KUMPULAN MAKALAH
FILSAFAT dan ILMU LOGIKA
Oleh: Fathya Putri Kamilla (11860122301)
Harsa Afifatur Rahmi (11860121542)
Tasya Fazilla Nirmala (11860122280)
18
Pengertian Filsfat, Ilmu Filsafat, dan Filsafat Ilmu
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
MILL ANANDA
NIM 118601255048
RANA NABILA ASILIA
NIM 118601
KELAS : 1E
1. Pengertian filsafat
Menurut Etimologi
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Kata dasarnya adalah
Philen/Philia yang berarti cinta atau mencintai dan Shopia artinya kea'rifan. Secara etimologi
istilah filsafat mengalami perkembangan yang cukup pesat diberbagai negara. Perkembangan
istilah filsafat ini selanjutnya dikenal dalam bahasa Inggris "Philosophy". Philos artinya cinta
dan Shophy berarti Pengetahuan. Istilah filsafat juga sering dikenal diberbagai negara Arab
dengan nama Hikmah. Ternyata kata hikmah yang sering digunakan oleh para pemikir arab,
merupakan sinonim dari kata filsafat. Secara historis dalam pemikiran Islam, istilah filsafat
mengandung makna sebagai hikmah. Kata hikmah berasal dari bahasa Arab "Al-Hikmah".
Menurut Terminologi
Menurut terminologis filsafat dapat diartikan sebagai berikut :
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang berisi ilmu metafisika,
retorika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat keindahan).
Immanuel Kant
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan), yang merupakan dasar dari semua pengetahuan dalam
meliput isu-isu epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab pertanyaan tentang apa
yang dapat kita ketahui.
Al Farabi
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang sifat bagaimana sifat sesungguhnya dari
kebenaran.
Rene Descartes
Filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan bahwa Allah, manusia dan alam menjadi pokok
penyelidikan.
Plato
Filsafat adalah ilmu yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang
sebenarnya.
Langeveld
Filsafat adalah berpikir tentang masalah final dan menentukan, yaitu masalah makna
keadaan, Tuhan, kebebasan dan keabadian.
N. Driyarkara
Filsafat adalah refleksi yang mendalam tentang penyebab ‘di sana dan melakukan’, refleksi
dari realitas (reality) jauh ke dalam ‘mengapa’ penghabisan itu.
Ir. Proedjawijatna
Filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk menemukan penyebabnya deras untuk segala
sesuatu dengan pikiran belaka.
Notonogo
Filosofi yang meneliti hal-hal yang menjadi objek inti dari sudut mutlak (di), yang tetap dan
tidak berubah, yang juga disebut alami.
Louis O Kattsoff,
memberikan pengertian secara praktis yaitu " Kegiatan pemikiran secara ketat dan sistimatis.
Maksudnya adalah berfikir yang mendalam dengan melalui perenungan dan bukan melamun
juga bukan berfikir secara kebetulan yang sifatnya untung-untungan. Akan tetapi melalui
perenungan yang mencoba untuk menyusun secara runtut suatu sistem pengetahuan yang
rasional, yang memadai dalam rangka memahami dunia tempat kita hidup, maupun
memahami diri sendiri.
Harold H.Titus
a) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta.
b) Filsafat adalah metode pemikiran reflektif dan penyelidikan akliah
c) Filsafat adalah suatu perangkap masalah
d) Filsafat adalah perangkap atau teori sistem pemikiran
DC.Mulder.,
merumuskan sebagai berikut "Fisafat adalah pemikiran kritis tentang susunan kenyataan
secra keseluruhan.
Prof.Dr.Fuad Hasan
menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berfikir radikal, dalam arti mulai
dari radiks atau akar-akarnya suatu fenomena atau gejala dari akar-akarnya suatu hal yang
dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu bersifat berusaha untuk sampai
kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal
H.Hasbullah Bakri.
memberikan pengertian filsafat secara praktis yaitu: berfilsafat artinya "berfikir" meskin
begitu, tidak semua orang berfikir berfilsafat. Meski berfilsafat ialah berfikir secara
mendalam. Selanjutnya Hasbullah Bakri memberikan pengertian"Ilmu filsafat ialah ilmu
yang menyelidiki sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia,
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya, sejauh yang dapat
dicapai akal manusia, dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai
pengetahuan itu.
Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai
keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila
berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan
lain-lainnya.
Secara garis besar dasar-dasar filsafat dibagi kedalam beberapa aspek, seperti Ontologi,
Kosmologi, Efistemologi, dan Oxiologi.
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, "Onto" artinya yang ada dan "logos" berarti ilmu
pengetahuan. Dengan demikian ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
wujud (being) sesuatu sejauh itu ada. Oleh karena itu ontlogi bukan saja mempelajari tentang
hakekat Tuhan, akan tetapi juga mempelajari substansi dan hakekat suatu benda dan
persoalan lainnya.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani Episteme berarti pengetahuan dan logos artinya
ilmu atau teori. Jadi epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang
pengetahuan dalam mengkaji asal usul filsafat dan benda
Secara terminologi epistemologi adalah salah satu problem logika yang dapat menentukan
kebenaran dan cara memperoleh pengetahuan tentang filsafat yang tepat, yang merupakan
cara yang ditempuh dalam memperoleh pengetahuan filsafat, baik yang teoritis maupun yang
praktis.
Aksiologi, berasal dari bahasa Yunani juga yaitu "Axio" berarti bermanfaat atau bernilai dan
"logos" berarti ilmu pengetahuan. Jadi aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang nilai estetika dan etika terhadap hasil dari pengetahuan. Aksiologi juga merupakan
ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai terhadap persoalan kefilsafatan, nilai yang
dimaksud adalah nilai guna, nilai fungsi dan nilai manfaat.
Kosmologi, adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu "kosmos" berarti alam (material) dan
logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi kosmologi adalah cabang filsafat yang mempelajari
tentang struktur dan lapisan alam beserta isinya yang melibatkan manusia sebagai subjek
Logika, berasal dari kata "logic" berarti akal atau rasio. Jadi logika adalah cabang filsafat
yang mepelajari tentang hukum-hukum atau silogisme-silogisme dalam mengumpulkan data,
dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, negasi-negasi terhadap proposisi-
proposisi yang akhirnya akan mendapatkan kesimpulan yang bersifat rasional.
Dengan demikian, kenyataan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat
mengemukakan pendapat secara filosofi, karena filsafat itu sendiri merupakan hasil renungan
manusia terdalam. Perenungan manusia yang mendalam tentang sesuatu persoalan tentu
menggunakan metode berfikir.
Dengan demikian ciri khas dari pada berfikir yang filosofis adalah :
a) Radikal, berasal dari kata "Radix" berarti akar, berfikir radikal berfikir sampai
konsekwensinya yang terakhir.
b) Sistematis, yaitu berfikiran logis bergerak selangkah dengan penuh kesadaran dengan
urutan yang paling berhubungan antara satu dengan yang lain secara teratur. Atau dengan
kata lain sistimatis dapat dijelaskan sebagai berikut : "Seorang pelajar filsafat dalam
menghadapi filsafat mesti bermula dari perjalanan menghadapi teori pengetahuan yang terdiri
atas beberapa cabang filsafat, setelah itu ia mempelajari teori hakekat yang meruakan cabang
lain. Kemudian ia mempelajari teori nilai atau filsafat nilai.
c) Universal, yaitu berfikir secara umum dan tidak secara tetrtentu (khusus) atau tidak
terbatas pada bagian tertentu kebenarannya. Maksudnya kebenaran yang diperoleh ilmu
pengetahuan lewat penyelidikan misalnya bukan bersifat universal, akan tetapi keuniversalan
filsafat adalah kebenaran bersifat umum yang memenuhi metode filsafat.
d) Logis, artinya segala kebenaran yang diperoleh dari perenungan yang mendalam mesti
masuk akal, atau kebenaran yang bersifat masuk akal, atau fikiran yang dinyatakan dengan
bahasa.
A. Obyek filsafat
a) Obyek Material, menyelidiki segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik material
maupun non material. Termasuk masalah nilai dan sebagainya. Seperti masalah dunia
metafisika : Tuhan, alam malaikat, surga dan neraka. Juga tak ketinggalan yaitu masalah
nilai-nilai yang ada pada alam dan manusia.
b) Obyek formal, menyelidiki segala sesuatu yang dengan sedalam-dalamnya guna
mengetahui yang sesungguhnya atau secara esensial.
B. Metode Filsafat
a) Metode contemplative atau perenungan yang serius, yaitu memikirkan segala sesuatu
tanpa seharusnya ada kontak lansung dengan obyeknya. Adapun obyek comtemplative itu
dapat berupa apa saja. Seperti halnya : makna kematian, hidup, kebenaran, keadilan dan
sebagainya.
b) Deduktif, yaitu metode berfikir yang dimulai dari suatu realitas yang bersifat umum guna
memperoleh kesimpulan yang lebih khusus.
c) Induktif, yaitu metode berfikir yang dimulai dari realitas yang bersifat khusus kemudian
menganalisa cermat berdasarkan pengamatan untuk mengambil kesimpulan yang bersifat
umum.
Dengan menggunakan metode berfikir seperti diatas, maka seorang filosofi dapat berfikir
secara sistematis dinamis, yaitu dapat berfikir dari tingkat indra sampai dengan tingkat
religius.
Selain metode tersebut diatas, beberapa metode yang digunakan oleh para filosof antara lain :
a) Metode kritis, yaitu metode yang digunakan Socrates dan Plato dengan menggunakan
sistem yang bersifat analisa dan pendapat yang menjelaskan dan memperlihatkan
pertentangan dengan jalan bertanya (berdialektika)
b) Metode intuitif, yaitu metode yang digunakan Plotinus dan Bergson, dengan jalan
intropeksi intuitif yaitu dengan cara membersihkan intelektual dengan menggunakan simbol-
simbol sekaligus pensucian moral.
c) Metode Skolastik yaitu metode yang sering digunakan oleh Aristoteles dan Thomas
Aqiunus yang sifatnya deduktif, yaitu bertitik dengan prinsip-prinsip dan defenisi-defenisi.
d) Metode Matematis yaitu metode yang digunakan Rene Descrates dengan jalan
menganalisa melalui hal-hal yang kompleks, kemudian mencapai intuisi akan hakikat yang
sederhana dan kemudian diadakan reduksi-reduksi secara matematis.
e) Metode Empiris yaitu yang ditokohi oleh Thomas Hobbes, John Locke Berkeley serta
David Hume, yang mengajikan pengertian yang benar itu berdasarkan pengalaman
f) Metode Transendental, metode ini sering dipakai Immanel Kant neo-Skolastik yang
bertitik tolak pada pengertian tersebut dengan jalan analisa yang diselidiki secara apriori.
g) Metode Dialektis, metode ini digunakan oleh filosof besar seperti Hegel, Karl Max, yang
caranya mengikuti dinamika berfikir secara dinamis seperti mengadakan : Tesa-sintesa untuk
mencapai hakekat.
FILSAFAT ILMU
Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai
keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila
berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas,
filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan
lain-lainnya. Pengertian filsafat ilmu
Konsep dasar filsafat ilmu adalah kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsi serta
kaitannya dengan implementasi kehidupan sehari-hari. Pembahasan filsafat ilmu juga
mencakup sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir)
dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan
aksiologis.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai
hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu,
yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat
berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat
menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat
disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat
menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan
validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam
penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan
model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Objek-objek Filsafat Ilmu
Objek filsafat ilmu adalah suatu bahan yang ditelusuri, diteliti, diselidiki atau dipelajari,
guna untuk memperoleh pengetahuan baru yang diketahui hakikatnya dan dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Objek filsafat ilmu dibedakan menjadi dua macam,
yaitu objek material dan objek formal.
2) A. Fuad Ihsan
Objek material filsafat yaitu suatu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan
metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
(A. Fuad Ihsan, 2010)
3) M. Noor Syam
Objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, baik
materiil konkret, phisis maupun nonmateriil abstrak, psikhis.termusuk pula pengertian
absrak-logis, konsepsional, spiritual dan nilai-nilai. Dengan demikian objek filsafat tak
terbatas. (Surajiyo, 2007)
Segala sesuatu yang ada, itu dapat dibagi dua hal, yaitu:
a) Ada, yang bersifat umum
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ‘ada’ pada umumnya disebut ontologi
b) Ada, yang bersifat khusus
Ilmu yang menyelidiki tentang hal ‘ada’ yang bersifat khusus dibagi dua, yaitu:
- ‘Ada’ yang mutlak, yang disebut theodicea
- ‘Ada’ yang tidak mutlak terdiri atas alam (kosmologi) dan manusia (antropologi
metafisis). (Surajiyo, 2007)
Dari beberapa pengertian menurut para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa “Objek
material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian, atau pembentukan
pengetahuan, yang di pandang atau di selidiki, oleh suatu disiplin ilmu yang mencakup segala
sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan, maupun ada dalam
kemungkinan”.
Cara keraja metode siklus empiris meliputi obsevasi, penerapan metode induksi,
melakukan eksperimentasi, verifikasi atau pengujian ulang terhadap hipotesis yang diajukan,
sehingga melahirkan sebuah teori. Adapun cara kerja metode linear meliputi penangkapan
indrawi terhadap realitas yang diamati, kemudian disusun sebuah pengertian (konsepsi),
akhirnya dilakukan prediksi tentang kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan.
Berfikir kefilsafatan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu lain.
Beberapa ciri berfikir kefilsafatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a) Radikal, artinya berfikir sampai ke akar-akarnya, sehingga sampai hakikat atau substansi
yang dipikirkan.
b) Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia.
c) Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.
d) Koheran dan konsisten. Koheran artinya sesuai kaidah-kaidah berfikir logis. Konsisten
artinya taat asas, tidak mengandung kontradiksi.
e) Sistematis, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling saling
berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
f) Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berfikir secara kafilsafatan
merupakan usaha untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.
g) Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan
merupakan hasil pemikiran yang bebas, yaitu bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis,
kultural, bahkan religius.
h) Bertanggung jawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang yang berfikir
sekalugus bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati
nuraninya sendiri. (Mustansyir dan Munir, 2001)
Persamaan filsafat ilmu dan ilmu lainnya, baik sejarah ilmu, sosiologi ilmu dan psikologi
ilmu adalah sebagai berikut :
1. Mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki objek selengkap lengkapnya sampai
keakar - akarnya.
2. Memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian -
kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukan sebab-sebanya.
3. Hendak memberikan sintesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan.
4. Mempunyai metode dan sitem.
5. Hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia
(objektivitas), akan pengetahuan yang lebih mendasar
Secara garis besar perbedaan filsafat ilmu dengan ilmu – ilmu lain, baik sejarah ilmu,
psikologi ilmu maupun sosiologi ilmu adalah :
1) Filsafat menyelidiki, membahas, serta memikirkan seluruh alam kenyataan, dan
menyelidiki bagaimana hubungan kenyataan satu sama lain. Jadi ia memandang satu kesatuan
yang belum dipecah-pecah serta pembahasanya secara kesuluruhan. Sedangkan ilmu-ilmu
lain atau ilmu vak menyelidiki hanya sebagian saja dari alam maujud ini, misalnya ilmu
sejarah hanya membicarakan kejadian – kejadian yang sudah terjadi di masa lampau, ilmu
psikologi hanya membicarakan tentang jiwa, dan ilmu sosiologi hanya membicarakan tentang
manusia.
2) Filsafat tidak saja menyelidiki tentang sebab-akibat, tetapi menyelidiki hakikatnya
sekaligus. Sedangkan ilmu lainnya hanya membahas tentang sebab dan akibat suatu
peristiwa.
3) Dalam pembahasannya filsafat menjawab apa ia sebenarnya, dari mana asalnya, dan hendak
ke mana perginya. Sedangkan ilmu lainnya harus menjawab pertanyaan bagaimana dan apa
sebabnya.
1. Manfaat Mempelajari filsafat ilmu, akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan,
diantaranya:
Mempelajari filsafat ilmu seperti manfaat filsafat pendidikan akan membuat seseorang,
terutama seorang ilmuwan agar tetap berpikir kritis. Dengan berprikir kritis dan cermat, maka
seseorang dapat terhindar dari sikap solipsistik atau menganggap bahwa pendapatnyalah yang
paling benar.
Seorang ilmuwan akan terlalu asik dengan dunia ilmiahnya sendiri dan terkadang lupa
dengan hal yang ada disekitarnya. Dengan mempelajari filsafat ilmu seperti manfaat
mempelajari filsafat hukum, seseorang bahkan ilmuwan akan sadar tentang keterbatasan
dirinya yang juga tidak dapat lepas dari konteks sosial kemasyarakatan.
Belajar filsafat ilmu dapat membantu mengatasi bahaya sekularisme ilmu dalam bidang
apapun. Adanya batasan nilai ontologis dalam mengembangkan ilmu, teknologi da juga
perindustrian dapat membantu mengatasi adanya bahaya sekularisme segala bidang ilmu.
e) Mendorong Berperilaku Adil dan Bertanggung Jawab
Dalam mengembangkan ilmu, teknologi dan perindustrian, terdapat batasan aksiologi yang
dapat menumbuhkan nilai-nilai etis dalam kehidupan serta mampu menambah manfaat hidup
bersatu. Paradigma aksiologis mampu memberikan dorongan agar seseorang dapat
berperilaku adil dan membentuk moral tanggung jawab pada diri seseorang.
Mempelajari filsafat ilmu akan membantu ilmuwan untuk berpikir logis dan rasional.
Sehingga setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan. Ini
juga lebih baik untuk manfaat bersosialisasi dengan orang lain karena selalu berfikir logis.
Filsafat ilmu akan menuntun seseorang dalam menyelesaikan sebuah masalah. Dengan
mempelajari filsafat ilmu manfaat manfaat ilmu sosial, seseorang akan memahami dan dapat
membedakan apakah masalah tersebut ilmiah atau tidka ilmiah. Sehingga, seseorang dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan tepat.
Pandangan yang diberikan ketika mempelajari filsafat ilmu akan menjadi lebih luas. Dengan
wawasan yang luas, seseorang dapat mencegah terjadinya egoisme dan ego-sentrisme atau
dalam kata lain mementingkan diri sendiri. Manfaat perilaku terpuji akan lebih maksimal
dengan orang yang memiliki ilmu.
Dalam memecahkan masalah, harus mengambil langkah yang bijak agar permasalahan dapat
terpecahkan. Mempelajari filsafat akan membantu melihat berbagai persoalan yan ada
sehingga dapat diketahui bagaimana langkah untuk menyelesaikan masalah terseut. dengan
begitu, persoalan yang terjadi dapat diselesaikan dengan bijaksana.
Mempelajari filsafat ilmu dapat membantu seseorang menyadari akan hakikatnya hidup
sebagai manusia. Dimana dia juga memiliki hubungan dengan orang lain, alam sekitar dan
juga kepada Tuhan. Dengan memiliki ilmu yang dalam manfaat organisasi dapat membantu
menyamakan kedudukan manusia.
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
KELAS : 1E
a. Pengertian Logika
Menurut Etimologi
Logika berasal dari kata Yunani Kuno, λσγσς (Logos) yang mempunyai arti sesuatu yang diutarakan,
pertimbangan akal (pikiran), kata, percakapan, dan bahasa.
Oleh karena itu, logika menurut bahasa
adalah suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan
melalui bahasa. Namun pengertian dasarnya sering disebut sebagai ilmu berkata-kata atau berpikir
benar, bukan tepat melainkan benar.
- Jan Hendrik Rapar: Logika adalah cabang filsafat yang menyusun, mengembangkan, dan
membahas asas-asas, aturan-aturan formal dan prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih
bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional.[3]
- K. Bertens: Logika adalah ilmu yang berguna untuk menyelidik lurus tidaknya pemikiran.[4]
- Harry Hamersma: cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir, aturan-aturan mana
yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah.[5]
- I Gusti Bagus Rai Utama: logika adalah ilmu yang memepelajari kecakapan untuk berfikir
secara lurus, tepat, dan teratur.[6]
- Loren Bagus: Logika adalah studi tentang aturan-aturan penalaran yang tepat serta bentuk dan
pola pikiran yang masuk akal.[7]
Dari pemaparan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa logika adalah ilmu yang membahas
aturan-aturan dan metode keabsahan atau ketepatan berfikir.[8]
Menurut Aristoteles logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan
atau cara penyusun pikiran. Aristoteles sangat menaruh perhatian pada bagian filsafat ini, bahkan
menganggapnya sebagai ilmu pendahulu filsafat. Ia di anggap sebagai bapak logika terutama dengan
buku yang disusun murid-muridnya yang berjudul “organon” atau instrumen tentang logika formal.
Cicero-lah, Filsuf Yunani abad pertama, yang mengenalkan logika dalam filsafat. Meski sebagai
orang pertama-menurut sebagian besar-yang memperkenalkan istilah logika dalam filsafat, namun dia
mengartikan logika sebagai seni berdebat, bukan sebagai aturan dan metode menyingkap keabsahan
sebuah pernyataan. Sedangkan filsuf pertama yang menggunakan istilah logika seperti sekarang
adalah Alexander Aphrodisias, seorang filsuf abad ke-3 yang menyatakan bahwa logika adalah ilmu
yang menyelidiki lurus atau tidaknya pemikiran.[10]
Logika yang berkembang dewasa ini merupakan sebuah metode berfikir yang sesuai aturan,
tentunya, aturan ini bersinergi kepada epistemologi yang dipegang oleh masing filsuf. Seperti filsuf
rasionalisme, berpegang pada aturan-aturan keabsahan berfikir secara rasional, filsuf empirisme
berpegang kepada aturan-aturan empirik. Namun demikian, aturan-aturan keabsahan tersebut
merupakan aturan ilmiah sehingga bisa dijadikan dasar kelogisan berpikir ilmiah. Hal ini dikarenakan
filsafat kontemporer memposisikan logika sebagai suatu metode berpikir ilmiah sehingga aturan-
aturan dalam metode tersebut harus sesuai dengan criteria metode ilmiah.
Oleh karena itu, beberapa filsuf mengkategorikan logika kepada logika ilmiah dan alamiah,
artinya logika meski membicarakan metode dan aturan berpikir, namun pemikiran tidak semuanya
bisa mengikutinya. Seperti logika ilmiah adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis (proposisi)
dengan ketentuan ilmiah, berbeda dengan logika alamiah yang terkadang mengesampingkan
ketentuan ilmiah.
Ahmad Tafsir dalam bukunya, Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa berpikir dengan logika (logis)
adalah penyimpulan sebuah proposisi yang ada atas kesuasaiannya dengan hukum alam. Sedangkan
rasional adalah menarik kesimpulan seseuai dengan akal. Sebaliknya, logika alamiah adalah
penyimpulan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum alam, tetapi hal ini dapat dipergunakan
sebagai pengetahuan selama argument-argument yang dipakai untuk menyimpulkannya dapat
diterima akal.[11] logika alamiah ini kemudian dikenal dengan logika suprarasional.
Salah satu contohnya adalah Ibrahim dan Api sebagaimana yang termuat kisahnya dalam al-
Quran. Dari kisah tersebut, jika dilihat dari logika (sebagai metode dan aturan berfikir yang benar),
tentunya menjadi seperti ini:
Ibrahim adalah Manusia
Tentunya, logika ilmiah menarik kesimpulan Ibrahim dibakar hangus. Tetapi, sebagaimana
yang dikisahkan dalam al-Quran bahwasannya Ibrahim tidak hangus. Oleh karena itu, menurut logika
ilmiah peristiwa terbakarnya Ibrahim tidak dibenarkan. Namun dengan kacamata logika alamiah, hal
itu dapat dibenarkan dengan argument-argument seperti ini.
Tuhan membuat api. Api itu terdiri atas dua substansi, yaitu api dan panas. Api dan panas sama-
sama diciptakan oleh Tuhan. Namun, secara kondisional dan kepentingan Tuhan, Tuhan mengubah
sifat api dari panas menjadi dingin. Bolehkah Tuhan berbuat seperti itu?[12]
Dengan penjelasan Ahmad Tafsir diatas, tentunya dapat disimpulkan bahwa logika adalah
pijakan berfikir logis, berfikir logis merupakan menarik sebuah kesimpulan atas premis-premis yang
ada beserta argumennya dan dapat diterima oleh akal.Penjelasan Tafsir tersebut juga perlu digaris
bawahi bahwasannya logika merupakan suatu metode berfikir yang integral dengan corak dan aliran
epistemologi yang dianutnya.
b. Objek Logika
Membicarakan logika sebagai ilmu tersendiri, tentunya membawa kepada pertanyaan objek kajian
logika. Dalam disiplin ilmu pengetahuan, objek kajian terbagi menjadi dua, objek formal dan
material. Hal ini juga berlaku kepada kajian logika sebagai suatu disiplin ilmu.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas bahwasannya logika adalah ilmu yang mempelajari metode
dan aturan-aturan berpikir yang sah. Berawal dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwasannya objek material dari logika adalah berfikir atau pemikiran tentang ilmu itu. Sedangkang
objek formal dari logika adalah metode atau aturan-aturan keabsahan berfikir.
Pembagian objek kajian logika, menurut sebagian orang, akan bertemu pada psikologi. Seperti yang
sudah diketahui, objek material suatu keilmuan masih memungkinkan sama dengan objek material
ilmu lainnya. Semisal, objek material filsafat dan kedokteran sama, yaitu manusia. Sama halnya
dengan filsafat dan kedokteran, objek material logika dan psikologi sama, yaitu kajian aktivitas
berpikir.
c. Macam-Macam Logika
Tidak sedikit buku yang membahas persoalan logika dalam filsafat, sejak era klasik hingga sekarang
berjumlah ratusan. Akibatnya, bagi sebagian orang macam-macam logika sangat membingungkan
dikarenakan dalam buku tertentu macam-macam logika belum tentu dijumpai dalam buku-buku
lainnya. Oleh karena, secara sederhana penulis ingin membagi beberapa macam logika sependek
pengetahuan yang dimiliki hasil dari pembacaan beberapa refrensi yang ada.
a. Naturalis
Naturalis dalam KBBI diartikan sebagai sesuatu yang bersifat alami, bercorak alam nyata.
[14] Sedangkan yang dimaksud disini bahwa logika naturalis adalah kecakapan berlogika berdasarkan
kemampuan akal bawaan manusia.[15] Sebagai manusia ciptaan Tuhan, tentunya manusia manusia
memiliki beberapa pengetahuan yang sudah terkonstruk dalam pikirannya yang berguna untuk
kehidupan sehari.
Secara nyata, logika naturalis adalah metode dan aturan berfikir kaum rasionalis. Mereka memandang
bahwa adanya prinsip-prinsip dasar dalam dunia dimana hal itu bersumber dalam budi manusia dan
diakui kebenarannya oleh akal. Oleh karena itu, bagi mereka pengetahuan tidak berdasarkan
pengalaman atau eksperimen, namun berdasarkan kepada ide bawaan (Rene Descartes).
Dengan demikian, dalam buku-buku filsafat corak pemikiran seperti ini biasanya dirujukkan kepada
tokoh-tokoh Rasionalis, seperti Descartes, Spinoza, Leibniz, Wolf dan berakar kepada Plato dan
Aristoteles.
b. Ilmiah
Berbeda dengan naturalis, logika ilmiah lahir sebagai jawaban dari kekurangan dari logika
naturalis. Logika ilmiah lebih menitik beratkan kepada penyusunan hukum-hukum, aturan, patokan
dan rumus-rumus berpikir lurus. Lebih jauh lagi, bahwasannya kehadiran logika ilmiah memperhalus
dan mempertajam pikiran dan akal budi. Dengan demikian, kesimpulan-kesimpulan logis dari premis-
premis yang dinyatakan dapat dipertanggungjawabkan pembuktiannya.
2. Logika dilihat dari waktunya
a. Tradisional
Tidak jauh berbeda dengan logika alamiah, bahwasannya logika tradisional adalah metode dan aturan
berpikir logis mengikuti beberapa tokoh klasik, seperti Aristoteles, Logikus dan sebagainya. Namun,
perbedaannya adalah logika tradisional tidak mengungkung dirinya hanya kepada tokoh-tokoh
Rasionalis, tokoh-tokoh klasik empiris, seperti kaum Stoa, Chrysippus, Johanes Damascenus dan
Boethius.
b. Modern
Jika logika tradisional dapat dikatakan sebagai Aristoteles sentries, maka logika modern sebaliknya.
Dalam logika modern, logika-logika yang berpusat kepada Aristoteles atau filsuf-filsuf klasik
ditinggalkan. Era ini ditandai dengan penemuan logika baru oleh Raymundus Lullus dengan
istilahnya, ars magna.
Dalam logika tradisional setidaknya perkembangannya dipengaruhi oleh rasional dan empirisme.
Namun begitu, kehadiran Lullus mencoba memberi warna baru dengan mengatakan bahwasannya
pengetahuan tidak hanya berpusat kepada rasionalis dan empirisme, namun dimensi mistik perlu
dipertimbangkan.[16]
Berbeda dengan Lullus, filsfus Jerman, Immanuel Kant lebih condong mengatakan bahwa metode
atau aturan logika berpusat kepada akal budi yang disintesiskan dari rasio dan pengalaman inderawi.
Selain itu, Henry Bergson (1859) juga menganggap tidak hanya akal terbatas, pengalaman juga
terbatas. Oleh karena itu, metode dan aturan berpikir yang absah adalah intuisi.[17]
Selain itu, menurut Theodore Sider perkembangan logika modern merupakan perkembangan logika
matematika dan simbol. Dalam artian, logika modern melihat bahasa sebagai alatnya dengan definisi
formal, kalimat-kalimat formal dan sebagainya.[18]Lebih lanjut, logika modern menggunakan teknik-
teknik matematika dalam menganalisa sebuah bahasa, salah satu contohnya adalah dengan
menggunakan rumus-rumus.
a. Formal
Logika adalah metode dan aturan berpikir yang benar. Oleh karena itu, benar atau tidaknya suatu
kesimpulan dari premis-premis yang dibicarakan dalam logika memiliki dua kategori, benar dalam
bentuknya dan benar dalam substansinya.
Logika formal adalah logika yang membicarakan kebenaran sebuah pernyataan dari sisi bentuknya.
Pernyataan dianggap logis secara formal apabila kesimpulan yang ditarik logis dari premis dengan
mengabaikan isi yang terkandung didalamnya.[19] Dengan demikian, logika formal akan mempunyai
kesimpulan yang benar jika memiliki bentuk pernyataan yang benar. Misalnya,
Contoh diatas memiliki bentuk premis yang dapat dibenarkan, hal ini berbeda dengan contoh dibawah
ini,
Contoh diatas tidak dilihat ilmu logika kesimpulannya tidak dapat dibenarkan, hal ini dikarenakan
bentuk dari kesimpulannya tidak memiliki dasar terhadap bentuk premis-premisnya. Bagaimana
dengan kesimpulan yang mengabaikan substansi premisnya? Berikut contohnya.
b. Material
Selain kebenaran logika dilihat dari bentuknya, keabsahannya juga dapat dilihat dari substansi atau
isinya. Logika material adalah kesimpulan premis yang ditarik dari substansi atau isi premis-premis
yang ada. Berbeda dengan logika formal, logika material penekanan kebenaran kesimpulannya berada
pada substansi kesimpulan sesuai dengan substansi premis yang ada.
Oleh karena itu, dalam memahami logika formal maupun material diperlukan sebuah pengetahuan
yang benar ketika membuat sebuah premis. Jika premis tersebut secara nyata berisikan sesuatu yang
salah, maka dapat dipastikan substansi kesimpulan juga salah. Perhatikan beberapa contoh dibawah
ini.
Dari dua contoh diatas, jika ditelaah lebih lanjut maka contoh pertama merupakan contoh yang
menunjukkan keabsahan bentuk kesimpulannya, tidak pada sisi substansinya. Sedangkan contoh
kedua menunjukkan bahwa kesimpulannya absah secara substantif, tidak secara bentuknya.
a. Deduksi
Logika deduktif adalah penarikan kesimpulan dari premis-premis yang ada, premis-premis tersebut
merupakan sebuah pernyataan umum yang sudah diketahui.[22] Oleh karena itu, sebagian orang
mengatakan bahwasannya logika deduksi (dan induksi) merupakan logika yang dikembangkan oleh
filsuf klasik sekitar abad ketiga Sebelum Masehi (SM). Salah satu metode deduksi yang sering
dipakai adalah silogisme. Seperti Aristoteles, dia mengatakan bahwa silogisme merupakan sebuah
argumen yang diambil secara pasti dari premis-premis yang menyatakan permasalahan berlainan.[23]
Oleh karena itu, silogisme adalah penalaran atau penarikan kesimpulan yang terdiri dari tiga
proposisi. Proposisi pertama dan kedua merupakan premis (anteseden), sedangkan proposisi yang
ketiga merupakan kesimpulan (konsekuen). Premis pertama digolongkan kepada premis mayor,
sedangkan premis kedua dikategorikan sebagai premis minor.[24]
- Dari dua premis yang sama-sama partikular, maka tidak sah mengambil sebuah kesimpulan
- Dari dua premis yang sama-sama negatif, maka tidak menghasilkan kesimpulan apapun[25]
Berbeda dengan Mundiri, Sabarti Akhadiah memberikan patokan logika silogisme sebagai berikut.
- Di dalam silogisme hanya ada tiga macam: term mayor, term minor dan tengah
- Term dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term-term dalam premisnya
Dari patokan yang diberikan kedua tokoh diatas, sesungguhnya tidak ada perselisihan, namun satu
sama lainnya melengkapi, sehingga dapat di gabungkan kedua patokan tersebut menjadi sebuah
patokan umum yang harus dipatuhi dalam silogisme.
b. Induksi
Jika penalaran deduksi adalah menarik kesimpulan dari sesuatu yang umum, maka penalaran atau
logika induksi sebaliknya. Logika induksi adalah penarikan kesimpulan yang bersifat umum dari
premis-premis yang bersifat khusus. Misalnya,
Tentunya, bagi para pembaca akan menimbulkan pertanyaan, seperti dimakah letak perbedaan antara
deduksi dan induksi selain prosesnya? Suwardi dalam bukunya, Filsafat Ilmu, menjelaskan dengan
tabel sebagai berikut.
Induksi Deduksi
a. Langsung
Logika langsung yang dimaksud disini adalah penalaran yang premisnya sebuah proposisi dan
langsung disusul dengan proposisi sebagai kesimpulannya. Untuk memahaminya, cermati contoh
sebagai berikut.
b. Tidak langsung
Berbeda dengan logika langsung, logika tidak langsung adalah sebuah penalaran dengan
kesimpulannya berdasarkan atas beberapa proposisi. Contohnya sebagai berikut.
Secara historis, peranan logika sudah diaplikasikan oleh manusia untuk menguraikan peristiwa-
peristiwa yang terjadi, meski logika mistis atau dongeng. Namun, dalam perkembangannga logika
ilmiah lebih dikedepankan dalam hal itu guna memperoleh pengetahuan yang lebih ilmiah.[27] Lebih
lanjut, sebuah pengetahuan harus memiliki unsurreasonable untuk diterima. Tentunya, unsur tersebut
bertemu dengan fungsi logika itu sendiri, yaitu menjelaskan alasan-alasan tentang suatu kesimpulan
yang dapat diterima dan tidak.
Dengan demikian, tugas logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan adalah membuka cara
berpikir logis ilmuwan dalam tata cara kerja ilmiah. Sebaliknya, ilmu pengetahuan sebagai hasil
aktifitas logika. Logika dan pengetahuan merupakan dua term yang tidak dapat dipisahkan.
Pengetahuan tanpa logika bohong dan logika tanpa pengetahuan kosong.
Lebih lanjut, manfaat logika dalam pengembangan ilmu pengetahuan dapat diperinci sebagai berikut.
1. Logika menyatakan, menjelaskan, dan mempergunakan metode dan aturan abstrak yang dapat
dipakai dalam pengembangan semua keilmuan.
2. Daya berpikir abstrak tersebut membantu melatih dan mengembangkan daya berpikir ilmiah
3. Logika mencegah ketersesatan berpikir yang harus dihindari oleh ilmu pengetahuan
4. Logika modern membantu berpikir secara mandiri dan membedakan pikiran yang salah dan
benar.
5. Selain itu, logika membantu berpikir lurus, tepat dan teratur sehingga membantu memperoleh
kebenaran yang menjadi modal penting dalam pengembangan pengetahuan.[28]
Proposisi dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan pembenaran atau pengingkaran atas pemahaman
sederhana. Proposisi merupakan sebuah proses lanjutan dari kerja intelek, pemahaman sederhana, dan
merupakan sebuah proses awal dari kerja intelek terakhir, yaitu penalaran.[29] Ketiga cara kerja inilah
yang dinamakan cara kerja intelek secara komprehensif.
Semua pengetahuan sederhana yang tertuangkan dalam pernyataan diatas adalah proposisi, atau dalam
kata lain proposisi merupakan pernyataan dari pemahaman sederhana yang dibenar dan salahkan.
Oleh karena itu, jika ada sebuah pernyataan dari pemahaman sederhana tetapi tidak dapat dinilai benar
atau salah, namun hanya sebuah pernyataan yang menunjukkan sebuah kehendak atau keinginan,
maka hal itu bukanlah sebuah proposisi. Misalnya,
Menjadi sebuah pertanyaan disini adalah validitas kebenaran dan kesalahan sebuah proposisi. Dari
sini, perlu penulis jelaskan bahwasannya kebenaran proposisi itu dilihat dari ketegori proposisi itu
sendiri. Setidaknya, proposisi secara ketegoris terdapat dua macam, yaitu proposisi analitik dan
proposisi sintetik. Proposisi analitik adalah proposisi yang predikatnya mempunyai pengertian yang
sudah terkandung pada subyeknya. Sedangkan proposisi sintetik adalah proposisi yang predikatnya
mempunyai pengertian yang bukan menjadi keharusan bagi subyeknya.
Kedua macam proposisi tersebut sesungguhnya adalah pemahaman mengenai sumber pengetahuan itu
sendiri. Dalam proposisi pertama, dituntut adanya sebuah pengetahuan alamiah, a priori, untuk
memahaminya. Sedangkan proposisi kedua adalah sebuah pengetahuan yang bersifat a
posteriori, sebuah pengetahuan yang validitasnya tergantung kepada sebuah pengalaman inderawi.
[30]
Dengan demikian, hubungan antara proposisi, logika dan objektivitas erat. Penalaran ilmiah
membutuhkan kebenaran logika dalam berpikirnya, sedangkan kebenaran logika bertumpu kepada
kebenaran proposisi yang disusun. Kebenaran-kebenaran, baik dalam proposisi dan logika, tentunya
bersifat relatif, tidak mutlak. Dari sini, sikap obyektif seorang ilmuwan diperlukan untuk melihatnya
dengan benar. Ketika proposisi dibangun dengan rasionalitas, bukan emperis, maka ketika menilai
proposisi tersebut dan digunakan sebagai logika ilmiah hendaklah menyikapinya dengan rasional,
bukan emperical.
Sungguh menguras tenaga dan pikiran tatkala harus menjelaskan logika dalam Studi Islam. Secara
eksplisit, Islam dijadikan sebagai obyek keilmuan tentunya membutuhkan logika untuk
mengembangkannya sebagaimana keilmuan lainnya. Namun secara historis, justru logika merupakan
salah satu dimensi yang menyebabkan keilmuan dalam Islam stagnan. Hal ini tentunya dapat
dimengerti karena perkembangan keilmuan berbanding lurus dengan perkembangan Logika atau
sebaliknya.
Terlepas dari itu semuanya, dengan segala keterbatasan dan kedangkalan keilmuan yang dimiliki oleh
penulis, dalam kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk mengidentifikasi penyebab kemunduran
atau stagnasi Logika yang ada dalam Islam (studi ,Red).
Menurut hemat penulis, ada beberapa alasan mengapa logika dalam Islam mengalami stagnasi, yaitu
Logika dalam Islam sebenarnya sudah diajarkan dan diamalkan sudah jauh hari oleh Umat Islam.
Dalam Studi Islam, Logika beristilahkan dengan Ilmu Mantiq.[31] Dalam buku monumentalnya al-
Akhdhari, ilmu mantiq, para sarjana Muslim sesungguhnya masih berpolemik atas hukum
mempelajari Logika. Dalam perkembangan keilmuan, polemik hukum mempelajarinya telah
mempengaruhi sebagian umat Islam untuk mempelajarinya, sehingga perkembangannya tidak
signifikan. Logika yang ada dalam kitab-kitab klasik belum juga terbarukan dengan logika-logika
baru hasil “sintesis” sarjana modern maupun kontemporer.
Polemik hukum dan keterpengaruhan hukum Logika (Ilmu Mantiq) dalam dunia Islam, terlebih Islam
yang berada ditimur lebih menerima ajaran al-Ghazali dan Syafi’i, berimbas pada mental pelajar
Muslim untuk menekuni dunia logika. Lebih jauh lagi, hukum yang tersebar dan menduduki rangking
pertama adalah haram, sehingga menimbulkan antipati terhadap logika oleh umat Islam.
2. Romantisisme Mu’tazilah
Nama golongan ini mungkin secara nyata sudah tidak ada dalam dunia kontemporer. Namun,
secara keilmuan, hal itu dapat dijumpai lagi. Padahal, golongan inilah yang secara historis telah
mampu membawa Islam bersanding dengan agama-agama lain secara ilmiah. logika jika
dipertemukan dalam agama tidak ada salahnya. Seperti pisau, pisau itu akan membahayakan dan
tidaknya berbanding lurus kepada yang memegang dan memanfaatkannya. Jadi pisau dan logika tidak
pernah salah, namun oknum yang memegang dan memanfaatkannya lah yang salah. Sehingga begitu
naif, jika alat itu yang dijudgment bersalah atas tindakan oknum yang yang memeganginya.
Oleh karena itu, ketika Hamka dipenjara, dia berkata, “kalian bisa memenjarakan fisik saya, tapi
pikiran dan akal saya tidak bisa dipenjarakan oleh siapa pun”. Hal ini karena pikiran maupun akal
tidak bisa dihentikan untuk selalu berproses melahirkan pemikiran-pemikiran. Seharusnya, umat
Muslim tidak terpengaruh secara signifikan terhadap hukum mempelajari Logika, tetapi tetap
mempelajari untuk kepentingan keilmuan itu sendiri.
KESIMPULAN
1. Logika lahir bersamaan dengan kehadiran filsafat, meskipun secara istilah baru dijumpai pada
abad pertama masehi, namun logika sudah lahir sejak jauh hari.
2. Logika merupakan sebuah ilmu tentang metode dan aturan berpikir yang absah, benar atau
salah. Keabsahan, kebenaran atau kesalahan itu juga tergantung kepada logika mana yang dipakai.
3. Objek material dari logika adalah berfikir. Sedangkang objek formal dari logika adalah metode
atau aturan-aturan keabsahan berfikir
Dengan adanya sistem pengaturan pergaulan tersebut membuat kita saling menghormati dan
dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud dari
pedoman pergaulan ini tidak lain adalah untuk menjaga kepentingan masing-masing yang
terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari
tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui
tentang pengertian etika serta macam-macam etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak
kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan
moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya
“Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan
perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan
moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan,
yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu:
usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang
lebih baik (su). Dan yang kedua adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu
akhlak.
Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam
pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik.
Menurut K. Bertens: Etika adalah nilai-nila dan norma-norma moral, yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku.
Menurut W. J. S. Poerwadarminto: Etika merupakan studi tentang prinsip-prinsip
moralitas (moral).
Menurut Prof. DR. Franz Magnis Suseno: Etika adalah ilmu yang mencari orientasi
atau ilmu yang memberikan arah dan pijakan dalam tindakan manusia.
Menurut Aristoteles di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian
etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk
ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang
kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan
tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human
nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau
perbuatan manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Etika ialah nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila)
yang lebih baik (su).
Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang
pembahasan Etika.
Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini ialah, etika dipelajari untuk ilmu
pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan
(adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat
dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Jadi dapat kita simpulkan etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan
buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Jenis-Jenis Etika
1. Etika Filosofis
Secara harfiah etika filosofis dapat dianggap sebagai etika berasal dari aktivitas berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, etika sebenarnya adalah bagian
dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dipisahkan dari filsafat.
Oleh karena itu, jika Anda ingin tahu unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga tentang
unsur-unsur filsafat. Berikut ini menjelaskan dua sifat etika:
2. Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis tidak
terbatas pada agama tertentu, tapi setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-
masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena banyak
unsur di dalamnya yang dalam etika secara umum, dan dapat dipahami sebagai memahami
etika secara umum.
3. Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
Ada perdebatan tentang posisi etis etika filosofis dan teologis di ranah etika. Sepanjang
sejarah pertemuan antara kedua etika, ada tiga jawaban yang diusulkan penting untuk
pertanyaan di atas, yaitu:
Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430), yang menyatakan bahwa kewajiban untuk
merevisi etika teologis, benar dan meningkatkan etika filosofis.
Sintesis
Jawaban yang diusulkan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang mensintesis etika filosofis
dan etika teologis sehingga dua jenis etika, untuk melestarikan identitas masing-masing,
menjadi sebuah entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang
bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
Diaparalelisme
Jawaban yang diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika
teologis dan etika filosofis sebagai fenomena paralel. Hal ini dapat sedikit seperti sepasang
rel kereta api paralel.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan
menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan
tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
2. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik
buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya
ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih
bersifat sosiologik.
3. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan
evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam
hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan
merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
Manfaat Etika
Beberapa manfaat Etika adalah sebagai berikut :
Contoh Etika
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
KELAS : 1E
Pada dasarnya manusia dalam kehidupannya tidak bisa hidup dengan seenaknya sendiri,
karena dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai aturan, dimana aturan-aturan tersebut
sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang sesuai dengan kaidah yang berlaku di
masyarakat. Sehingga manusia atau individu yang memiliki moral baik, dapat bertindak dan
berperilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Pentingnya mengetahui dan menerapkan secara nyata norma, nilai, dan kaidah-kaidah moral
dalam bersosialisasi di kehidupan masyarakat mempunyai alasan pokok, yaitu salah satunya
untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai individu. Apabila individu tidak dapat
menyesuaikan diri dengan tingkah lakunya yang tidak sesuai dengan norma, nilai dan kaidah
sosial yang terdapat dalam masyarakat, maka dimanapun ia hidup, ia tidak dapat diterima
oleh masyarakat.
Kita berharap bahwa individu yang mempunyai moral baik kemungkinan dapat
mempengaruhi karakter moral masyarakat secara keseluruhan. Hanya manusialah yang dapat
menghayati norma-norma, serta nilai-nilai dalam kehidupannya sehingga manusia dapat
menetapkan tingkah laku yang baik dan bersifat susila.
Rumusan masalah
Nilai
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat
pada suatu obyek. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi
dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil
keputusan.
Moral
Norma
Norma adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan masyarakat.
Orang yang ingin hidup harmonis maka wajib mematuhi aturan atau ketentuan tersebut jika
tidak ingin mendapatkan sanksi baik hukum atau sosial.
Pengertian norma sendiri adalah tatanan atau pedoman yang diciptakan manusia sebagai
makhluk sosial yang sifatnya memaksa atau manusia wajib tunduk pada peraturan tersebut.
1. Cara (usage).
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat
tetapi tidak secara terus-menerus. Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak
mengeluarkan suara seperti hewan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang
dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau
kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3. Tata kelakuan (Mores)
Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari
sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh
sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur
memaksa atau melarang suatu perbuatan. Fungsi mores adalah sebagai alat agar para anggota
masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Contoh:
Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat
kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Adat istiadat
adalah kebudayaan abstrak atau sistem nilai. Pelanggaran terhadap adat istiadat akan
menerima sanksi yang keras baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya orang yang
melanggar hukum adat akan dibuang dan diasingkan ke daerah lain.
1. Nilai Material
Nilai material adalah nilai yang muncul dari materi atau benda yang bersangkutan.
Misalnya makanan yang memiliki nilai bagi manusia sebagai memenuhi hasrat pemenuhan
energi.
2. Nilai Vital
Nilai Vital adalah suatu nilai yang ada kegunaannya. Contohnya, Pisau yang memiliki
nilai karena kegunaanya untuk memotong sesuatu, jika sebuah pisau sudah tumpul, maka
nilainya akan merosot karena ia menjadi tidak berguna.
3. Nilai Spiritual
Nilai spiritual adalah nilai yang ada di dalam kejiwaan manusia. Nilai spiritual dibagi
lagi menjadi 4 nilai yaitu :
1.Nilai Estetika adalah nilai yang terkandung pada suatu benda perdasarkan keindahannya,
penilaian terhadap nilai estetika ini adalah indah,bagus atau jelek.
2.Nilai Moral adalah nilai yang berdasarkan kepada baik atau buruknya suatu
perbuatan seseorang manusia berdasarkan pada nilai-nilai sosial yang bersifat universal. Nilai
ini bersifat umum walaupun setiap masyarakat memiliki pedoman nilai yang berbeda. Namun
dalam penerapannya bisa saja terjadi perbedaan karena ada pengaruh budaya di dalamnya.
4.Nilai Logika (Kebenaran Ilmu Pengetahuan) adalah tentang benar atau salah. Nilai ini fakta
ilmiah. Nilai ini dapat pula menjadikan logika sebagai sumbernya.
III. Ciri-ciri Nilai
Nilai sosial merupakan suatu konstruksi masyarakat yang tercipta melalui interaksi
diantara para anggota masyarakat.
Nilai sosial bukan merupakan bawaan lahir, artinya nilai ini menyebar karena
disebarkan diantara anggota masyarakat.
Nilai sosial terbentuk melalui proses sosialisasi (proses belajar dari pengalaman)
Nilai secara konseptual merupakan abstraksi dari unsur-unsur nilai dan macam-
macam objek yang ada di dalam masyarakat
Nilai sosial dapat mempengaruhi pengembangan diri sosial dalam masyarakat, baik
positif maupun negatif.
Nilai sosial cenderung berkaitan satu dengan lainnya secara komunikasi untuk
membentuk berbagai pola dan sistem yang bervariasi antara kebudayaan yang satu
dengan kebudayaan lainnya.
Fungsi Nilai
Nilai sosial memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat, secara umum berbagai fungsi tersebut
yaitu :
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Keterkaitan nilai,
norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap
waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang
individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang. Agar nilai menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku
manusia, maka perlu dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit, wujud
yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.
V. Kesimpulan
Jadi dapat di simpulkan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia.
dan moral Bisa dikatakan manusia yang bermoral adalah manusia yang sikap dan tingkah
lakunya sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan norma adalah tolok ukur/alat untuk mengukur benar salahnya suatu sikap dan
tindakan manusia. Normal juga bisa diartikan sebagai aturan yang berisi rambu-rambu yang
menggambarkan ukuran tertentu, yang di dalamnya terkandung nilai benar/salah.
ETIKA DAN NILAI DALAM FILSAFAT ILMU
Arranged by:
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
2018
1.1 Pengertian Filsafat Ilmu
Adapun kajian filsafat ilmu meliputi karakteristik ilmu, metode ilmiah, penjelasan
ilmiah (scientific explanation), hukum-hukum dan prinsip ilmiah, paradigma, dst. Filsafat
ilmu umum mengkaji kesatuan, keseragaman, dan hubungan antara segenap ilmu. Sedangkan
filsafat ilmu khusus mengkaji kategori-kategori dan metode-metode yang digunakan dalam
ilmu tertentu. Di sisi lain, ilmu merupakan usaha manusia untuk memahami kenyataan sejauh
dapat dijangkau oleh pemikiran manusia berdasarkan pada pengalaman manusia secara
empiris. Ilmu menurut I.R. Poedjawijatno merupakan kumpulan pengetahuan dengan ciri-ciri
tertentu yang bermetode, berobjek, sistematik, dan universal.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada
dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut
kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari
filsafat. Demikian juga etika, dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai
bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
(Alfan: 2011). Etika seringkali dinamakan filsafat moral karena cabang filsafat ini membahas
baik buruk tingkah laku mannusia
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama,
estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan
ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia
berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah
dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup
dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam
pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut
menjadi konsep ilmu etika.
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika
memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan
manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu,
jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005)
Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia yaitu
menganai kewajiban manusia, perbuatan baik buruk dan merupakan ilmu filsafat tentang
perbuatan manusia. Banyak perbuatan manusia yang berkaitan dengan baik atau buruk, tetapi
tidak semua perbuatan yang netral dari segi etikanya. Contoh, bila di pagi hari saya
menganakan lebih dulu sepatu kanan dan kemudian sepatu kiri, perbuatan itu tidak
mempunyai hubungan baik atau buruk. Boleh saja sebaliknya, sepatu kiri dulu baru kemudian
sepatu kanan. Cara itu baik dari sudut efisiensi atau lebih baik karena cocok dengan motorik
saya, tetapi cara pertama atau kedua tidak lebih baik atau lebih buruk dari sudut etika.
Perbuatan itu boleh disebut tidak mempunyai relevansi etika
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Mohamad Mufid: 2009 bahwa etika sering
disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan
manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau
benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-
kewajiban manusia. Etika mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau
bertindak.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara
etika deskriptif dan etika normatif.
1. Etika Deskriptif
2. Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-
nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa
yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori nilai
(theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika
teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan
teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa
moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat
bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari
tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-salah,
tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada
banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum,
dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang tertentu,
sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara
tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena itu etika
filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan dengan
perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasan-batasan juga.
Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum
tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika,
malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah
perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).
Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis tentang
tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila atau dari sudut baik atau buruk. Dari
sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia.
Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah
satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsfat sudah
terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu,
tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan
pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat
emperis, karena seluruhna berlangsung dalam rangka emperis (pengalaman inderawi) yaitu
apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi
terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran
hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan
ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat
berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat
konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.
Pada awal sejarah timbulnya ilmu etika, terdapat pandangan bahwa pengetahuan
bener tentang bidang etika secara otomatis akan disusun oleh perilaku yang benar juga. Itulah
ajaran terkenal dari sokrates yang disebut Intelektualisme Etis. Menurut sokrates orang yang
mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang
berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika.
Makanya ia berbuat jahat.
Kalau dikemukakan secara radikal begini, ajaran itu sulit untuk dipertahankan. Bila
orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya
baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak
mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat
mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat sokrates tadi,
pengethuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai
kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat
memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk
menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.
Etika filsafat juga bukan filsafat praktis dalam arti ia menyajikan resep-resep yang
siap pakai. Buku etika tidak berupa buku petunjuk yang dapat dikonsultasikan untuk
mengatasi kesulitan etika buruk yang sedang dihadapi. Etika filsafat merupakan suatu refleksi
tentang teman-teman yang menyangkut perilaku. Dalam etika filsafat diharapkan semuah
orang dapat menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, tanggung jawab,
nilai, norma, hak, kewajiban, dan keutamaan.
Di kalangan orang-orang kebanyakan, sering kali etika filsafat tidak mempunyai nama
harum. Tidak jarang ia dituduh mengawang-awang saja, karena membahas hal-hal yang
abstrak dan kurang releven untuk hidup sehari-hari. Banyak uraian etika filsafat dianggap
tidak jauh dari kenyataan sesungguhnya. Itulah hakikat filsafat mengenai etika. Disini tidak
perlu diselidiki sampai dimana prasangka itu mengandung kebenaran. Tetapi setidak-tidaknya
tentang etika sebagai cabang filsafat dengan mudah dapat disebut dan disetujui relevansinya
bagi banyak persoalan yang dihadapi umat manusia. (M. Yatimin Abdullah: 2006)
Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan
ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara
kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan).
Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan
dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan
kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-
norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan
manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)
Pada hakikatnya etika erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara
mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan.pembahasan etika memang sangat
erat kaitannya dengan perbuatan manusia baik secara aktif maupun pasif. Dari itu munculah
beberapa paham/aliran yang kajiannya menitik beratkan pada perbuatan manusia untuk
mencapai kebahagiaan. Paham-paham dalam etika yaitu : naturalisme, hedonisme, idealisme,
humanisme, perfectionalisme, dan theologis (relegius).
1. Naturalisme
Hedonisme adalah doktrin etis yang memandang kesenangan sebagai kebaikan yang
paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari mencari kesenangan sebagai tujuan
hidupnya. Menurut hendonisme yang dipandang sebagai perbuatan baik adalah perbuatan-
perbuatan yang mendatangkan kelezatan atau rasa nikmat. Aliran hedonisme memiliki dua
cabang yaitu hedonisme egoistik dan hedonisme universilatik.
•Hedonisme egoistik menilai suatu yang baik adalah perbuatan yang bertujuan untuk
mendatangkan kelezatan atau kesenangan diri terbesar terhadap diri sendiri secara individual.
•Hedonisme universalistik menilai suatu yang baik adalah hal-hal yang bertujuan untuk
mewujudkan kelezetan atau kesenangan umum terbesar.
3. Idealisme
1.Wujud yang paling kenyataan (hakikat) ialah kerohanian. Seseorang yang baik pada
prinsipnya bukan karena dianjurkan orang lain melainkan atas dasar kemauan sendiri atau
rasa kewajiban. Sekalipun diancam dan dicela orang lain, perbuatan baik dilakukan juga,
karena adanya rasa kewajiban yang berseri dalam nurani manusia.
2.Faktor yang paling penting mempengaruhi manusia adalah “kemauan” yang melahirkan
tindakan yang kongkret. Dan yang menjadi pokok disini adalah “kemauan baik”.
3.Dari kemauan yang baik itulah dihubungkan dengan suatu hal yang menyempurnakan yaitu
“rasa kewajiban”
4. Humanisme
Humanisme memandang suatu yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia yaitu
kemanusiannya. dalam tindakan kongkret tentulah manusia kongkret pula yang ikur menjadi
ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik buruknya
tindakan kongkret itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkret adalah kata hati
orang yang bertindak.
5. Perfectioisme
Dari tokoh filsuf Yunani (Plato dan Aristoteles) bersepakat dalam satu aliran, yakni
perfectionisme. Teori perfectionisme dari Plato dan Aristoteles menetapkan dalam kaitan
dengan pengembangan berbeagai kemampuan manusia. Kebahagian hanya bernilai jika
kemampuan-kemampuan kita berfungsi dengan baik. Sumber kebahagian tertinggi terdapat
pada fungsi sebenarnya dari kemampuan intelektual.
6. Teologis
Menurut Dr. H. Hamzah Ya’Qub, pengertian Etika theologis ialah aliran ini berpendapat
bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, didasarkan atas ajaran
Tuhan, segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan
yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci.
Nilai dan norma memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan sosial
termasuk dalam dunia kelimuan, karena norma dan nilai merupakan unsur-unsur yang
membentuk suatu etika. Adapun nilai dan norma itu sendiri pun merupakan dua hal yang
berhubungan, dimana norma adalah perwujudan dari nilai-nilai. Hubungan nilai dan norma
dengan filsafat ilmu yaitu bahwa salah satu bentuk pendekatan filsafat ilmu dalam ilmu
terapan adalah bertolak dari ilmu normatif.
Nilai secara umum terbagi dua, yaitu nilai kuantitatif dan nilai kualitatif. Adapun nilai
yang ada dan dikaji dalam filsafat nilai (aksiologi) adalah nilai yang bersifat kualitatif.
Aksiologi atau filsafat nilai berasal dari kata axios yang berarti nilai dan logos yang
berarti ilmu atau teori. Aksiologi merupakan suatu ilmu yang membahas nilai secara filosofis,
yang juga disebut sebagai “Theory of Value”.
Kaum Positivisme menyatakan bahwa ilmu itu harus bebas nilai agar ilmu tersebut
objektif, namun dalam fase aplikatif maka ilmu menjadi taut nilai. Sedangkan Kaum Teori
Kritis Mazhab Frankfurt (Habermas) menyatakam bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena
ilmu itu justru dikembangkan karena adanya kepentingan. Di sisi lain, menurut pemikiran
Islam ilmu tidak pernah bebas nilai, karena peran agama adalah sebagai kontrol terhadap
kemajuan ilmu.
Ketidakbebasan nilai dalam ilmu menurut pandangan Islam terdapat di dalam Al-
Qur’an surat Asy-Syams, bahwa pada hakikatnya manusia memiliki dua potensi: potensi
kejahatan (fujuuraha) dan potensi kebajikan (taqwaaha). Selain itu juga difirmankan Allah
dalam surat Ar-Ruum ayat 41: “Kerusakan meluas di daratan dan di lautan karena perbuatan
tangan manusia.
Ketidakbebasan nilai dalam ilmu secara umum berwujud dalam sikap yang disebut
sikap ilmiah. Sikap ilmiah merupakan sikap yang semestinya dimiliki para ilmuwan: rasa
ingin tahu, avonturisme (berani bertualang untuk melakukan eksplorasi), kejujuran, kehati-
hatian, total (mengabdikan diri untuk ilmu, biasanya pada ilmuwan besar), menjalin kerja
sama dengan pihak lain, kritis, terbuka terhadap kritik, menuntut data atau makna, menuntut
pengujian, menghargai penalaran/logia, tidak pamrih, rendah hati, dan bertanggung jawab
(pada diri sendiri, sesama manusia, alam, dan Allah).
1. nilai universal
a. keilmuan
1) universalitas ilmu
2) objektivitas ilmu
3) kebenaran
4) kebebasan akademik
b. kemanusiaan
1) keadaban
2) kemanfaatan
3) kebahagiaan
4) kesejahteraan
Disusun Oleh:
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Dimensi Ontologi
Sidi Gazalba
Dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontology mempersoalkan sifat dan
keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang
bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontology memikirkan Tuhan..
Amsal Bakhtiar
Dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan,ontology berasal dari kata ontos =
sesuatu yang berwujud. Ontologi adalah teori/ilmu tentang wujud, tentang hakikat
yang ada. Ontologi tidak banyak berdasar pada alam nyata, tetapi berdasar pada
logika semata-mata.
Thales
Air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu.
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada.
Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu taonta berarti ‘yang ada’, dan logos berarti
‘ilmu pengetahuan atau ajaran’. Dengan demikian ontologi berarti ilmu pengetahuan atau
ajaran tentang yang berada.1
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Awal mula alam pikiran Yunani telah menunjukan munculnya perenungan di bidang
ontologi. Dalam persolan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita
menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya
dua macam kenyataan, yaitu kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kenyataan yang
berupa rohani (kejiwaan).2
Pembahasan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan mungkin
ada, yang boleh juga mencakup peng]atahuan dan nilai (yang dicari ialah hakikat
pengetahuan dan hakikat nilai). Hakikat ialah kenyataan yang sebenarnya bukan keadaan
yang bersifat sementara atau keadaan yang menipu.3
Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar suatu ilmu ialah berusaha untuk menjawab
“apa”, yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu
mengenai esensi benda. Secara etimologi, kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On
= Ada, dan Logos = Ilmu pengetahuan, jadi ontologi adalah ilmu yang mempelajari.
Sedangkan pengertian ontologi secara terminologi sebagaiman yang dikemukakan oleh
A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, filsafat, dan logika mengatakan, ontologi adalah
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di
mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal
universal, abstraksi) dapat dikatakana ada; dalam kerangka tradisional ontologi dianggap
sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal
pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.5
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M,
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wolff (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu
metafisika umum dan metafisika khusus.
Metrafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika
khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.6
Di dalam pemahaman ontologi dapat ditemukan beberapa pandangan pokok pemikiran
sebagai berikut:7
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang
asal berupa materi ataupun berupa rohani. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a. Materialisme
Aliran ini menganggap hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa,
spirit dan sejenisnya itu muncul karena adanya benda. Bagi paham ini, rohani, roh, Tuhan,
spirit itu bukan hakikat, akan tetapi mereka muncul dari adanya benda. Jadi bendalah yang
menyebabkan mereka ada.8
Ada beberapa alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan
bahwa yang merupakan hakikat adalah:9
1) Pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan yang dapat diraba, biasanya dijadikan
kebenaran terakhir.
2) Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
3) Penemuan-penemuan menunjukan betapa bergantungnya jiwa pada badan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat benda adalah benda itu sendiri, bukan rohani.
Rohani, jiwa, Tuhan ada itu karena adanya benda. Dalam sejarahnya manusia memang
bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya
itu memperkuat dugaan bahwa yang merupakan haklekat adalah benda.
b. Idealisme
Aliran ini berpendapat sebaliknya, hakikat benda adalah rohani, spirit atau sejenisnya.
Aliran ini juga sering disebut dengan spiritualisme. Alasan mereka ialah sebagai berikut:10
1) Nilai roh lebih tinggi dari pada badan.
2) Manusia lebih dapat memahami dirinya dari pada dunia luarnya.
3) Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu
saja.
2. Dualisme
Dualisme adalah aliran yang mencoba memadukan antara dua paham yang saling
bertentangan, yaitu materialisme dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun ruh
sama-sama merupakan hakikat. Materi muncul bukan karena adanya ruh, begitu pun ruh
muncul bukan karena materi.11
Aliran dualisme berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Sama-
sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama
azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang
paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini dalam diri manusia. Tokoh paham
ini adalah Descrates (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang
(kebendaan).12
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikataka sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari
satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah anaxagoras dan
Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.13
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M). Kelahiran New York dan
terkenal sebagai seorang psikolog dan filosof Amerika. Dalam bukunya The Meaning of
Truth James mengemukakan, tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang
bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.14
4. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sdebuah doktrin
yang tidak mengakui validitas alternatif positif. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Fredrich
Nietzsche (1844-1900 M). Dilahirkan di Rocken di Pursia, dari keluarga pendeta. Dalam
pandangannya bahwa “Allah sudah mati”, Allah Kristiani dengan segala perintah dan
larangannya sudah tidak merupakan rintangan lagi. Dunia terbuka untuk kebebasan dan
kreativitas manusia. Dan pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar masih bersandar
pada nilai-nilai kristiani. Tetapi tidak dapat dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap.
Dengan demikian ia sendiri harus mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru,
dengan transvaluasi semua nilai.15
5. Agnostisisme
Agnostisisme adalah paham yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin
mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Manusia tidak
mungkin mengetahui hakikat batu, air, api dan sebagainya. Sebab menurut aliran ini
kemampuan manuisa sangat terbatas dan tidak mungkin tahu apa hakikat tentang sesuatu
yang ada, baik oleh inderanya maupun oleh pikirannya.16
Timbul aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan
secara konkrit akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini
dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang
bersifat trancedent. Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-
tokohnya seperti, Sren Kierkegaar, Heidegger, Sartre, dan Jaspers. Soren Kierkegaard (1813-
1855) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme menyatakan,
manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang
sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.17
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda materi maupun rohani. Aliran ini mirip dengan
skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat
bahkan menyerah sama sekali.18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat ilmu merupakan kajian yang dilakukan secara mendalam mengenai dasar-dasar
ilmu. Pendekatan yang digunakan dalam menguak landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu
adalah melalui tiga hal sebagai berikut:
1. Dimensi ontologi, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hakikat. Teori hakikat pertama kali
dikemukakan oleh tokoh filsafat Thales yang mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu itu
adalah air. Kemudian dalam perkembangannya, muncul paham-paham tentang ontologi
meliputi monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnotisisme.
2. Dimensi epistemologi, yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber,
struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber
pengetahuan itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif,
dan dialektis.
3. Dimensi aksiologi, yaitu teori tentang nilai (etika dan estetika). Pada adasarnya ilmu
harus digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana
untuk meningkatkan taraf hidup manusia dan kesejahteraannya dengan menitik beratkan pada
kodrat dan martabat manusia itu sendiri, maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh disusun
dan dipergunakan secara komunal dan universal.
Ke tiga landasan di atas merupakan dasar pijakan yang sangat penting untuk dipahami
dalam mendalami dasar-dasar segala ilmu pengetahuan. Karena ke tiganya saling berkaitan
erat satu sama lain sebagai titik tolak dalam pencapaian kajian hakekat kebenaran ilmu.
B. Saran
Selayaknya pencetus karya adalah mengharapkan karya tersebut dapat menjadi manfaat
bagi orang lain dan dirinya sendiri, seperti itu pula harapan yang ada ketika penyusunan
makalah sederhana ini. Adapun bentuk kekurangan dan kesalahan tentu tidak akan terlepas
karena merupakan sisi kemanusiaan yang mendasar dari kejiwaan manusia, sehingga dengan
bersikap bijak adalah mengharapkan motivasi yang membangun dalam bentuk kritik dan
saran.
Pada akhirnya ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan kesempatan dan
perhatian yang diberikan, setidaknya permohonan maaf atas segala kesalahan dan kelalaian
dalam makalah ini atau di dalam proses pembuatan makalah sederhana ini, baik dari paragraf,
kalimat, kata, atau sikap selama proses pembuatan makalah ini. Selanjutnya tidak etis rasanya
jika tidak sama-sama mendoakan, semoga segala bentuk pekerjaan yang disertai dengan
ketulusan niat membuahkan keridhaan dari Allah yang Maha Rahman
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
Mardhatila (1186022366)
KELAS : 1E
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang
Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi juga
bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan
asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu
menjadi salah satu tema utama epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang.
Masalah asal-usul pengetahuan telah melahirkan dua macam perdebatan historis
penting. Salah satunya menyangkut pertanyaan apakah pengetahuan bawaan-yaitu yang
hadir dalam pikiran berasal dari kelahiran atau melalui pengalaman. Hal ini telah menjadi
penting tidak hanya dalam filsafat tetapi juga dalam linguistik dan psikologi. Ada
berpendapat bahwa kemampuan muda (tahapan perkembangan normal) anak-anak untuk
memperoleh setiap bahasa manusia atas dasar lengkap dan bahkan tidak benar data selalu
merupakan bukti adanya struktur bahasa bawaan, yang lain mencoba untuk menunjukkan
bahwa semua pengetahuan, termasuk pengetahuan linguistik, adalah produk dari
pembelajaran melalui pengkondisian lingkungan dengan proses penguatan dan
penghargaan. Ada juga berbagai teori lain yang menyatakan bahwa manusia memiliki
pengetahuan bawaan.
Apa yang dimaksud dengan pengetahuan? Ketika mengamati atau menilai suatu
perkara, kita biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya mengetahuinya, saya
memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini,
bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan. Disamping itu, bisa
jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang lainnya
merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui bahwa sesuatu itu
diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah
memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh
mengetahui realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak memahami
permasalahan tersebut sebagaimana adanya.
BAB II
ISI
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahas inggris yaitu knowledge.
Dalam Encyclopedia of Phisolophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Sedangkan secara
terminologi akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Drs. Sidi
Galzaba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu
tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu adalah
semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari
usaha manusia untuk tahu.
Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti suatu
kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda
dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar
dan pasti (kebenaran, kepastian). Di sini subjek sadar akan hubungan objek dengan
eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan
pengalaman “sadar”. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat
sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu di dalam dirinya.
1. Jenis Pengetahuan
Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah
pengetahuan, maka di dalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai
pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin Salam, mengemukakan bahwa pengetahuan
yang dimiliki manusia ada empat, yaitu:
Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam
pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam,
yang sifatnya kuantitatif dan objektif. ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang
berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. namun
dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode.
Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang
bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada
universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu
bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan
mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis,
sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali.
Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan
lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh
para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu
ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan
hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga
disebut dengan hubungan horizontal. Pengetahuan agama yang lebih penting
disamping informasi tentang Tuhan, juga informasi tentang hari akhir. Iman kepada
hari akhir merupakan ajaran pokok agama dan sekaligus merupakan ajaran yang
membuat manusia optimis akan masa depannya. Menurut para pengamat agama
masih bertahan sampai sekarang karena adanya doktrin tentang hidup setelah mati
karenanya masih dibutuhkan.
The Liang Gie mengutip Paul Freedman dari buku The Principles of
Scientific Research memberi batasan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah suatu bentuk aktiva manusia yang dengan melakukannya umat manusia
memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan lebih cermat tentang
alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan yang
meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan mengubah lingkungannya serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri.
Sementara itu, Jujun S. Suriasumantri dalam buku Ilmu dalam Perspektif Menulis:
“ilmu lebih bersifat merupakan kegiatan daripada sekedar produk yang siap
dikonsumsikan”
1. Hakikat Pengetahuan
Pada dasarnya manusia memiliki rasa keingintahuan. Mengetahui sesuatu
adalah menyusun pendapat tentang suatu obyek, atau dengan kata lain menyusun
suatu gambaran tentang fakta yang ada di luar. Dari pendapat atau gambaran suatu
obyek tersebut, muncul sebuah persoalan, yaitu apakah hal itu sesuai dengan fakta?
apakah hal itu benar?dan lainnya. Untuk menjawab persoalan semisal dengan itu,
Amsal Bakhtiar menyatakan ada dua teori yang dapat dipergunakan, yaitu:
a. Realisme
Pandangan teori ini adalah realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut teori
ini adalah copy paste yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Hal ini
tak ubahnya seperti gambaran foto. Penganut ajaran Realismemengakui bahwa
seseorang bisa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh
keadaan sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai
wujud tersendiri, ada benda yang kendati tetap diamati. Menurut Prof. Dr. Rasjidi,
penganut agama perlu sekali mempelajari realism dengan alasan:
(1) Dalam menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terdapat dalam alam pikiran.
Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa tiap-tiap kejadian
dapat diketahui hanya dari segi subjektif. Menurut Rasjidi, pernyataan itu tidak benar
sebab adanya faktor subjektif bukan berarti menolak faktor objektif.
(2) Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan yang positif, menurut Rasjidi,
umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tiap benda mempunyai satu sebab.
b. Idealisme
Ajaran idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan kebenaran yang
sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Premis pokok yang diajukan oleh ajaran ini
adalah jiwa mempunyai kedudukan utama, namun itu bukan berarti mengingkari
materi yang ada. Hanya saja menurutnya materi merupakan sesuatu yang tidak pasti
dan tidak jelas.
2. Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya, manusia lahir dalam keadaan tidak mengetahui apa pun.
Seiring dengan perkembangannya, manusia mampu untuk mendapatkan pengetahuan.
Lalu yang menjadi persoalanya “dari mana pengetahuan itu berasal?” untuk
menjawab persoalan yang demikian, ada beberapa pendapat tentang sumber
pengetahuan. Yaitu:
a. Empirisme
Kata empiresme ini berasal dari kata Yunani empeirikos, yang mempunyai arti
pengalaman. Pengalaman yang dimaksud disini adalah pengalaman inderawi.
b. Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar dari pengetahuan.
Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh,
pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Namun, aliran ini juga tidak
mengingkari pengetahuan inderawi.
c. Intuisi
Intuisi adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi, seperti
menebak dengan benar, tetapi bukan merupakan sebuah tebakan, karena pikiran atau
pengetahuan ini muncul dengan sendirinya, dan juga mirip dengan meramal, hanya
saja meramal bisa di tentukan masalah/objek apa yang ingin di ketahui, dan hanya
orang-orang tertentulah yang memiliki kemampuan meramal, sedangkan Intuisi tidak
begitu, Intuisi muncul dengan sendirinya dan kemampuan ini di miliki oleh semua
orang, hanya kadarnya yang membedakan antara satu orang dengan orang yang lain.
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia
lewat perantara para Nabi. Pengetahuan ini merupakan titik tolak kepercayaan dalam
agama.
4. Agama, Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk
menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya
sendiri memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia, baik tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori
kebenaran sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia,
maka dalam teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari tuhan.
Sarana Ilmiah
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
KELAS : 1E
BAB 1
Pendahuluan
BAB II
ISI
a. Fungsi Bahasa
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah
sebagai berikut:
1) Fungsi Instrumental: penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal yang bersifat materi
seperti makan, minum dan sebagainya.
2) Fungsi Regulatoris: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
3) Fungsi Interaksional: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan perasaan pemikiran
antara seseorang dan orang lain.
4) Fungsi Personal : seseorang mengunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan
pikiran.
5) Fungsi Heuristik: penggunaan bahasa untuk mencapai mengungkap tabir fenomena dan
keinginan untuk mempelajarinya.
6) Fungsi Imajinatif: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan
gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia
nyata).
7) Fungsi Representasional: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan
wawasan serta menyampaikannya pada orang lain.
b. Hipotesis
Untuk menerangkan fakta yang diobservasi, dugaan yang sudah ada dirumuskan dalam
sebuah hipotesis. Dalam tahap kedua ini statistika membantu kita dalam mengklasifikasikan
hasil observasi.
c. Ramalan
Dari hipotesis dikembangkanlah deduksi. Jika teori yang dikemukakan memenuhi syarat
deduksi akan menjadi pengetahuan baru. Fakta baru ini disebut ramalan.
d. Pengujian kebenaran
Untuk menguji kebenaran ramalan, mulai dari tahapan-tahapan berulang seperti sebuah
siklus.
5. Penerapan Statistika
Statistika diterapkan secara luas dalam hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang
manajemen. Statistika diterapkan dalam penelitian pasar, penelitian produksi, kebijaksanaan
penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan
ekonomi, auditing dan masih banyak lagi.
2. Klasifikasi
Sebuah konsep klasifikasi, seperti “panas” atau “dingin”, hanyalah menempatkan
objek tertentu dalam sebuah kelas. Pertimbangan yang berdasarkan klasifikasi tentu saja lebih
baik daripada tak ada pertimbangan sama sekali. Misal; terdapat tiga puluh lima orang yang
melamar pekerjaan yang membutuhkan kemampuan tertentu, dan perusahaan yang akan
menerima mempunyai psikolog harus menetapkan cara-cara pelamar dalam memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan. Ahli psikologi tersebut membuat klasifikasi kasar
berdasarkan keterampilan, kemampuan dibidang matematika, stabilitas emosional, dan
sebagainya. Ketiga puluh lima orang tersebut dibandingkan dengan pengetahuan yang
berdasarkan klasifikasi kuat, lemah dan sedang, kemudian ditempatkan dalam urutan
berdasarkan kemampuannya masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN
Bahasa mempunyai peranan penting dan suatu hal yang lazim dalam hidup dan
kehidupan manusia. Kelaziman tersebut membuat manusia jarang memperhatikan bahasa dan
menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa, seperti bernafas dan berjalan. Padahal bahasa
mempunyai pengaruh-pengaruh yang luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia
dari ciptaan lainnya.
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”
yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka
matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Logika adalah sarana berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Karena itu berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir.
Statistik yaitu kumpulan bahan keterangan berupa angka atau bilangan. Metode
statistik yaitu cara-cara tertentu yang perlu ditempuh dalam rangka mengumpulkan,
menyusun, atau mengatur, menyajikan, menganalisis, dan memberikan interpretasi terhadap
sekumpulan bahan keterangan yang berupa angka itu dapat berbicara atau dapat memberikan
pengertian makna tertentu.
Pengertian Filsfat, Ilmu Filsafat, dan Filsafat Ilmu
DOSEN PENGAMPU :
Ahmaddin Ahmad Tohar. Dr., M.A
DISUSUN OLEH:
KELAS : 1E
PEMBAHASAN
2.1 Penalaran
Penalaran adalah kemampuan manusia untuk melihat dan memberikan tanggapan
tentang apa yang dia lihat. Karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan
pengetahuan dengan cara bersungguh-sungguh, dengan pengetahuan ini dia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Penalaran juga merupakan kemampuan berfikir cepat, tepat dan mantap. Selain itu
penalaran merupakan proses berfikir dan menarik kesimpulan berupa pengetahuan.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara
bersungguh-sungguh. Namun bukan hanya manusia yang mempunyai pengetahuan
binatang juga mempunyai pengetahuan. Perbedaan pengetahuan manusia dan hewan
adalah hewan hanya diajarkan hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya
(survival) contohnya apabila ada bencana mereka akan cepat bersembunyi atau mencari
tempat yang aman sedangkan manusia dengan cara mengembangkan pengetahuannya dia
akan berusaha menghindari dan mencari penyebab terjadinya bencana sampai bagaimana
mengatasinya.
Manusia dalam kehidupannya dia akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan
kelangsungan hidupnya, contohnya manusia akan selalu memikirkan hal yang baru,
mengembangkan budaya dan memberikan makna dalam kehidupan.
1) Contoh Penalaran
Penalaran dalam contoh yang nyata dapat kita temukan pada perbedaan
Contoh lainnya yang membedakan manusia dengan hewan adalah yaitu apabila terjadi
kabut burung akan terbang untuk mengindari polusi udara yang memungkinkan dia
tidak bisa bertahan hidup. Sedangkan manusia akan mencari tau mengapa sampai
terjadinya kabut? Bagaimana cara menghindari kabut? Apa saja komponen-komponen
yang terkadung di dalam kabut? Apa saja penyakit yang diakibatkan oleh kabut?
Penalaran manusia bisa terjadi karena dua hal yaitu manusia mempunyai
bahasa dan manusia mampu mengembangkan pengetahuan. Dua hal inilah yang
membedakan manusia dengan hewan dan di harapkan manusia mampu
memposisikan dirinya di tempat yang benar.
Penalaran biasanya di awali dengan berfikir kerena berpikir merupakan suatu
kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi
tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk
mengasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan
bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan
kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut.
Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis
penalaran mempunyai kriterianya masing-masing.
2) Ciri-ciri Penalaran
Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri:
(1) Adanya suatu pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka
dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Atau
dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir
logis, di mana berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir
menurut suatu pola tertentu.
(2) Bersifat analitik dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan
berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang
dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan.
Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan
logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan
logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya
suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan
ada kegiatan analisis.
Berdasarkan kriteria penalaran dikatakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir
bersifat logis dan analitis. Jadi cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran
bersifat tidak logis dan analitik. Dengan demikian maka dapat dibedakan secara garis
besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan
penalaran.
Perasaan merupakan penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran.
Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah
intuisi. Berpikir intuisi memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang
berpikir nonanalitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas
dapat dikatakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat dikategorikan kepada cara
berpikir analitik yang berupa panalaran dan cara berpikir yang nonanalitik yang
berupa intuisi dan perasaan.
3) Prinsip-Prinsip Penalaran
Prinsip dasar penalaran hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama kali
adalah Aristoteles, yaitu sebagai berikut:
(1) Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium indentitas. prinsip identitas
berbunyi: ’’sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri’’. Dengan kata lain,
“sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan
yang lain”.
(2) Prinsip kontradiksi (principium contradictionis)
Prinsip kontradiksi berbunyi: “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan
bukan hal hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan
kata lain, “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”.
(3) Prinsip eksklusi (principium exclusi tertii)
Prinsip eksklusi tertii, yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak
adanya kemungkinan ketiga.
Prinsip ekslusi tertii berbunyi “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau
bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan
tengah. Dengan kata lain, “sesuatu x mestilah p atau non p tidak ada kemungkinan
ketiga”. Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara
mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya
salah satu yang dapat dimilikinya.
Disamping ketiga prinsip yang dikemukakan Aristoteles diatas, seorang filusuf
Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi
prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yang
berbunyi. “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan
alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”.
Dengan kata lain, “adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian
pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”.
Penalaran merupakan cara berpikir tertentu oleh karena itu untuk melakukan kegiatan
analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang
berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran
pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio
adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai
rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat
pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
2.2 Kesesatan Ilmu Pengetahuan
Pengertian dari kesesatan ilmu pengetahuan ialah upaya untuk dapat menemukan
kesimpulan yang tepat atau benar dilakukan dengan menyusun pola penalaran sesuai
dengan pola prinsip prinsip penalaran yang tepat atau dapat pula dengan cara menghindari
pola penalaran yang sesat. Itulah yang disebut dengan kesesatan dalam penalaran ilmiah
sebagai bagian dalam pembahasan tentang logika.
2.3 Klasifikasi Berbagai Kesesatan
Kesesatan berfikir adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berpikir dikarenakan
penyalahgunaan bahasa atau relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika di mana
beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis.
Terjadi kerena ketidaktapatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan relevansi:
pembuatan premis dari proposisi yang salah.
Mengikuti john locke, psikolog dan ahli filsafat pendidikan john dewey yang
mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir yang pada akhirnya termanifestasi dalam
perilaku yang sesat (Dewey. 1933: 131-134).
Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek sesungguhnya jarang berpikir sendiri
dan berpikir atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain.
Kedua, kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat menghargai rasio, tetapi
kenyataan tidak menggunakan rasionya sendiri dengan baik. Ketiga adalah kesesatan
yang terjadi akibat tidak terbuka untuk melihat persoalan secara komprehensif, terpaku
hanya pada hal hal tertentu.
Klasifikasi kesesatan berfikir:
1) Kesesatan formal, adalah bentuk kesesatan yang dilakukan kerena penalaran yang
tidak tepat atau tidak sahih. Terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip prinsip
logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen.
2) Kesesatan material, adalah kesesatan yang yang terutama menyangkut isi materinya.
Terjadi kerena faktor bahasa yang menimbulkan kesalahan dalam menyimpulkan arti
dan juga terjadi kerena memang tidak adanya hubungan logis.
2.4 Pengertian Silogisme (Qiyas)
Menurut Bahasa
Sebuah silogisme (bahasa Yunani: συλλογισμός – syllogismos – “kesimpulan,”
“inferensi”) atau banding logis adalah jenis argumen logis di mana satu proposisi
(kesimpulan) yang disimpulkan dari dua orang lain (tempat) dari suatu bentuk tertentu,
yaitu kategori proposisi.
Menurut Istilah
Dalam Bahasan Mantiq Silogisme atau Qiyas diartikan sebagai kumpulan dari beberapa
qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan
menghasilkan qadhiyyah yang lain (baruBeberapa macam hujjah (argumentasi). Manusia
disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk
mengetahuinya(Husein Al-Kaff. 1999):
1) Pengetahuan dari juz’i ke juz’i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari
sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil
(analogi).
2) Pengetahuan dari juz’i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum
(menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra’
(induksi).
3) Pengetahuan dari kulli ke juz’i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus.
Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Silogisme/Qiyas dibagi menjadi dua, yaitu:
1) iqtirani (silogisme kategoris), dan
2) istitsna’i (silogisme hipotesis).
Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang
tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru.
Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling
berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas. (Husein Al-Kaff. 1999)
Pengertian Silogisme dalam buku “Sebelum Analytics“, Aristoteles mendefinisikan
silogisme sebagai “sebuah wacana di mana, hal-hal tertentu yang telah seharusnya,
sesuatu yang berbeda dari hal-hal seharusnya hasil dari kebutuhan karena hal-hal ini
begitu”.
Meskipun definisi yang sangat umum ini, ia membatasi diri pertama silogisme
kategoris (dan kemudian untuk modal silogisme). Silogisme berada pada inti tradisional
penalaran deduktif, dimana fakta ditentukan dengan menggabungkan laporan yang ada,
berbeda dengan penalaran induktif dimana fakta ditentukan oleh pengamatan berulang.
Silogisme digantikan oleh orde pertama logika predikat mengikuti karya Gottlob Frege ,
khususnya Nya Begriffsschrif (Konsep Script) (1879)
Silogisme adalah suatu pengambilan kesimpulan, dari dua macam keputusan (yang
mengandung unsur yang sama, dan salah satunya harus universal) suatu keputusan yang
ketiga, yang kebenarannya sama dengan dua keputusan yang mendahuluinya.
Maka bisa disimpulkan, bahwa silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan
secara deduktif, yang disusun dari pernyataan dan konklusi (kesimpulan).Penalarannya
bertolak dari pernyataan bersifat umum menuju pada pernyataan/simpulan khusus.
Absah dan Benar
Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
1) Absah (valid) berkaitan dengan prosedur apakah pengambilan konklusi sesuai dengan
patokan atau tidak. Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan dan tidak valid bila
sebaliknya.
2) Benar berkaitan dengan:
a. Proposisi dalam silogisme itu.
b. Didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai fakta, proposisi itu
benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan,
untuk mendapatkan yang sah dan benar.
Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui.
Mengapa demikian? Karena bisa terjadi:
1) Dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar.
2) Demikian juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.
2.5 Hukum-Hukum Silogisme
Supaya silogisme dapat merupakan jalan pikiran yang baik ada beberapa hukum
dalam silogisme. Hukum tersebtu bukanlah buatan para ahli-pikir, tapi hanya dirumuskan
oleh para ahli itu. Di bawah ini hukum-hukum yang menyangkut term-term antara lain:
1) Hukum pertama. Silogisme tidak boleh lebih atau kurang dari tiga term. Kurang dari
tiga term berarti bukan silogisme. Jika sekiranya ada empat term, apakah yang akan
menjadi pokok perbandingan, tidak mungkinlah orang membandingkan dua hal denga
dua hal pula, dan lenyaplah dasar perbandingan.
2) Hukum kedua. Term antara atau tengah (medium) tidak boleh masuk (terdapat) dalam
kesimpulan. Term medium hanya dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan
dengan term-term. Perbadingan ini terjadi dalam premis-premis. Karena itu term
medium hanya berguna dalam premis-premis saja.
3) Hukum ketiga. Wilayah term dalam konklusi tidak boleh lebih luas dari wilayah term
itu dalam premis. Hukum ini merupakan peringatan, supaya dalam konklusi orang
tidak melebih-lebihkan wilayah yang telah diajukan dalam premis. Sering dalam
praktek orang tahu juga, bahwa konklusi tidak benar, oleh karena tidak logis (tidak
menurut aturan logika), tetapi tidak selalu mudah menunjuk, apa salahnya itu.
4) Term antara (medium) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term antara
paticular, baik dalam premis mayor maupun dalam premis minor, mungkin saja term
antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau
demikian term antara, tidak lagi berfungsi sebagai term antara, dan tidak lagi
menghubungkan atau memisahkan subyek dengan predikat.
Contoh:
Beberapa politikus pembohong.
Utsman adalah politikus.
Utsman adalah pembohong.
2.6 Proposisi
Proposisi berarti pernyataan atau kalimat. Proposisi juga disebut statmen atau
keputusan. Menurut istilah proposisi adalah sebuah pernyataan atau Statemen di mana
suatu hal itu diakui atau diingkari. Proposisi yang diambil atau dinyatakan dalam
pernyataan-pernyataan tertentu, dapat diselidiki benar tidaknya. Pernyataan itu benar jika
memang terdapat fakta yang mendukung kebenarannya, jika tidak ada fakta yang
mendukung kebenarannya maka pernyataan itu salah.
Dalam sebuah proposisi memerlukan suatu term. Term adalah kata atau rangkaian
kata yang berfungsi sebagai subyek atau prediket dalam suatu kalimat/proposisi. Dalam
ilmu logika, term bisa berbentuk tunggal dan majemuk. Term tunggal adalah term yang
terdiri dari satu kata saja, misal futsall, volley atau tenis. Sementara term majemuk adalah
term yang terdiri dari dua kata atau lebih, misal lapangan Futsall, tenis meja dan sambal
goreng. Dalam bahasa arab, istilah term majemuk ini biasa disebut dengan “Tarkib
Idhofiy” yakni susunan lafadz yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih (lafadz yang
bersandar dan yang disandarkan), seperti term “cincin besi”.
Sebuah proposisi disebut mengakui atau meneguhkan hubungan antar gagasan jika di
dalamnya terdapat term yang mengakui term yang lain.
Singkatnya, sebuah proposisi itu dianggap afirmatif, ketika term prediket mengakui
term subyek. Sebagai salah satu contoh, marilah kita perhatikan pernyataan ini, “Neng
Roihana cantik”. Dalam proposisi ini term cantik disebut term prediket, sementara
term Neng Roihana disebut term subyek. Proposisi ini bersifat afirmatif, sebab prediket
memberikan pengukuhan pada subyek. Lain halnya jika dikatakan “Kang Jacky tidak
jelek”. Dalam proposisi ini, term tidak jelek dipisahkan dengan term kang Jacky, sebab
term tersebut tidak sesuai dengan realitas kepribadiannya. Jadi dengan adanya kata tidak,
gagasan tentang kang Jacky dipisahkan dengan sifat jelek. Di sini prediket mengingkari
subyek. Inilah yang kemudian disebut dengan proposisi negatif.
Suatu proposisi selalu menyatakan pengakuan atau pengingkaran sesuatu tentang
sesuatu yang lain. Dalam setiap proposisi selalu terdapat tiga unsur berikut ini:
1) Term subyek adalah hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan.
Term subyek dalam sebuah proposisi disebut subyek logis. Ada perbedaan antara
subyek logis dengan subyek dalam sebuah kalimat. Tentang subyek logis harus ada
penegasan atau pengingkaran sesuatu tentangnya.
2) Term predikat adalah isi pengakuan atau pengingkaran itu sendiri (apa yang diakui
atau diingkari). Term predikat dalam sebuah proposisi adalah predikat logis, yaitu apa
yang ditegaskan atau diingkari tentang subyek.
3) Kopula adalah penghubung antara term subyek dan term predikat dan sekaligus
memberi bentuk (pengakuan atau pengingkaran) pada hubungan yang terjadi. Jadi,
kopula memiliki tiga fungsi, yakni: menghubungkan subyek dan
predikat, menyatakan bahwa subyek sungguh-sungguh eksis, dan menyatakan cara
keberadaan (eksistensi) subyek.
Yang perlu diingat bahwa dalam dalam bahasa Indonesia kopula dalam suatu
proposisi tidak selalu dinyatakan secara eksplisit. “Amir nakal” adalah proposisi, karena
nakal (term predikat) diakui tentang Amir (term subyek), meskipun kedua term tersebut
tidak dihubungkan secara eksplisit oleh kopula.
Semua proposisi dapat disebut kalimat atau dalam istilah ilmu bahasa arab (Nahwu)
disebut sebagai Kalam. Namun, tidak setiap kalimat dapat disebut proposisi. Jika sebuah
kalimat menyatakan pengakuan ataupun pengingkaran tentang suatu hal, maka yang
demikian bisa disebut sebagai proposisi. Tetapi, jika pernyataan tersebut tidak
mengandung pengukuhan maupun penolakan terhadap sesuatu, maka tidak bisa disebut
sebagai proposisi. Misal, ketika seseorang meluapkan emosi “Hai Jangan Sakiti
Hatiku” atau ketika seseorang menyatakan“Siapakah gerangan gadis manis berkerudung
merah itu?”, maka pernyataan-pernyatan tersebut belum bisa dianggap sebagai sebuah
proposisi, sebab didalamnya tidak mengandung pengukuhan ataupun penolakan antar dua
gagasan. Kedua pernyataan tersebut merupakan pernyataan perintah dan pernyataan
tanya. Secara sederhana, yang dapat dianggap sebagai proposisi adalah khusus
pernyataan deklaratif yang mengandung unsur afirmasi atau negasi. Dalam disiplin ilmu
sastra Arab istilah ini sering disebut dengan Kalam Khabariy.
2.7 Klasifikasi Proposisi
Dalam ilmu Logika, terdapat tiga macam proposisi. Yaitu proposisi kategoris,
hipotesis dan modalitas.
1) Proposisi Kategoris
Proposisi kategoris adalah proposisi yang menyatakan secara langsung tentang cocok
dan tidaknya hubungan yang ada di antara term subyek dan term prediket. Disebut
kategoris, karena proposisi ini menyatakan tanpa disertai dengan syarat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam sebuah proposisi tidak lepas dari
tiga unsur, yaitu subyek, prediket dan kopula. Dalam hal ini, kopula menjadi unsur
formatur sehingga hubungan ketiganya membentuk struktur logis proposisi. Meski
demikian, banyak proposisi yang tidak menampakkan struktur logisnya secara jelas.
Sebagai contoh: “Hamdan mencintai istrinya”, dalam proposisi ini secara sekilas,
tidak memenuhi unsur proposisi dikarenakan didalamnya tidak terdapat kopula.
Padahal, dalam setiap proposisi diharuskan adanya kopula. Namun, sebenarnya
pernyataan tersebut sudah terdapat kopula yang terkandung dalam kata“mencintai
istrinya”, kata ini hakikatnya mempunyai ekuivalensi dengan “adalah pecinta
istrinya”. Dengan demikian, kopula dalam proposisi tersebut adalah kata“adalah”.
Pembagian proposisi kategoris:
(1) Proposisi kategoris universal yaitu pernyataan yang subjeknya mencakup semua
jenis yang dikandungnya. Contoh, manusia itu makhluk yang bernyawa.
(2) Proposisi kategoris singuler/particuler yaitu proposisi kategoris yang subjeknya
tidak mencakup semua jenisnya, tetapi membenarkan sebagian saja. Contoh,
sebagian mahasiswa Stain itu pandai.
Dan bila memandang prediket maka proposisi kategoris dibagi menjadi dua:
(1) Kategoris afirmatif yaitu suatu proposisi dimana kopulanya membenarkan
hubungan antara subjek dan prediket. contoh, semua mahasiswa akan mati.
(2) Kategoris negatif yaitu proposisi yang kopulanya tidak membenarkan hubungan
subjek dan prediket. Contoh, semua mahasiswa stain tidak ada yang memakai
celana pendek.
Jadi ditarik kesimpulan, bila proposisi itu dilihat dari segi subyek dan prediketnya,
maka proposisi dibagi menjadi:
(1) Kategorikal universal afirmatif yaitu proposisi kategoris yang mengakui hubungan
subjek dan prediket yang subjeknya mencakup luas. Contoh, semua manusia akan
mati.
(2) Kategorikal universal negatif yaitu proposisi yang tidak mengakui atau
mengingkari hubungan subjek dan prediket. Contoh, semua orang tidak akan
hidup selama-lamanya.
(3) Kategorikal particular afirmatif yaitu proposisi yang subjeknya tidak mencakup
semua jenisnya dan mengakui hubungan subjek dan prediket. Contoh, sebagian
mahasiswa stain itu bisa berbahasa inggris.
(4) Kategorikal particular negatif yaitu proposisi yang subjeknya tidak mengakui
hubungan subjek dan prediketnya dan subjeknya tidak mencakup semua jenisnya.
Contoh, sebagian manusia itu tidak mau dihina.
(1) Kualitas Proposisi Kategoris
Kualitas atau karakteristik dari proposisi kategoris sangat bergantung pada
kopula. Jika kopulanya mempersatukan dan menghubungkan antara subyek dan
prediket, maka disebut proposisi afirmatif, contoh “Semua manusia akan
mati”.Sebaliknya, jika kopulanya memisahkan antara subyek dan prediket, maka
disebut proposisi negatif.
(2) Kuantitas Proposisi Kategoris
Kuantitas sebuah proposisi kategoris terletak pada hakikat proposisi sebagai
partikular atau universal. Jadi, sebuah proposisi disebut universal jika term subyek
adalah universal, contoh “Semua mahasiswa wajib patuh pada dosen”. Akan
tetapi, jika term subyeknya partikular, maka disebut proposisi partikular,
contoh“Laptop Kasiman dicuri maling”.
2) Proposisi hipotesis
Proposisi hipotetis adalah proposisi yang hubungan antara subjek dan prediket
bersyarat dengan menggunakan tanda penghubung “jika” atau sejenisnya. Jenis
proposisi ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni:
(1) Proposisi hipotesis kondisional yaitu hubungan antara subjek dan prediket
merupakan hubungan yang wajib. Biasanya dirumuskan
dengan“jika.......maka....”,
contoh: “Jika matahari terbit, maka hari akan siang.
Proposisi hipotetis kondisional itu dapat dibagi menjadi empat bagian:
a) Affirmatif antara subjek dan prediketnya.
Contoh, jika hujan reda, maka saya akan pergi.
b) Negatif keduanya, sabjek dan prediketnya.
Contoh, jika saudaraku tidak datang, maka aku tidak akan keluar rumah hari
ini.
c) Subjek affirmatif sedangkan prediketnya negatif.
Contoh, jika turun hujan, maka saya tidak kuliah.
d) Subjek negatif sedangkan prediketnya affirmatif.
Contoh, jika ibu saya tidak datang, maka saya teteap dirumah.
(2) Proposisi hipotesis disjungtif adalah proposisi yang berisi pernyataan subyek atau
prediketnya yang menggunakan kata penghubung “Atau....atau...”,
contoh:“Dia atau adiknya yang akan saya nikahi”.
(3) Proposisi Konjungtif yaitu proposisi yang menolak gagasan bahwa dua prediket
yang bersifat kontraris dapat menjadi subyek benar bagi subyek sama serta pada
waktu yang sama. Proposisi ini menolak kesertaan kemungkinan dua buah
alternatif.
Contoh “anda tidak dapat sekaligus duduk dan berlari pada saat yang
bersamaan”.
3) Proposisi Modalitas
Proposisi modalitas adalah proposisi yang menjelaskan tentang tingkat
kepastian di mana prediket diteguhkan atau diingkari tentang subyek. Proposisi ini,
terbagi menjadi empat macam, yaitu:
(1) Proposisi modalitas mutlak, yaitu prediket tidak bisa berfungsi lain kecuali
menjadi bagian dari subyek, contoh:
“Bola itu bulat”.
(2) Proposisi modalitas kontingen, yakni prediket masih memungkinkan difungsikan
untuk subyek lain, seperti:
“Mahasiswa tidak boleh malas” dan“Semua burung dapat terbang”.
(3) Proposisi modalitas yang mungkin, adalah proposisi yang menyatakan aspek
kemungkinan hubungan antara subyek dan prediket, misal:
“Pasien itu dapat meninggal dunia sewaktu-waktu”.
(4) Proposisi modalitas yang mustahil, ialah proposisi yang menunjukkan bahwa
prediket merupakan sesuatu yang mustahil bagi subyek, contoh:
“Sebuah lingkaran itu tidak mungkin berbentuk segi empat”.
2.8 Definisi Realisme
Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles (384-322 SM) yang merupakan murid Plato
mengembangkan aliran realisme yang menekankan pada pengetahuan dan nilai. Ilmuwan
membawa paham realisme pada abad 21, ilmuwan realisme beranggapan bahwa realitas
yang ada tidak bergantung pada apa yang kita ketahui dan metode ilmiah adalah cara
yang terbaik untuk mendapatkan deskripsi yang akurat dari apa itu dunia dan bagaimana
kerjanya. Untuk menjelaskan dan untuk menggunakan penemuan ilmiah, kita harus
menyusun suatu teori. Untuk meningkatkan penelitian ilmiah, kita dapat meninjau
kembali dan menyaring teori-teori kita sehingga lebih akurat terhadap realitas.
1) Epistemologi Realisme
Dalam perspektif epistemologi aliran realisme menyatakan bahwa hubungan
antara subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan
pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak
tergantung oleh si subjek. Pemahaman subjek dengan demikian ditentukan atau
dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).
Manusia dapat mengetahui suatu objek melalui indra dan akal fikiran mereka.
Proses mengetahui terdiri dari dua tahap yaitu perasaan dan gambaran. Pertama, orang
yang mengetahui melihat objek dan panca indra merekam data di dalam pikiran
seperti warna, ukuran, berat atau bunyi. Pikiran memilah data ke dalam suatu sifat
yang selalu muncul dalam objek. Dengan mengidentifikasi sifat-sifat yang dibutuhkan
manusia membentuk konsep dari benda dan mengenalinya ke dalam kelas-kelas
tertentu. Klasifikasi ini akan membuat manusia memahami bahwa objek atau benda
membagi sifat tertentu dengan anggota lain dalam satu kelompok tetapi tidak dengan
objek dari kelompok yang berbeda.
2) Ontologi Realisme
Realisme secara ontologi diartikan bahwa semua benda di alam ini tidak ada
yang mempunyai roh. Menurut Smith ,bagi kaum realis, realitas berhubungan dengan
apa yang disebut filsuf sebagai ‘alam’ atau pola invarian dalam realitas yang
memberikan berbagai macam contoh yang tidak terbatas dari berbagai macam hal.
Seperti menjelaskan berbagai macam partikel menggunakan satu atau beberapa
bentuk sumum, membuat ilmu menjadi mungkin.
Loux menyatakan bahwa realis berpendapat hanya sebutan dari ilmu fisika dan
bentuk-bentuk abstrak yang terhubung dengan gaya acuan. Pada akhirnya realis
menerima pendapat yang kuat dari ilmuwan realisme yang menganggap IPA,
termasuk fisika memberikan kriteria utama. Berdasarkan filsuf-filsuf tersebut,
pertanyaan “ Semesta seperti apa yang ada disana?” adalah pertanyaan empiris yang
harus dijawab oleh fisikawan: semesta tersebut dibutuhkan untuk memformulasikan
teori fisika terbaik yang ada.
3) Aksiologi Realisme
Aspek aksiologis banyak berkaitan dengan bidang nilai. Dalam pendidikan
tidak hanya berbicara mengenai proses transfer pengetahuan, melainkan juga
menyangkut penanaman nilai. Dalam kaitan dengan nilai, pandangan Realisme
menyatakan bahwa nilai bersifat absolut, abadi namun tetap mengikuti hukum alam
yang berlaku.
Melalui konsep nilainya tersebut kelompok realis juga menyatakan bahwa
mata pelajaran yang dilaksanakan disekolah pada intinya adalah untuk menerangkan
realitas objektif dunia, sehingga studi-studi disekolah lebih banyak didasarkan pada
kajian-kajian ilmu kealaman atau sains. Hal ini banyak dimaklumi mengingat bahwa
melalui sains lah realitas itu tergelar secara objektif dan menantang manusia untuk
memahaminya ( Orsnstein , 2008:168).
2.9 Jenis-Jenis Realisme
Aliran realisme dibagi menjadi dua yaitu realisme rasional dan realisme alam
(Musdiani, 2011). Aliran realisme rasional yang berasal dari Aristoteles dibagai menjadi
dua yaitu:
1) Realisme klasik
Realisme klasik berasal dari pandangan Aristoteles. Menganggap bahwa
segala sesuatu yang ada berdasarkan hal yang nyata. Aristoteles menganggap bahwa
setiap benda ada tanpa adanya roh.
2) Realisme religius
Realisme ini berasal dari pandangan Thomas Aquina, yaitu filsafat agama
Kristen yang lebih dikenal dengan aliran Thomisme. Aliran ini menganggap bahwa
jiwa itu penting walaupun tidak nyata seperti badan. Sehingga aliran ini mempercayai
bahwa jiwa dan badan diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Pengetahuan didapat
dari wahyu, berpikir dan pengalaman. Aturan-aturan keharmonisan alam semesta ini
merupakan ciptaan Tuhan yang harus dipelajari.
Aliran realisme alam atau realisme ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan
alam. Aliran realisme ini bersifat skeptis dan eksperimental. Aliran ini menganggap
bahwa alam semesta itu nyata dan yang mempelajarinya adalah ilmu pengetahuan
bukan ilmu filsafat. Tugas ilmu pengetahuan adalah menyelidiki semua isi alam
sedangkan tugas ilmu filsafat adalah mengkoordinasi konsep-konsep dan penemuan-
penemuan dari ilmu pengetahuan yang bermacam-macam. Menurut aliran ini alam
bersifat tetap. Meskipun ada perubahan di alam namun perubahan tersebut sesuai
dengan hukum-hukum alam yang sudah berlaku sehingga alam semesta terus
berlangsung dengan teratur.
2.10 Definisi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar yang
dibuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat
praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai
benar dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang pragtis yang bermanfaat.
Dengan demikian patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”
Kata pragmatisme sering sekali di ucapkan orang. Orang-orang menyebut kata ini
biasanya dalam pengertian praktis. Jika orang berkata, rencana ini kurang pragmatis,
maka maksudnya adalah rencana ini kurang praktis. Pengertian seperti itu tidak begitu
jauh dari pengertian pragmatisme yang sebenarnya, tapi belum menggambarkan
keseluruhan pengertian pragmatisme.
Pragmatisme adalah aliran dari filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu adalah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata oleh sebab
itu kebenaran sifatnya menjadi relative tidak mutlak. Mungkin sesuatu konsep atau
peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetapi
berguna bagi masyarakat yang lain. Maka konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat
yang kedua.
Pragmatisme dalam perkembanganya mengalami perbedaan kesimpulan walaupun
berangkat dari ggasan asal yang sama. Kendati demikian ada tiga patokan yang disetujui
aliran pragmatism yaitu:
1) menolak segala intelektualisme,
2) menolak segala absolutisme, dan
3) meremehkan logika formal.
Pragmatisme berpegang teguh pada praktek. Berusaha menemukan asal mula serta
hakekat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun
kegiatan tersebut luar biasa sulitnya. Sejarah menunjukan sengketa antara masalah ini di
bidang filsafat selalu menyebabkan adanya sementara orang yang menoloknya sebagai
suatu masalah yang menyebabkan sementara orang yang lain memandangnya sebagai
suatu yang tidak berfaedah.
Penganut pragmatisme menaruh perhatian pada praktek. Mereka memandang hidup
manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup yang berlangsung terus-menerus yang di
dalamnya terpenting adalah konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis.
Konsekuensi-konsekuensi yang bersifat praktis tersebut erat hubunganya dengan makna
dan kebenaran.
Daftar Pustaka
Copi. Irving M., Introduction to Logic: Eigth Edition, New York: Macmillan Publishing Company,
1990
Endraswara. Suwardi, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah, Yogyakarta:
CAPS, 2013
http:// santosogereja.blogspot.co.id
http://achwanruhayyun.blogspot.co.id
http://awatifbaqis.blogspot.co.id
http://forum.teropong.id/2017/08/03/pengertian-etika-jenis-jenis-dan-manfaat-etika-beserta-
contohnya/
https://id.wikipedia.org/wiki/Logika
Juhaya S. Praja. aliran – aliran filsafat dan etika. Jakarta : Prenada Belia. 2003.
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Keraf. Sonny dan Dua. Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius,
2001
Mundiri, Logika, Jakarta: Raja Grafindo Persada dan IAIN Walisongo Press, 2001
Rapar. Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Rizal Mustansyir dan Misna Munir. filsafat ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2008. cet VII.
Sider. Theodore, Logic For Philosophy, Versi pdf, Tk:Tp, 2010
Surajiyo. Filsafat ilmu dan perkembangannya di indonesia suatu kajian dalam dimensi
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Tafsir. Ahmad, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007
Utama. I Gusti Bagus Rai, Filsafat Ilmu dan Logika, Bandung: Universitas Dyana Pura, 2013