moral Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah
lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan norma adalah tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan
tindakan manusia. Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang
menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah.
ETIKA DAN NILAI DALAM FILSAFAT ILMU

Arranged by:

khairunnisa Samirah (11860125179)

Faraditta Salsabila (11860122474)

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2018
1.1 Pengertian Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan tentang


landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan bidang pengetauan campuran yang eksistensi dan pemekarannya tergantung pada
hubungan saling pengaruh-mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.

Filsafat ilmu membahas berbagai permasalahan: permasalahan metafisis ilmu,


permasalahan epistemologis ilmu, permasalahan metodologis ilmu, permasalahan aksiologis
ilmu (etis dan estetis), dan permasalahan sejarah perkembangan ilmu.

Adapun kajian filsafat ilmu meliputi karakteristik ilmu, metode ilmiah, penjelasan
ilmiah (scientific explanation), hukum-hukum dan prinsip ilmiah, paradigma, dst. Filsafat
ilmu umum mengkaji kesatuan, keseragaman, dan hubungan antara segenap ilmu. Sedangkan
filsafat ilmu khusus mengkaji kategori-kategori dan metode-metode yang digunakan dalam
ilmu tertentu. Di sisi lain, ilmu merupakan usaha manusia untuk memahami kenyataan sejauh
dapat dijangkau oleh pemikiran manusia berdasarkan pada pengalaman manusia secara
empiris. Ilmu menurut I.R. Poedjawijatno merupakan kumpulan pengetahuan dengan ciri-ciri
tertentu yang bermetode, berobjek, sistematik, dan universal.

Perbedaan filsafat ilmu dengan ilmu (Losee, John: 1993):

Tingkat Disiplin Pokok Persoalan


Analisis prosedur dan logika
2 Filsafat Ilmu penjelasan ilmiah (scientific
explanation)
1 Ilmu Penjelasan fakta
0 Fakta

1.2 Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada
dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:

1. Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,


2. Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3. Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4. Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5. Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6. Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.

Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut
kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari
filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
(Alfan: 2011). Etika seringkali dinamakan filsafat moral karena cabang filsafat ini membahas
baik buruk tingkah laku mannusia

Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama,
estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan
ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia
berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah
dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup
dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.

Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam
pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi konsep ilmu etika.

Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan


yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai
mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat
kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses
semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa
manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan
manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam
pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan
merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi
dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam
menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).

Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika
memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu,
jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)

1.3 Etika Sebagai Ciri Khas Filsafat

Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu
menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang
perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi
tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya
menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak
mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian
sepatu kanan. Cara itu baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik
saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika.
Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai relevansi etika

Immanuel Kant (1724-1804) berpendapat bahwa manusia mempunyai perasaan etika


yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang merasa bahwa ia mempunyai
kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat
merupakan suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada
pengertiannya mengenai baik dan buruk. Etika sebagai cabang filsafat sebenarnya yang
membedakan manusia daripada makhluk Tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah
menjadi tertib pada derajat di atas mereka. (M. Yatimin Abdullah: 2006).

Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering
disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan
manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.

Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong manusia


untuk mengambil sikap terhadap semuah norma dari luar dan dari dalam, supaya manusia
mencapai kesadaran moral yang otonom.

Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara
etika deskriptif dan etika normatif.

1. Etika Deskriptif

Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan penngalaman moral


secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat
beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman
moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral


yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat
tertentu.
b. Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas
dari beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk
menjelaskan fenomena moral yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan
petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa yang salah.

2. Etika Normatif

Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-
nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa
yang terajdi.

Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori nilai
(theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika
teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan
teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari
tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)

Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-salah,
tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada
banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum,
dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang tertentu,
sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara
tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena itu etika
filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan dengan
perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.

Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan juga.
Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum
tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika,
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah
perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).

1.4 Hakikat Etika Filsafat

Etika filsafat sebagai cabang ilmu, melanjutkan kecenderungan seseorang dalam


hidup sehari-hari. Etika filsafat merefleksikan unsur-unsur tingkah laku dalam pendapat-
pendapat secara sepontan. Kebutuhan refleksi itu dapat dirasakan antara lain karena pendapat
etik tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.

Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang
tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari
sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.

Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah
satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah
terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu,
tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan
pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat
emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu
apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi
terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran
hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat
berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat
konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.

Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan
bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah
ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang
mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang
berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika.
Makanya ia berbuat jahat.

Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila
orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya
baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak
mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat
mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi,
pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk
menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.

Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang
siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk
mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi
tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah
orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab,
nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.

Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama
harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang
abstrak dan kurang releven untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap
tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak
perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya
tentang etika sebagai cabang filsafat dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya
bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah: 2006)

Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan
ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara
kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan).
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan
kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-
norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)

1.5 Aliran atau Paham dalam Etika

Pada hakikatnya etika erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara
mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan.pembahasan etika memang sangat
erat kaitannya dengan perbuatan manusia baik secara aktif maupun pasif. Dari itu munculah
beberapa paham/aliran yang kajiannya menitik beratkan pada perbuatan manusia untuk
mencapai kebahagiaan. Paham-paham dalam etika yaitu : naturalisme, hedonisme, idealisme,
humanisme, perfectionalisme, dan theologis (relegius).

1. Naturalisme

Aliran ini menganggap bahwa kebahagiaan manusia didapatkan dengan menurut


panggilan natur (fitrah) dari kejadian manusia itu sendiri. Perbuatan yang baik (susila)
menurut aliran ini ialah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan natur manusia. Baik
mengenai fitrah lahir maupun mengenai fitrah batin. Kalau lebih memberatkan pada fitrah
lahirnya dinamakan aliran etika maerialisme. Tetapi pada aliran mnaturalisme ini faktor lahir
batin itu sema beratnya sebab kedua-duanya adalah fitrah (natur) manusia.
2. Hendonisme

Hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesenangan sebagai kebaikan yang
paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari mencari kesenangan sebagai tujuan
hidupnya. Menurut hendonisme yang dipandang sebagai perbuatan baik adalah perbuatan-
perbuatan yang mendatangkan kelezatan atau rasa nikmat. Aliran hedonisme memiliki dua
cabang yaitu hedonisme egoistik dan hedonisme universilatik.

•Hedonisme egoistik menilai suatu yang baik adalah perbuatan yang bertujuan untuk
mendatangkan kelezatan atau kesenangan diri terbesar terhadap diri sendiri secara individual.

•Hedonisme universalistik menilai suatu yang baik adalah hal-hal yang bertujuan untuk
mewujudkan kelezetan atau kesenangan umum terbesar.

3. Idealisme

Pokok-pokok pandangan idealisme adalah:

1.Wujud yang paling kenyataan (hakikat) ialah kerohanian. Seseorang yang baik pada
prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau
rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik dilakukan juga,
karena adanya rasa kewajiban yang berseri dalam nurani manusia.

2.Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan
tindakan yang kongkret. Dan yang menjadi pokok disini adalah “kemauan baik”.

3.Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakan yaitu
“rasa kewajiban”

4. Humanisme

Humanisme memandang suatu yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia yaitu
kemanusiannya. dalam tindakan kongkret tentulah manusia kongkret pula yang ikur menjadi
ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik buruknya
tindakan kongkret itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkret adalah kata hati
orang yang bertindak.

5. Perfectioisme
Dari tokoh filsuf Yunani (Plato dan Aristoteles) bersepakat dalam satu aliran, yakni
perfectionisme. Teori perfectionisme dari Plato dan Aristoteles menetapkan dalam kaitan
dengan pengembangan berbeagai kemampuan manusia. Kebahagian hanya bernilai jika
kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik. Sumber kebahagian tertinggi terdapat
pada fungsi sebenarnya dari kemampuan intelektual.

6. Teologis

Menurut Dr. H. Hamzah Ya’Qub, pengertian Etika theologis ialah aliran ini berpendapat
bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran
Tuhan, segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan
yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci.

1.6 Nilai dan Norma dalam Filsafat Ilmu

Nilai dan norma memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial
termasuk dalam dunia kelimuan, karena norma dan nilai merupakan unsur-unsur yang
membentuk suatu etika. Adapun nilai dan norma itu sendiri pun merupakan dua hal yang
berhubungan, dimana norma adalah perwujudan dari nilai-nilai. Hubungan nilai dan norma
dengan filsafat ilmu yaitu bahwa salah satu bentuk pendekatan filsafat ilmu dalam ilmu
terapan adalah bertolak dari ilmu normatif.

Nilai secara umum terbagi dua, yaitu nilai kuantitatif dan nilai kualitatif. Adapun nilai
yang ada dan dikaji dalam filsafat nilai (aksiologi) adalah nilai yang bersifat kualitatif.

Aksiologi atau filsafat nilai berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Aksiologi merupakan suatu ilmu yang membahas nilai secara filosofis,
yang juga disebut sebagai “Theory of Value”.

Kaum Positivisme menyatakan bahwa ilmu itu harus bebas nilai agar ilmu tersebut
objektif, namun dalam fase aplikatif maka ilmu menjadi taut nilai. Sedangkan Kaum Teori
Kritis Mazhab Frankfurt (Habermas) menyatakam bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena
ilmu itu justru dikembangkan karena adanya kepentingan. Di sisi lain, menurut pemikiran
Islam ilmu tidak pernah bebas nilai, karena peran agama adalah sebagai kontrol terhadap
kemajuan ilmu.
Ketidakbebasan nilai dalam ilmu menurut pandangan Islam terdapat di dalam Al-
Qur’an surat Asy-Syams, bahwa pada hakikatnya manusia memiliki dua potensi: potensi
kejahatan (fujuuraha) dan potensi kebajikan (taqwaaha). Selain itu juga difirmankan Allah
dalam surat Ar-Ruum ayat 41: “Kerusakan meluas di daratan dan di lautan karena perbuatan
tangan manusia.

Ketidakbebasan nilai dalam ilmu secara umum berwujud dalam sikap yang disebut
sikap ilmiah. Sikap ilmiah merupakan sikap yang semestinya dimiliki para ilmuwan: rasa
ingin tahu, avonturisme (berani bertualang untuk melakukan eksplorasi), kejujuran, kehati-
hatian, total (mengabdikan diri untuk ilmu, biasanya pada ilmuwan besar), menjalin kerja
sama dengan pihak lain, kritis, terbuka terhadap kritik, menuntut data atau makna, menuntut
pengujian, menghargai penalaran/logia, tidak pamrih, rendah hati, dan bertanggung jawab
(pada diri sendiri, sesama manusia, alam, dan Allah).

Nilai dasar dalam keilmuan di terbagi dua:

1. nilai universal
a. keilmuan
1) universalitas ilmu
2) objektivitas ilmu
3) kebenaran
4) kebebasan akademik
b. kemanusiaan
1) keadaban
2) kemanfaatan
3) kebahagiaan
4) kesejahteraan

2. local wisdom bangsa (Pancasila)


a. ketuhanan
b. kemanusiaan
c. kebangsaan
d. demokrasi
e. keadilan-kemasyarakatan
FILSAFAT
DASAR-DASAR ILMU

Disusun Oleh:

Alya Aqibta Hafsah (11860125116)

Velya Aulia Putri (11860122350)

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Pada dasarnya manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk berpikir, berpikir di sini
dalam artian berpikir secara mendalam untuk mencari kebenaran yang bersifat hakiki. Di
dalam Al-Qur’an Allah memerintahkan bahwa di dalam penciptaan bumi ini adalah untuk
orang yang berpikir, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an surah Ali-Imran ayat
190:
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.
Kandungan ayat di atas memerintahkan kepada semua manusia secara keseluruhan
untuk berpikir. Jadi manusia diciptakan di dunia ini bukan hanya untuk hidup, tetapi juga
untuk memikirkan penciptaan alam semesta ini. Ayat ini memerintahkan manusia berpikir
agar menambah wawasan dan pengetahuan.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan mengatakan bahwa manusia yang dianggap pertama
menggunakan akalnya secara serius adalah Thales, ketika ia membuat sebuah pertanyaan
“Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini”, kemudian ia menjawab sendiri pertanyaannya
dengan mengatakan bahwa bahan alam semesta ini adalah air. Oleh karenanya ia dikatakan
sebagai Bapak Filsafat. Dari pertanyaan yang dimunculkan oleh Thales tersebut, maka
muncul pemikiran-pemikiran lain yang lebih luas dan rumit pemecahan masalahnya,
sehingga pengetahuan yang mereka miliki juga berkembang.
Ilmu pengetahuan itu ada karena buah pikir manusia. Berpikir adalah sebagai pembeda
yang memisahkan antara manusia dengan hewan. Manusia pada dasarnya sama dengan
hewan, namun yang membedakan manusia dengan hewan adalah dari pengetahuan yang
dimilikinya, oleh karenanya dalam filsafat manusia dikatakan sebagai ‫( حيوان الناطق‬hewan
yang berpikir).
Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Dalam
upaya mencari dan memperluas pemahamannya tentang pengetahuan, timbul beberapa
pertanyaan seperti, apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana manusia
berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar memiliki pengetahuan?
Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa yang menjadi tolak ukur kebenaran?
Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan
ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita. Namun
ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka akan ada aturan
yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui dimensi-dimensi kajian ilmu, yaitu
dimensi ontologi, dimensi epistemologi, dan dimensi aksiologi. Dengan demikian dapat
memberikan pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses
yang ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat
dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis ingin menguraikan dan memberikan
pemahaman tentang ke tiga dimensi kajian filsafat tersebut dalam sebuah makalah dengan
judul: “DIMENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU: ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN
AKSIOLOGI”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka makalah ini
disusun dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan dimensi Ontologi?
2.      Apa yang dimaksud dengan dimensi Epistemologi?
3.      Apa yang dimaksud dengan dimensi Aksiologi?
C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui dan memahami:
1.      Dimensi Ontologi.
2.      Dimensi Epistemologi.
3.      Dimensi Aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dimensi Ontologi

 Sidi Gazalba
Dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontology mempersoalkan sifat dan
keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang
bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontology memikirkan Tuhan..
 Amsal Bakhtiar
Dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan,ontology berasal dari kata ontos =
sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat
yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada
logika semata-mata.
 Thales
Air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu.

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu taonta berarti ‘yang ada’, dan logos berarti
‘ilmu pengetahuan atau ajaran’. Dengan demikian ontologi berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran tentang yang berada.1
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang
ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya
dua macam kenyataan, yaitu kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kenyataan yang
berupa rohani (kejiwaan).2
Pembahasan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin
ada, yang boleh juga mencakup peng]atahuan dan nilai (yang dicari ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Hakikat ialah kenyataan yang sebenarnya bukan keadaan
yang bersifat sementara atau keadaan yang menipu.3
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar suatu ilmu ialah berusaha untuk menjawab
“apa”, yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Secara etimologi, kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On
= Ada, dan Logos = Ilmu pengetahuan, jadi ontologi adalah ilmu yang mempelajari.
Sedangkan pengertian ontologi secara terminologi sebagaiman yang dikemukakan oleh
A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di
mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal
universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.5
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M,
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus.
Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika
khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.6
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan beberapa pandangan pokok pemikiran
sebagai berikut:7
1.      Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang
asal berupa materi ataupun berupa rohani. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a.       Materialisme
Aliran ini menganggap hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa,
spirit dan sejenisnya itu muncul karena adanya benda. Bagi paham ini, rohani, roh, Tuhan,
spirit itu bukan hakikat, akan tetapi mereka muncul dari adanya benda. Jadi bendalah yang
menyebabkan mereka ada.8
Ada beberapa alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan
bahwa yang merupakan hakikat adalah:9
1)      Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan
kebenaran terakhir.
2)      Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
3)      Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri, bukan rohani.
Rohani, jiwa, Tuhan ada itu karena adanya benda. Dalam sejarahnya manusia memang
bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya
itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.

b.      Idealisme
Aliran ini berpendapat sebaliknya, hakikat benda adalah rohani, spirit atau sejenisnya.
Aliran ini juga sering disebut dengan spiritualisme. Alasan mereka ialah sebagai berikut:10
1)      Nilai roh lebih tinggi dari pada badan.
2)      Manusia lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia luarnya.
3)      Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu
saja.
2.      Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh
sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh
muncul bukan karena materi.11
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-
sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama
azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang
paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham
ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan).12
3.      Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari
satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan
Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.13
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan
terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.14

4.      Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich
Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam
pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan
larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar
pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap.
Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru,
dengan transvaluasi semua nilai.15
5.      Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin
mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Manusia tidak
mungkin mengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini
kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu
yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.16
Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini
dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang
bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-
tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-
1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan,
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.17
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan
skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat
bahkan menyerah sama sekali.18

B.     Dimensi Epistemologi


Epistemologi juga disebut dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara
etomologi, istilah etomologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos =
teori.19
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula
atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:20
1.      Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Yang bertolak dari pernyataan-
pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari
teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari
contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang
disebut sintetik.21
2.      Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat
empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan
jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3.      Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Montpellier
pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Positivisme berasalah
dari kata “positif” yang memiliki arti sama dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-
fakta.22
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia
mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu,
ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan
dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4.      Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan sutu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghazali.
5.      Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai
kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya diskusi
logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-
metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang
terkandung dalam pandangan.23
C.    Dimensi Aksiologi
Pengertian aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos
yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “Teori tentang nilai”. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan
estetika.24
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Arti kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan,
atau manusia-manusia lain. Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia,
dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang
muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam
segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya
dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai subjektif
akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai
objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme
ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki
kadar secara realitas benar-benar ada.
Nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan harus bebas dalam menentukan topik
penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Kebebasan inilah yang nantinya
akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwan bekerja, dia hanya
tertuju pada kerja proses ilmiah dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif,
seperti; agama, adat istiadat.
Tetapi perlu disadari setiap penemuan ilmu pengetahuan bisa berdampak positif dan
negatif. Dalam hal ini ilmuwan terbagi dua golongan pendapat. Golongan pertama
berpendapat mengenai kenetralan ilmu. Ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan
terserah kepada orang lain untuk menggunakannya. Golongan kedua berpendapat bahwa
netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan
dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral, sebagai ukuran kepatutannya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar
ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu
adalah melalui tiga hal sebagai berikut:
1.      Dimensi ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali
dikemukakan oleh tokoh filsafat Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu
adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, muncul paham-paham tentang ontologi
meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
2.      Dimensi epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber
pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif,
dan dialektis.
3.      Dimensi aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada
kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun
dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami
dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan
erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
B.     Saran
Selayaknya pencetus karya adalah mengharapkan karya tersebut dapat menjadi manfaat
bagi orang lain dan dirinya sendiri, seperti itu pula harapan yang ada ketika penyusunan
makalah sederhana ini. Adapun bentuk kekurangan dan kesalahan tentu tidak akan terlepas
karena merupakan sisi kemanusiaan yang mendasar dari kejiwaan manusia, sehingga dengan
bersikap bijak adalah mengharapkan motivasi yang membangun dalam bentuk kritik dan
saran.
Pada akhirnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan kesempatan dan
perhatian yang diberikan, setidaknya permohonan maaf atas segala kesalahan dan kelalaian
dalam makalah ini atau di dalam proses pembuatan makalah sederhana ini, baik dari paragraf,
kalimat, kata, atau sikap selama proses pembuatan makalah ini. Selanjutnya tidak etis rasanya
jika tidak sama-sama mendoakan, semoga segala bentuk pekerjaan yang disertai dengan
ketulusan niat membuahkan keridhaan dari Allah yang Maha Rahman

HAKIKAT DAN SUMBER PENGETAHUAN

DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

Hana Jihan Yusrina Y. (11860122440)

Mardhatila (1186022366)

KELAS : 1E

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi juga
bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan
asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu
menjadi salah satu tema utama epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang.
Masalah asal-usul pengetahuan telah melahirkan dua macam perdebatan historis
penting. Salah satunya menyangkut pertanyaan apakah pengetahuan bawaan-yaitu yang
hadir dalam pikiran berasal dari kelahiran atau melalui pengalaman. Hal ini telah menjadi
penting tidak hanya dalam filsafat tetapi juga dalam linguistik dan psikologi. Ada
berpendapat bahwa kemampuan muda (tahapan perkembangan normal) anak-anak untuk
memperoleh setiap bahasa manusia atas dasar lengkap dan bahkan tidak benar data selalu
merupakan bukti adanya struktur bahasa bawaan, yang lain mencoba untuk menunjukkan
bahwa semua pengetahuan, termasuk pengetahuan linguistik, adalah produk dari
pembelajaran melalui pengkondisian lingkungan dengan proses penguatan dan
penghargaan. Ada juga berbagai teori lain yang menyatakan bahwa manusia memiliki
pengetahuan bawaan.
Apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Ketika mengamati atau menilai suatu
perkara, kita biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya mengetahuinya, saya
memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini,
bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan. Disamping itu, bisa
jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang lainnya
merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui bahwa sesuatu itu
diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah
memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh
mengetahui realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak memahami
permasalahan tersebut sebagaimana adanya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan?
2. Apakah hakikat dan sumber pengetahuan?
3. Bagaimana ukuran kebenaran itu?
4. Apakah klasifikasi dan hirarki ilmu?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi pengetahuan
2. Mengetahui hakikat dasn sumber pengetahuan
3. Mengetahui ukuran
4. kebenaran
5. Mengetahui klasifikasi ilmu dan hirarki ilmu

1.4 Manfaat Penulisan


1. Teori dalam makalah ini diharapkan dapat menjadi rujukan karya tulis ilmiah yang
lain
2. Makalah ini daharapkan dapat menambah wawasan mengenai asal usul pengetahuan
dalam cakupan filsafat

BAB II
ISI

2.1. DEFINISI DAN JENIS PENGETAHUAN

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahas inggris yaitu knowledge.
Dalam Encyclopedia of Phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Sedangkan secara
terminologi akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi
Galzaba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu
tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah
semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu.

Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowlwdge) adalah proses


kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam
peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya
sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada
dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.

Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti suatu
kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda
dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar
dan pasti (kebenaran, kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan objek dengan
eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan
pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat
sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.

Orang pragmatis, terutama John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan


kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak
benar adalah kontradiksi.

1. Jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah
pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai
pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan
yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:

Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan


dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena
seseorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Semua orang
menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena
memang dirasakan panas dan sebagaiannya.
Dengan common sense, semua orang sampai pada keyakinan secara umum tentang
sesuatu, dimana mereka akan berpendapat sama semuanya. Common sense diperoleh
dari pengalaman sehari-hari, seperti air dapat dipakai untuk menyiram bunga,
makanan dapat memuaskan rasa lapar, musim kemarau akan mengeringkan sawah
tadah hujan, dan sebagaiannya.

Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam
pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam,
yang sifatnya kuantitatif dan objektif. ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang
berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. namun
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode.

Ilmu merupakan suatu metode berpikir secara objektif (objektif thinking),


tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual.
pengetahuan yang diperoleh dengan ilmu, diperolehnya melalui observasi,
eksperimen, klasifikasi. analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsur pribadi,
pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang
bersifat kedirian (subjektif), karena dimulai dengan fakta. ilmu merupakan milik
manusia secara komprehensif. ilmu merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap
dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh
jangkauan Logika dan dapat diamati pancaindra manusia.

Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang
bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan
mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis,
sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan
lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh
para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu
ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan
hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga
disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting
disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari akhir. Iman kepada
hari akhir merupakan ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang
membuat manusia optimis akan masa depannya. Menurut para pengamat agama
masih bertahan sampai sekarang karena adanya doktrin tentang hidup setelah mati
karenanya masih dibutuhkan.

2. Perbedaan Pengetahuan dengan Ilmu


Dari sejumlah pengertian yang ada, sering ditemukan kerancuan antara
pengertian pengetahuan dan ilmu. Kedua kata tersebut dianggap memiliki persamaan
arti, bahkan ilmu dan pengetahuan terkadang dirangkum menjadi kata majemuk yang
mengandung arti tersendiri. Hal ini sering kita jumpai dalam berbagai karangan yang
membicarakan tentang ilmu pengetahuan. Namun jika kedua kata itu berdiri sendiri-
sendiri, akan tampak perbedaan antara keduanya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu disamakan artinya dengan


pengetahuan, ilmu adalah pengetahuan. Dari asal katanya, kita dapat ketahui bahwa
pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris yaitu Knowledge, sedangkan ilmu
diambil dari kata science dan peralihan dari kata Arab ilm.

Seiring dengan definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka definisi


berikut pun tidak jauh berbeda. Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap
sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.
Pengetahuan dapat berwujud barang-barang fisik, pemahamannya dilakukan dengan
cara persepsi baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami
oleh manusia berbentuk ideal atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.

Untuk memperjelas pemahaman kita perlu juga dibedakan antara pengetahuan


yang sifatnya prailmiah dengan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan yang bersifat
prailmiah ialah pengetahuan yang belum memenuhi syarat-syarat ilmiah pada
umumnya. Sebaliknya, pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang harus memenuhi
syarat-syarat ilmiah. Pengetahuan pertama disebut pengetahuan biasa, pengetahuan
kedua disebut pengetahuan ilmiah.

Adapun syarat-syarat yang dimiliki oleh pengetahuan ilmiah adalah: harus


memiliki objek tertentu (formal dan material) dan harus bersistem (harus runtut).
Disamping itu pengetahuan ilmiah harus memiliki metode tertentu dengan sifatnya
yang umum. Metode itu meliputi metode deduksi, induksi, dan analisis.

Setelah dikemukakan beberapa pengertian tentang pengetahuan, sekarang akan


dikemukakan beberapa pengertian tentang ilmu sebagai bahan perbandingan. dalam
Encyclopedia Americana, dijelaskan bahwa ilmu (science) adalah pengetahuan yang
bersifat positif dan sistematis.

The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of
Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia
memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang
alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang
meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri.

Rumusan lain datang dari Charles Siregar yang menyatakan:


“Ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan”. Dalam arti umum, ilmu sering
dijadikan pembeda, umpamanya untuk membedakan antara disiplin Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) dengan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Sementara itu, Jujun S. Suriasumantri dalam buku Ilmu dalam Perspektif Menulis:
“ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap
dikonsumsikan”

Perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan dapat ditelusuri dengan melihat


perbedaan ciri-cirinya. Heerbert L. Searles memperlihatkan ciri-ciri tersebut sebagai
berikut: “kalau ilmu berbeda dengan filsafat berdasarkan empiris, maka ilmu berbeda
dari pengetahuan biasa karena ciri sistematisnya”
Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya
pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu terlihat dari sifat sistematik dan cara
memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan prailmiah atau
pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai
perbedaan yang berarti.
Dalam perkembangannya lebih lanjut di Indonesia, pengetahuan disamakan artinya
dengan ilmu. Hal ini dapat dilihat dari pendapat pendapat berikut: “kata ilmu berasal
dari bahasa Arab ‘alima (ia telah mengetahui). Kadar kata jadian ilmu berarti
pengetahuan. Dan memang dalam bahasa Indonesia sehari-hari ilmu di identikkan
dengan pengetahuan”. Dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam
bahasa, pengetahuan dengan ilmu bersinonim arti, sedangkan dalam arti material
keduanya mempunyai perbedaan.

2.2 HAKIKAT DAN SUMBER PENGETAHUAN


Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas
manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan
pengetahuan secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan,
namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (Survival). Manusia
mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan
kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru karena dia hidup bukan sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Pengetahuan ini mampu
dikembangkan manusia yang disebabkan dua hal utama, yakni pertama Manusia
mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran
yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia
mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah
kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.

1. Hakikat Pengetahuan
Pada dasarnya manusia memiliki rasa keingintahuan. Mengetahui sesuatu
adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek, atau dengan kata lain menyusun
suatu gambaran tentang fakta yang ada di luar. Dari pendapat atau gambaran suatu
obyek tersebut, muncul sebuah persoalan, yaitu apakah hal itu sesuai dengan fakta?
apakah hal itu benar?dan lainnya. Untuk menjawab persoalan semisal dengan itu,
Amsal Bakhtiar menyatakan ada dua teori yang dapat dipergunakan, yaitu:

a. Realisme
Pandangan teori ini adalah realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut teori
ini adalah copy paste yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Hal ini
tak ubahnya seperti gambaran foto. Penganut ajaran Realismemengakui bahwa
seseorang bisa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh
keadaan sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai
wujud tersendiri, ada benda yang kendati tetap diamati. Menurut Prof. Dr. Rasjidi,
penganut agama perlu sekali mempelajari realism dengan alasan:
(1) Dalam menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam alam pikiran.
Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian
dapat diketahui hanya dari segi subjektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar
sebab adanya faktor subjektif bukan berarti menolak faktor objektif.
(2) Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi,
umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab.

b. Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan kebenaran yang
sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Premis pokok yang diajukan oleh ajaran ini
adalah jiwa mempunyai kedudukan utama, namun itu bukan berarti mengingkari
materi yang ada. Hanya saja menurutnya materi merupakan sesuatu yang tidak pasti
dan tidak jelas.

2. Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya, manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa pun.
Seiring dengan perkembangannya, manusia mampu untuk mendapatkan pengetahuan.
Lalu yang menjadi persoalanya “dari mana pengetahuan itu berasal?” untuk
menjawab persoalan yang demikian, ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan. Yaitu:

a. Empirisme
Kata empiresme ini berasal dari kata Yunani empeirikos, yang mempunyai arti
pengalaman. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman inderawi.

b. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar dari pengetahuan.
Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh,
pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Namun, aliran ini juga tidak
mengingkari pengetahuan inderawi.

c. Intuisi
Intuisi adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi, seperti
menebak dengan benar, tetapi bukan merupakan sebuah tebakan, karena pikiran atau
pengetahuan ini muncul dengan sendirinya, dan juga mirip dengan meramal, hanya
saja meramal bisa di tentukan masalah/objek apa yang ingin di ketahui, dan hanya
orang-orang tertentulah yang memiliki kemampuan meramal, sedangkan Intuisi tidak
begitu, Intuisi muncul dengan sendirinya dan kemampuan ini di miliki oleh semua
orang, hanya kadarnya yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.

d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia
lewat perantara para Nabi. Pengetahuan ini merupakan titik tolak kepercayaan dalam
agama.

2.3 UKURAN KEBENARAN


Untuk dapat mengatakan sesuatu itu benar atau salah, maka sudahlah pasti
harus ada ukuran kebenarannya. Para tokoh yang berkompeten di bidang ini telah
menentukan ukuran tersebut, yaitu:
1. Korespondensi, Pada teori ini, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi
pengetahuan yang dikandungnya bersifat berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju. Teori ini dipelopori oleh pemikir Bertrand Rusell (1872-1970)
dan kebenaran merupakan kesesuaian antara pernyataan mengenai fakta dengan
fakta aktual atau antara putusan dengan situasi seputar yang diberi interpretasi. Jadi
dapat dikatakan bahwa suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila
pengetahuan itu mempunyai kesesuaian dengan kenyataan yang diketahuinya.
2. Koherensi, Teori ini dibangun oleh para pemikir rasional seperti Leibniz,
Hegel, dan Bradley. Pada teori ini suatu pernyataan dianggap benar apabila
pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang sudah dianggap benar.Secara singkat, paham ini mengatakan
bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut saling berhubungan
dengan proposisi – proposisi lain yang benar atau makna yang dikandungnya dalam
keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Artinya suatu proposisi atau
makna pernyataan dari suatu pengetahuan bernilai benar apabila proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide – ide dari proposisi yang sebelumnya dianggap
bernilai benar.
3. Pragmatis, Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dan
kemudian dikembangkan oleh para ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika
diantaranya William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart
Mead (1863-1931), dan C.I. Lewis. Bagi seorang pragmatis mengatakan bahwa
kebenaran merupakan suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria dengan tujuan
untuk mengetahui pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
atau tidak. Artinya, suatu pernyataan benar jika pernyataan itu mempunyai
kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Jadi menurut teori ini bahwa suatu
proposisi bernilai benar apabila proposisi itu mempunyai konsekuensi–konsekuensi
praktis seprti yang terdapat secara inhern dalam pernyataan tersebut.

4. Agama, Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya
sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia, baik tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori
kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia,
maka dalam teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.

Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir


setelah melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan
menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau
mencari jawaban tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan
demikian suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
2.4. KLASIFIKASI DAN HIERARKI ILMU
Para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang bermanfaat dan ilmu
yang tidak bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat seperti ilmu fisika, kimia, matematika,
gegrafi, ilmu agama, dan lain-lain. Sementara ilmu yang tidak bermanfaat seperti ilmu
sihir.
Klasifikasi yang diberikan oleh Al-Farabi secara filosofi kedalam beberapa wilayah
seperti ilmu-ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir
yurisprudensi dan teologi dialeksis. Beliau memberi perincian ilmu-ilmu religius
(Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu-ilmu
filosofis, yakni matematika, ilmu alam, metafisika dan ilmu politik.
Sedangkan Al-Ghazali secara filosofi membagi ilmu ke dalam ilmu syar’iyyah
dan ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga Quthb ad-Din
membedakan jenis ilmu menjadi ulum hikmy dan ulum ghair hikmy. Ilmu non
filosofis menurutnya dipandang sinonim dengan ilmu religius, karena dia
menganggap ilmu itu berkembang dalam satu peradaban yang memiliki syari’ah
(hukum wahyu).

Filsafat dan Ilmu Logika

Sarana Ilmiah
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

DWI MEYDILIA WIANDARI


NIM 11860121654
REZI AWALIA PUTRI
NIM 11860122251

KELAS : 1E

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019

BAB 1
Pendahuluan

Ilmu pengetahuan merupakan produk dari proses berpikir ilmiah, yang


sekaligus jadi konsumsi publik. Oleh karena itu apa-apa yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan perlu dipublikasikan secara terbuka, hingga kalangan yang
membutuhkan dapat mengakses hasil yang dimaksud. Dalam dunia keilmuan,
publikasi tersebut disajikan dalam bentuk tulisan ilmiah seperti makalah, jurnal,
skripsi, tesis, hingga ke disertasi. Karya tulis ilmiah ini merupakan produk dari proses
berpikir ilmiah, pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat.
Sebagai sebuah proses, berpikir ilmiah ini adalah serangkaian gerak pemikiran
dalam mengikuti jalan pemikiran yang akhirnya sampai kepada kesimpulan yang
dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Proses dalam upaya
mengembangkan gagasan dengan cara bernalar. Maksudnya, kita mengambil sebuah
fakta dan menghubung-hubungkan atau membandingkannya. Dan hal ini tidak akan
kita lakukan jika tidak menulis (Wahyu Wibowo, 2001: 60-61).
Berangkat dari adanya ketentuan ini, maka dengan sendirinya dapat dibedakan
antara publikasi yang terkategorikan sebagai ilmu pengetahuan dan yang bukan
(tulisan biasa). Tulisan biasa sama sekali tidak terikat kepada penggunaan sarana
tertentu. Sebaliknya tulisan ilmiah dikaitkan dengan sejumlah sarana yang harus
digunakan. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematik, statistik, dan logika.

BAB II
ISI

2.1 Bahasa sebagai Sarana Ilmu Pengetahuan


Bahasa adalah sarana komunikasi antar manusia, maka tanpa bahasa tiada
komunikasi. Tanpa komunikasi apakah manusia dapat bersosialisasi, dan apakah manusia
layak disebut makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan
dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam menggapai
ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa seseorang
tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa sebagai sarana berpikir
ilmiah ternyata memiliki fungsi ganda. Yaitu untuk mengomunikasikan penemuan ilmiah dan
untuk menyatukan ilmuan-ilmuan bangsa Indonesial. Kunci untuk memenuhi kedua maksud
tersebut adalah dengan membuat sejumlah kalimat yang mudah dibaca dalam satuan-satuan
paragraf yang jelas. Maka harus memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang benar dan
baik.
Joseph broam mengatakan: bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari simbol-
simbol bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai
alat bergaul satu sama lain.
Batasan di atas memerlukan sedikit penjelasan agar tidak terjadi salah paham. Oleh
karena itu, perlu diteliti setiap unsur yang ada di dalamnya:
1.  Simbol-simbol
Simbol-simbol berarti sesuatu yang menyatakan sesuatu yang lain. Hubungan antara
simbol dan “sesuatu” yang dilambangkannya itu tidak merupakan sesuatu yang terjadi
dengan sendirinya atau sesuatu yang bersifat alamiah, seperti yang terdapat antara awan
hitam dan turunnya hujan, ataupun antara tingginya panas badan dan kemungkinan terjadinya
infeksi. Awan hitam adalah tanda turunnya hujan; panas suhu badan yang tinggi tanda suatu
penyakit.
2. Simbol-simbol vokal
Simbol-simbol yang membangun ujaran manusia adalah simbol-simbol vokal, yaitu
bunyi-bunyi yang urutan-urutan bunyinya dihasilkan dari kerjasama berbagai organ atau alat
tubuh dalam sistem pernafasan. Untuk memenuhi maksudnya, bunyi-bunyi tersebut haruslah
didengar oleh orang lain dan harus diartikulasikan sedemikian rupa untuk memudahkan si
pendengar untuk merasakannya secara jelas dan berbeda dari yang lainnya. Dengan kata lain,
tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh organ-organ vokal manusia merupakan simbol-
simbol bahasa, lambang-lambang kebahasaan. Contoh: bersin, batuk, dengkur, biasanya tidak
mengandung nilai simbolis, semua itu tidak bermakna apa-apa diluar mereka sendiri.
3. Simbol-simbol vokal arbitrer
Istilah arbitrer disini bermakna “mana suka” dan tidak perlu ada hubungan yang valid
secara filosofis antara ucapan lisan dan arti yang dikandungnya. Hal ini akan lebih jelas bagi
orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa. Misalnya, untuk menyatakan jenis binatang
Equus Caballus, orang Inggris menyebutnya horse, orang Perancis cheval, orang Indonesia
kuda, dan orang Arab hison. Semua kata ini sama tepatnya, sama arbitrernya. Semuanya
adalah konvensi sosial yakni sejenis persetujuan yang tidak diucapkan atau kesepakatan
secara diam-diam antara sesama anggota masyarakat yang memberi setiap kata makna
tertentu.
4. Suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer.
Walaupun hubungan antara bunyi dan arti ternyata bebas dari setiap suara hati nurani,
logika atau psikologi, namun kerjasama antara bunyi-bunyi itu sendiri, di dalam bahasa
tertentu, ditandai oleh sejumlah konsistensi, ketetapan intern. Misalnya; setiap bahasa
beroperasi dengan sejumlah bunyi dasar yang terbatas (dan ciri-ciri fonetik lainnya seperti
tekanan kata dan intonasi).
5. Yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul
satu sama lain.
Bagian ini menyatakan hubungan antara bahasa dan masyarakat. Para ahli sosial
menaruh perhatian pada tingkah laku manusia, sejauh tingkah laku tersebut mempengaruhi
atau dipengaruhi manusia lainnya. Mereka memandang tingkah laku social sebagai tindakan
atau aksi yang situjukan terhadap yang lain.
Bahasa harus bersifat komunikatif, informatif, dan reproduktif, serta deskriptif.
Komunikatif dalam artian, bahwa bahasa dijadikan salah satu sarana komunikasi antara
ilmuwan dengan pembaca. Dalam fungsinya ini bahasa juga harus bersifat informative
(menjelaskan). Adapun reproduktif adalah bahwa apa yang dimaksud oleh penulis dipahami
sama oleh pembaca (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 181). Bahasa ilmiah bersifat deskriptif
yakni menjelaskan fakta dan pemikiran dan penyataan-penyataan dalam bahasa ilmiah bisa
diuji benar salahnya (Slamet Imam Santoso, 1999:227)
Menurut David Lindsay, unsur yang penting dalam penggunaan bahasa sebagai sarana
berpikir ilmiah adalah “keterbacaan”. Kuncinya adalah “membaca satu kali”. Maksudnya
kalimat yang idgunakan dalam tulisan ilmiah dapat dipahami maksudnya oleh pembaca
dengan sekali baca. Kalimat yang isinya daoat dibaca dan diserap tanpa harus menglangi dan
berhenti untuk memilih alternative.
Urutan kalimat-kalimat berikut ini, barangkali dapat dicermati sebagai contoh:
1. Selama tiga tahun terakhir ini, produk tanaman pangan nasional mengalami
peningkatan yang cukup menggembirakan.
2. Sejak tahun 1990-1993, produk tanaman pangan nasional meningkat dua kali lipat
dibadingkan periode yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Bagaimana penggunaan bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah oleh para ilmuan,
dikemukakan dalam contoh berikut ini.

Prof. Dr. Nurcholish Madjid


Kini Spanyol adalah sebuah negeri yang makmur dan modern. Modernitas Spanyol
juga tercermin dalam pluralism dan demokrasinya yang konon sekarang sedang giat
dikembangkan. Agama Islam, misalnya, yang bagi rakyat Spanyol tentu tidak aneg karena
terkait erat dengan kemilangan peradaban mereka di masa silam, mulai mendapat pengakuan
yang tulus dan diberi kesempatan kembali untuk berkembang. Peranan paa ilmuwan Muslim
Spanyol seperti Ibn Rusyd (Averoroes) dalam membawa falsafah dan ilmu pengetahuan ke
Eropa mulai menjadi kebanggan nasional (di Cordova ada patung Averroes untuk
memperingati jasanya). Dan di Madrid berdiri megah sebuah masjid baru yang konon
terbesar di benua Eropa. Banyak orang yang menaruh harapan baru kepada Islam di Spanyol
untuk mampu mengulangi lagi peranannya sebagai pusat peradaban umat manusia.
(Nurcholish MAdjid, Islam dan Peradaban: Sebuah Telaah Masalah Keimanan,
Kemausoaan, dan Kemoderenan, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramidina, 1992:Ixxiii)
Dapat dipahami dengan jelas bahwa bahasa yang digunakan cukup sederhana dan apa
yang disampaikan melalui bahasa ilmiah tadi bisa dimengerti oleh pembacanya. Penggunaan
bahasa dan istilah yang rumit dapat membuat komunikasi menjadi terhalang (Masri
Singarimbun Sofian Effendi: 247).

a. Fungsi Bahasa
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah
sebagai berikut:
1) Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi
seperti makan,  minum dan sebagainya.
2) Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
3) Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran
antara seseorang dan orang lain.
4) Fungsi Personal : seseorang mengunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan
pikiran.
5) Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk mencapai mengungkap tabir fenomena dan
keinginan untuk mempelajarinya.
6) Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan
gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia
nyata).
7) Fungsi Representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan
wawasan serta menyampaikannya pada orang lain.

a. Bahasa Sebagai Sarana Berpikir Ilmiah


Ada dua hal yang harus diperhatikan masalah sarana ilmiah, yaitu pertama, sarana ilmiah
itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang
didapatkan berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan
deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah
adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah
dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun
deduktif. Dengan kata lain, kegiatan berpikir imiah ini sangat berkaitan erat dengan
bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir belum tentu mendapatkan
kesimpulan yang benar apalagi dengan bahasa yang tidak baik dan benar. Premis yang
salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga. Semua itu tidak terlepas dari fungsi
bahasa itu sendiri sebagai sarana berpikir

b. Bahasa Ilmiah dan Bahasa Agama


Bahasa ilmiah adalah bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah, berbeda dengan
bahasa agama. Ada dua pengertian mendasar tentang bahasa agama, pertama, bahasa
agama adalah kalam Ilahi yang terabadikan dalam kitab suci. Kedua, bahasa agama
merupakan ungkapan serta perilaku keagamaan dari seseorang atau kelompok sosial.
Dengan kata lain, bahasa agama dalam konteks kedua ini merupakan wacana
keagamaan yang dilakukan oleh ummat beragama maupun sarjana ahli agama,
meskipun tidak selalu menunjuk serta menggunakan ungkapan-ungkapan kitab suci.
Bahasa ilmiah dalam tulisan-tulisan ilmiah, terutama sejarah, selalu dituntut secara
deskriptif sehingga memungkinkan pembaca (orang lain) utuk ikut menafsirkan dan
mengembangkan lebih jauh. Sedangkan bahasa agama selain menggunakan bahasa
deskriptif juga menggunakan gaya preskriptif, yakni struktur makna yang dikandung
selalu bersifat imperatif dan persuasif dimana pengarang menghendaki pembaca
mengikuti pesan pengarang sebagaimana terformulasikan dalam teks. Dengan kata
lain gaya bahasa ini cenderung memerintah.
2.2 Matematika sebagai Sarana Ilmu Pengetahuan
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu
sendiri. Sekitar 3500 tahun SM, bangsa Mesir telah mempunyai symbol yang melambangkan
angka. Sebelumnya juga matematika sudah digunakan di masa Babylonia. MEnurut Jujun S.
Suriasumantri, matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan
pembuktikan berdasarkan teori koherensi. Penjelasan matematika yang lebih terstruktur dan
standar dinilai lebih konsisten.
1. Matematika Sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”
yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka
matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan, untuk mengatasi kekurangan yang
terdapat pada bahasa verbal, kita berpaling pada matematika. Contoh: menghitung “kecepatan
jalan kaki seorang anak” kita lambangkan X, “jarak tempuh seorang anak” kita lambangkan
Y, “waktu berjalan kaki seorang anak” kita lambangkan Z, maka kita dapat melambangkan
hubungan tersebut sebagai Z=Y/X. Pernyataan Z=X/Y kiranya jelas tidak mempunyai
konotasi emosional dan hanya mengemukakan informasi mengenai hubungan antara X, Y
dan Z. Dalam hal ini pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik dan
informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang tidak bersifat emosional.
2. Matematika sebagai Sarana Berpikir Deduktif
Matematika merupakan ilmu deduktif. Karena penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi tidak didasari atas pengalaman, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi
(penjabaran-penjabaran). Matematika lebih mementingkan bentuk logisnya. Pernyataan-
pernyataannya mempunyai sifat yang jelas. Pola berpikir deduktif banyak digunakan baik
dalam bidang ilmiah maupun bidang lain yang merupakan proses pengambilan kesimpulan
yang didasarkan kepada premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Contoh: jika
diketahui A termasuk dalam lingkungan B, sedangkan B tidak ada hubungan dengan C, maka
A tidak ada hubungan dengan C.
3. Matematika untuk Ilmu Alam dan Ilmu Sosial
Matematika merupakan salah satu puncak kegemilangan intelektual. Disamping
pengetahuan mengenai matematika itu sendiri, matematika juga memberikan bahasa, proses
dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kekuasaan.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan alam matematika memberikan kontribusi
yang cukup besar. Kontribusi matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai
dengan penggunaan lambang-lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran,
disamping hal lain seperti bahasa, metode dan lainnya.
Adapun ilmu-ilmu sosial dapat ditandai oleh kenyataan bahwa kebanyakan dari
masalah yang dihadapinya tidak mempunyai pengukuran yang mempergunakan bilangan dan
pengertian tentang ruang adalah sama sekali tidak relevan.

2.3 Statistika sebagai Sarana Ilmu Pengetahuan


1.  Pengertian statistik
Secara etimologi, kata “statistik” berasal dari kata status (bahasa latin) yang
mempunyai persamaan arti dengan kata state (bahasa Inggris), yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan negara. Pada mulanya, kata “statistik” diartikan sebagai “kumpulan
bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun data yang tidak
berwujud angka (data kuantitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan yang besar
bagi suatu negara”. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi
pada kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
 Istilah statistik dewasa ini juga dapat diberi pengertian sebagai “ilmu statistik”, ilmu
statistika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari dan memperkembangkan secara ilmiah
tahap-tahap yang adadalam kegiatan statistik atau ilmu pengetahuan yang membahas
(mempelajari) dan memperkembangkan prinsip-prinsip, metode dan prosedur yang perlu
ditempuh dalam rangka;
a.       Pengumpulan data angka
b.      Penyusunan atau pengaturan data angka
c.       Penyajian atau penggambaran atau pelukisan data angka
d.      Penganalisisan terhadap data angka
e.       Penarikan kesimpulan (conclusion)
f.       Pembuatan perkiraan (estimation)
g.      Penyusunan ramalan (prediction) secara ilmiah (dalam hal ini secara matematik) atas
dasar pengumpulan data angka tersebut.

2. Sejarah Perkembangan Statistika


Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru yang tidak
dikenal dalam pemikiran Yunani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa dalam Abad Pertengahan.
Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat dalam aljabar yang dikembangkan sarjana
Muslim, namun bukan dalam lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini
dirumuskan, maka dengan cepat telaahan ini berkembang. Konsep statistik sering dikaitkan
dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu.
a. Abraham Demoitre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of
error).
b. Thomas Simpson (1757) menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu distribusi yang berlanjut
(continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
c. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson ini
lebih lanjut dan menemukan distribusi normal sebuah konsep mungkin paling umum dan
paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika disamping teori peluang.
d. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton
(1822-1911) dan Karl pearson (1857-1936)
e. Karl Friedrich Gauss (1777-1855) mengembangkan teknik kuadrat terkecil (least squares)
simpangan baku dan galat baku untuk rata-rata (the standard error of the mean). Pearson
melanjutkan konsep-konsep Galton dan mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi,
chi-kuadrat dan analisis statistika untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar
of science sebuah karya klasik filsafat ilmu.
f. William Searly Gosset, yang terkenal dengan nama samaran “student”, mengembangkan
konsep tentang pengambilan contoh. Desigent Experiment dikembangkan oleh Ronald
Alylmer Fisher (1890-1962) disamping analisis varians dan covarians, distribusi –z, distribusi
–t, uji signifikan dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).[17]
Di Indonesia sendiri kegiatan dalam bidang penelitian sangat meningkat, baik kegiatan
akademik maupun pengambilan keputusan telah memberikan momentum yang baik untuk
pendidikan statistika.

3. Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Matematika, Logika dan Statistika


Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah
dengan baik, diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika, logika dan statistika.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah
dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan
pikiran tersebut kepada orang lain.
Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan berpikir deduktif dan
berpikir induktif. Untuk itu penalaran ilmiah menyandarkan diri pada proses logika deduktif
dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif,
sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Jadi keempat
sarana ilmiah ini saling berhubungan erat satu sama lain
4. Tujuan Pengumpulan Data Statistik
` a. Tujuan kegiatan praktis
Dalam kegiatan praktis hakikat alternatif yang sedang dipertimbangkan telah diketahui,
paling tidak secara prinsip, dimana konsekuensi dalam memilih salah satu dari alternatif
tersebut dapat dievaluasi berdasarkan serangkaian perkembangan yang akan terjadi.
b. Tujuan kegiatan keilmuan
Kegiatan statistika dalam bidang keilmuan diterapkan pada pengambilan suatu keputusan
yang konsekuensinya sama sekali belum diketahui. Dengan demikian konsekuensi dalam
melakukan kesalahan dapat diketahui secara lebih pasti dalam kegiatan praktis dibandingkan
dengan kegiatan keilmuan.

5. Statistika dan Cara Berpikir Induktif


Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif
secara lebih seksama. Kesimpulan yang ditarik dalam penalaran deduktif adalah benar jika
premis-premis yang dipergunakan adalah benar danprosedur penarikan kesimpulannya adalah
sah. Sedangkan dalam penalaran induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan
prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah, maka kesimpulan itu belum tentu benar. Tapi
kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar.
Statistik merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan
secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistik membantu kita untuk
melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan
bukan terjadi secara kebetulan.

6. Peranan statistika dalam tahap-tahap Metode Keilmuan


Langkah-langkah yang lazim dipergunakan dalam kegiatan keilmuan yang dapat dirinci
sebagai berikut:
a.    Observasi
Statistik dapat mengemukakan secara terperinci tentang analisis yang akan dipakai dalam
observasi.

b.    Hipotesis
Untuk menerangkan fakta yang diobservasi, dugaan yang sudah ada dirumuskan dalam
sebuah hipotesis. Dalam tahap kedua ini statistika membantu kita dalam mengklasifikasikan
hasil observasi.
c.    Ramalan
Dari hipotesis dikembangkanlah deduksi. Jika teori yang dikemukakan memenuhi syarat
deduksi akan menjadi pengetahuan baru. Fakta baru ini disebut ramalan.
d.   Pengujian kebenaran
Untuk menguji kebenaran ramalan, mulai dari tahapan-tahapan berulang seperti sebuah
siklus.

5.   Penerapan Statistika
Statistika diterapkan secara luas dalam hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang
manajemen. Statistika diterapkan dalam penelitian pasar, penelitian produksi, kebijaksanaan
penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan
ekonomi, auditing dan masih banyak lagi.

2.4 Logika sebagai Sarana Ilmu Pengetahuan


Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir.
Hukum-hukum pikiran beserta mekanismenya dapat digunakan secara sadar dalam
mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan panjang itu.
1. Aturan Cara Berpikir yang Benar
Kondisi adalah hal-hal yang harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat
terlaksana. Untuk berpikir baik, yakni berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan
kondisi-kondisi tertentu:
a. Mencintai kebenaran
Sikap ini sangat fundamental untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa
menggerakkan si pemikir untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalarannya;
manggerakkan si pemikir untuk senantiasa mewaspadai “ruh-ruh” yang akan
menyelewengkannya dari yang benar. Misalnya, menyederhanakan kenyataan,
menyempitkan cakrawala/perspektif, berpikir terkotak-kotak. Cinta terhadap kebenaran
diwujudkan dalam kerajinan (jauh dari kemalasan, jauh dari takut sulit, dan jauh dari
kecerobohan) serta diwujudkan dengan kejujuran, yakni disposisiatau sikap kejiwaan(dan
pikiran) yang selalu siap sedia menerima kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangka
dan keinginan/kecenderungan pribadi atau golongannya.

b. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan


Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita
adalah suatu usaha terus menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya
pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya. Untuk mencapai kebenaran, kita harus
bergerak melalui berbagai macam langkah dan kegiatan.

c. Ketahuilah (dengan sadar) apa yang Anda katakan


Pikiran diungkapkan ke dalam kata-kata. Kecermatan pikiran diungkapkan ke dalam
kecermatan kata-kata, karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan
sesuatu yang tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran
kedalam kata tersebut. Waspadalah terhadap term-term ekuivokal (bentuk sama, tetapi arti
berbeda), analogis (bentuk sama, arti sebagian sama sebagian berbeda). Ketahuilah pula
perbedaan kecil arti (nuansa) dari hal-hal yang Anda katakan.

d. Buatlah distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya


Jika ada dua hal yang tidak mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda.  Tetapi
banyak kejadian dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, namun tidak identik.
Disinilah perlu dibuat suatu distingsi, suatu pembedaan. Karena realitas begitu luas, perlu
diadakan pembagian ( klasifikasi). Peganglah suatu prinsip pembagian yang sama, jangan
sampai Anda menjumlahkan bagian atau aspek realitas prinsip klasifikasi yang sama.

e. Cintailah definisi yang tepat


Penggunaan bahasa sebagai ungkapan sesuatu kemungkinan tidak ditangkap sebagaimana
yang akan diungkapkan atau yang dimaksudkan. Karenanya jangan segan membuat definisi.
Definisi artinya pembatasan, yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Hindari uraian-uraian
yang tidak jelas artinya.

f. Ketahuilah (dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu


Anda harus bisa dan biasa melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-
konsekuensi dari suatu penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang Anda buat.
Jika bahan yang ada tidak cukup atau kurang cukup untuk menarik kesimpulan, hendaknya
orang menahan diri untuk tidak membuat kesimpulan atau membuat pembatasan-pembatasan
(membuat reserve) dalam kesimpulan.

g. Hindarilah kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah


mengenali jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab
kesalahan pemikiran (penalaran)
Dalam belajar logika Ilmiah (scientific) Anda tidak hanya mau tahu hukum-hukum, prinsip-
prinsip, bentuk-bentuk pikiran sekadar untuk tahu saja. Anda perlu juga;
1) Dalam praktik, menjadi cakap dan cekatan berpikir sesuai dengan hukum, prinsip,
bentuk berpikir yang betul, tanpa mengabaikan dialektika, yakni proses perubahan
keadaan. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup
berpikir kritis, yakni berpikir secara menentukan karena menguasai ketentuan-ketentuan
berpikir yang baik.
2) Selanjutnya sanggup mengenali jenis-jenis, macam-macam, nama-nama, sebab-sebab
kesalahan pemikiran, dan sanggup menghindari, juga menjelaskan segala bentuk dan
sebab kesalahan dengan semestinya.[11]

2. Klasifikasi
Sebuah konsep klasifikasi, seperti “panas” atau “dingin”, hanyalah menempatkan
objek tertentu dalam sebuah kelas. Pertimbangan yang berdasarkan klasifikasi tentu saja lebih
baik daripada tak ada pertimbangan sama sekali. Misal; terdapat tiga puluh lima orang yang
melamar pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tertentu, dan perusahaan yang akan
menerima mempunyai psikolog harus menetapkan cara-cara pelamar dalam memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan. Ahli psikologi tersebut membuat klasifikasi kasar
berdasarkan keterampilan, kemampuan dibidang matematika, stabilitas emosional, dan
sebagainya. Ketiga puluh lima orang tersebut dibandingkan dengan pengetahuan yang
berdasarkan klasifikasi kuat, lemah dan sedang, kemudian ditempatkan dalam urutan
berdasarkan kemampuannya masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN

Bahasa mempunyai peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan
kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa
mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia
dari ciptaan lainnya.
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”
yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka
matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir.
Statistik  yaitu kumpulan bahan keterangan berupa angka atau bilangan. Metode
statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka mengumpulkan,
menyusun, atau mengatur, menyajikan, menganalisis, dan memberikan interpretasi terhadap
sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka itu dapat berbicara atau dapat memberikan
pengertian makna tertentu.
Pengertian Filsfat, Ilmu Filsafat, dan Filsafat Ilmu

DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A

DISUSUN OLEH:

KEVIN ADITIYA IKHSAN (11860111574)


M. FAIZ ATALLAH (11860112520)
TRYO PANDU SULAIMAN (11860114951)

KELAS : 1E

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penalaran
Penalaran adalah kemampuan manusia untuk melihat dan memberikan tanggapan
tentang apa yang dia lihat. Karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan
pengetahuan dengan cara bersungguh-sungguh, dengan pengetahuan ini dia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Penalaran juga merupakan kemampuan berfikir cepat, tepat dan mantap. Selain itu
penalaran merupakan proses berfikir dan menarik kesimpulan berupa pengetahuan.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
bersungguh-sungguh. Namun bukan hanya manusia yang mempunyai pengetahuan
binatang juga mempunyai pengetahuan. Perbedaan pengetahuan manusia dan hewan
adalah hewan hanya diajarkan hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya
(survival) contohnya apabila ada bencana mereka akan cepat bersembunyi atau mencari
tempat yang aman sedangkan manusia dengan cara mengembangkan pengetahuannya dia
akan berusaha menghindari dan mencari penyebab terjadinya bencana sampai bagaimana
mengatasinya.
Manusia dalam kehidupannya dia akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan
kelangsungan hidupnya, contohnya manusia akan selalu memikirkan hal yang baru,
mengembangkan budaya dan memberikan makna dalam kehidupan.
1) Contoh Penalaran
Penalaran dalam contoh yang nyata dapat kita temukan pada perbedaan
Contoh lainnya yang membedakan manusia dengan hewan adalah yaitu apabila terjadi
kabut burung akan terbang untuk mengindari polusi udara yang memungkinkan dia
tidak bisa bertahan hidup. Sedangkan manusia akan mencari tau mengapa sampai
terjadinya kabut? Bagaimana cara menghindari kabut? Apa saja komponen-komponen
yang terkadung di dalam kabut? Apa saja penyakit yang diakibatkan oleh kabut?
Penalaran manusia bisa terjadi karena dua hal yaitu manusia mempunyai
bahasa dan manusia mampu mengembangkan pengetahuan. Dua hal inilah yang
membedakan manusia dengan hewan dan di harapkan manusia mampu
memposisikan dirinya di tempat yang benar.
Penalaran biasanya di awali dengan berfikir kerena berpikir merupakan suatu
kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi
tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk
mengasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan
bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan
kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut.
Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis
penalaran mempunyai kriterianya masing-masing.
2) Ciri-ciri Penalaran
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri:
(1) Adanya suatu pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka
dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Atau
dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir
logis, di mana berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir
menurut suatu pola tertentu.
(2) Bersifat analitik dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan
berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang
dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan
logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan
logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya
suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan
ada kegiatan analisis.
Berdasarkan kriteria penalaran dikatakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir
bersifat logis dan analitis. Jadi cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran
bersifat tidak logis dan analitik. Dengan demikian maka dapat dibedakan secara garis
besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan
penalaran.
Perasaan merupakan penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran.
Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah
intuisi. Berpikir intuisi memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang
berpikir nonanalitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas
dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara
berpikir analitik yang berupa panalaran dan cara berpikir yang nonanalitik yang
berupa intuisi dan perasaan.

3) Prinsip-Prinsip Penalaran
Prinsip dasar penalaran hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama kali
adalah Aristoteles, yaitu sebagai berikut:
(1) Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium indentitas. prinsip identitas
berbunyi: ’’sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri’’. Dengan kata lain,
“sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan
yang lain”.
(2) Prinsip kontradiksi (principium contradictionis)
Prinsip kontradiksi berbunyi: “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan
bukan hal hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan
kata lain, “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”.
(3) Prinsip eksklusi (principium exclusi tertii)
Prinsip eksklusi tertii, yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak
adanya kemungkinan ketiga.
Prinsip ekslusi tertii berbunyi “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau
bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan
tengah. Dengan kata lain, “sesuatu x mestilah p atau non p tidak ada kemungkinan
ketiga”. Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara
mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya
salah satu yang dapat dimilikinya.
Disamping ketiga prinsip yang dikemukakan Aristoteles diatas, seorang filusuf
Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi
prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yang
berbunyi. “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan
alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”.
Dengan kata lain, “adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian
pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”.
Penalaran merupakan cara berpikir tertentu oleh karena itu untuk melakukan kegiatan
analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang
berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran
pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio
adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai
rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat
pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
2.2 Kesesatan Ilmu Pengetahuan
Pengertian dari kesesatan ilmu pengetahuan ialah upaya untuk dapat menemukan
kesimpulan yang tepat atau benar dilakukan dengan menyusun pola penalaran sesuai
dengan pola prinsip prinsip penalaran yang tepat atau dapat pula dengan cara menghindari
pola penalaran yang sesat. Itulah yang disebut dengan kesesatan dalam penalaran ilmiah
sebagai bagian dalam pembahasan tentang logika.
2.3 Klasifikasi Berbagai Kesesatan
Kesesatan berfikir adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir dikarenakan
penyalahgunaan bahasa atau relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika di mana
beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis.
Terjadi kerena ketidaktapatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan relevansi:
pembuatan premis dari proposisi yang salah.
Mengikuti john locke, psikolog dan ahli filsafat pendidikan john dewey yang
mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya termanifestasi dalam
perilaku yang sesat (Dewey. 1933: 131-134).
Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek sesungguhnya jarang berpikir sendiri
dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain.
Kedua, kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi
kenyataan tidak menggunakan rasionya sendiri dengan baik. Ketiga adalah kesesatan
yang terjadi akibat tidak terbuka untuk melihat persoalan secara komprehensif, terpaku
hanya pada hal hal tertentu.
Klasifikasi kesesatan berfikir:
1) Kesesatan formal, adalah bentuk kesesatan yang dilakukan kerena penalaran yang
tidak tepat atau tidak sahih. Terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip prinsip
logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen.
2) Kesesatan material, adalah kesesatan yang yang terutama menyangkut isi materinya.
Terjadi kerena faktor bahasa yang menimbulkan kesalahan dalam menyimpulkan arti
dan juga terjadi kerena memang tidak adanya hubungan logis.
2.4 Pengertian Silogisme (Qiyas)
Menurut Bahasa
Sebuah silogisme (bahasa Yunani: συλλογισμός – syllogismos – “kesimpulan,”
“inferensi”) atau banding logis adalah jenis argumen logis di mana satu proposisi
(kesimpulan) yang disimpulkan dari dua orang lain (tempat) dari suatu bentuk tertentu,
yaitu kategori proposisi.
Menurut Istilah
Dalam Bahasan Mantiq Silogisme atau Qiyas diartikan sebagai kumpulan dari beberapa
qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan
menghasilkan qadhiyyah yang lain (baruBeberapa macam hujjah (argumentasi). Manusia
disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk
mengetahuinya(Husein Al-Kaff. 1999):
1) Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari
sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil
(analogi).
2) Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum
(menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’
(induksi).
3) Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus.
Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Silogisme/Qiyas dibagi menjadi dua, yaitu:
1) iqtirani (silogisme kategoris), dan
2) istitsna’i (silogisme hipotesis).
Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang
tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru.
Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling
berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas. (Husein Al-Kaff. 1999)
Pengertian Silogisme dalam buku “Sebelum Analytics“, Aristoteles mendefinisikan
silogisme sebagai “sebuah wacana di mana, hal-hal tertentu yang telah seharusnya,
sesuatu yang berbeda dari hal-hal seharusnya hasil dari kebutuhan karena hal-hal ini
begitu”.
Meskipun definisi yang sangat umum ini, ia membatasi diri pertama silogisme
kategoris (dan kemudian untuk modal silogisme). Silogisme berada pada inti tradisional
penalaran deduktif, dimana fakta ditentukan dengan menggabungkan laporan yang ada,
berbeda dengan penalaran induktif dimana fakta ditentukan oleh pengamatan berulang.
Silogisme digantikan oleh orde pertama logika predikat mengikuti karya Gottlob Frege ,
khususnya Nya Begriffsschrif (Konsep Script) (1879)
Silogisme adalah suatu pengambilan kesimpulan, dari dua macam keputusan (yang
mengandung unsur yang sama, dan salah satunya harus universal) suatu keputusan yang
ketiga, yang kebenarannya sama dengan dua keputusan yang mendahuluinya.
Maka bisa disimpulkan, bahwa silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan
secara deduktif, yang disusun dari pernyataan dan konklusi (kesimpulan).Penalarannya
bertolak dari pernyataan bersifat umum menuju pada pernyataan/simpulan khusus.
Absah dan Benar
Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
1) Absah (valid) berkaitan dengan prosedur apakah pengambilan konklusi sesuai dengan
patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan dan tidak valid bila
sebaliknya.
2) Benar berkaitan dengan:
a. Proposisi dalam silogisme itu.
b. Didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu
benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan,
untuk mendapatkan yang sah dan benar.
Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui.
Mengapa demikian? Karena bisa terjadi:
1) Dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar.
2) Demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
2.5 Hukum-Hukum Silogisme
Supaya silogisme dapat merupakan jalan pikiran yang baik ada beberapa hukum
dalam silogisme. Hukum tersebtu bukanlah buatan para ahli-pikir, tapi hanya dirumuskan
oleh para ahli itu. Di bawah ini hukum-hukum yang menyangkut term-term antara lain:
1) Hukum pertama. Silogisme tidak boleh lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari
tiga term berarti bukan silogisme. Jika sekiranya ada empat term, apakah yang akan
menjadi pokok perbandingan, tidak mungkinlah orang membandingkan dua hal denga
dua hal pula, dan lenyaplah dasar perbandingan.
2) Hukum kedua. Term antara atau tengah (medium) tidak boleh masuk (terdapat) dalam
kesimpulan. Term medium hanya dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan
dengan term-term. Perbadingan ini terjadi dalam premis-premis. Karena itu term
medium hanya berguna dalam premis-premis saja.
3) Hukum ketiga. Wilayah term dalam konklusi tidak boleh lebih luas dari wilayah term
itu dalam premis. Hukum ini merupakan peringatan, supaya dalam konklusi orang
tidak melebih-lebihkan wilayah yang telah diajukan dalam premis. Sering dalam
praktek orang tahu juga, bahwa konklusi tidak benar, oleh karena tidak logis (tidak
menurut aturan logika), tetapi tidak selalu mudah menunjuk, apa salahnya itu.
4) Term antara (medium) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term antara
paticular, baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor, mungkin saja term
antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau
demikian term antara, tidak lagi berfungsi sebagai term antara, dan tidak lagi
menghubungkan atau memisahkan subyek dengan predikat.
Contoh:
Beberapa politikus pembohong.
Utsman adalah politikus.
Utsman adalah pembohong.
2.6 Proposisi
Proposisi berarti pernyataan atau kalimat. Proposisi juga disebut statmen atau
keputusan. Menurut istilah proposisi adalah sebuah pernyataan atau Statemen di mana
suatu hal itu diakui atau diingkari. Proposisi yang diambil atau dinyatakan dalam
pernyataan-pernyataan tertentu, dapat diselidiki benar tidaknya. Pernyataan itu benar jika
memang terdapat fakta yang mendukung kebenarannya, jika tidak ada fakta yang
mendukung kebenarannya maka pernyataan itu salah.
Dalam sebuah proposisi memerlukan suatu term. Term adalah kata atau rangkaian
kata yang berfungsi sebagai subyek atau prediket dalam suatu kalimat/proposisi. Dalam
ilmu logika, term bisa berbentuk  tunggal dan majemuk. Term tunggal adalah term yang
terdiri dari satu kata saja, misal futsall, volley atau tenis. Sementara term majemuk adalah
term yang terdiri dari dua kata atau lebih, misal lapangan Futsall, tenis meja dan sambal
goreng. Dalam bahasa arab, istilah term majemuk ini biasa disebut dengan “Tarkib
Idhofiy” yakni susunan lafadz yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih (lafadz yang
bersandar dan yang disandarkan), seperti term “cincin besi”.
Sebuah proposisi disebut mengakui atau meneguhkan hubungan antar gagasan jika di
dalamnya terdapat term yang mengakui term yang lain.
Singkatnya, sebuah proposisi itu dianggap afirmatif, ketika term prediket mengakui
term subyek. Sebagai salah satu contoh, marilah kita perhatikan pernyataan ini, “Neng
Roihana cantik”. Dalam proposisi ini term cantik disebut term prediket, sementara
term Neng Roihana disebut term subyek. Proposisi ini bersifat afirmatif, sebab prediket
memberikan pengukuhan pada subyek. Lain halnya jika dikatakan “Kang Jacky tidak
jelek”. Dalam proposisi ini, term tidak jelek  dipisahkan dengan term kang Jacky, sebab
term tersebut tidak sesuai dengan realitas kepribadiannya. Jadi dengan adanya kata tidak,
gagasan tentang kang Jacky dipisahkan dengan sifat jelek. Di sini prediket mengingkari
subyek. Inilah yang kemudian disebut dengan proposisi negatif.
Suatu proposisi selalu menyatakan pengakuan atau pengingkaran sesuatu tentang
sesuatu yang lain. Dalam setiap proposisi selalu terdapat tiga unsur berikut ini:
1) Term subyek  adalah hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
Term subyek dalam sebuah proposisi disebut subyek logis. Ada perbedaan antara
subyek logis dengan subyek dalam sebuah kalimat. Tentang subyek logis harus ada
penegasan atau pengingkaran sesuatu tentangnya.
2) Term predikat   adalah isi pengakuan atau pengingkaran itu sendiri (apa yang diakui
atau diingkari). Term predikat dalam sebuah proposisi adalah predikat logis, yaitu apa
yang ditegaskan atau diingkari tentang subyek.
3) Kopula adalah penghubung antara term subyek dan term predikat dan sekaligus
memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan yang terjadi. Jadi,
kopula memiliki tiga fungsi, yakni: menghubungkan subyek dan
predikat, menyatakan bahwa subyek sungguh-sungguh eksis, dan menyatakan cara
keberadaan (eksistensi) subyek.
Yang  perlu diingat bahwa dalam dalam bahasa Indonesia kopula dalam suatu
proposisi tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. “Amir nakal” adalah proposisi, karena
nakal (term predikat) diakui tentang Amir (term subyek), meskipun kedua term tersebut
tidak dihubungkan secara eksplisit oleh kopula.
Semua proposisi dapat disebut kalimat atau dalam istilah ilmu bahasa arab (Nahwu)
disebut sebagai Kalam. Namun, tidak setiap kalimat dapat disebut proposisi. Jika sebuah
kalimat menyatakan pengakuan ataupun pengingkaran tentang suatu hal, maka yang
demikian bisa disebut sebagai proposisi. Tetapi, jika pernyataan tersebut tidak
mengandung pengukuhan maupun penolakan terhadap sesuatu, maka tidak bisa disebut
sebagai proposisi. Misal, ketika seseorang meluapkan emosi “Hai Jangan Sakiti
Hatiku” atau ketika seseorang menyatakan“Siapakah gerangan gadis manis berkerudung
merah itu?”, maka pernyataan-pernyatan tersebut belum bisa dianggap sebagai sebuah
proposisi, sebab didalamnya tidak mengandung pengukuhan ataupun penolakan antar dua
gagasan. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan perintah dan pernyataan
tanya.  Secara sederhana, yang dapat dianggap sebagai proposisi adalah khusus
pernyataan deklaratif yang mengandung unsur afirmasi atau negasi. Dalam disiplin ilmu
sastra Arab istilah ini sering disebut dengan Kalam Khabariy.
2.7 Klasifikasi Proposisi
Dalam ilmu Logika,  terdapat tiga macam proposisi. Yaitu proposisi kategoris,
hipotesis dan modalitas.
1) Proposisi Kategoris
Proposisi kategoris adalah proposisi yang menyatakan secara langsung tentang cocok
dan tidaknya hubungan yang ada di antara term subyek dan term prediket. Disebut
kategoris, karena proposisi ini menyatakan tanpa disertai dengan syarat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam sebuah proposisi tidak lepas dari
tiga unsur, yaitu subyek, prediket dan kopula. Dalam hal ini, kopula menjadi unsur
formatur sehingga hubungan ketiganya membentuk struktur logis proposisi. Meski
demikian, banyak proposisi yang tidak menampakkan struktur logisnya secara jelas.
Sebagai contoh: “Hamdan mencintai istrinya”, dalam proposisi ini secara sekilas,
tidak memenuhi unsur proposisi dikarenakan didalamnya tidak terdapat kopula.
Padahal, dalam setiap proposisi diharuskan adanya kopula. Namun, sebenarnya
pernyataan tersebut sudah terdapat kopula yang terkandung dalam kata“mencintai
istrinya”, kata ini hakikatnya mempunyai ekuivalensi dengan “adalah pecinta
istrinya”. Dengan demikian, kopula dalam proposisi tersebut adalah kata“adalah”.
Pembagian proposisi kategoris:
(1) Proposisi kategoris universal yaitu pernyataan yang subjeknya mencakup semua
jenis yang dikandungnya. Contoh, manusia itu makhluk yang bernyawa.
(2) Proposisi kategoris singuler/particuler yaitu proposisi kategoris yang subjeknya
tidak mencakup semua jenisnya, tetapi membenarkan sebagian saja. Contoh,
sebagian mahasiswa Stain itu pandai.
Dan bila memandang prediket maka proposisi kategoris dibagi menjadi dua:
(1) Kategoris afirmatif yaitu suatu proposisi dimana kopulanya membenarkan
hubungan antara subjek dan prediket. contoh, semua mahasiswa akan mati.
(2) Kategoris negatif yaitu proposisi yang kopulanya tidak membenarkan hubungan
subjek dan prediket. Contoh, semua mahasiswa stain tidak ada yang memakai
celana pendek.
Jadi ditarik kesimpulan, bila proposisi itu dilihat dari segi subyek dan prediketnya,
maka proposisi dibagi menjadi:
(1) Kategorikal universal afirmatif yaitu proposisi kategoris yang mengakui hubungan
subjek dan prediket yang subjeknya mencakup luas. Contoh, semua manusia akan
mati.
(2) Kategorikal universal negatif yaitu proposisi yang tidak mengakui atau
mengingkari hubungan subjek dan prediket. Contoh, semua orang tidak akan
hidup selama-lamanya.
(3) Kategorikal particular afirmatif yaitu proposisi yang subjeknya tidak mencakup
semua jenisnya dan mengakui hubungan subjek dan prediket. Contoh, sebagian
mahasiswa stain itu bisa berbahasa inggris.
(4) Kategorikal particular negatif yaitu proposisi yang subjeknya tidak mengakui
hubungan subjek dan prediketnya dan subjeknya tidak mencakup semua jenisnya.
Contoh, sebagian manusia itu tidak mau dihina.
(1) Kualitas Proposisi Kategoris
Kualitas atau karakteristik dari proposisi kategoris sangat bergantung pada
kopula. Jika kopulanya mempersatukan dan menghubungkan antara subyek dan
prediket, maka disebut proposisi afirmatif, contoh “Semua manusia akan
mati”.Sebaliknya, jika kopulanya memisahkan antara subyek dan prediket, maka
disebut proposisi negatif.
(2) Kuantitas Proposisi Kategoris
Kuantitas sebuah proposisi kategoris terletak pada hakikat proposisi sebagai
partikular atau universal. Jadi, sebuah proposisi disebut universal jika term subyek
adalah universal, contoh “Semua mahasiswa wajib patuh pada dosen”. Akan
tetapi, jika term subyeknya partikular, maka disebut proposisi partikular,
contoh“Laptop Kasiman dicuri maling”.

2) Proposisi hipotesis
Proposisi hipotetis adalah proposisi yang hubungan antara subjek dan prediket
bersyarat dengan menggunakan tanda penghubung “jika” atau sejenisnya. Jenis
proposisi ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
(1) Proposisi hipotesis kondisional yaitu hubungan antara subjek dan prediket
merupakan hubungan yang wajib. Biasanya dirumuskan
dengan“jika.......maka....”, 
contoh: “Jika matahari terbit, maka hari akan siang.
Proposisi hipotetis kondisional itu dapat dibagi menjadi empat bagian:
a) Affirmatif antara subjek dan prediketnya.
Contoh, jika hujan reda, maka saya akan pergi.
b) Negatif keduanya, sabjek dan prediketnya.
Contoh, jika saudaraku tidak datang, maka aku tidak akan keluar rumah hari
ini.
c) Subjek affirmatif sedangkan prediketnya negatif.
Contoh, jika turun hujan, maka saya tidak kuliah.
d) Subjek negatif sedangkan prediketnya affirmatif.
Contoh, jika ibu saya tidak datang, maka saya teteap dirumah.
(2) Proposisi hipotesis disjungtif adalah proposisi yang berisi pernyataan subyek atau
prediketnya yang menggunakan kata penghubung “Atau....atau...”,
contoh:“Dia atau adiknya yang akan saya nikahi”.
(3) Proposisi Konjungtif yaitu proposisi yang menolak gagasan bahwa dua prediket
yang bersifat kontraris dapat menjadi subyek benar bagi subyek sama serta pada
waktu yang sama. Proposisi ini menolak kesertaan kemungkinan dua buah
alternatif.
Contoh “anda tidak dapat sekaligus duduk dan berlari pada saat yang
bersamaan”.
3) Proposisi Modalitas
Proposisi modalitas adalah proposisi yang menjelaskan tentang tingkat
kepastian di mana prediket diteguhkan atau diingkari tentang subyek. Proposisi ini,
terbagi menjadi empat macam, yaitu:
(1) Proposisi modalitas mutlak, yaitu prediket tidak bisa berfungsi lain kecuali
menjadi bagian dari subyek, contoh:
“Bola itu bulat”.
(2) Proposisi modalitas kontingen, yakni prediket masih memungkinkan difungsikan
untuk subyek lain, seperti:
“Mahasiswa tidak boleh malas” dan“Semua burung dapat terbang”.
(3) Proposisi modalitas yang mungkin, adalah proposisi yang menyatakan  aspek
kemungkinan hubungan antara subyek dan prediket, misal:
“Pasien itu dapat meninggal dunia sewaktu-waktu”.
(4) Proposisi modalitas yang mustahil, ialah proposisi yang menunjukkan bahwa
prediket merupakan sesuatu yang mustahil bagi subyek, contoh:
“Sebuah lingkaran itu tidak mungkin berbentuk segi empat”.
2.8 Definisi Realisme

Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato
mengembangkan aliran realisme yang menekankan pada pengetahuan dan nilai. Ilmuwan
membawa paham realisme pada abad 21, ilmuwan realisme beranggapan bahwa realitas
yang ada tidak bergantung pada apa yang kita ketahui dan metode ilmiah adalah cara
yang terbaik untuk mendapatkan deskripsi yang akurat dari apa itu dunia dan bagaimana
kerjanya. Untuk menjelaskan dan untuk menggunakan penemuan ilmiah, kita harus
menyusun suatu teori. Untuk meningkatkan penelitian ilmiah, kita dapat meninjau
kembali dan menyaring teori-teori kita sehingga lebih akurat terhadap realitas.

Realisme merupakan suatu aliran dalam ilmu pengetahuan. Aliran realisme


mempersoalkan obyek pengetahuan manusia. Aliran realisme memandang bahwa obyek
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Contohnya bagaimana kursi itu ada
karena ada yang membuatnya, begitu juga dengan adanya alam yang berarti ada yang
membuat. Tetapi kaum realis tidak mempercayai adanya ruh karena yang ada hanyalah
jiwa. Kaum realis berpendapat bahwa tidak ada kehidupan sesudah kematian.

1) Epistemologi Realisme
Dalam perspektif epistemologi aliran realisme menyatakan bahwa hubungan
antara subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan
pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak
tergantung oleh si subjek. Pemahaman subjek dengan demikian ditentukan atau
dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).

Realis mempercayai pengetahuan yang didapatkan berasala dari hal-hal nyata


yang ada di sekitar manusia, bukan berasal dari pemikiran manusia. Dan pengetahuan
manusia yang dipengaruhi oleh alam bukan alam yang dipengaruhi oleh alam.

Manusia dapat mengetahui suatu objek melalui indra dan akal fikiran mereka.
Proses mengetahui terdiri dari dua tahap yaitu perasaan dan gambaran. Pertama, orang
yang mengetahui melihat objek dan panca indra merekam data di dalam pikiran
seperti warna, ukuran, berat atau bunyi. Pikiran memilah data ke dalam suatu sifat
yang selalu muncul dalam objek. Dengan mengidentifikasi sifat-sifat yang dibutuhkan
manusia membentuk konsep dari benda dan mengenalinya ke dalam kelas-kelas
tertentu. Klasifikasi ini akan membuat manusia memahami bahwa objek atau benda
membagi sifat tertentu dengan anggota lain dalam satu kelompok tetapi tidak dengan
objek dari kelompok yang berbeda.

2) Ontologi Realisme
Realisme secara ontologi diartikan bahwa semua benda di alam ini tidak ada
yang mempunyai roh. Menurut Smith ,bagi kaum realis, realitas berhubungan dengan
apa yang disebut filsuf sebagai ‘alam’ atau pola invarian dalam realitas yang
memberikan berbagai macam contoh yang tidak terbatas dari berbagai macam hal.
Seperti menjelaskan berbagai macam partikel menggunakan satu atau beberapa
bentuk sumum, membuat ilmu menjadi mungkin.
Loux menyatakan bahwa realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan
bentuk-bentuk abstrak yang terhubung dengan gaya acuan. Pada akhirnya realis
menerima pendapat yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA,
termasuk fisika memberikan kriteria utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut,
pertanyaan “ Semesta seperti apa yang ada disana?” adalah pertanyaan empiris yang
harus dijawab oleh fisikawan: semesta tersebut dibutuhkan untuk memformulasikan
teori fisika terbaik yang ada.
3) Aksiologi Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Dalam pendidikan
tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga
menyangkut penanaman nilai. Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme
menyatakan bahwa nilai bersifat absolut, abadi namun tetap mengikuti hukum alam
yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa
mata pelajaran yang dilaksanakan disekolah pada intinya adalah untuk menerangkan
realitas objektif dunia, sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada
kajian-kajian ilmu kealaman atau sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa
melalui sains lah realitas itu tergelar secara objektif dan menantang manusia untuk
memahaminya ( Orsnstein , 2008:168).
2.9 Jenis-Jenis Realisme
Aliran realisme dibagi menjadi dua yaitu realisme rasional dan realisme alam
(Musdiani, 2011). Aliran realisme rasional yang berasal dari Aristoteles dibagai menjadi
dua yaitu:
1) Realisme klasik
Realisme klasik berasal dari pandangan Aristoteles. Menganggap bahwa
segala sesuatu yang ada berdasarkan hal yang nyata. Aristoteles menganggap bahwa
setiap benda ada tanpa adanya roh.
2) Realisme religius
Realisme ini berasal dari pandangan Thomas Aquina, yaitu filsafat agama
Kristen yang lebih dikenal dengan aliran Thomisme. Aliran ini menganggap bahwa
jiwa itu penting walaupun tidak nyata seperti badan. Sehingga aliran ini mempercayai
bahwa jiwa dan badan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan didapat
dari wahyu, berpikir dan pengalaman. Aturan-aturan keharmonisan alam semesta ini
merupakan ciptaan Tuhan yang harus dipelajari.
Aliran realisme alam atau realisme ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan
alam. Aliran realisme ini bersifat skeptis dan eksperimental. Aliran ini menganggap
bahwa alam semesta itu nyata dan yang mempelajarinya adalah ilmu pengetahuan
bukan ilmu filsafat. Tugas ilmu pengetahuan adalah menyelidiki semua isi alam
sedangkan tugas ilmu filsafat adalah mengkoordinasi konsep-konsep dan penemuan-
penemuan dari ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Menurut aliran ini alam
bersifat tetap. Meskipun ada perubahan di alam namun perubahan tersebut sesuai
dengan hukum-hukum alam yang sudah berlaku sehingga alam semesta terus
berlangsung dengan teratur.
2.10 Definisi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar yang
dibuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat
praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
benar dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang pragtis yang bermanfaat.
Dengan demikian patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
Kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rencana ini kurang pragmatis,
maka maksudnya adalah rencana ini kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu
jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tapi belum menggambarkan
keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dari filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu adalah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata oleh sebab
itu kebenaran sifatnya menjadi relative tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi
berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat
yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembanganya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun
berangkat dari ggasan asal yang sama. Kendati demikian ada tiga patokan yang disetujui
aliran pragmatism yaitu:
1) menolak segala intelektualisme,
2) menolak segala absolutisme, dan
3) meremehkan logika formal.
Pragmatisme berpegang teguh pada praktek. Berusaha menemukan asal mula serta
hakekat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun
kegiatan tersebut luar biasa sulitnya. Sejarah menunjukan sengketa antara masalah ini di
bidang filsafat selalu menyebabkan adanya sementara orang yang menoloknya sebagai
suatu masalah yang menyebabkan sementara orang yang lain memandangnya sebagai
suatu yang tidak berfaedah.
Penganut pragmatisme menaruh perhatian pada praktek. Mereka memandang hidup
manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus-menerus yang di
dalamnya terpenting adalah konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis.
Konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis tersebut erat hubunganya dengan makna
dan kebenaran.

2.11 Kritik Terhadap Pragmatisme


Kekiliruan pragmatism dapat di buktikan dalam tiga tataran pemikiran:
1) Kritik dari segi landasan pragmatism
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama
dari kehidupan (sekularisme). Hal ini Nampak dari perkembangan historis
kemunculan pragmatisme yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
empirisme. Dengan demikian dalam konteks idiologis, pragmatisme berarti menolak
agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah
diantara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah mungkin saja dapat
terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai azas yang
sama). Namun penyelesaian seperti ini tidak akan terwujud di antara dua pemikiran
yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama
adalah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta,
dan kehidupan. Dan dari sinilah dinahas apakah Al Khaliq telah menentukan suatu
peraturan tertentu dan manusia diwajibkan untuk melaksanakanya dalam kehidupan
dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati megenai kriterianya
terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua adalah mengingkari keberadaan
Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi
dipisahkan dari kehidupan,tapi bahkan terus dibuang dari kehidupan.
2) Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Emperisme Nampak jelas menggunakan
metode Ilmiyah yang menjadikan sebagai asas berfikir untuk segala bidang pemikiran
baik yang berkenaan dengan saint danteknologi maupun ilmu-ilmu sosial
kemasyarakatan ini adalah satu kekeliruan.
3) Kritik terhadap pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan
kegunaan praktis yang dihasilkanya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini
keliru dari tiga sisi.
Pertama, pragmatisme mencampur adukan kriteria kebenaran ide dengan
kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedangkan praktis ide itu
adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan
realistas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk
memenuhi hajat hidup manusia tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu
sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak
mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukan fakta terpuaskanya
kebutuhan manusia.
Kedua, pragmatisme menafikan peran manusia. Menetapkan kebenaran
sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identivikasi instinktif. Memang indentifikasi instinktif dapat menjadi ukuran
kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran
kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme telah menafikan aktivitas intelektual dan
menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah
menundukan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi
instinktif.
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai
dengan kebenaran subyek penilaian ide, baik individu, kelompok, maupun
masyarakat dan perubahan kontek waktu dan tempat. Dengan kata lain kebenaran
hakiki pragmatisme baru dapat dibuktikan menurut pragmatisme itu sendiri setelah
melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini
mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme telah menjelaskan
ikonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
2.12 Daya Tarik Pragmatisme
Dengan sejumlah cara pragmatisme merupakan sebuah ajaran yang menarik bagi
sementara orang. misalnya, paham tersebut menitik beratkan pada pengalaman dan
bersifat naturalistik, tetapi sekaligus menyerahkan tugas yang nyata-nyata bersifat kraetif
kepada orang yang memperoleh pengetahuan. Pragmatisme bersangkutan dengan
masalah-masalah mengenai organisme di dalam perjuangan untuk kelangsungan
hidupnya, dan menjadikan penyelesaian masalah sebagai pendorong bagi tingkah laku,
dan karenanya sebagai kunci bagi semua penafsiran kefilsafatan.
Bahkan perenungan kefilsafatan dipandang sebagai alat untuk menyelesaikan masalah
mengenai pentesuaian. Selanjutnya pragmatisme memberi dorongan untuk bertindak.
Disinilah letak kekuatan kreatif suatu organisme; ia tidak puas hanya memandang sesuatu
secara pasif. Diatas segala-galanya pragmatisme merupakan suatu ajaran yang
memberikan ukuran bagi makna dan kebenaran berdasarkan atas proses yang hidup dari
penyelesaian masalah. Hal ini sangat menarik bagi banyak orang, khususnya bagi mereka
yang ingin mengubah dunia.

Daftar Pustaka

A. Susnto. Filsafat ilmu. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.


Ahmad Tafsir. filsafat umum. Bandung : Remaja Persada Karya. 2001.
Akhadiah. Sabarti dan Dewi Listyasari. Winda (ed), Filsafat Ilmu Lanjutan, Jakarta: Kencana, 2011

Amsal Bakhtiar.. filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grapindo Persada. 2004


Bagus. Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005

Copi. Irving M., Introduction to Logic: Eigth Edition, New York: Macmillan Publishing Company,
1990

Endraswara. Suwardi, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah, Yogyakarta:
CAPS, 2013

Hamersma. Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2008

http:// santosogereja.blogspot.co.id

http://achwanruhayyun.blogspot.co.id

http://awatifbaqis.blogspot.co.id

http://forum.teropong.id/2017/08/03/pengertian-etika-jenis-jenis-dan-manfaat-etika-beserta-
contohnya/

https://id.wikipedia.org/wiki/Logika

Juhaya S. Praja. aliran – aliran filsafat dan etika. Jakarta : Prenada Belia. 2003.
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1999

KBBI Offline versi 1.5

Keraf. Sonny dan Dua. Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius,
2001

Mundiri, Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada dan IAIN Walisongo Press, 2001
Rapar. Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996

Rizal Mustansyir dan Misna Munir. filsafat ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008. cet VII.
Sider. Theodore, Logic For Philosophy, Versi pdf, Tk:Tp, 2010

Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di indonesia suatu kajian dalam dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Tafsir. Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007

Utama. I Gusti Bagus Rai, Filsafat Ilmu dan Logika, Bandung: Universitas Dyana Pura, 2013

Anda mungkin juga menyukai